We are on the same boat, Father.
Benci, rindu, marah, sedih, senang.
Perasaan tersebut selalu berputar ketika ditanya tentang dia. Kalau kita bilang, umur 20an udah cukup dewasa untuk melakukan banyak hal, ahli bicara dan lain-lain. Coba amati, bagaimana orang dewasa bisa berbohong. Dahsyat, kawan, sangat dahsyat. Manipulasi data yang mereka timbulkan itu sangat meyakinkan, itulah sebabnya semakin tua seseorang, maka semakin mungkin ia melakukan korupsi, karena yah, mereka makin pandai berbohong. Mendistorsikan kenyataan sampai batasan buram yang mata tidak bisa lagi lihat dengan jelas. Hebat memang, hebat.
Manipulasi itu sekarang makin tipis, kenyataan makin terlihat, siapa yang bajingan, siapa yang bangsat sudah jelas. Tapi, mengangkangi mereka, melangkahi mereka bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Semua orang berkata bahwa tempat saya kembali ya tentu mereka, tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi bagaimana, jika saya tidak ingin kembali?
Ah Tuhan.
Kau tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatmu bukan? Iya kan?
Tentu saja.
Apa yang saya alami mungkin hanya akan dilihat cetek oleh banyak orang, mentalitas bobrok, rendah, cengeng, tidak punya kredibilitas. Semuanya sudah pernah saya emban. Tapi apakah mereka benar-benar tahu apa rasanya? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Tuhan.
Nasib sama kau timpakan bagi kami, baik saya, maupun dia. Ya tentu, kami sama-sama serigala, kami sama-sama pernah membelakangi jalanmu satu kali, kami sama-sama liar, dan kami sama-sama terluka.
Hebat ya, Tuhan?
Kau pernah membutakan mata kami, membuat kami berputar-putar dalam pusaran pertanyaan, menusuk kami dengan tombak peradilan, kau membuat luka yang tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Kau hebat, penuh kuasa, kau banting kami dengan satu jengkal jarimu, kau hajar kami dengan satu tiupan nafasmu, kau membuat kami rata dengan tanah hanya dengan tatapanmu.
Tapi terima kasih, Tuhan.
Kau pernah memberikan kami sebuah berkah yang luarbiasa, dengan perantara berkah tersebut, ia mencabut butanya mata kami, ia mengarahkan kami ke terang cahaya dan bukannya gua yang tak berujung, ia memberikan kami kaki untuk berjalan di lapangan yang luas, ia menarik tangan kami untuk merasakan apa itu dunia diluar kegelapan yang kami tempati selama ini. Ia menarik kami keatas, mengajak kami melihat bahwa banyak hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya.
Tapi.. Tuhan?
Berkah yang kau berikan padanya kau rampas, kau menghancurkannya lagi, impiannya, utopia dan impian yang ia bangun, yang ia pendam tanpa berkah tersebut tahu, kau hancurkan semuanya. Rata. Dengan. Tanah. Istrinya lari, anak-anaknya hilang entah kemana, pegangan hidupnya kau ambil, semuanya. Tidak tersisa satupun. Menyisakan sesosok tua penuh uban, dengan mimik muka yang seolah telah melihat neraka dengan matanya langsung. Ia mati Tuhan, mati.
Berikutnya saya, setelah kau buat saya menyaksikan dia hancur, kau mengambil pula satu-satunya hal yang saya pegang. Kau membuat saya kembali ke dalam dunia yang pernah saya tempati, dunia satu-satunya yang dulu saya kenal, dunia yang tidak akan pernah mau saya injak kembali. Dunia dimana tidak pernah ada cahaya secercahpun untuk dibagi. Dunia kematian, Tuhan. Kau tahu itu, kan?
Jadi, kenapa, Tuhan?
Satu kali kami mati tidakkah cukup?
Harus berapa kali?
Sampai kapan?
Jadi..
Jika saya mati, akankah kau peduli, Tuhan?
Benci, rindu, marah, sedih, senang.
Perasaan tersebut selalu berputar ketika ditanya tentang dia. Kalau kita bilang, umur 20an udah cukup dewasa untuk melakukan banyak hal, ahli bicara dan lain-lain. Coba amati, bagaimana orang dewasa bisa berbohong. Dahsyat, kawan, sangat dahsyat. Manipulasi data yang mereka timbulkan itu sangat meyakinkan, itulah sebabnya semakin tua seseorang, maka semakin mungkin ia melakukan korupsi, karena yah, mereka makin pandai berbohong. Mendistorsikan kenyataan sampai batasan buram yang mata tidak bisa lagi lihat dengan jelas. Hebat memang, hebat.
Manipulasi itu sekarang makin tipis, kenyataan makin terlihat, siapa yang bajingan, siapa yang bangsat sudah jelas. Tapi, mengangkangi mereka, melangkahi mereka bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Semua orang berkata bahwa tempat saya kembali ya tentu mereka, tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi bagaimana, jika saya tidak ingin kembali?
Ah Tuhan.
Kau tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatmu bukan? Iya kan?
Tentu saja.
Apa yang saya alami mungkin hanya akan dilihat cetek oleh banyak orang, mentalitas bobrok, rendah, cengeng, tidak punya kredibilitas. Semuanya sudah pernah saya emban. Tapi apakah mereka benar-benar tahu apa rasanya? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Tuhan.
Nasib sama kau timpakan bagi kami, baik saya, maupun dia. Ya tentu, kami sama-sama serigala, kami sama-sama pernah membelakangi jalanmu satu kali, kami sama-sama liar, dan kami sama-sama terluka.
Hebat ya, Tuhan?
Kau pernah membutakan mata kami, membuat kami berputar-putar dalam pusaran pertanyaan, menusuk kami dengan tombak peradilan, kau membuat luka yang tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Kau hebat, penuh kuasa, kau banting kami dengan satu jengkal jarimu, kau hajar kami dengan satu tiupan nafasmu, kau membuat kami rata dengan tanah hanya dengan tatapanmu.
Tapi terima kasih, Tuhan.
Kau pernah memberikan kami sebuah berkah yang luarbiasa, dengan perantara berkah tersebut, ia mencabut butanya mata kami, ia mengarahkan kami ke terang cahaya dan bukannya gua yang tak berujung, ia memberikan kami kaki untuk berjalan di lapangan yang luas, ia menarik tangan kami untuk merasakan apa itu dunia diluar kegelapan yang kami tempati selama ini. Ia menarik kami keatas, mengajak kami melihat bahwa banyak hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya.
Tapi.. Tuhan?
Berkah yang kau berikan padanya kau rampas, kau menghancurkannya lagi, impiannya, utopia dan impian yang ia bangun, yang ia pendam tanpa berkah tersebut tahu, kau hancurkan semuanya. Rata. Dengan. Tanah. Istrinya lari, anak-anaknya hilang entah kemana, pegangan hidupnya kau ambil, semuanya. Tidak tersisa satupun. Menyisakan sesosok tua penuh uban, dengan mimik muka yang seolah telah melihat neraka dengan matanya langsung. Ia mati Tuhan, mati.
Berikutnya saya, setelah kau buat saya menyaksikan dia hancur, kau mengambil pula satu-satunya hal yang saya pegang. Kau membuat saya kembali ke dalam dunia yang pernah saya tempati, dunia satu-satunya yang dulu saya kenal, dunia yang tidak akan pernah mau saya injak kembali. Dunia dimana tidak pernah ada cahaya secercahpun untuk dibagi. Dunia kematian, Tuhan. Kau tahu itu, kan?
Jadi, kenapa, Tuhan?
Satu kali kami mati tidakkah cukup?
Harus berapa kali?
Sampai kapan?
Jadi..
Jika saya mati, akankah kau peduli, Tuhan?
Ada seorang dosen gue yang pernah bertanya:
“Apa ada yang bisa hidup tanpa sosialisasi disini?”
Well, semua diem, tapi beberapa saat kemudian, ada salah seorang yang angkat tangan, dosen pun bertanya (dengan ragu), “kamu yakin bisa?” dan si mahasiswanya pun menjawab, katanya bisa sampai 3 hari.
Haha, gue mau ketawa rasanya. Ngga ada yang susah dalam hal nggak bersosialisasi, menjadi seorang yang asosial itu ngga butuh pengorbanan apa-apa. Tinggal kunci pintu rapat-rapat, dan nikmati ruangan yang mengungkung dengan seluruh pori-pori. Apalagi, jika memang keadaan mendukung, dan kepribadian orang itu juga mengamini. Banyak kenalan gue yang merasa dirinya asosial, ngga punya temen, ngga ada orang yang bisa diajak bicara, dan ngejalani hidupnya di depan komputer dengan bahagia dan selamat sentosa.
Plus, ketika kepribadian dan mental bawaan juga turut menyokong keadaan, asosial bukanlah kata yang sulit diucapkan, ketika seseorang sudah bersifat neurotik, menghancurkan diri sendiri baik orang lain, insting permusuhannya terlalu kuat dan menjadi terlalu binatang atau bahkan iblis yang sudah bukan manusia lagi, dia ngga akan perlu susah-susah menjauhi orang untuk mendapatkan label asosial tertempel dijidatnya, orang-orang akan dengan senang hati menjauh terlebih dahulu.
Nurture, nature, banyak sebab yang menjadikan label asosial melekat pada diri seseorang. Tapi satu hal yang gue tekankan dari dulu, kesemua orang yang pernah gue kenal, kesemua orang yang mau mendengarkan gue bicara. Satu hal aja.
Mereka, ngga, akan, pernah, mau, jadi, begitu.
Oh bloody damn, bloody damn. Tiga hari? Jangankan tiga, lima? Sepuluh? Sebulan pun gue iyakan kalau ditanya seberapa jauh kemampuan asosial gue. Seperti yang gue bilang, tidak bersosialisasi itu gampang, karena tidak ada hal yang dilakukan untuk mendapatkan label tersebut. Tapi bayangkan begini, dada dibedah, jantung dikeluarkan dan kita disuruh memukul-mukul jantung kita sendiri. Seperti apa rasanya? Sakit, kawan, sangat sakit. Menjadi asosial tidak sulit, tapi rasa sakit yang membayangi kata tersebut amat menyakitkan, rasa sakitnya ngga akan hilang bahkan ketika bius mati rasa dengan dosis gajah sudah disuntikan, gue bisa jamin, rasa sakit itu ngga akan hilang.
A mother of a dear mate told me, we will never felt a same feeling as other people feel. Agreed, very agreed. Manusia tetap manusia dan bukan malaikat apalagi Tuhan. Apa yang orang lain rasakan, kita belum tentu tahu, jadi tolong amat sangat tolong, jangan pernah berprasangka tanpa ada informasi yang cukup untuk memberikan judge. Orang menjauhi orang lain bukan tanpa alasan, pasti ada alasan, dan ketika ditanya apakah mereka senang dengan keadaan tersebut, bahkan ketika mereka menjawab: “gapapa, gue baik.” Mereka cuma menambah luka di hari mereka, karena sebenarnya...
Dan jika gue ditanya, apa gue mau begitu lagi? Tentu jawabannya sudah jelas. Tapi, ketika keadaan memaksa,
“Apa ada yang bisa hidup tanpa sosialisasi disini?”
Well, semua diem, tapi beberapa saat kemudian, ada salah seorang yang angkat tangan, dosen pun bertanya (dengan ragu), “kamu yakin bisa?” dan si mahasiswanya pun menjawab, katanya bisa sampai 3 hari.
Haha, gue mau ketawa rasanya. Ngga ada yang susah dalam hal nggak bersosialisasi, menjadi seorang yang asosial itu ngga butuh pengorbanan apa-apa. Tinggal kunci pintu rapat-rapat, dan nikmati ruangan yang mengungkung dengan seluruh pori-pori. Apalagi, jika memang keadaan mendukung, dan kepribadian orang itu juga mengamini. Banyak kenalan gue yang merasa dirinya asosial, ngga punya temen, ngga ada orang yang bisa diajak bicara, dan ngejalani hidupnya di depan komputer dengan bahagia dan selamat sentosa.
Plus, ketika kepribadian dan mental bawaan juga turut menyokong keadaan, asosial bukanlah kata yang sulit diucapkan, ketika seseorang sudah bersifat neurotik, menghancurkan diri sendiri baik orang lain, insting permusuhannya terlalu kuat dan menjadi terlalu binatang atau bahkan iblis yang sudah bukan manusia lagi, dia ngga akan perlu susah-susah menjauhi orang untuk mendapatkan label asosial tertempel dijidatnya, orang-orang akan dengan senang hati menjauh terlebih dahulu.
Nurture, nature, banyak sebab yang menjadikan label asosial melekat pada diri seseorang. Tapi satu hal yang gue tekankan dari dulu, kesemua orang yang pernah gue kenal, kesemua orang yang mau mendengarkan gue bicara. Satu hal aja.
Mereka, ngga, akan, pernah, mau, jadi, begitu.
Oh bloody damn, bloody damn. Tiga hari? Jangankan tiga, lima? Sepuluh? Sebulan pun gue iyakan kalau ditanya seberapa jauh kemampuan asosial gue. Seperti yang gue bilang, tidak bersosialisasi itu gampang, karena tidak ada hal yang dilakukan untuk mendapatkan label tersebut. Tapi bayangkan begini, dada dibedah, jantung dikeluarkan dan kita disuruh memukul-mukul jantung kita sendiri. Seperti apa rasanya? Sakit, kawan, sangat sakit. Menjadi asosial tidak sulit, tapi rasa sakit yang membayangi kata tersebut amat menyakitkan, rasa sakitnya ngga akan hilang bahkan ketika bius mati rasa dengan dosis gajah sudah disuntikan, gue bisa jamin, rasa sakit itu ngga akan hilang.
A mother of a dear mate told me, we will never felt a same feeling as other people feel. Agreed, very agreed. Manusia tetap manusia dan bukan malaikat apalagi Tuhan. Apa yang orang lain rasakan, kita belum tentu tahu, jadi tolong amat sangat tolong, jangan pernah berprasangka tanpa ada informasi yang cukup untuk memberikan judge. Orang menjauhi orang lain bukan tanpa alasan, pasti ada alasan, dan ketika ditanya apakah mereka senang dengan keadaan tersebut, bahkan ketika mereka menjawab: “gapapa, gue baik.” Mereka cuma menambah luka di hari mereka, karena sebenarnya...
Yah.. mereka kesepian, kau tahu?
—gue bisa apa?
Demonic Pride: Part II
Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, December 21, 2009
Posted at : 8:32 PM
The Joy and The Sorrow
“Udah sampai, lo dimana?”
“Kampus, lo masuk aja,”
Satu pepatah lama mengatakan, semakin minim ilmu, maka semakin banyak yang harus dikorbankan. Setuju, tentu sangat setuju. Terlebih, hal itu benar-benar saya alami saat ini. Andaikan saya tahu bahwa ada sebuah angkutan dalam kampus yang dapat mengantarkan mahasiswanya untuk berkeliling universitas yang luasnya hampir setengah kota kecil ini dengan gratis, tentunya saya tidak perlu susah-susah berjalan kaki kan? Ah, bukan salah mereka, tapi saya yang memang tidak tahu bukan?
Lalu saya berjalan, di tengah gerimis yang berkala menghujam tanah, saya menerobos bulir-bulir air, berlindung di bawah kemeja flanel yang tidak dapat dikatakan layak lagi untuk digunakan, berusaha berlindung dari tatapan mahasiswa-mahasiswa yang memandang dengan tatapan heran mencemooh, yang mungkin saja berpikir: “gila,”. Tapi yah, mungkin saja, saya tidak marah, karena sebagian kecil dari diri saya sudah mengatakan demikian, bahkan sejak zaman SBY masih mencumbu JK, ya, saya memang gila.
Jauh, amat jauh. Saya berjalan dengan sepasang sendal karet, yang jika terkena air akan menjadi sangat licin dan tidak mudah untuk digunakan. Erh, diantara menyenangkan dan tidak, kawan. Di satu sisi, ada pemandangan serba hijau, plus danau buatan yang apik menyegarkan mata, ditambah lagi suasana hujan yang mengguyur pepohonan tidak tinggi, dan baunya? Yeap, bau tawar yang menusuk hidung dengan kesegarannya yang anomali. Tapi di sisi lain, kau tahu? Tidak pernah menyenangkan berjalan dengan kepala berat, pikiran penuh dengan hal-hal yang seharusnya diisi dengan tugas-tugas yang menumpuk dan hal lainnya yang lebih fitrah untuk dikerjakan daripada bermuram durja menyembah hal tabu yang dilabel najis oleh seluruh manusia. Terkecuali mereka.
“Sampai.”
Tidak berubah, dari detik pertama mengenal dia, dan sampai sekarang setelah lebih dari empat tahun berlalu, dia tetap sama. Err.. senyumannya mesum. Yah, begitulah. Kami bertemu sapa, tidak menghiraukan orang sekitar yang mungkin memandang kami terheran. Heran? Tentu saja, karena kami berbicara seolah tanpa adanya batas yang menghalangi, dalam bentuk apapun. Bahkan yang tabu sekalipun seperti gender, karena satu hal. Kami berpikiran dengan satu cara, tidak ada gender, yang ada hanya saya sebagai manusia, dan dia sebagai manusia, titik, dan tanpa koma.
Satu hal yang menjadi persamaan kami, mungkin. Kami sama-sama berjalan mengangkangi nasib, takdir kami ludahi, dan aturan kami pandang sebagai sarana pemacu adrenalin, karena mereka ada hanya untuk dilanggar bukan? Haha. Saya cukup takjub sebenarnya. Tidak ada satu benangpun yang menghubungkan bentuk pertemanan saya dengannya, tapi entah mengapa, ada suatu kecenderungan dimana saya tidak bisa lepas darinya yang (sangat) menyebalkan, tapi justru seperti ada magnit yang membuat saya selalu mencarinya jika ada suatu hal buruk yang terjadi pada saya, entahlah.
Yeah, dia tertawa, dengan lebar mulut yang sebesar belahan laut merah oleh musa, tanpa malu, dan amit-amit luar biasa kenapa saya bisa ada disebelah orang macam ini pula? Sekali lagi, entahlah.
Kami tidak bicara, kami hanya saling pandang yang bahkan bukan kearah yang bisa dikatakan ‘saling pandang’. Untuknya, saya berkata sepatah yang mungkin hanya potongan kecil sebuah puzzle yang tidak akan pernah bisa tersusun. Ada setitik ketakutan dimana saya mengangkangi hal yang dinamakan kejujuran, karena diapun berbicara fasih dengan asas yang dinamakan kebohongan putih. Saya tidak ingin membuat dia susah, dan sebaliknya, dia pun tidak ingin membuat orang-orang didekatnya turut susah. Ah, hidup, begitu berbelit, namun belitannya itulah yang membuat leher ini terasa terangsang naif.
“Dia sudah beres, saya pergi kesana, sampai nanti..”
Gue despret, gila lah, tiga hari makanan sama sekali ngga bisa masuk. Tiap kunyah langsung eneg dan akhirnya keluar lagi, padahal bau-baunya gue bakalan kena tipes, tapi badan sama sekali ga mau kerjasama untuk nyembuhin diri. Yang bisa kompromi sama perut dan mulut cuma rokok sama kopi—kopi susu sih tepatnya, kopi item lagi ga bisa masuk, sama-sama eneg. Gah. Psikosomatis kayanya.
Saking frustasinya, hari ini gue rencananya puasa aja, karena toh gue ngga akan makan apa-apaan (tepatnya ga bisa sih), dan tadi pagi gue kebangun jam setengah empat (tepatnya lagi, ga tidur), niat puasa, minum aer putih dan tidur lagi nunggu subuh. Tapi apa daya? Pas bimbingan dirumah dosen, gue khilaf ditawarin teh manis sama si ibu, eh, keminum. Dogol. Kepalang basah, sekalian aja gue coba ngisi perut pake singkong kukus yang si ibu sediain, eneg, tapi masuk! Hahah.. makanan pertama setelah nasi kuning tiga hari lalu.
Pede karena bisa masuk makanan, gue coba ngembat apel, makanan favorit gue dari zaman de-kiplik. And what? Muntah lagi. Oh dunia, ga ada yang lebih sakit ketika makanan favorit ga bisa dimakan. Apapun alasannya, tolong ilang lah, gue pengen makan, gue ga boleh kena tipes, gue harus ikut medan operasi januari nanti. tolong doong!
Well, pegangan gue ilang.
Saking frustasinya, hari ini gue rencananya puasa aja, karena toh gue ngga akan makan apa-apaan (tepatnya ga bisa sih), dan tadi pagi gue kebangun jam setengah empat (tepatnya lagi, ga tidur), niat puasa, minum aer putih dan tidur lagi nunggu subuh. Tapi apa daya? Pas bimbingan dirumah dosen, gue khilaf ditawarin teh manis sama si ibu, eh, keminum. Dogol. Kepalang basah, sekalian aja gue coba ngisi perut pake singkong kukus yang si ibu sediain, eneg, tapi masuk! Hahah.. makanan pertama setelah nasi kuning tiga hari lalu.
Pede karena bisa masuk makanan, gue coba ngembat apel, makanan favorit gue dari zaman de-kiplik. And what? Muntah lagi. Oh dunia, ga ada yang lebih sakit ketika makanan favorit ga bisa dimakan. Apapun alasannya, tolong ilang lah, gue pengen makan, gue ga boleh kena tipes, gue harus ikut medan operasi januari nanti. tolong doong!
Well, pegangan gue ilang.
A Little Human Talks
Tanah basah, tanah terkena hujan, menjadi lembek seperti lempung, membuat kotor sepatu-sepatu yang baru saja dicuci, membuat bau kaus kaki menjadi apak. Sakit badan, semua sakit, baju basah, celana basah, flu menyerang, dia batuk, saya batuk, mereka pusing, saya turut pusing. Satu titik, satu luka. Hujan tidak ada artinya jika hatimu turun hujan setiap harinya.
Kami berbicara bahasa yang sama, bahasa manusia normal dengan kata-kata standar slang Indonesia. Apa yang menjadi inti dari pembicaraan pun jangan ditanya, ke kiri, ke kanan, atas, bawah. Semua standar yang ada di dunia kami perbincangkan dengan taraf serius, tapi, hanya hal yang standar saja. Kami tidak bisa berbicara hal-hal yang sulit atau dalam, frekuensi kami tidak sampai kesana, atau dengan kata lain, kami sama sekali tidak peduli dengan kedalaman pikiran, kedalaman hati, ataupun perasaan, hanya satu catatan yang harus diperhatikan, satu frekuensi yang sama, yaitu perbincangan sehari-hari.
Dengan embel-embel: serius.
“Tolong kopinya ya!”
Tidak sampai lima menit, kopi hitam kesukaan kami berdua sudah mengebul di kursi kayu tempat kami duduk, sekaligus meja kami. Mengarah ke beranda, langit nampak gelap layaknya malam-malam seyogyanya, mendung menggelayut, namun tidak nampak sedikitpun tombak-tombak air akan menetes dari kepulan itu. Waktu menunjukkan pukuk sebelas, termasuk hitungan malam untuk orang seperti dia, ditambah dengan embel-embel ujian yang harus dihadapinya besok, ia masih menyempatkan waktunya untuk menyambut saya dengan tangan dan pintu terbuka lebar.
Kata mulai meluncur, kalimat tersusun, dan wacana yang awalnya buram menjadi sedikit nyata sejalan dengan perbincangan kami. Kami tidak berbicara sepihak, juga tidak berusaha unggul dalam hal ‘lebih’, atau ‘kurang’, kami mengerti apa-apa saja yang kami berdua ucapkan, tidak ada nasihat, tidak ada solusi, kami berbicara. Tidak sepihak seperti yang saya katakan, saya berbicara, dia mendengar, dia berbicara, maka saya pun mendengar, tidak ada intervensi dari kedua belah pihak. Seperti yang saya bilang, kami berbicara.
Mudah saja, sesuatu yang ingin dipertahankan maka pertahankanlah. Satu hal mempunyai sekian faktor, jika satu faktor diikhlaskan, tapi faktor lainnya tidak, masa sama saja dengan bohong, munafik. Pikirkanlah orang lain, saya bilang, tapi ada satu titik dimana kita memikirkan orang lain tapi jauh dibawah kesadaran kita, kita telah menjadi egois dan memikirkan diri sendiri, katanya. Saya bersikukuh bahwa tidak begitu, dan ternyata (mungkin) saya salah. Yah, egois itu merupakan kata terakhir yang ada didalam benak saya ketika berbicara tentang orang lain. Tapi kekalutan pikiran kadang mengalahkan logika setajam apapun. Alasan tidak ingin menyakiti, tapi justru membuat sakit, apakah benar itu jawabannya? Pikirkan lagi, selami kepala dengan air dingin, bukan pisau, dan kembalilah ke tanah, merangkak ke atas dari berton-ton timbunan lempung di tempat kau tenggelam, sebelum hujan berhenti dan tanah kembali mengeras, lalu kau akan sulit kembali keatas—yang terburuk, mungkin kau tidak akan kembali lagi.
Mengerti? Tentu.
Kalau boleh jujur, tidak banyak yang kami bicarakan secara verbal, namun kami berbicara dengan frekuensi yang sama. Ya. Kami bicara.
Petuah Nenek Sihir Tentang Nulis
Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, December 13, 2009
Posted at : 12:33 PM
Couple weeks ago, my dear foe friend of mine told me that blog—or we can say, blogging—will make me feels lonelier than it should be.
What did i do when i’ve got nothing to do, rollin in my kosan without purpose, and just staring the plafon with my mouth filled up with cigarrete except writin something that crossing in my mind? Ggrrah, but she told me that way.
And honestly, it very true. Saat kita menulis, akan ada banyak hal yang sebelumnya tidak terkonsep ikut tertuang didalam tulisan yang kita buat, dan hal-hal tersebut, sayangnya membuat gue dan orang-orang setipe merasa.. yah, kesepian. Menyakitkan saat kita mengetahui borok kita sendiri yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Seperti.. kita tentunya tidak akan mempermasalahkan sebuah panu di pantat jika kita tidak tahu kalau kita mempunyai panu bukan? Dan apabila tahu? Aah.. pusing sendiri. Padahal orang lain belum tentu tahu karena letaknya yang hanya diketahui oleh kita.
Apakah gue sadar sebelumnya? Yah, mungkin saja. Apa yang dikatakan oleh dia hanyalah sebagai sarana untuk menarik buah pemikiran tersebut ke alam sadar. Dan apa yang gue lakukan setelah gue sadar, apakah gue akan berhenti menulis? Tentu tidak. Seperti yang lo tau, say, buat gue kadang rasa sakit justru kerasa enak, rasa sepi mungkin adalah msg di mie ayam gue, dan kata susah itu udah ada tempat khususnya tersendiri terukir di jidat gue.
Well? Mungkin gue emang masochist sejati, gi?
Ah, guess i need to talk to you, again.
(btw, grammar gue jangan di protes yeh :p)
What did i do when i’ve got nothing to do, rollin in my kosan without purpose, and just staring the plafon with my mouth filled up with cigarrete except writin something that crossing in my mind? Ggrrah, but she told me that way.
And honestly, it very true. Saat kita menulis, akan ada banyak hal yang sebelumnya tidak terkonsep ikut tertuang didalam tulisan yang kita buat, dan hal-hal tersebut, sayangnya membuat gue dan orang-orang setipe merasa.. yah, kesepian. Menyakitkan saat kita mengetahui borok kita sendiri yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Seperti.. kita tentunya tidak akan mempermasalahkan sebuah panu di pantat jika kita tidak tahu kalau kita mempunyai panu bukan? Dan apabila tahu? Aah.. pusing sendiri. Padahal orang lain belum tentu tahu karena letaknya yang hanya diketahui oleh kita.
Apakah gue sadar sebelumnya? Yah, mungkin saja. Apa yang dikatakan oleh dia hanyalah sebagai sarana untuk menarik buah pemikiran tersebut ke alam sadar. Dan apa yang gue lakukan setelah gue sadar, apakah gue akan berhenti menulis? Tentu tidak. Seperti yang lo tau, say, buat gue kadang rasa sakit justru kerasa enak, rasa sepi mungkin adalah msg di mie ayam gue, dan kata susah itu udah ada tempat khususnya tersendiri terukir di jidat gue.
Well? Mungkin gue emang masochist sejati, gi?
Ah, guess i need to talk to you, again.
(btw, grammar gue jangan di protes yeh :p)
Imagine this situation.
When you need someone to--at least--sit, or just stand beside you. To cheer you up, and pull you up from a hole of sorrow.
--But in fact.
There is no one, even your shadow is runaway, spit your face with his/her bloody hatred.
What will you do?
For me, i'd like to say:
What the Fvck?
Clek..
ZzzZzzz..
“Silahkan, anda dapat mulai sekarang,”
“Oh, sudah ya? Baik-baik.. ehmm..”
*Tlep*
Lelaki yang satu mematikan tape yang sedari tadi digunakan untuk merekam tiap perkataan orang satunya lagi, dengan tampang yang jelas menunjukkan ekspresi heran, berpadu dengan secercah kepuasan batin seorang jurnalis: melampaui penyeledikan polisi.
“Tunggu, mereka? Maksud anda ada dua orang atau lebih?”
“Ya, ada dua orang disana, satu ting—“
“Maaf-maaf, tunggu sebentar.”
*Clek*
“Lanjutkan.”
...
...
*Tlep*
“Ada apa pak?”
“Oh, maaf, hanya berusaha mengingat kesan yang ditimbulkan orang itu, ah!”
*Clek*
*Tlep*
ZzzZzzz..
“Silahkan, anda dapat mulai sekarang,”
“Oh, sudah ya? Baik-baik.. ehmm..”
Ini tentang peristiwa malam itu, seperti yang telah saya bilang pada anda sebelumnya, saya sedang berjalan berdua dengan kekasih saya saat itu. Tepatnya sekitar pukul sebelas malam, yah, anda tidak perlu tahu kan alasan saya datang ke tempat demikian pada jam-jam itu? Hehe.. oh maaf. Maksud saya, saya sedang berjalan-jalan saja di sekitar taman itu, tidak ada yang aneh, cuaca memang agak lembab, tapi itu tidak mengganggu sama sekali, ya kan pak? Lalu sekitar setengah jam kami berkeliling, kami menemukan pemandangan yang cukup ganjil di tempat itu, emm, kurasa sekitar bagian timur taman, dekat kolam menari itu, ya ya.. kalau tidak salah saya melihat mereka disana.
*Tlep*
Lelaki yang satu mematikan tape yang sedari tadi digunakan untuk merekam tiap perkataan orang satunya lagi, dengan tampang yang jelas menunjukkan ekspresi heran, berpadu dengan secercah kepuasan batin seorang jurnalis: melampaui penyeledikan polisi.
“Tunggu, mereka? Maksud anda ada dua orang atau lebih?”
“Ya, ada dua orang disana, satu ting—“
“Maaf-maaf, tunggu sebentar.”
*Clek*
“Lanjutkan.”
Emm, yah, dua orang seperti yang saya katakan tadi, yang satunya tinggi besar, ia mengenakan kemeja flanel warna merah muda kalau tidak salah ingat, berkacamata, dan..emm.. kalau bisa dikatakan juga, tampangnya murung. Lalu yang satunya, jauh lebih kecil, lebih kurus, mungkin hanya seleher orang yang tinggi besar itu. Ia mengenakan baju serba hitam, tidak jelas apakah itu kemeja atau jas. Pastinya..
...
...
*Tlep*
“Ada apa pak?”
“Oh, maaf, hanya berusaha mengingat kesan yang ditimbulkan orang itu, ah!”
*Clek*
Kurasa, kalau aku tidak salah merasakan, aku merasakan tekanan yang sangat berat, meluncur dari tubuh orang itu dan menekan atmosfir jauh disekitarnya. Mudahnya, menyeramkan. Dan jangan tanya kenapa aku tahu bahwa orang itulah yang mengeluarkan tekanan itu, bukan satunya, aku tidak dapat menjelaskan dengan detail, intinya, aku merasakannya. Seperti.. kau ingin—maaf—membunuhnya, tapi juga menyayanginya secara bersamaan.Tidak logis ya? Begitulah yang kurasakan. Ah, lalu sampai dimana tadi? Ya ya.. kami bertemu mereka, yah, jarak kami dari mereka lumayan jauh, sekitar 30-40meter. Mereka nampak berbincang dengan amat serius—tidak, bukan. Maksudku, orang yang kecil itu nampak menasehati orang yang besar itu. Entah apa, tidak terlalu jelas terdengar, karena suara lalu lintas di samping taman saat itu masih cukup jelas terdengar dan mengganggu pendengaran kami saat itu.Ah ya.. keanehan mulai terjadi disini, pak. Awalnya kami bisa mengacuhkan obrolan mereka, toh jelas mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kami, dan kami pun tidak ingin ikut campur masalah orang lain. Tapi niatan itu hilang musnah saat orang kecil itu mengeluarkan sebuah pisau. Whew, anda mungkin berpendapat saya cukup nekat, saya langsung berteriak dan berkata bolak balik, “hei! Letakkan pisaunya!”, tapi tidak mempan, kedua orang itu sama sekali tidak mengindahkan teriakanku. Baru saja sampai setengah jalan aku mendekati mereka, tiba-tiba aku teringat kekasihku, bahwa aku kesana bersama dengannya, dan tidak baik tentunya jika meninggalkan dia begitu saja.Begitu aku menengok kebelakang, aku melihat dia, kekasihku, sudah jatuh terduduk, lemas dan tampak tanpa tenaga. Melihat itu, aku langsung berbalik arah, dengan niatan menolong kekasihku dan langsung pergi dari sana tanpa babibu. Dan kau tahu pak? Apa yang kurasakan saat aku memunggungi kedua orang itu? Phew, aku melihat gambaran diriku sendiri telah mati, leherku digorok sampai putus. Memang hanya ilusi, tapi aku tahu dengan jelas bagaimana rasanya saat itu, seperti benar-benar terjadi. Saya yang terkejut langsung membalik badan, dan melihat kedua orang itu sedang melihatku, dengan tampang yang sama-sama menyeramkan, seolah benar-benar ingin membunuhku. Aih, aku tak ingin mengingatnya lagi, sudah pak, hal terakhir yang kuingat dari malam itu adalah.. emm.. lolongan yang mengerikan, seperti lolongan anjing yang.. kesakitan..
*Tlep*
Beep.. beep.. beep..
Beep.. beep.. beep..
Beep.. beep.. beep..
Halo, assalamualaikum?
Woy
Halo?
Hahahah..
Ini siapa?
Tebak!
Siapa heh?
Lupa lo? Suara gue?
Ah..
Inget?
Udah inget lo?
Ada apa?
Hah? Ada apa? Bukannya gue yang harus tanya a-da a-pa?
Mampus lo, mampus! Makan tuh!
Bisa jelas dikit gak lo?
Ga jelas? Gue maki elo, ga jelas, heh?
Karena apa? Gue kira kita udah beres, gue udah lepas kan waktu itu?
Wooo-wooo, saat mentor gue susah, seorang pupil harus bertanggung jawab kan? Heh?
Lo.. tau?
Selalu tau, sayang.
Darimana?
Ngga penting, sama sekali ga penting tau gak hidup lo!
Lo hubungin gue cuma mau bilang itu?
Nggak, gue belum bilang, makan tuh pikiran sampah, manja, jijik, najis, otak kosong, ngayal, lo makan tuh bangsat!
…
Heh, gue belum selesai, mau ketawa gue! Mana yang lo bela tuh? Mana? Sekarang apa? Berapa luka yang lo bikin? Coba gue tebak, say, empat? Lima? Atau lebih dari itu?
Gue tutup ya.
Hahahah? Kenapa lo? Kecut? Muka lo pasti kusut mampus sekarang, abis tuh jiwa lo gerogotin lama-lama.
Gue tau, lo diem.
Tau? Tau? Sumpah, perut gue mules mau nahan ketawa, tau apaan? Mana yang namanya tau? Lo gak tau, gak tau sama sekali.
Ini gue, gue sendiri, badan badan gue, pikiran ya pikiran gue, gue yang lebih tau!!
Korosif, lo ga tau seberapa korosifnya hati lo, terkikis pelan-pelan, berkarat, lama-lama rusak, dan lo mati dalam keadaan hati lo menciut seperseratus ukuran semula.
Serius, gue pikir gue udah lepas waktu itu, putus hubungan, ga ada kaitan sama sekali antara gue dan elo, titik, gue udah ga butuh lo lagi, gue udah bilang kan?
*BRAG*
Halo?
*terkikik*
Yakin? Udah ga bisa kontrol sama sekali kan?
Berisik.
Iya kan?
Cukup.
He eh?
*tep*
Tuut.. tuut. Tuut..
Beep.. beep.. beep..
Beep.. beep.. beep..
Halo, assalamualaikum?
Woy
Halo?
Hahahah..
Ini siapa?
Tebak!
Siapa heh?
Lupa lo? Suara gue?
Ah..
Inget?
Udah inget lo?
Ada apa?
Hah? Ada apa? Bukannya gue yang harus tanya a-da a-pa?
Mampus lo, mampus! Makan tuh!
Bisa jelas dikit gak lo?
Ga jelas? Gue maki elo, ga jelas, heh?
Karena apa? Gue kira kita udah beres, gue udah lepas kan waktu itu?
Wooo-wooo, saat mentor gue susah, seorang pupil harus bertanggung jawab kan? Heh?
Lo.. tau?
Selalu tau, sayang.
Darimana?
Ngga penting, sama sekali ga penting tau gak hidup lo!
Lo hubungin gue cuma mau bilang itu?
Nggak, gue belum bilang, makan tuh pikiran sampah, manja, jijik, najis, otak kosong, ngayal, lo makan tuh bangsat!
…
Heh, gue belum selesai, mau ketawa gue! Mana yang lo bela tuh? Mana? Sekarang apa? Berapa luka yang lo bikin? Coba gue tebak, say, empat? Lima? Atau lebih dari itu?
Gue tutup ya.
Hahahah? Kenapa lo? Kecut? Muka lo pasti kusut mampus sekarang, abis tuh jiwa lo gerogotin lama-lama.
Gue tau, lo diem.
Tau? Tau? Sumpah, perut gue mules mau nahan ketawa, tau apaan? Mana yang namanya tau? Lo gak tau, gak tau sama sekali.
Ini gue, gue sendiri, badan badan gue, pikiran ya pikiran gue, gue yang lebih tau!!
Korosif, lo ga tau seberapa korosifnya hati lo, terkikis pelan-pelan, berkarat, lama-lama rusak, dan lo mati dalam keadaan hati lo menciut seperseratus ukuran semula.
Serius, gue pikir gue udah lepas waktu itu, putus hubungan, ga ada kaitan sama sekali antara gue dan elo, titik, gue udah ga butuh lo lagi, gue udah bilang kan?
*BRAG*
Halo?
*terkikik*
Yakin? Udah ga bisa kontrol sama sekali kan?
Berisik.
Iya kan?
Cukup.
He eh?
*tep*
Tuut.. tuut. Tuut..
Hell-o world.
Ah kawan, semua ini hanya soal waktu, tidak kurang dan tidak lebih. Satu kata standar dalam paragraf yang mungkin tidak begitu dilirik bagi kebanyakan orang, yeap, waktu. Murni, gue mengkambinghitamkan waktu, menyalahkan terang-terangan, lempar puntung rokok sambil pura-pura bego, itulah, intinya, gue kehabisan waktu untuk mengisi space yang membesarkan pemikiran dan mungkin kejiwaan gue ini.
Tapi serius, dengan segala kengaretan gue dalam mengerjakan tugas, keleletan gue dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang memang seharusnya gue kerjakan, gue menganggap bahwa gue adalah orang yang sangat angkat topi pada hal yang kita sebut waktu ini. Well, seperti alasan klise para blogger lain pada saat beralasan mengapa space mereka tidak kunjung diisi, gue juga beralasan demikian, gue sibuk men (halaaah!).
Kita semua tau, fokus pada satu hal, maka hal lain mungkin akan sedikit terabaikan, atau dalam kasus terburuk, kagak keurus sama sekali. Dan dalam hal ini, gue menafsirkan hal yang kaga keurus itu.. ya blog ini. Haha.. lama ga posting, ga taunya isinya soal keluhan soal gue sibuk ini itu, nyebelin bener yeh. Yah, mau dikata apa, namanya juga anak kuliahan, kanan kiri tugas ngegempet, ada kegiatan luar kuliah yang ngegencet, dan segala kesenangan non-inet lain yang ngegeber, semuanya bersatu padu berkomplot untuk membuat empunya kegiatan ini ngos-ngosan kehabisan waktu. Cieh.
Tugas? Yea, kaya yang gue bilang tadi, dengan segala kengaretan gue dalam mengerjakan tugas, gue tetep punya suatu struktur dalam pengerjaan tugas gue dan andaikan jadwal yang terstruktur itu berubah bukan atas dasar kendali diri gue pribadi, maka gue yang cuek sama soal kuliah dan nilai inipun bisa dibikin mumet. Itulah yang terjadi belakangan, tugasnya banyak, mudah sih sebenernya, hanya aja, jumlahnya itu yang bikin pusing, sedangkan gue bukan orang yang rapih-rapih amat mau nyatetin tugas mana aja yang harus gue kerjakan dan deadline pengumpulannya. Oh come on! Gue cowo, dan gen bawaan cowo itu seyogyanya adalah mengerjakan satu task dalam satu waktu, andaikan borongan? Jangan harap maksimal.
Jadi jangan heran kalau ngeliat cewe bisa masak sambil baca buku, dengerin radio, dan nonton TV sekaligus, itu emang bawaan mereka. Cowo? Lo ajak ngobrol pas lagi nyetir aja bisa nabrak.
Organisasi? Huu.. bukan BEM, niatan gue setahun lalu saat tendon gue sobek sampe sekarang masih tetep sama, masuk Pecinta Alam kampus. Jadilah, gue masuk sekarang, udah ngelewatin seleksi awalnya, dan sekarang status gue adalah calon anggota. Diharuskan untuk mengikuti serangkaian Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) untuk menjadi anggota muda. Wuih, tentunya udah jadi informasi umum yang namanya masuk Pecinta Alam itu ngga pernah gampang, dan memang gak gampang. Materi yang sebegitu banyaknya harus dikuasain semua, latihan fisik yang jor-joran terutama buat gue yang emang ngga pernah latihan stamina sama sekali, membuat gue kayak kakek-kakek yang ngos-ngosan setiap kali latihan fisiknya. Gelo.
Tapi okelah, dengan segala omelan-omelan dan genjotan materi serta fisik yang harus gue jalani, gue tetep harus fun ngejalaninnya, karena kembali ke niatan awal gue, gue harus masuk.
Itulah, sederetan kegiatan yang sebenernya ngga banyak secara jumlah, namun menyita waktu gue habis-habisan, belum lagi ada hal-hal lain yang harus diperhatikan secara intens (pacar misal, ehe..) maka dari itu, gue mengorbankan kesukaan gue yang satu ini, menulis dan baca. Gatel sih, sumpret, tangan gue gatel seriusan pengen nulis ini itu, kepala gue ngebul kebanyakan ide yang ngga ketuang, tapi itu jalan yang gue ambil, dan setiap jalan pasti ada konsekuensi yang harus gue bebanin di pundak. Ah so, selama gue masih enjoy ngejalaninnya, ya ngga ada masalah kan yak.. marry go round, babe.
Dan sekarang? Rasanya gue butuh seseorang untuk gue ajak ngobrol, langsung. Ehe..
Ah kawan, semua ini hanya soal waktu, tidak kurang dan tidak lebih. Satu kata standar dalam paragraf yang mungkin tidak begitu dilirik bagi kebanyakan orang, yeap, waktu. Murni, gue mengkambinghitamkan waktu, menyalahkan terang-terangan, lempar puntung rokok sambil pura-pura bego, itulah, intinya, gue kehabisan waktu untuk mengisi space yang membesarkan pemikiran dan mungkin kejiwaan gue ini.
Tapi serius, dengan segala kengaretan gue dalam mengerjakan tugas, keleletan gue dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang memang seharusnya gue kerjakan, gue menganggap bahwa gue adalah orang yang sangat angkat topi pada hal yang kita sebut waktu ini. Well, seperti alasan klise para blogger lain pada saat beralasan mengapa space mereka tidak kunjung diisi, gue juga beralasan demikian, gue sibuk men (halaaah!).
Kita semua tau, fokus pada satu hal, maka hal lain mungkin akan sedikit terabaikan, atau dalam kasus terburuk, kagak keurus sama sekali. Dan dalam hal ini, gue menafsirkan hal yang kaga keurus itu.. ya blog ini. Haha.. lama ga posting, ga taunya isinya soal keluhan soal gue sibuk ini itu, nyebelin bener yeh. Yah, mau dikata apa, namanya juga anak kuliahan, kanan kiri tugas ngegempet, ada kegiatan luar kuliah yang ngegencet, dan segala kesenangan non-inet lain yang ngegeber, semuanya bersatu padu berkomplot untuk membuat empunya kegiatan ini ngos-ngosan kehabisan waktu. Cieh.
Tugas? Yea, kaya yang gue bilang tadi, dengan segala kengaretan gue dalam mengerjakan tugas, gue tetep punya suatu struktur dalam pengerjaan tugas gue dan andaikan jadwal yang terstruktur itu berubah bukan atas dasar kendali diri gue pribadi, maka gue yang cuek sama soal kuliah dan nilai inipun bisa dibikin mumet. Itulah yang terjadi belakangan, tugasnya banyak, mudah sih sebenernya, hanya aja, jumlahnya itu yang bikin pusing, sedangkan gue bukan orang yang rapih-rapih amat mau nyatetin tugas mana aja yang harus gue kerjakan dan deadline pengumpulannya. Oh come on! Gue cowo, dan gen bawaan cowo itu seyogyanya adalah mengerjakan satu task dalam satu waktu, andaikan borongan? Jangan harap maksimal.
Jadi jangan heran kalau ngeliat cewe bisa masak sambil baca buku, dengerin radio, dan nonton TV sekaligus, itu emang bawaan mereka. Cowo? Lo ajak ngobrol pas lagi nyetir aja bisa nabrak.
Organisasi? Huu.. bukan BEM, niatan gue setahun lalu saat tendon gue sobek sampe sekarang masih tetep sama, masuk Pecinta Alam kampus. Jadilah, gue masuk sekarang, udah ngelewatin seleksi awalnya, dan sekarang status gue adalah calon anggota. Diharuskan untuk mengikuti serangkaian Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) untuk menjadi anggota muda. Wuih, tentunya udah jadi informasi umum yang namanya masuk Pecinta Alam itu ngga pernah gampang, dan memang gak gampang. Materi yang sebegitu banyaknya harus dikuasain semua, latihan fisik yang jor-joran terutama buat gue yang emang ngga pernah latihan stamina sama sekali, membuat gue kayak kakek-kakek yang ngos-ngosan setiap kali latihan fisiknya. Gelo.
Tapi okelah, dengan segala omelan-omelan dan genjotan materi serta fisik yang harus gue jalani, gue tetep harus fun ngejalaninnya, karena kembali ke niatan awal gue, gue harus masuk.
Itulah, sederetan kegiatan yang sebenernya ngga banyak secara jumlah, namun menyita waktu gue habis-habisan, belum lagi ada hal-hal lain yang harus diperhatikan secara intens (pacar misal, ehe..) maka dari itu, gue mengorbankan kesukaan gue yang satu ini, menulis dan baca. Gatel sih, sumpret, tangan gue gatel seriusan pengen nulis ini itu, kepala gue ngebul kebanyakan ide yang ngga ketuang, tapi itu jalan yang gue ambil, dan setiap jalan pasti ada konsekuensi yang harus gue bebanin di pundak. Ah so, selama gue masih enjoy ngejalaninnya, ya ngga ada masalah kan yak.. marry go round, babe.
Dan sekarang? Rasanya gue butuh seseorang untuk gue ajak ngobrol, langsung. Ehe..
Tidak Jelas Juntrungannya
Filed Under (Sikit Karya ) by Pitiful Kuro on Monday, October 26, 2009
Posted at : 12:42 AM
Selalu mudah membuat cerita dengan awalan sebuah awal. Huruf pertama dari suku kata pertama dari kalimat pertama dari paragraf pertama, dan apakah itu? Aku. Aku duduk, tertidur, namun aku sadar. Sadar bahwa aku masih hidup, jantungku berdetak sebagaimana mestinya sebuah jantung bergerak, nafasku memburu terengah-engah, tapi diatas semua itu, aku masih hidup. Tidak peduli berapa satuan cc yang tertumpah ke jok mobil orang yang panik disampingku, tak peduli seberapa indah penampilanku sudah didandani manis oleh darahku sendiri, sekali lagi satu hal yang kutegaskan, aku masih hidup.
Tapi aku tak ditubuhku.
Aku melihat aku, duduk di dashboard melihat diriku sendiri yang merintih sakit, kesannya lucu, dan mungkin adalah kesempatan sekali seumur hidup—atau terakhir—yang bisa saja terjadi. Aku tentu tidak merasa sakit, tapi sepertinya dia, maksudku aku, tampak kepayahan. Pft—
Si supir nampak panik, begitupula dua orang yang ada di bangku penumpang, err.. tentu saja, melihat salah satu anggota keluarganya berpeluh darah tak sadar, bagaimana bisa tenang, mereka pasti sedih memikirkan bagaimana mengurus mayatku nanti, ergh.. proses kremasi, tanah pekuburan, dan tetek bengek birokrasi lainnya soal penguburan mayat yang dulu pernah kudengar hanya bikin pusing, jelas saja mereka panik. Maaf, terlalu sinis? Ah ya, kalau begitu, mereka pasti sedih akan kehilanganku, puas ralatnya?
Langit sudah memeluk bumi dengan gulita pekatnya, menyisihkan ruang sempit untuk selusin bintang paling terang bereksibisi pamer cahaya, sedangkan aku, dengan tubuh astral ringan tak lebih berat dari zarah menikmatinya santai. Sayang, rintihan dia—maaf—aku, mengganggu saja. Tak pernah menyangka dengan tubuh macam ini bisa menikmati dunia senikmat-nikmatnyanya, tahu tidak? Rasanya, emm.. seperti menyatu dengan alam, maksudku, benar-benar menyatu, ah, sudahlah, kalau belum sepertiku takkan tahu rasanya.
Aku menghirup udara yang sebenarnya tak perlu, merasakan dingin udara perbuktian yang seharusnya tak bisa kurasakan, dan mendengarkan kabar-kabar dari serangga di kejauhan gelapnya malam. Ah~ dunia.. ups! Maksudku, akhirat. Euh. Tak tega, kawan. Meskipun aku dianugrahi sinisme tingkat empat dan sarkasme level dewa, aku tak bisa membiarkan dia—ergh, maksudku tubuhku—merintih demikian hebatnya. Tak percaya aku, bagaimana mungkin seorang kuat seperti diriku, si keras kepala pantang mengeluh dan tukang injak kelemahan orang, bisa berteriak pilu begitu. Halalah, malu aku. Kapan sih prosesnya selesai? Halo? Tuhan? Kau disana? Sini dong ah.
“Yap?”
Ergh? Siapa? Aih aih, datang? Sewujud entitas berdiri (maksudku, benar-benar berdiri) diatas kap mobil yang melaju 80km/jam, bukan manusia kan? Aku membalik badanku, memaksimalkan akomodasi mata astralku untuk melihat lebih jelas wujud makhluk yang asik nangkring semeter didepanku. Apa.. si Tuhan sendiri yang menyempatkan datang ke mobil sedan butut keluaran 80an ini untuk menjemputku secara langsung?
“Oh.. bukan-bukan..”
Dia membaca pikiranku?
“Tentu,”
Waw, dia tersenyum, yang ngerinya, bukan senyuman manusia, err, secara literal. Karena saat mataku mulai dapat melihat dengan baik, kepalanya bukan kepala manusia, tapi.. anjing?
“Koreksi, pak, ini kepala Jackal, bukan anjing. Mitos mesir kuno di dunia atas, pernah dengar?”
“Dunia atas?”
“Ah, tentu tidak tahu ya, maksudku dunia orang hidup,”
Tampak lebih jelas sekarang, sosok itu berbentuk manusia utuh, hanya saja berkepala an—maksudku, Jackal. Mengenakan setelan jas hitam plus kemeja putih, nampak seperti orang yang menghadiri pemakaman. Aku turut keluar mobil mendekatinya, menembus kaca depan, dan duduk persis didepan.. emm.. siapa?
“Wah, maaf pak, terlambat memperkenalkan diri saya, anda dapat menyebut saya dengan berbagai sebutan yang ada di dunia atas sesuka anda, Shinigami, dewa kematian, Izrail, Anubis, Domorad, Elynthiok, atau apapun yang pernah anda dengar,”
“Oh, tukang cabut nyawa,”
“Ya bolehlah.. kalau begitu, mulai saja. Farhan Putranto, lahir 6 maret 1985 pukul 08.11 pagi, meninggal 8 Febuari 2010 pukul 02.54 pagi. Anak dari bapak Catur Marti—“
Err.. aku menengok sekilas ke dashboard, jam masih menunjukkan pukul 01.49, 5 menit lagi?
“—cucu dari—astaga! Pak, tolong dengarkan! Ini prosedurnya!”
“Euh, baik.. tapi.. apakah lima menit sisa ini akan digunakan untuk mendengarkan anda berbicara soal silsilah panjang yang bahkan-aku-tak-tahu-anda-sebut-siapa? Boleh ngobrol saja?”
Plop
Ah, dia menutup bukunya.
“Tentu pak,”
“Baiklah, biasanya aku mengobrol sambil minum kopi, apakah mungkin aku bisa minum kopi dengan tubuh begini? Atau aku kembali sebentar ke tubuhku untuk minum kopi? Aih, tapi nampaknya aku hanya akan kesakitan ya?”
“Mungkin..”
“Aduh, ngobrol atuh pak, saya hanya punya waktu kurang dari empat menit untuk ada disini kan? Kooperatif sedikit sesekali untuk memenuhi permintaan terakhir orang yang akan meninggal dong..”
“Sebenarnya, dalam catatan, anda sudah tercatat meninggal,”
“Ah ya.. baiklah, kalau begitu saya saja yang bertanya, nanti akan dibawa kemana saya? Surga? Neraka? Atau reinkarnasi seperti film-film kungfu itu?”
“Anda yakin ingin tahu?”
“Err... tidak akan ada bedanya tahu sekarang dan nanti kan?”
Waw, takut sih sebenarnya, berbuat baik aku jarang, berbuat jahat tidak pernah, ibadah kurasa cukup, aku sering membantu orang, hei, aku psikolog, itu terhitung membantu kan? Walau ada bayarannya, tetap saja hitungannya membantu orang. Pasti surga, eh, tapi rasanya terlalu mudah, lagipula aku baru saja jadi psikolog setahun terakhir, apa sudah cukup banyak orang yang kutolong? Bagaimana-bagaimana—
“Ehm Ehm..”
“Euh, maaf pak, lupa kalau anda bisa tahu apa yang saya pikir,”
“Begini (membuka catatan), waktu kecil anda pernah memukul kepala teman anda dengan gelas, itu minus, lalu pernah menaruh paku payung di bangku guru, minus, pernah melempari teman sekelas dengan plastik air kencing, minus, ah.. ini baik, memberi makan kucing dengan susu, plus, lalu—blablabla—oke, surga.”
“Hah?”
“Jangan senang dulu, surga dan neraka hanya berbeda suhu, di surga lebih sejuk, sementara neraka panas sedikit. Yah, kalau di dunia orang hidup, surga itu seperti bumi bagian barat—apa namanya?—ah, eropa. Neraka, katakanlah seperti daerah tropis. Saya pribadi lebih suka berlibur di neraka—ah.. maaf, melantur, ehm. Dan anda bisa berkunjung atau pindah ke dua bagian dunia itu jika anda mau. Yang berbeda dari dunia orang hidup, disana anda dapat mati, tapi di tempat yang anda kunjungi nanti, anda abadi. Mudah saja.”
“...”
“Pak?”
“Gentayangan sajalah..”
Tapi aku tak ditubuhku.
Aku melihat aku, duduk di dashboard melihat diriku sendiri yang merintih sakit, kesannya lucu, dan mungkin adalah kesempatan sekali seumur hidup—atau terakhir—yang bisa saja terjadi. Aku tentu tidak merasa sakit, tapi sepertinya dia, maksudku aku, tampak kepayahan. Pft—
Si supir nampak panik, begitupula dua orang yang ada di bangku penumpang, err.. tentu saja, melihat salah satu anggota keluarganya berpeluh darah tak sadar, bagaimana bisa tenang, mereka pasti sedih memikirkan bagaimana mengurus mayatku nanti, ergh.. proses kremasi, tanah pekuburan, dan tetek bengek birokrasi lainnya soal penguburan mayat yang dulu pernah kudengar hanya bikin pusing, jelas saja mereka panik. Maaf, terlalu sinis? Ah ya, kalau begitu, mereka pasti sedih akan kehilanganku, puas ralatnya?
Langit sudah memeluk bumi dengan gulita pekatnya, menyisihkan ruang sempit untuk selusin bintang paling terang bereksibisi pamer cahaya, sedangkan aku, dengan tubuh astral ringan tak lebih berat dari zarah menikmatinya santai. Sayang, rintihan dia—maaf—aku, mengganggu saja. Tak pernah menyangka dengan tubuh macam ini bisa menikmati dunia senikmat-nikmatnyanya, tahu tidak? Rasanya, emm.. seperti menyatu dengan alam, maksudku, benar-benar menyatu, ah, sudahlah, kalau belum sepertiku takkan tahu rasanya.
Aku menghirup udara yang sebenarnya tak perlu, merasakan dingin udara perbuktian yang seharusnya tak bisa kurasakan, dan mendengarkan kabar-kabar dari serangga di kejauhan gelapnya malam. Ah~ dunia.. ups! Maksudku, akhirat. Euh. Tak tega, kawan. Meskipun aku dianugrahi sinisme tingkat empat dan sarkasme level dewa, aku tak bisa membiarkan dia—ergh, maksudku tubuhku—merintih demikian hebatnya. Tak percaya aku, bagaimana mungkin seorang kuat seperti diriku, si keras kepala pantang mengeluh dan tukang injak kelemahan orang, bisa berteriak pilu begitu. Halalah, malu aku. Kapan sih prosesnya selesai? Halo? Tuhan? Kau disana? Sini dong ah.
“Yap?”
Ergh? Siapa? Aih aih, datang? Sewujud entitas berdiri (maksudku, benar-benar berdiri) diatas kap mobil yang melaju 80km/jam, bukan manusia kan? Aku membalik badanku, memaksimalkan akomodasi mata astralku untuk melihat lebih jelas wujud makhluk yang asik nangkring semeter didepanku. Apa.. si Tuhan sendiri yang menyempatkan datang ke mobil sedan butut keluaran 80an ini untuk menjemputku secara langsung?
“Oh.. bukan-bukan..”
Dia membaca pikiranku?
“Tentu,”
Waw, dia tersenyum, yang ngerinya, bukan senyuman manusia, err, secara literal. Karena saat mataku mulai dapat melihat dengan baik, kepalanya bukan kepala manusia, tapi.. anjing?
“Koreksi, pak, ini kepala Jackal, bukan anjing. Mitos mesir kuno di dunia atas, pernah dengar?”
“Dunia atas?”
“Ah, tentu tidak tahu ya, maksudku dunia orang hidup,”
Tampak lebih jelas sekarang, sosok itu berbentuk manusia utuh, hanya saja berkepala an—maksudku, Jackal. Mengenakan setelan jas hitam plus kemeja putih, nampak seperti orang yang menghadiri pemakaman. Aku turut keluar mobil mendekatinya, menembus kaca depan, dan duduk persis didepan.. emm.. siapa?
“Wah, maaf pak, terlambat memperkenalkan diri saya, anda dapat menyebut saya dengan berbagai sebutan yang ada di dunia atas sesuka anda, Shinigami, dewa kematian, Izrail, Anubis, Domorad, Elynthiok, atau apapun yang pernah anda dengar,”
“Oh, tukang cabut nyawa,”
“Ya bolehlah.. kalau begitu, mulai saja. Farhan Putranto, lahir 6 maret 1985 pukul 08.11 pagi, meninggal 8 Febuari 2010 pukul 02.54 pagi. Anak dari bapak Catur Marti—“
Err.. aku menengok sekilas ke dashboard, jam masih menunjukkan pukul 01.49, 5 menit lagi?
“—cucu dari—astaga! Pak, tolong dengarkan! Ini prosedurnya!”
“Euh, baik.. tapi.. apakah lima menit sisa ini akan digunakan untuk mendengarkan anda berbicara soal silsilah panjang yang bahkan-aku-tak-tahu-anda-sebut-siapa? Boleh ngobrol saja?”
Plop
Ah, dia menutup bukunya.
“Tentu pak,”
“Baiklah, biasanya aku mengobrol sambil minum kopi, apakah mungkin aku bisa minum kopi dengan tubuh begini? Atau aku kembali sebentar ke tubuhku untuk minum kopi? Aih, tapi nampaknya aku hanya akan kesakitan ya?”
“Mungkin..”
“Aduh, ngobrol atuh pak, saya hanya punya waktu kurang dari empat menit untuk ada disini kan? Kooperatif sedikit sesekali untuk memenuhi permintaan terakhir orang yang akan meninggal dong..”
“Sebenarnya, dalam catatan, anda sudah tercatat meninggal,”
“Ah ya.. baiklah, kalau begitu saya saja yang bertanya, nanti akan dibawa kemana saya? Surga? Neraka? Atau reinkarnasi seperti film-film kungfu itu?”
“Anda yakin ingin tahu?”
“Err... tidak akan ada bedanya tahu sekarang dan nanti kan?”
Waw, takut sih sebenarnya, berbuat baik aku jarang, berbuat jahat tidak pernah, ibadah kurasa cukup, aku sering membantu orang, hei, aku psikolog, itu terhitung membantu kan? Walau ada bayarannya, tetap saja hitungannya membantu orang. Pasti surga, eh, tapi rasanya terlalu mudah, lagipula aku baru saja jadi psikolog setahun terakhir, apa sudah cukup banyak orang yang kutolong? Bagaimana-bagaimana—
“Ehm Ehm..”
“Euh, maaf pak, lupa kalau anda bisa tahu apa yang saya pikir,”
“Begini (membuka catatan), waktu kecil anda pernah memukul kepala teman anda dengan gelas, itu minus, lalu pernah menaruh paku payung di bangku guru, minus, pernah melempari teman sekelas dengan plastik air kencing, minus, ah.. ini baik, memberi makan kucing dengan susu, plus, lalu—blablabla—oke, surga.”
“Hah?”
“Jangan senang dulu, surga dan neraka hanya berbeda suhu, di surga lebih sejuk, sementara neraka panas sedikit. Yah, kalau di dunia orang hidup, surga itu seperti bumi bagian barat—apa namanya?—ah, eropa. Neraka, katakanlah seperti daerah tropis. Saya pribadi lebih suka berlibur di neraka—ah.. maaf, melantur, ehm. Dan anda bisa berkunjung atau pindah ke dua bagian dunia itu jika anda mau. Yang berbeda dari dunia orang hidup, disana anda dapat mati, tapi di tempat yang anda kunjungi nanti, anda abadi. Mudah saja.”
“...”
“Pak?”
“Gentayangan sajalah..”
Ada pepatah lama yang mengatakan, setejam-tajamnya pisau, apabila tidak pernah diasah, pasti akan tumpul juga. Can’t more agree with that. Kemampuan nulis gue makin jongkok karena lama ngga pernah digunakan untuk tulisan bebas. Karya ilmiah, makalah, dan esai, itu semua adalah bentuk tulisan yang gue buat dalam beberapa bulan terakhir. Tidak ada cerpen, tidak ada prosa, tidak ada pula yang namanya puisi (emang pernah gue bikin puisi?), ha. Semua kegiatan yang berhubungan dengan bahasa terpotong sudah bagai t*t*t yang di sunat, tau ngga? Bahkan ngga ada satu buku pun yang gue selesaikan dalam beberapa bulan terakhir (buku diktat dan motivasi ga di hitung, maksudnya sastra).
Apa alasannya? Yang jelas, bukan kehilangan minat, minat gue pada bidang ini masih sangat besar. Bahkan keinginan-mustahil-terwujud gue untuk ngambil program ganda dengan sastra indonesia masih belum pudar, ingin tapi ngga mungkin, sort of. Di bilang sibuk pun sebenernya ngga terlalu, banyak waktu kosong yang dipergunakan secara tidak efektif dan cuma nyampahin waktu: browsing tanpa tujuan, tidur, bahkan—melamun. Oh keren. No, no, time that i spend with meine freundin is not such a waste, gue melihatnya sebagai penghabisan waktu yang berkualitas, walau tidak melakukan apapun. Ha..
Untuk itu, gue mencoba untuk membangkitkan insting menulis yang entah sejak kapan tumpul. Caranya? Alamak, tidak ada jaminan seperti yang di berikan seperti saat kita meminjam uang ke bank, kalau gue memberi janji, nanti jaminannya disita, haha. Mudah sajalah, diusahakan untuk mengisi blog ini dengan rutin, amin gak? Amin dong ah.
Langkah pertama, gue meminta seseorang teman baik untuk memilihkan satu topik secara acak, berikutnya terserah gue akan mengembangkan topik itu menjadi seperti apa nantinya. Here it is.
__
Ejaan Yang Disempurnakan.
Ah, jangan keburu mengerutkan dahi terlebih dahulu setelah melihat judul diatas, salahkan Bayu Adiputro yang memilih topik itu.
Ejaan yang disempurnakan atau lebih akrab kita kenal dengan singkatan EYD adalah ejaan yang mulai dipakai di Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972. Mencakup 12 aspek total dan mungkin ratusan poin-poin kecil peranakan dari 12 aspek tersebut. 12 aspek tersebut adalah. Kapitalisasi, tanda koma, titik, seru, hubung, titik koma, tanya, petik, titik dua, kurung, elipsis dan tanda garis miring.
Sering kali kita sebagai bangsa Indonesia mengerdilkan fungsi dari EYD ini dan jelas-jelas meludahi tata bahasa yang ada. Mungkin masih dimaafkan apabila penggunaan EYD ini tidak terlalu dijunjung tinggi pada penulisan karya sastra, dengan dalih agar membuat karya tersebut menjadi lebih menarik dan lebih asik untuk dikonsumsi. Misal saja, penggunaan tanda titik berurutan untuk menimbulkan kesan hening dan membuat efek suram pada sebuah dialog, tentu dimaafkan. Tapi jika kesalahan terang-terangan tersebut digunakan dalam sebuah karya ilmiah, wah, tidak bisa berkomentar saya.
Walah, tidak usah jauh-jauh ke penulisan karya ilmiah yang meribetkan jiwa membuat pusing mata itulah, mari pindah saja ke fenomena sosial yang sedang marak belakangan ini. Situs jejaring sosial, tempat dimana tulisan menjadi media utama komunikasi—disamping fitur foto dan sebagainya, tentu. Mungkin bisa saya katakan, bahwa situs jejaring sosial semacam facebook atau myspace dapat dijadikan sampel bagaimana kondisi bangsa ini memandang sebuah bahasa. Saya tidak munafik, tentunya bahasa slang lebih menarik digunakan dalam keseharian, jadi saya tidak akan mengkritisi soal kosakata disini. Yang jadi masalah adalah, cara menulis, tipografi. Mengerti maksud saya? Begini.
Aku, menjadi aq.
Kamu, menjadi kmoch.
Dsb, ngga kuat melanjutkan, maaf.
Mengerti kan maksud saya? Tidak masalah dengan bahasa slang, tidak ada masalah dengan kosakata, tapi setidaknya, gunakanlah bahasa sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur oleh para pendahulu kita di masa lampau. Jika ingin membuat kata baru, maka akan sangat dipersilahkan, tapi janganlah merubah kata yang sudah ajeg, menjadi suatu bentuk lain yang (maaf) membuat merinding orang yang membacanya. Tidak harus menggunakan tata bahasa yang sebagaimana saya sebutkan di paragraf pertama, tanda baca yang baik dan benar. Tidak harus titik setelah akhir kalimat, tidak harus koma setelah satu kalimat selesai, tapi cukup gunakanlah dengan bijak. Karena satu tanda titik sudah cukup untuk mengakhiri, satu tanda seru sudah cukup untuk membuat satu kalimat berartikan seru, dan satu tanda tanya sudah menjelaskan dengan amat jelas kalau kita sedang bertanya.
Dalam facebook sendiri, cukup banyak grup yang menentang penggunaan bahasa demikian, jadi bukan hanya saya kan yang agak terlalu perfeksionis? Ada pula yang menyebutkan bahwa tata bahasa demikian adalah tata bahasa alay, entahlah, saya lebih suka menyebutnya sebagai penggunaan tipografi yang kebablasan daripada jenis bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok tertentu. Saya juga tidak mendiskreditkan pengguna bahasa demikian, hanya saja, saya menghimbau untuk menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. EYD diciptakan oleh orang Indonesia, kalau bukan orang Indonesia sendiri yang menggunakan serta melestarikannya, siapa lagi? Tidak lucu jika suatu saat nanti, kitab suci bahasa Indonesia kita yang melampirkan EYD diklaim oleh bangsa lain bukan? Jangan sampai kita berlatah ria menggunakan tatanan bahasa yang seharusnya pada saat itu, sudah terlalu terlambat, kawan.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya tidak munafik, bahasa slang lebih membuat saya nyaman daripada harus berkaku setiap saat dalam setiap kesempatan. Saya juga tidak menjadikan KBBI sebagai kitab saya, walau selalu saya buka pada saat ada kesempatan. Namun untuk tanda baca, kata yang sudah ada, baiklah kita gunakan sebijaknya dan jangan diubah, karena penyusunan yang demikian tidaklah mudah untuk dibuat oleh para sepuh kita dulu. Hargai jerih payah mereka, Yap?
Apa alasannya? Yang jelas, bukan kehilangan minat, minat gue pada bidang ini masih sangat besar. Bahkan keinginan-mustahil-terwujud gue untuk ngambil program ganda dengan sastra indonesia masih belum pudar, ingin tapi ngga mungkin, sort of. Di bilang sibuk pun sebenernya ngga terlalu, banyak waktu kosong yang dipergunakan secara tidak efektif dan cuma nyampahin waktu: browsing tanpa tujuan, tidur, bahkan—melamun. Oh keren. No, no, time that i spend with meine freundin is not such a waste, gue melihatnya sebagai penghabisan waktu yang berkualitas, walau tidak melakukan apapun. Ha..
Untuk itu, gue mencoba untuk membangkitkan insting menulis yang entah sejak kapan tumpul. Caranya? Alamak, tidak ada jaminan seperti yang di berikan seperti saat kita meminjam uang ke bank, kalau gue memberi janji, nanti jaminannya disita, haha. Mudah sajalah, diusahakan untuk mengisi blog ini dengan rutin, amin gak? Amin dong ah.
Langkah pertama, gue meminta seseorang teman baik untuk memilihkan satu topik secara acak, berikutnya terserah gue akan mengembangkan topik itu menjadi seperti apa nantinya. Here it is.
__
Ejaan Yang Disempurnakan.
Ah, jangan keburu mengerutkan dahi terlebih dahulu setelah melihat judul diatas, salahkan Bayu Adiputro yang memilih topik itu.
Ejaan yang disempurnakan atau lebih akrab kita kenal dengan singkatan EYD adalah ejaan yang mulai dipakai di Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972. Mencakup 12 aspek total dan mungkin ratusan poin-poin kecil peranakan dari 12 aspek tersebut. 12 aspek tersebut adalah. Kapitalisasi, tanda koma, titik, seru, hubung, titik koma, tanya, petik, titik dua, kurung, elipsis dan tanda garis miring.
Sering kali kita sebagai bangsa Indonesia mengerdilkan fungsi dari EYD ini dan jelas-jelas meludahi tata bahasa yang ada. Mungkin masih dimaafkan apabila penggunaan EYD ini tidak terlalu dijunjung tinggi pada penulisan karya sastra, dengan dalih agar membuat karya tersebut menjadi lebih menarik dan lebih asik untuk dikonsumsi. Misal saja, penggunaan tanda titik berurutan untuk menimbulkan kesan hening dan membuat efek suram pada sebuah dialog, tentu dimaafkan. Tapi jika kesalahan terang-terangan tersebut digunakan dalam sebuah karya ilmiah, wah, tidak bisa berkomentar saya.
Walah, tidak usah jauh-jauh ke penulisan karya ilmiah yang meribetkan jiwa membuat pusing mata itulah, mari pindah saja ke fenomena sosial yang sedang marak belakangan ini. Situs jejaring sosial, tempat dimana tulisan menjadi media utama komunikasi—disamping fitur foto dan sebagainya, tentu. Mungkin bisa saya katakan, bahwa situs jejaring sosial semacam facebook atau myspace dapat dijadikan sampel bagaimana kondisi bangsa ini memandang sebuah bahasa. Saya tidak munafik, tentunya bahasa slang lebih menarik digunakan dalam keseharian, jadi saya tidak akan mengkritisi soal kosakata disini. Yang jadi masalah adalah, cara menulis, tipografi. Mengerti maksud saya? Begini.
Aku, menjadi aq.
Kamu, menjadi kmoch.
Dsb, ngga kuat melanjutkan, maaf.
Mengerti kan maksud saya? Tidak masalah dengan bahasa slang, tidak ada masalah dengan kosakata, tapi setidaknya, gunakanlah bahasa sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur oleh para pendahulu kita di masa lampau. Jika ingin membuat kata baru, maka akan sangat dipersilahkan, tapi janganlah merubah kata yang sudah ajeg, menjadi suatu bentuk lain yang (maaf) membuat merinding orang yang membacanya. Tidak harus menggunakan tata bahasa yang sebagaimana saya sebutkan di paragraf pertama, tanda baca yang baik dan benar. Tidak harus titik setelah akhir kalimat, tidak harus koma setelah satu kalimat selesai, tapi cukup gunakanlah dengan bijak. Karena satu tanda titik sudah cukup untuk mengakhiri, satu tanda seru sudah cukup untuk membuat satu kalimat berartikan seru, dan satu tanda tanya sudah menjelaskan dengan amat jelas kalau kita sedang bertanya.
Dalam facebook sendiri, cukup banyak grup yang menentang penggunaan bahasa demikian, jadi bukan hanya saya kan yang agak terlalu perfeksionis? Ada pula yang menyebutkan bahwa tata bahasa demikian adalah tata bahasa alay, entahlah, saya lebih suka menyebutnya sebagai penggunaan tipografi yang kebablasan daripada jenis bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok tertentu. Saya juga tidak mendiskreditkan pengguna bahasa demikian, hanya saja, saya menghimbau untuk menggunakan bahasa sebagaimana mestinya. EYD diciptakan oleh orang Indonesia, kalau bukan orang Indonesia sendiri yang menggunakan serta melestarikannya, siapa lagi? Tidak lucu jika suatu saat nanti, kitab suci bahasa Indonesia kita yang melampirkan EYD diklaim oleh bangsa lain bukan? Jangan sampai kita berlatah ria menggunakan tatanan bahasa yang seharusnya pada saat itu, sudah terlalu terlambat, kawan.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya tidak munafik, bahasa slang lebih membuat saya nyaman daripada harus berkaku setiap saat dalam setiap kesempatan. Saya juga tidak menjadikan KBBI sebagai kitab saya, walau selalu saya buka pada saat ada kesempatan. Namun untuk tanda baca, kata yang sudah ada, baiklah kita gunakan sebijaknya dan jangan diubah, karena penyusunan yang demikian tidaklah mudah untuk dibuat oleh para sepuh kita dulu. Hargai jerih payah mereka, Yap?
Letetan Bangsawan Kelaparan
Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, September 21, 2009
Posted at : 12:36 PM
Mohon maaf lahir batin.
Semua orang mengucapkan kata-kata itu seminggu belakangan. Tidak hanya yang islam, rekanan saya yang kristen, agnostik, dan bahkan ateis pun menyempatkan mengucap kalimat emas tersebut. Takbir berkumandang, gendang berkedok bedug ditabuh, dan gelegar petasan menjerit dimana-mana. Gema bahagia mengaum di dinding-dinding kota.
Muak saya muak, tentu tidak ada yang salah dalam perayaan ini, selebrasi setelah satu bulan penuh menahan nafsu kan katanya. Apa derita telah dilalui, mafhum saja kalau ingin ada kesenangan sedikit.
Tapi sayang saja, tidak semua bisa menjalani hari ini dengan tawa, dengan senyum. Ada yang dilanda kesukaran, ada yang masih menyeret kakinya penuh borok di trotoar, ada yang makan dari sampah sisa tak termakan, dan.. ada yang berduka.
Setiap orang punya pilihan, dan demi mereka, saya memilih untuk tidak bersuka cita.. Ingat, ini pilihan.
Semua orang mengucapkan kata-kata itu seminggu belakangan. Tidak hanya yang islam, rekanan saya yang kristen, agnostik, dan bahkan ateis pun menyempatkan mengucap kalimat emas tersebut. Takbir berkumandang, gendang berkedok bedug ditabuh, dan gelegar petasan menjerit dimana-mana. Gema bahagia mengaum di dinding-dinding kota.
Muak saya muak, tentu tidak ada yang salah dalam perayaan ini, selebrasi setelah satu bulan penuh menahan nafsu kan katanya. Apa derita telah dilalui, mafhum saja kalau ingin ada kesenangan sedikit.
Tapi sayang saja, tidak semua bisa menjalani hari ini dengan tawa, dengan senyum. Ada yang dilanda kesukaran, ada yang masih menyeret kakinya penuh borok di trotoar, ada yang makan dari sampah sisa tak termakan, dan.. ada yang berduka.
Setiap orang punya pilihan, dan demi mereka, saya memilih untuk tidak bersuka cita.. Ingat, ini pilihan.
Ini hari raya. Tapi tolong, kabarkan satu saja kabar baik untuk saya.
--
Darahku tak Pamit
Satu jiwa dari seribu.
Asal tak pelak kumpulan enggan tumbuh.
Jiwa-jiwa gelap tertanam muram.
Berlari singkat di peraduan kejam.
Akar setan, buah iblis.
Tak jauh tak beda bukan serupa.
Anak beranak hitam berbalut merah.
Menggapai bahagia tak pernah merekah.
Dua? Ah, mungkin tiga
Aku bahkan tak menaruh duga.
Satu lagi kamboja kaku.
Tak pernah kulihat, hanya kurasa pelu.
Miris.
Hidup.. Tolonglah.
Yang maha mengatur lagi maha mengarah
Jangan timpakan terus amarah, buatlah berkah.
Bagi mereka, tersenyumlah merekah.
Sekarang, biar aku yang membawa bagian jiwamu..
--
18-09-2009
Untuk darahku yang lain, yang bahkan tak tahu namamu. Semoga diterima disisinya, semoga..
Amin.
--
Darahku tak Pamit
Satu jiwa dari seribu.
Asal tak pelak kumpulan enggan tumbuh.
Jiwa-jiwa gelap tertanam muram.
Berlari singkat di peraduan kejam.
Akar setan, buah iblis.
Tak jauh tak beda bukan serupa.
Anak beranak hitam berbalut merah.
Menggapai bahagia tak pernah merekah.
Dua? Ah, mungkin tiga
Aku bahkan tak menaruh duga.
Satu lagi kamboja kaku.
Tak pernah kulihat, hanya kurasa pelu.
Miris.
Hidup.. Tolonglah.
Yang maha mengatur lagi maha mengarah
Jangan timpakan terus amarah, buatlah berkah.
Bagi mereka, tersenyumlah merekah.
Sekarang, biar aku yang membawa bagian jiwamu..
--
18-09-2009
Untuk darahku yang lain, yang bahkan tak tahu namamu. Semoga diterima disisinya, semoga..
Amin.
Un-nomaly League
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Saturday, September 05, 2009
Posted at : 11:36 PM
Gue bersyukur sekarang bulan puasa, karena waktu ngerokok gue dibatasi.
Yah, gue ngga bego kok, ngga bego-bego amat untuk tau seseorang udah memandang gue dengan sebelah mata. Terlihat jelas. Terpampang besar-besar di jidat siapa-siapa saja yang demikian. Cukup beberapa interaksi untuk pemastian, dan hasil visum sudah keluar, voila, bye then.
Mudah saja sih, kalau orang udah kehilangan minat sama gue dan bahkan memandang gue dengan pandangan merendahkan, halal buat gue untuk berlaku sebaliknya. Sori, bukannya tanpa usaha untuk membuat keadaan kembali normal dan meminta penjelasan. Secara kronologis, usaha gue untuk dekat dengan seseorang itu adalah di awal perkenalan. Setelah kenal, akan berbuah dua jalan, biasa-biasa saja karena memang ngga terlalu menarik dan worth untuk dikenal, atau, gue kejar mati-matian karena memang orang-orang menarik ini memang irresistible.
Nah, apabila terjadi permasalahan, pasti dan akan selalu gue usahakan untuk memastikan, apakah orang tersebut benar-benar sudah memandang dengan pandangan mata yang merendahkan gue, atau engga. Apabila engga, maka coret azas praduga tadi, apabila iya, terbagi kedalam dua opsi. Apa mereka yang bermasalah sama gue ini termasuk dari orang-orang yang gue akui?
Kalau iya, dan setelah usaha gue, orang ini tetap memandang gue demikian, maka dia sama sekali ngga worth dong untuk diperlakukan manis? Najis amat, mending gue nistakan senista-nistanya. Pengakuan gue akan orang tersebut gue cabut, ngga akan sampai menunjukkan sikap permusuhan tentunya, tapi yah, omongannya ngga akan pernah gue denger lagi. Berkoar-koar lah sesukanya, omongannya akan gue anggap sampah.
Kalau ngga? Hahah! Najis.
Bodohnya, sudah tau dari dulu kalau gue adalah orang yang susah membaur, tapi malah ditambah dengan segala sepesifikasi yang gue berikan untuk menyaring siapa-siapa aja orang yang worth untuk masuk ke lingkaran aman yang gue bentuk. Iyalah, saringan yang baik akan menghasilkan minuman bagus tanpa ampas. Sayangnya lubang saringan itu kadang gue buka terlalu lebar dan memberikan jalan bagi mereka-mereka yang memang ngga berada di liga gue untuk masuk. Hasilnya? Mereka akan kaget tau seperti apa isinya. Hahah.
Gue sadar sepenuhnya, liga dimana gue berada itu ditempati sama orang-orang yang ngga biasa. Tentu gue masuk diantaranya, i’m not ordinary people, nor standard, nor normal people. Masuk diantara mereka yang paling marginal diantara yang marginal, yang paling aneh diantara yang teraneh, yang memuja hal-hal yang dianggap orang normal tidak normal, sakit, atau apalah sebut saja.
Terlalu liberal, antek komunis, penganut agnostik, seorang dualis agama, korban asosial, merajuk pada pagan, gila materialis, atheis tidak beradab, hpemuja kenikmatan dunia dan lain-lain, gue hidup nyaman diantara mereka, dan tidak dipungkiri, mereka adalah sedikit dari orang-orang menarik yang pernah gue temui tanpa kehilangan cahayanya sedetikpun dari mata gue. Menarik luar dalam. Orang-orang yang pemikirannya selalu ingin gue bantah, tanpa satu kalipun gue ingin mengeluarkan sikap pragmaris gue. “Lo mikir gitu, terserah, gue punya pandangan gue sendiri.” Ngga, gue ngga bisa mengatakan demikian pada mereka, saking menariknya, gue sampai membantah apa yang mereka katakan dan mencoba tahu lebih dalam seperti apa mereka. Itu tanda kalau gue tertarik.
Dan sekarang? Mereka yang jumlahnya sedikit itu harus berkurang lagi? Man.. beberapa kehilangan cahayanya, dan kalau sudah hilang, mau bicara apa lagi? Tertarik pun gue ngga, yang ada malah gue rendahin balik. Geez.. tunjukkan cahaya kalian lagi, dan buat gue melenggangkan ekor gue bak melihat tulang putih bersih! Geez..
Yah, gue ngga bego kok, ngga bego-bego amat untuk tau seseorang udah memandang gue dengan sebelah mata. Terlihat jelas. Terpampang besar-besar di jidat siapa-siapa saja yang demikian. Cukup beberapa interaksi untuk pemastian, dan hasil visum sudah keluar, voila, bye then.
Mudah saja sih, kalau orang udah kehilangan minat sama gue dan bahkan memandang gue dengan pandangan merendahkan, halal buat gue untuk berlaku sebaliknya. Sori, bukannya tanpa usaha untuk membuat keadaan kembali normal dan meminta penjelasan. Secara kronologis, usaha gue untuk dekat dengan seseorang itu adalah di awal perkenalan. Setelah kenal, akan berbuah dua jalan, biasa-biasa saja karena memang ngga terlalu menarik dan worth untuk dikenal, atau, gue kejar mati-matian karena memang orang-orang menarik ini memang irresistible.
Nah, apabila terjadi permasalahan, pasti dan akan selalu gue usahakan untuk memastikan, apakah orang tersebut benar-benar sudah memandang dengan pandangan mata yang merendahkan gue, atau engga. Apabila engga, maka coret azas praduga tadi, apabila iya, terbagi kedalam dua opsi. Apa mereka yang bermasalah sama gue ini termasuk dari orang-orang yang gue akui?
Kalau iya, dan setelah usaha gue, orang ini tetap memandang gue demikian, maka dia sama sekali ngga worth dong untuk diperlakukan manis? Najis amat, mending gue nistakan senista-nistanya. Pengakuan gue akan orang tersebut gue cabut, ngga akan sampai menunjukkan sikap permusuhan tentunya, tapi yah, omongannya ngga akan pernah gue denger lagi. Berkoar-koar lah sesukanya, omongannya akan gue anggap sampah.
Kalau ngga? Hahah! Najis.
Bodohnya, sudah tau dari dulu kalau gue adalah orang yang susah membaur, tapi malah ditambah dengan segala sepesifikasi yang gue berikan untuk menyaring siapa-siapa aja orang yang worth untuk masuk ke lingkaran aman yang gue bentuk. Iyalah, saringan yang baik akan menghasilkan minuman bagus tanpa ampas. Sayangnya lubang saringan itu kadang gue buka terlalu lebar dan memberikan jalan bagi mereka-mereka yang memang ngga berada di liga gue untuk masuk. Hasilnya? Mereka akan kaget tau seperti apa isinya. Hahah.
Gue sadar sepenuhnya, liga dimana gue berada itu ditempati sama orang-orang yang ngga biasa. Tentu gue masuk diantaranya, i’m not ordinary people, nor standard, nor normal people. Masuk diantara mereka yang paling marginal diantara yang marginal, yang paling aneh diantara yang teraneh, yang memuja hal-hal yang dianggap orang normal tidak normal, sakit, atau apalah sebut saja.
Terlalu liberal, antek komunis, penganut agnostik, seorang dualis agama, korban asosial, merajuk pada pagan, gila materialis, atheis tidak beradab, hpemuja kenikmatan dunia dan lain-lain, gue hidup nyaman diantara mereka, dan tidak dipungkiri, mereka adalah sedikit dari orang-orang menarik yang pernah gue temui tanpa kehilangan cahayanya sedetikpun dari mata gue. Menarik luar dalam. Orang-orang yang pemikirannya selalu ingin gue bantah, tanpa satu kalipun gue ingin mengeluarkan sikap pragmaris gue. “Lo mikir gitu, terserah, gue punya pandangan gue sendiri.” Ngga, gue ngga bisa mengatakan demikian pada mereka, saking menariknya, gue sampai membantah apa yang mereka katakan dan mencoba tahu lebih dalam seperti apa mereka. Itu tanda kalau gue tertarik.
Dan sekarang? Mereka yang jumlahnya sedikit itu harus berkurang lagi? Man.. beberapa kehilangan cahayanya, dan kalau sudah hilang, mau bicara apa lagi? Tertarik pun gue ngga, yang ada malah gue rendahin balik. Geez.. tunjukkan cahaya kalian lagi, dan buat gue melenggangkan ekor gue bak melihat tulang putih bersih! Geez..
Keinginan itu Bukan Utopia
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Friday, September 04, 2009
Posted at : 12:55 AM
“if there is no blood spoils, there is no glory at all”
Berkali-kali gue ditanya soal cita-cita, dengan jumlah yang entah sudah berapa ribu kali dalam rentang waktu semenjak gue bisa mengingat. Mulai dari saat taman kanak-kanak yang khas dengan jawaban abstraknya, sampai ke masa kuliah sekarang yang sudah melogiskan pikiran untuk memberi jawaban memuaskan bagi si penanya. Mungkin ada orang yang sudah mamatenkan cita-citanya semenjak kecil, dokter ya dokter tok, tidak berubah sampai akhirnya dia benar-benar menjadi dokter, beri aplause buat mereka-mereka yang demikian. Tapi tentunya sebagian besar orang akan terbelokkan cita dan keinginan mereka karena waktu dan tentunya keadaan, ya iya, ngga mungkin kan dunia ini hanya diisi sama presiden, dokter, pilot dan insinyur aja? Nanti gue laper ngga ada yang jualan warteg dong? Haaha..
Nah, sekarang untuk soal mereka-mereka yang cita dan keinginannya dianggap terlalu muluk untuk masyarakat umum. Taruhlah pengalaman lama gue dulu. Saat gue mau pergi ke bogor naik sepeda, orang serumah malah ketawa pas gue berangkat. Apakah mereka menilai keinginan gue terlalu tinggi? Ah-so, bener sih, karena saat itu lagi kemarau, dan gue berangkat siang-siang, ngga sampai sepertiga jalan gue udah nyerah dan balik lagi naek kereta, wahaha. Pulangpun gue ditertawakan, mereka seolah mendapat legitimasi tertulis bahwa keinginan gue—sepedaan sampe bogor—itu adalah muluk. Tapi emang kepala batu ya batu aja, ngga sampai seminggu gue berangkat lagi, kali ini malam jam 12 pas, gue berangkat diem-diem kaya maling, and voila, gue sampe disana dengan selamat. Pulangnya, orang rumah pada pucet tau gue abis dari bogor, huahaha..
Keinginan macam apa sih yang terlalu muluk? Jadi CEO perusahaan multinasional? Mengoleksi perangko-perangko lama? Atau apa? Kemarin Ussi bilang dia dilecehkan *halah mak* sama kawan kampusnya, bahwa idenya untuk mendaki bromo tidak menggunakan jalur pendaki itu muluk. Loh kenapa? Bukannya justru asik menantang diri dengan sesuatu yang lebih asing? Kalau lewat kalur konvensional pasti akan sering ketemu pendaki lain, jalurnya juga itu-itu aja, bosen. Yah, tidak bisa dipungkiri sih, kemungkinan bahayanya juga pasti berlipat, tapi eu, bukannya rekreasi makin asik kalau bukan hanya sekedar rekreasi ya? Taruh nyawa dekat garis mati, maka semuanya akan terasa lebih asik.
“One freedom means thousand fall”
Tapi dia (Ussi), memang liar bukan kepalang ampun. Coba pikir, dia berencana untuk ke papua sendirian, alamak, bisa bayangkan badannya yang kontet dan bantet itu guling-gulingan dikejar suku pedalaman disana? Huahaha.. atau justru karena posturmu itu lo jadi percaya diri us karena yakin bakal diterima mereka sebagai keluarga barunya? *ampun*. Ehem.. sejujurnya gue sama sekali ngga menganggap idenya itu muluk, jauh dari kata itu malah, mungkin bisa gue bilang terlalu keren? Yeah, disamping gender dan umur yang harusnya masih doyan ngerumpi.
Atau karena yang memandang keingan tersebut ini gue? Karena gue punya keinginan yang sama muluknya? Entah ya. Tika bener, bisa naek sepeda aja gue udah sampe bogor, naek motor gue mungkin mau keliling Indonesia, pengen sih, banget, haha. Yap, target gue berikutnya tuh, begitu ada motor *ngarep* gue mau ke aceh, atau opsi lainnya, ke surabaya, tepos tepos dah.
Dan untuk soal bromo us. Gue sama sekali ngga bilang muluk, tapi andaikan gue bergerak dalam kelompok, tentunya ada hal lain yang harus diitung ulang. Apa semuanya sanggup? Mengingat tingkat kesulitan dan bahaya yang harus ditempuh itu tentunya lebih daripada jalur biasa. Kalau orang-orangnya yang setipe sama gue atau elo, yang ‘pergi dulu, bisa enggaknya nanti’ ya jalan aja, kalo kagak kuat pun pasti kita akan maksa sampe atas yak?
Blog lo diapdet kek
Berkali-kali gue ditanya soal cita-cita, dengan jumlah yang entah sudah berapa ribu kali dalam rentang waktu semenjak gue bisa mengingat. Mulai dari saat taman kanak-kanak yang khas dengan jawaban abstraknya, sampai ke masa kuliah sekarang yang sudah melogiskan pikiran untuk memberi jawaban memuaskan bagi si penanya. Mungkin ada orang yang sudah mamatenkan cita-citanya semenjak kecil, dokter ya dokter tok, tidak berubah sampai akhirnya dia benar-benar menjadi dokter, beri aplause buat mereka-mereka yang demikian. Tapi tentunya sebagian besar orang akan terbelokkan cita dan keinginan mereka karena waktu dan tentunya keadaan, ya iya, ngga mungkin kan dunia ini hanya diisi sama presiden, dokter, pilot dan insinyur aja? Nanti gue laper ngga ada yang jualan warteg dong? Haaha..
Nah, sekarang untuk soal mereka-mereka yang cita dan keinginannya dianggap terlalu muluk untuk masyarakat umum. Taruhlah pengalaman lama gue dulu. Saat gue mau pergi ke bogor naik sepeda, orang serumah malah ketawa pas gue berangkat. Apakah mereka menilai keinginan gue terlalu tinggi? Ah-so, bener sih, karena saat itu lagi kemarau, dan gue berangkat siang-siang, ngga sampai sepertiga jalan gue udah nyerah dan balik lagi naek kereta, wahaha. Pulangpun gue ditertawakan, mereka seolah mendapat legitimasi tertulis bahwa keinginan gue—sepedaan sampe bogor—itu adalah muluk. Tapi emang kepala batu ya batu aja, ngga sampai seminggu gue berangkat lagi, kali ini malam jam 12 pas, gue berangkat diem-diem kaya maling, and voila, gue sampe disana dengan selamat. Pulangnya, orang rumah pada pucet tau gue abis dari bogor, huahaha..
Keinginan macam apa sih yang terlalu muluk? Jadi CEO perusahaan multinasional? Mengoleksi perangko-perangko lama? Atau apa? Kemarin Ussi bilang dia dilecehkan *halah mak* sama kawan kampusnya, bahwa idenya untuk mendaki bromo tidak menggunakan jalur pendaki itu muluk. Loh kenapa? Bukannya justru asik menantang diri dengan sesuatu yang lebih asing? Kalau lewat kalur konvensional pasti akan sering ketemu pendaki lain, jalurnya juga itu-itu aja, bosen. Yah, tidak bisa dipungkiri sih, kemungkinan bahayanya juga pasti berlipat, tapi eu, bukannya rekreasi makin asik kalau bukan hanya sekedar rekreasi ya? Taruh nyawa dekat garis mati, maka semuanya akan terasa lebih asik.
“One freedom means thousand fall”
Tapi dia (Ussi), memang liar bukan kepalang ampun. Coba pikir, dia berencana untuk ke papua sendirian, alamak, bisa bayangkan badannya yang kontet dan bantet itu guling-gulingan dikejar suku pedalaman disana? Huahaha.. atau justru karena posturmu itu lo jadi percaya diri us karena yakin bakal diterima mereka sebagai keluarga barunya? *ampun*. Ehem.. sejujurnya gue sama sekali ngga menganggap idenya itu muluk, jauh dari kata itu malah, mungkin bisa gue bilang terlalu keren? Yeah, disamping gender dan umur yang harusnya masih doyan ngerumpi.
Atau karena yang memandang keingan tersebut ini gue? Karena gue punya keinginan yang sama muluknya? Entah ya. Tika bener, bisa naek sepeda aja gue udah sampe bogor, naek motor gue mungkin mau keliling Indonesia, pengen sih, banget, haha. Yap, target gue berikutnya tuh, begitu ada motor *ngarep* gue mau ke aceh, atau opsi lainnya, ke surabaya, tepos tepos dah.
Dan untuk soal bromo us. Gue sama sekali ngga bilang muluk, tapi andaikan gue bergerak dalam kelompok, tentunya ada hal lain yang harus diitung ulang. Apa semuanya sanggup? Mengingat tingkat kesulitan dan bahaya yang harus ditempuh itu tentunya lebih daripada jalur biasa. Kalau orang-orangnya yang setipe sama gue atau elo, yang ‘pergi dulu, bisa enggaknya nanti’ ya jalan aja, kalo kagak kuat pun pasti kita akan maksa sampe atas yak?
Blog lo diapdet kek
From The Sorrow
Filed Under (letter ) by Pitiful Kuro on Tuesday, September 01, 2009
Posted at : 12:09 AM
Untuk si fanatik Dan Brown berkemeja flanel.
Awal pertama kali bertemu, gue langsung berpikiran, apa lagi yang bisa gue harapkan dari seorang perempuan? Lo datang naik motor, turun, membuka helm dan membiarkan rambut panjang lo berantakan, lo berjalan ke arah kami yang lebih dulu ada disana dengan gaya yang terlalu macho untuk ukuran tampang demikian, plus, gue ngga akan pernah lupa momen saat lo mengeluarkan Malaikat dan Iblis dari tas kecil lo itu. Lo sapa semua yang ada disitu, tidak terkecuali gue. Hahah.. itu cukup ngagetin gue, kaya gue bilang sebelumnya, ‘kok lo nyapa gue sih?’, ups, sori, jangan jitak gue lagi, inferioritas gue ngga main-main, ketakutan akan relasi gue bukan cuma gelar, like i told you before.
Lo yang atraktif tiba-tiba berubah awkward saat gue tanya-tanya tentang Malaikat dan Iblis, yang lain tiba-tiba lo kacangin *ge er* dan lo mulai bertanya banyak hal ke gue, tentang Dan Brown, tentu. Masih inget gak berapa kali gue nyoba kabur dari elo saat itu? Hahah, minder.
We have a many thing in common. Lo suka Dan Brown, gue juga, lo demen game, gue juga (tadinya), hadah, inget pas gue bantuin lo namatin Metal Gear 2 dan 3? Katanya lo ngga mau dibantuin untuk dimainin, minta gue ngasih clue doang, tapi lo malah frustasi waktu ngejinakin Bom di MGS 2, dan waktu lawan The End di MGS 3. Payah ah, haha. Pemikiran lo dan gue pun setipe, “cintai negara ini, tapi bencilah sistem yang ada”. Keren ah. Porsi skeptis, porsi sinis, dan tamparan yang lo berikan kepada orang lain untuk menyadarkan mereka sama persis dengan yang gue lakukan. Selalu bersikap netral dan tidak memihak, bahkan kepada orang terdekat sendiri, dan bahkan sama gue, jiah.. sadis.
Satu lagi kesamaan yang justru membuat lo sama gue sejenis, keluarga. Bukan hal baik, tapi sayangnya kita sama-sama berasal dari keluarga yang tidak utuh. Pada titik tertentu, kesamaan ini bisa membuat kita makin satu pikiran, tapi pada titik lain, justru menghancurkan, lo tau sendiri.
Lo dan gue dekat, pada titik itu, lo adalah orang terdekat gue, bahkan lebih daripada tika dan luthfi yang gue ceritain itu. Lo bercerita, gue bercerita, lo mendengarkan, gue pun mendengarkan. Plus minus, jauh dekat, berseberangan saling dekat, lo dan gue berbagi, mungkin malah terlalu banyak. Apa yang gue simpan gue keluarkan, dan apa yang lo kunci rapat-rapat pun lo buka. Pada titik itu, mungkin gue merasa udah menemukan kepingan baru dalam hidup gue.
Tapi kemudian waktu dan jarak berlaku kejam. Kuliah dimulai, gue di Bandung dan elo.. dimana? Menghilang ngga ada jejaknya. Nope, gue ngga nyalahin kok, bener, siklus dalam relasi itu biasa kan? kaya yang lo bilang, sekarang ada, besok belum tentu ada, sekarang dekat, besok mungkin jauh, atau bahkan musuh. Setelah beberapa lama, gue denger kabar katanya lo udah punya pacar. Whoa, sebagai seseorang yang cukup mengenal elo dulu, gue turut seneng, sungguh, ngga ada kata dendam ataupun kecewa satu kalipun terlontar dari mulut gue ataupun pijitan jempol gue, ngga semua yang lo denger itu bener, met. Serius. See? Kalau secara lisan gue ngga bisa membuktikannya, secara tulisan semoga lebih bermakna, pada titik ini, ngga ada satu jengkal benci pun ke elo. At all.
Lo putus dan ujug-ujug ngehubungin gue. Sekali lagi, gue sama sekali ngga marah. Tapi ada banyak pertimbangan kenapa permintaan lo ngga bisa gue kabulin. Udah semuanya gue bilang kan? kita sama-sama berasal dari keluarga yang berantakan, itu bukan awal yang bagus. Nope, bukan berarti seseorang yang asalnya dari keluarga demikian tidak berhak untuk sebuah kebahagiaan, rangakaian kata itu ditujukan buat gue, bukan lo. Terlalu banyak kemiripan sampai terasa mengerikan, lo terlalu mudah menenangkan gue dan gue pun terlalu gampang membuat lo senyum. Sadarkah? Kita menempati lubang yang sama, dan jika begitu, kita nggak akan bisa saling mengisi kan?
Dan yang terpenting, gue mempunyai seorang perempuan yang gue kagumi saat ini dan sebuah hubungan yang semakin harinya membawa sebuah hal baru buat gue. Baik positif, negatif, baik buruk, senang susah, semuanya gue usahakan nikmati dengan setiap pori-pori kulit gue. Dan gue harap lo bisa menemukan orang seperti gue menemukan dia. Yang mengisi tiap ruang di dalam diri lo dengan hal-hal baru, bukan hal yang bisa lo tebak bahkan sebelum gue katakan. Bukan, nggak berarti juga lo bisa nungguin gue sampe lumutan, sama sekali ngga.
Andaikan gue sendiri sekarang pun, permintaan lo ngga mungkin gue penuhi. Kita terlalu saling kenal, seolah lahir dari rahim yang sama. Nggak, bahkan mungkin diatas hubungan kakak-adik andaikan ada. Ya, gue mencintai elo, bukan sebagai laki-laki pada perempuan, tapi sebagai manusia ke manusia lainnya. Sahabat? Hahah, lucunya, kita sama-sama meng-utopiakan kata itu ya? Heheh..
Langkah lo ngga boleh berhenti hanya karena hal semacam ini, umur lo 18, waktu masih panjang dan masa depan masih nampak seperti cakrawala, manfaatkan sebaik mungkin. Nope, gue ngga minta a big leap for a mankind, just a little step for a man at the very first. Gue tau lo bisa met. Yakin, karena gue mengenal elo sebaik gue mengenal diri gue sendiri.
Semoga lo ngerti :) Just walk in the park, yap?
PS: kapan-kapan kita ngobrolin Dan Brown lagi ya
Awal pertama kali bertemu, gue langsung berpikiran, apa lagi yang bisa gue harapkan dari seorang perempuan? Lo datang naik motor, turun, membuka helm dan membiarkan rambut panjang lo berantakan, lo berjalan ke arah kami yang lebih dulu ada disana dengan gaya yang terlalu macho untuk ukuran tampang demikian, plus, gue ngga akan pernah lupa momen saat lo mengeluarkan Malaikat dan Iblis dari tas kecil lo itu. Lo sapa semua yang ada disitu, tidak terkecuali gue. Hahah.. itu cukup ngagetin gue, kaya gue bilang sebelumnya, ‘kok lo nyapa gue sih?’, ups, sori, jangan jitak gue lagi, inferioritas gue ngga main-main, ketakutan akan relasi gue bukan cuma gelar, like i told you before.
Lo yang atraktif tiba-tiba berubah awkward saat gue tanya-tanya tentang Malaikat dan Iblis, yang lain tiba-tiba lo kacangin *ge er* dan lo mulai bertanya banyak hal ke gue, tentang Dan Brown, tentu. Masih inget gak berapa kali gue nyoba kabur dari elo saat itu? Hahah, minder.
We have a many thing in common. Lo suka Dan Brown, gue juga, lo demen game, gue juga (tadinya), hadah, inget pas gue bantuin lo namatin Metal Gear 2 dan 3? Katanya lo ngga mau dibantuin untuk dimainin, minta gue ngasih clue doang, tapi lo malah frustasi waktu ngejinakin Bom di MGS 2, dan waktu lawan The End di MGS 3. Payah ah, haha. Pemikiran lo dan gue pun setipe, “cintai negara ini, tapi bencilah sistem yang ada”. Keren ah. Porsi skeptis, porsi sinis, dan tamparan yang lo berikan kepada orang lain untuk menyadarkan mereka sama persis dengan yang gue lakukan. Selalu bersikap netral dan tidak memihak, bahkan kepada orang terdekat sendiri, dan bahkan sama gue, jiah.. sadis.
Satu lagi kesamaan yang justru membuat lo sama gue sejenis, keluarga. Bukan hal baik, tapi sayangnya kita sama-sama berasal dari keluarga yang tidak utuh. Pada titik tertentu, kesamaan ini bisa membuat kita makin satu pikiran, tapi pada titik lain, justru menghancurkan, lo tau sendiri.
Lo dan gue dekat, pada titik itu, lo adalah orang terdekat gue, bahkan lebih daripada tika dan luthfi yang gue ceritain itu. Lo bercerita, gue bercerita, lo mendengarkan, gue pun mendengarkan. Plus minus, jauh dekat, berseberangan saling dekat, lo dan gue berbagi, mungkin malah terlalu banyak. Apa yang gue simpan gue keluarkan, dan apa yang lo kunci rapat-rapat pun lo buka. Pada titik itu, mungkin gue merasa udah menemukan kepingan baru dalam hidup gue.
Tapi kemudian waktu dan jarak berlaku kejam. Kuliah dimulai, gue di Bandung dan elo.. dimana? Menghilang ngga ada jejaknya. Nope, gue ngga nyalahin kok, bener, siklus dalam relasi itu biasa kan? kaya yang lo bilang, sekarang ada, besok belum tentu ada, sekarang dekat, besok mungkin jauh, atau bahkan musuh. Setelah beberapa lama, gue denger kabar katanya lo udah punya pacar. Whoa, sebagai seseorang yang cukup mengenal elo dulu, gue turut seneng, sungguh, ngga ada kata dendam ataupun kecewa satu kalipun terlontar dari mulut gue ataupun pijitan jempol gue, ngga semua yang lo denger itu bener, met. Serius. See? Kalau secara lisan gue ngga bisa membuktikannya, secara tulisan semoga lebih bermakna, pada titik ini, ngga ada satu jengkal benci pun ke elo. At all.
Lo putus dan ujug-ujug ngehubungin gue. Sekali lagi, gue sama sekali ngga marah. Tapi ada banyak pertimbangan kenapa permintaan lo ngga bisa gue kabulin. Udah semuanya gue bilang kan? kita sama-sama berasal dari keluarga yang berantakan, itu bukan awal yang bagus. Nope, bukan berarti seseorang yang asalnya dari keluarga demikian tidak berhak untuk sebuah kebahagiaan, rangakaian kata itu ditujukan buat gue, bukan lo. Terlalu banyak kemiripan sampai terasa mengerikan, lo terlalu mudah menenangkan gue dan gue pun terlalu gampang membuat lo senyum. Sadarkah? Kita menempati lubang yang sama, dan jika begitu, kita nggak akan bisa saling mengisi kan?
Dan yang terpenting, gue mempunyai seorang perempuan yang gue kagumi saat ini dan sebuah hubungan yang semakin harinya membawa sebuah hal baru buat gue. Baik positif, negatif, baik buruk, senang susah, semuanya gue usahakan nikmati dengan setiap pori-pori kulit gue. Dan gue harap lo bisa menemukan orang seperti gue menemukan dia. Yang mengisi tiap ruang di dalam diri lo dengan hal-hal baru, bukan hal yang bisa lo tebak bahkan sebelum gue katakan. Bukan, nggak berarti juga lo bisa nungguin gue sampe lumutan, sama sekali ngga.
Andaikan gue sendiri sekarang pun, permintaan lo ngga mungkin gue penuhi. Kita terlalu saling kenal, seolah lahir dari rahim yang sama. Nggak, bahkan mungkin diatas hubungan kakak-adik andaikan ada. Ya, gue mencintai elo, bukan sebagai laki-laki pada perempuan, tapi sebagai manusia ke manusia lainnya. Sahabat? Hahah, lucunya, kita sama-sama meng-utopiakan kata itu ya? Heheh..
Langkah lo ngga boleh berhenti hanya karena hal semacam ini, umur lo 18, waktu masih panjang dan masa depan masih nampak seperti cakrawala, manfaatkan sebaik mungkin. Nope, gue ngga minta a big leap for a mankind, just a little step for a man at the very first. Gue tau lo bisa met. Yakin, karena gue mengenal elo sebaik gue mengenal diri gue sendiri.
Semoga lo ngerti :) Just walk in the park, yap?
PS: kapan-kapan kita ngobrolin Dan Brown lagi ya
Nego Lagi?
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, August 24, 2009
Posted at : 10:31 PM
Hola..
Udah masuk ramadhan nih ceritanya, dan gue disuruh pulang untuk melaksanakan puasa hari pertama di Jakarta, uhu.. dan puasa hari pertama di Jakarta dengan keluarga gue itu bisa dideskripsikan cukup dengan satu kata lima huruf:
Kriuk..
Garing oh my goat. So? Whats the difference between shaum and not, in Jakarta, heh? with my fam, and not with? Gue tetep guling-gulingan di kamar, adek gue tetep keluyuran kayak simpanse kebelet kawin, dan si ibu tetep sibuk dengan—pacarnya? Wakaka. Gampangnya sih, sama nyebelinnya. Kalau sendirian gue bisa puas meratapi nasib, kalau pulang kampung gue bisa puas meratapi nasib (lha?).
Secara kronologis, gue berangkat hari jumat, ngambil kereta yang jam 12.45, karena udah ngga ada hal yang bisa gue lakuin di Bandung, yowis, naek kereta secepetnya aja. Rencana awal, gue berangkat dari kosan jam 11, supaya bisa solat jumat di deket stasiun, so, seselesainya gue solat gue bisa langsung berangkat. Tapi sesuai dengan kalimat favorit gue, “rencana toh tinggal rencana”. Gue baru berangkat dari kosan jam 12 kurang.
Krik..
Ada yang harus diobrolin dengan meine freundin, ampe lupa waktu, ahay.. jadilah gue ngebut dengan harapan ngga ketinggalan jumatan. Begitu sampe di stasiun, pamitan, gue langsung nyari mesjid via nanya-nanya orang. Begitu nemu, ternyata udah surat kedua, An-naba udah sekitar ayat sepuluhan, gue panik! Buru-buru ngambil wudu, buru-buru cari shaff kosong dan takbir. Tapi tunggu! Ada yang kurang kayanya. Yeap, gue solat pake tas ransel..
Goblog.
Takbirnya batal, gue copot tas dan takbir ulang disaat imam udah bergaya i’tidal.. haiya.. semoga diterima deh ya.
Di kereta juga lagi gak mood. Tentunya di bordes kayak biasa, padahal gue dapet tempat duduk, ehe. Kalau biasanya gue bakalan bawel sama orang-orang sebelah gue, kali ini ngga. Gue masang cap ‘apa lo liat-liat? Gak seneng? GAK SENENG?’ di jidat gue. Tauk kenapa. Tiga jam setengah di kereta, gue abisin dengan ngerokok-tidur-ngerokok-kepanasan-tidur. Geez..
Malemnya gue taraweh sendiri kayak taun-taun sebelumnya. Mesjid dideket rumah gue anarkis banget. Egile, itu solat apa latihan militer? Ngambil yang 23 rokaat, cepet mampus udah kayak senam aerobik, sebulan gue solat disana bisa langsing kali. Ya mendingan gue solat dirumah kan, pace nya bisa gue atur sendiri. Kalo lagi niaaat, gue baca beberapa surat pendek yang (sok) di tartil, kalo lagi maleees, al ikhlas aja, wakakaka.
Ga ada yang spesial di hari sabtunya, baik sahur maupun buka puasanya. Tiis-tiis aja sih. Kecuali waktu gue beli iket pinggang di cempaka mas (kayak mall, tapi lebih mirip pasar minggu). Karena di nadi gue mengalir darah cowok tulen, maka yang namanya nawar di ngga ada di dalam kamus gue. Gue pengen yang gampang aja, berapa harganya, sekali tawar, deal price, masukin kantong, enak kan? Yaudah, gue keliling-keliling, nyari toko gesper dan nemu satu, gue nanya-nanya harga ke mbak-mbaknya.
Gue: mbak, ada gesper yang modelnya simpel, dan tipe ‘sreet’ (memperagakan gerakan absurd didepan mbaknya) gitu nggak mbak?
Si mbak (SM): oh ada, yang ini gimana?
Gue: terlalu nyentrik, yang laen?
SM: yang ini gimana?
Gue: emm.. ini berapa harganya?
SM: 180ribu
Gue: Heh? *kaget, karena gesper lama gue harganya cuma 10rebuan, wakwaw*
SM: bisa kurang kok mas.
Gue: pasnya berapa kalo gitu?
SM: yah, 160 deh buat mas.
Gue: Kemahalan ah, ngga jadi ya mbak..
SM: bisa ditawar lagi kok mas *sambil narik-narik tangan gue*
Disini gue mulai mikir, coba lah sesekali gue nawar a’la ibu-ibu gitu, yang sadis bin jahanam.
Gue: berapa ya.. 40 deh? *wakwakwaw, 4 kali lipet lebih rendah? Ihik*
Sampe titik ini gue ga berharap harganya turun, toh gue cuman iseng doangan nawarnya, pengennya langsung pulang dan suruh pembantu yang beliin.
SM: Ih, si mas tega, yaudah deh, buat mas 70 aja..
Take a deep breath..
*ssh*
*fuuuh*
*gasp*
AR YU FRIKKIN KIDDIN MEEH???
Mbak, situ oke? Tadi bukannya situ ngasih harga 180 ribu? BACA: SERATUS DELAPAN PULUH REBU, SETARA DUIT MAKAN GUE SETENGAH BULAN!! Dan situ nurunin harga kayak mijit semut??! Sepenti thousand rupiah is less than half price yuu gip tu mi at the first place, MAGGOT?? Idih, sok jual mahal amat sih? Situ ratu heh? Situ ratu?
*gasp*
Gue cuman mandangin si mbak dengan tatapan nggak percaya a’la cinta fitri, penuh kekecewaan dan keputusasaan mendalam *halah*. Gue pun pergi, sementara si mbak tereak-tereak ngurangin harga lima rebu di setiap langkah gue. Hueh, rasanya gue mau nelen panadol 3 biji sekaligus.
Sorenya si ibu mau pergi beli makanan buat buka, gue nitip gesper. Pulangnya, voila, iket pinggang dengan model yang hampir sama ada ditangan gue dengan harga 30 ribu. Pret-cuih.
Udah masuk ramadhan nih ceritanya, dan gue disuruh pulang untuk melaksanakan puasa hari pertama di Jakarta, uhu.. dan puasa hari pertama di Jakarta dengan keluarga gue itu bisa dideskripsikan cukup dengan satu kata lima huruf:
Kriuk..
Garing oh my goat. So? Whats the difference between shaum and not, in Jakarta, heh? with my fam, and not with? Gue tetep guling-gulingan di kamar, adek gue tetep keluyuran kayak simpanse kebelet kawin, dan si ibu tetep sibuk dengan—pacarnya? Wakaka. Gampangnya sih, sama nyebelinnya. Kalau sendirian gue bisa puas meratapi nasib, kalau pulang kampung gue bisa puas meratapi nasib (lha?).
Secara kronologis, gue berangkat hari jumat, ngambil kereta yang jam 12.45, karena udah ngga ada hal yang bisa gue lakuin di Bandung, yowis, naek kereta secepetnya aja. Rencana awal, gue berangkat dari kosan jam 11, supaya bisa solat jumat di deket stasiun, so, seselesainya gue solat gue bisa langsung berangkat. Tapi sesuai dengan kalimat favorit gue, “rencana toh tinggal rencana”. Gue baru berangkat dari kosan jam 12 kurang.
Krik..
Ada yang harus diobrolin dengan meine freundin, ampe lupa waktu, ahay.. jadilah gue ngebut dengan harapan ngga ketinggalan jumatan. Begitu sampe di stasiun, pamitan, gue langsung nyari mesjid via nanya-nanya orang. Begitu nemu, ternyata udah surat kedua, An-naba udah sekitar ayat sepuluhan, gue panik! Buru-buru ngambil wudu, buru-buru cari shaff kosong dan takbir. Tapi tunggu! Ada yang kurang kayanya. Yeap, gue solat pake tas ransel..
Goblog.
Takbirnya batal, gue copot tas dan takbir ulang disaat imam udah bergaya i’tidal.. haiya.. semoga diterima deh ya.
Di kereta juga lagi gak mood. Tentunya di bordes kayak biasa, padahal gue dapet tempat duduk, ehe. Kalau biasanya gue bakalan bawel sama orang-orang sebelah gue, kali ini ngga. Gue masang cap ‘apa lo liat-liat? Gak seneng? GAK SENENG?’ di jidat gue. Tauk kenapa. Tiga jam setengah di kereta, gue abisin dengan ngerokok-tidur-ngerokok-kepanasan-tidur. Geez..
Malemnya gue taraweh sendiri kayak taun-taun sebelumnya. Mesjid dideket rumah gue anarkis banget. Egile, itu solat apa latihan militer? Ngambil yang 23 rokaat, cepet mampus udah kayak senam aerobik, sebulan gue solat disana bisa langsing kali. Ya mendingan gue solat dirumah kan, pace nya bisa gue atur sendiri. Kalo lagi niaaat, gue baca beberapa surat pendek yang (sok) di tartil, kalo lagi maleees, al ikhlas aja, wakakaka.
Ga ada yang spesial di hari sabtunya, baik sahur maupun buka puasanya. Tiis-tiis aja sih. Kecuali waktu gue beli iket pinggang di cempaka mas (kayak mall, tapi lebih mirip pasar minggu). Karena di nadi gue mengalir darah cowok tulen, maka yang namanya nawar di ngga ada di dalam kamus gue. Gue pengen yang gampang aja, berapa harganya, sekali tawar, deal price, masukin kantong, enak kan? Yaudah, gue keliling-keliling, nyari toko gesper dan nemu satu, gue nanya-nanya harga ke mbak-mbaknya.
Gue: mbak, ada gesper yang modelnya simpel, dan tipe ‘sreet’ (memperagakan gerakan absurd didepan mbaknya) gitu nggak mbak?
Si mbak (SM): oh ada, yang ini gimana?
Gue: terlalu nyentrik, yang laen?
SM: yang ini gimana?
Gue: emm.. ini berapa harganya?
SM: 180ribu
Gue: Heh? *kaget, karena gesper lama gue harganya cuma 10rebuan, wakwaw*
SM: bisa kurang kok mas.
Gue: pasnya berapa kalo gitu?
SM: yah, 160 deh buat mas.
Gue: Kemahalan ah, ngga jadi ya mbak..
SM: bisa ditawar lagi kok mas *sambil narik-narik tangan gue*
Disini gue mulai mikir, coba lah sesekali gue nawar a’la ibu-ibu gitu, yang sadis bin jahanam.
Gue: berapa ya.. 40 deh? *wakwakwaw, 4 kali lipet lebih rendah? Ihik*
Sampe titik ini gue ga berharap harganya turun, toh gue cuman iseng doangan nawarnya, pengennya langsung pulang dan suruh pembantu yang beliin.
SM: Ih, si mas tega, yaudah deh, buat mas 70 aja..
Take a deep breath..
*ssh*
*fuuuh*
*gasp*
AR YU FRIKKIN KIDDIN MEEH???
Mbak, situ oke? Tadi bukannya situ ngasih harga 180 ribu? BACA: SERATUS DELAPAN PULUH REBU, SETARA DUIT MAKAN GUE SETENGAH BULAN!! Dan situ nurunin harga kayak mijit semut??! Sepenti thousand rupiah is less than half price yuu gip tu mi at the first place, MAGGOT?? Idih, sok jual mahal amat sih? Situ ratu heh? Situ ratu?
*gasp*
Gue cuman mandangin si mbak dengan tatapan nggak percaya a’la cinta fitri, penuh kekecewaan dan keputusasaan mendalam *halah*. Gue pun pergi, sementara si mbak tereak-tereak ngurangin harga lima rebu di setiap langkah gue. Hueh, rasanya gue mau nelen panadol 3 biji sekaligus.
Sorenya si ibu mau pergi beli makanan buat buka, gue nitip gesper. Pulangnya, voila, iket pinggang dengan model yang hampir sama ada ditangan gue dengan harga 30 ribu. Pret-cuih.
Peduli Tidak Peduli
Filed Under (Event ) by Pitiful Kuro on Monday, August 17, 2009
Posted at : 12:24 AM
Tanggal berapa sekarang? 17 Agustus. Dan kalau ditanyakan, ada apa dengan tanggal 17 agustus, maka kebanyakan orang, tentunya warga negara Indonesia akan menjawab dengan bangga: Hari kemerdekaan kita!
Terhitung 64 tahun yang lalu teks proklamasi dibacakan, kemerdekaan dideklarasikan, cengkraman penjajah dilepaskan, Indonesia terbentuk. Rakyat menyambut dengan antusias, kemerdekaan yang saat itu diperjuangkan pada bulan Ramadhan tidak menyurutkan teriakan-teriakan massa yang membara. Merdeka, merdeka, dan merdeka, itulah yang mereka ucapkan, tak peduli rasa haus dan lapar yang merajam perut, mereka tetap semangat berteriak, mengacu pada film dokumenter yang saya tonton tentang kemerdekaan republik kita ini tentu saja.
Sekarang, 64 tahun kemudian setelah bapak Soekarno maju ke podium, apakah semangat yang dirasakan oleh bumi pertiwi ini masih sama seperti dulu? Untuk yang satu itu, saya tidak tahu. Bisa iya, bisa juga tidak. Mungkin saya juga kurang ambil bagian dalam memparadekan hari kemerdekaan kita itu. Jelas saja, 19 tahun saya hidup, dan 18 kali hari kemerdekaan terlewat, belum pernah satu kalipun darah saya mengalir lebih deras setiap tanggal 17 agustus datang. Biasanya hanya numpang lewat dan tidak menimbulkan kesan yang berarti bagi diri saya pribadi.
Zaman dulu tidak sama dengan sekarang, zaman sekarang segala sesuatunya bisa diperjuangkan tidak hanya dengan main mulut atau main fisik, ada teknologi yang dinamakan internet yang membuat kita dapat berteriak dalam dunia maya, dan sebagainya. Atau justru sebaliknya? Justru teknologi lah yang mengakibatkan moral bangsa kita untuk urusan nasionalisme turun drastis? Kalau-kalau para ekstrimis berbicara, pastilah globalisasi dan modernisasi yang dijadikan kambing hitam. Atau yang lebih tidak bertanggung jawab, itu adalah salah para generasi muda yang terlalu rapuh jatuh kedalam bujukan tangan liberalis.
Entah untuk para kaum muda yang lain, tapi bagi saya, tanggal 17 agustus tidak ada bedanya dengan tanggal-tanggal lain dalam setahun, mungkin dengan pengacualian bahwa hari libur saya bertambah satu dengan adanya tanggal 17 agustus ini. Saya pun bukan orang yang nasionalis dalam artian umum. Saya melihat sebelah mata pada pancasila, memandang malas kepada burung garuda dan menggambar Crayon Shinchan pada saat pemilu presiden beberapa waktu lalu. Tidak cukup nasionalis kan?
Andai bisa, saya tidak ingin mengikuti satu-pun peraturan birokrasi di negara ini. Masa bodoh dengan KTP, masa bodoh dengan pajak, masa bodoh dengan kartu keluarga, sekali lagi, andaikan bisa. Sayangnya aturan mengatakan demikian, dan hidup saya bisa terganggu kestabilannya mengingat saya berasal dari golongan menengah ke bawah. Pemikiran saya masih seperti anak SMA ketika sedang presentasi, (1) pemerintah selalu salah, (2) jika ada masalah sosial politik, ekonomi ataupun bencana alam, silahkan kembali ke poin nomor 1.
Betul, saya tidak pernah melihat dimana bagusnya sistem birokrasi, tata pemerintahan dan bagaimana para rakyat menanggapi persoalan-persoalan tersebut. Teman saya bilang, “kita tahu, tapi kita pura-pura tidak tahu”. Yang saya balas dengan, “apa yang bisa kita perbuat? Toh kita tidak bisa apa-apa.”. singkat kata:
Saya cinta negri ini, Indonesia, tapi saya benci dengan sistem yang ada. Bukan pesimis, saya hanya merasa belum mampu melakukan apa-apa untuk menggerakan roda perubah. Dan catat kata belum, itu berarti ‘akan’, cepat atau lambat.
Terhitung 64 tahun yang lalu teks proklamasi dibacakan, kemerdekaan dideklarasikan, cengkraman penjajah dilepaskan, Indonesia terbentuk. Rakyat menyambut dengan antusias, kemerdekaan yang saat itu diperjuangkan pada bulan Ramadhan tidak menyurutkan teriakan-teriakan massa yang membara. Merdeka, merdeka, dan merdeka, itulah yang mereka ucapkan, tak peduli rasa haus dan lapar yang merajam perut, mereka tetap semangat berteriak, mengacu pada film dokumenter yang saya tonton tentang kemerdekaan republik kita ini tentu saja.
Sekarang, 64 tahun kemudian setelah bapak Soekarno maju ke podium, apakah semangat yang dirasakan oleh bumi pertiwi ini masih sama seperti dulu? Untuk yang satu itu, saya tidak tahu. Bisa iya, bisa juga tidak. Mungkin saya juga kurang ambil bagian dalam memparadekan hari kemerdekaan kita itu. Jelas saja, 19 tahun saya hidup, dan 18 kali hari kemerdekaan terlewat, belum pernah satu kalipun darah saya mengalir lebih deras setiap tanggal 17 agustus datang. Biasanya hanya numpang lewat dan tidak menimbulkan kesan yang berarti bagi diri saya pribadi.
Zaman dulu tidak sama dengan sekarang, zaman sekarang segala sesuatunya bisa diperjuangkan tidak hanya dengan main mulut atau main fisik, ada teknologi yang dinamakan internet yang membuat kita dapat berteriak dalam dunia maya, dan sebagainya. Atau justru sebaliknya? Justru teknologi lah yang mengakibatkan moral bangsa kita untuk urusan nasionalisme turun drastis? Kalau-kalau para ekstrimis berbicara, pastilah globalisasi dan modernisasi yang dijadikan kambing hitam. Atau yang lebih tidak bertanggung jawab, itu adalah salah para generasi muda yang terlalu rapuh jatuh kedalam bujukan tangan liberalis.
Entah untuk para kaum muda yang lain, tapi bagi saya, tanggal 17 agustus tidak ada bedanya dengan tanggal-tanggal lain dalam setahun, mungkin dengan pengacualian bahwa hari libur saya bertambah satu dengan adanya tanggal 17 agustus ini. Saya pun bukan orang yang nasionalis dalam artian umum. Saya melihat sebelah mata pada pancasila, memandang malas kepada burung garuda dan menggambar Crayon Shinchan pada saat pemilu presiden beberapa waktu lalu. Tidak cukup nasionalis kan?
Andai bisa, saya tidak ingin mengikuti satu-pun peraturan birokrasi di negara ini. Masa bodoh dengan KTP, masa bodoh dengan pajak, masa bodoh dengan kartu keluarga, sekali lagi, andaikan bisa. Sayangnya aturan mengatakan demikian, dan hidup saya bisa terganggu kestabilannya mengingat saya berasal dari golongan menengah ke bawah. Pemikiran saya masih seperti anak SMA ketika sedang presentasi, (1) pemerintah selalu salah, (2) jika ada masalah sosial politik, ekonomi ataupun bencana alam, silahkan kembali ke poin nomor 1.
Betul, saya tidak pernah melihat dimana bagusnya sistem birokrasi, tata pemerintahan dan bagaimana para rakyat menanggapi persoalan-persoalan tersebut. Teman saya bilang, “kita tahu, tapi kita pura-pura tidak tahu”. Yang saya balas dengan, “apa yang bisa kita perbuat? Toh kita tidak bisa apa-apa.”. singkat kata:
Saya cinta negri ini, Indonesia, tapi saya benci dengan sistem yang ada. Bukan pesimis, saya hanya merasa belum mampu melakukan apa-apa untuk menggerakan roda perubah. Dan catat kata belum, itu berarti ‘akan’, cepat atau lambat.
Selamat ulang tahun yang ke 64, wahai Zamrud Khatulistiwaku.
Bremm! Nguong.. Kyaa!
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Sunday, August 16, 2009
Posted at : 11:55 PM
Gue udah bisa naek motor dong. *pasang emot kacamata item*.
Keterlaluan emang kalau gue disetarakan sama anak-anak jaman sekarang yang waktu SD aja udah bisa bawa motor seport, sedangkan gue naek sepeda aja masih roda tiga. Yah, tahap perkembangan masing-masing individu kan beda-beda, dan mungkin gue salah satu yang cukup terlambat *wush, ngeles*. Haha.. ya gimana ngga, belajar sepeda aja pas kelas tiga SMA, itu juga pake nabrak tukang sayur untuk jumlah yang melebihi jumlah rambut dikepala.
Gak deng. Kalo belajar sepeda sih udah dari Te-Ka, cuman karena satu dan lain hal (kenal dengan kata-kata itu?) kemampuan bersepeda gue ilang, sejalan lurus dengan minat naek sepeda gue sampai kelas tiga SMA kemaren. Mungkin udah cukup, tapi gue ingin berterima kasih lagi sama Lutfi yang udah capek-capek mau ngajarin gue sepedaan.. ralat, udah mau tega-teganya ngerokok nyantai sementara gue keseok-seok belajar sendirian. Dan tentunya momen-momen tak terlupakan bersama kumpulan Bersepeda Lintas Jakarta dalam menerobos tiap-tiap arteri utama yang ada di ibukota kita tercinta ini, yang membuat gue jatuh hati dengan kendaraan roda dua paling bonafide dalam persepsi gue pribadi, makasi.
Bisa naek motor? Yeah, ‘bisa’ disini maksudnya, gue udah bisa ngebut dikit-dikit, nyelip dikit-dikit, nanjak dikit-dikit, banyakan kagoknya. Jiah. Kaga-kaga, udah lumayan lancar kok.
Kemaren gue latihan naek motor dalam tanda kutip (jadinya “latihan naek motor”?). Atau katakanlah begitu. Diawali dengan ngapel seperti biasa kerumah meine freundin (cihui, gue punya pacar?), ngobrol-ngobrol membunuh waktu, makan, dan ngegosip sama si ibu. Sampai pada suatu titik, ada celetukan ide yang entah awalnya dari siapa, dari gue, atau meine freundin? Tau.. yang jelas berbunyi pengen jalan-jalan. Dan dikarenakan faktor x yang berbunyi: BOKEK! Maka kriteria tempat yang akan didatangi ya jelas yang ngga boros uang. Jadilah, meine freundin mengusulkan, “gimana kalo sekalian latihan motor?” dan gue pun ngangguk.
Untuk destinasi, dikarenakan ada dua kepala yang sama-sama males mikir untuk memutuskan sesuatu, tempat tujuan yang ditargetkan pun jadi ngaco. Dari dago sampai lembang, dari kota baru parahyangan sampai jatinangor, acak, tapi melihat kondisi skill nyetir gue yang setara batita, maka jatinangor dijadikan destinasi. Dengan pertimbangan jalan kesana itu lurus-lurus doang. Alrite.
Jadilah, jam setengah lima kita berangkat dari kiaracondong menuju jatinangor, dengan gue sebagai supir, dan meine freundin sebagai kenek. Btw, jatinangor tuh kagak jauh-jauh amat yak? Cuman jalanan lurus ‘blas’, belok kanan, sedikit macet dan beres deh. Dulu gue kira jauh banget loh, karena udah keluar Bandung dan masuk kabupaten kan ya? Tapi masih bisa diakses pulang-pergi setiap hari kok *kalo niat*. Kebayang dah kaya apaan guru-guru SMA gue yang tinggalnya di Bekasi dan harus pulang pergi Bekasi-Jakarta tiap hari! Eew.. masuk pagi pula. Salim dulu ah bu *sungkem*.
Kesan di perjalanan? Hadah, setiap speedometer mencapai angka 50km/j, pasti ada suara dibelakang gue, iyap, si kenek, meine freundin pasti jejeritan kalau gue bawa ngebut dikit. Suara-suara macem, “Aduh! Pelan-pelan!”, “40 ajah!”, “Teteh takuut!” and so on berkumandang tiap tiga menit. Padahal kalau dia yang bawa, ngebut-ngebut halal aja tuh, pengen gue jitak tapi dia pake helm, ga akan berasa kan? Ya ga jadi deh. Tapi ada benernya juga sih, toh gue baru belajar, sok-sokan ngebutnya ditahan dulu aja sampe bener-bener bisa. Ihi..
Jatinangor juga ngga kaya bayangan, awalnya gue kira penuh pohon dimana-mana, hijau asri, sejuk, udaranya enak. Tapi yang ada malah kebalikannya, hahah.. mimpi-mimpi gue pupus sudah. Tapi untung kesananya sore, jadi gersangnya ngga terlalu berasa. Sesampenya disana, kita, gue dan meine freunding langsung parkir di Jatos, masuk kedalam ke mall satu-satunya di jatinangor yang minim fasilitas *gaya lah, orang kota gituh*. Masuk kesini cuma nangkrin di foodcourt beli teh poci, ngobrol-ngobrol sedikit untuk nunggu magriban. Ihi, bokek. Abis solat langsung jalan-jalan di daerah sana.
Satu hal yang familiar dengan jatinangor, atmosfirnya mirip-mirip sama kota di jawa. Mungkin karena banyak truk-truk pengankut material ataupun bis-bis kotanya, tapi gue merasa ada kemiripan sama kota-kota yang ada di garis utara pulau jawa, atau pantura pada khususnya. Dalam cara yang aneh, gue ngerasa kaya ada dirumah *halah, gaya*. Ujung-ujungnya kita makan di warung nasi goreng, kalau di daerah kampus UPI, mungkin nasi goreng pengkolan kali ya? <- kata meine freundin, hahah.. Begitu selesai, langsung balik lagi ngelewatin jalan yang sama dengan yang kita dilewatin untuk ke jatinangor. Hasrat untuk ngebut dan nyelip-nyelip gue pun ngga tertahankan, dan dibelakang kepala ada yang jerit-jerit lagi..
Keterlaluan emang kalau gue disetarakan sama anak-anak jaman sekarang yang waktu SD aja udah bisa bawa motor seport, sedangkan gue naek sepeda aja masih roda tiga. Yah, tahap perkembangan masing-masing individu kan beda-beda, dan mungkin gue salah satu yang cukup terlambat *wush, ngeles*. Haha.. ya gimana ngga, belajar sepeda aja pas kelas tiga SMA, itu juga pake nabrak tukang sayur untuk jumlah yang melebihi jumlah rambut dikepala.
Gak deng. Kalo belajar sepeda sih udah dari Te-Ka, cuman karena satu dan lain hal (kenal dengan kata-kata itu?) kemampuan bersepeda gue ilang, sejalan lurus dengan minat naek sepeda gue sampai kelas tiga SMA kemaren. Mungkin udah cukup, tapi gue ingin berterima kasih lagi sama Lutfi yang udah capek-capek mau ngajarin gue sepedaan.. ralat, udah mau tega-teganya ngerokok nyantai sementara gue keseok-seok belajar sendirian. Dan tentunya momen-momen tak terlupakan bersama kumpulan Bersepeda Lintas Jakarta dalam menerobos tiap-tiap arteri utama yang ada di ibukota kita tercinta ini, yang membuat gue jatuh hati dengan kendaraan roda dua paling bonafide dalam persepsi gue pribadi, makasi.
Bisa naek motor? Yeah, ‘bisa’ disini maksudnya, gue udah bisa ngebut dikit-dikit, nyelip dikit-dikit, nanjak dikit-dikit, banyakan kagoknya. Jiah. Kaga-kaga, udah lumayan lancar kok.
Kemaren gue latihan naek motor dalam tanda kutip (jadinya “latihan naek motor”?). Atau katakanlah begitu. Diawali dengan ngapel seperti biasa kerumah meine freundin (cihui, gue punya pacar?), ngobrol-ngobrol membunuh waktu, makan, dan ngegosip sama si ibu. Sampai pada suatu titik, ada celetukan ide yang entah awalnya dari siapa, dari gue, atau meine freundin? Tau.. yang jelas berbunyi pengen jalan-jalan. Dan dikarenakan faktor x yang berbunyi: BOKEK! Maka kriteria tempat yang akan didatangi ya jelas yang ngga boros uang. Jadilah, meine freundin mengusulkan, “gimana kalo sekalian latihan motor?” dan gue pun ngangguk.
Untuk destinasi, dikarenakan ada dua kepala yang sama-sama males mikir untuk memutuskan sesuatu, tempat tujuan yang ditargetkan pun jadi ngaco. Dari dago sampai lembang, dari kota baru parahyangan sampai jatinangor, acak, tapi melihat kondisi skill nyetir gue yang setara batita, maka jatinangor dijadikan destinasi. Dengan pertimbangan jalan kesana itu lurus-lurus doang. Alrite.
Jadilah, jam setengah lima kita berangkat dari kiaracondong menuju jatinangor, dengan gue sebagai supir, dan meine freundin sebagai kenek. Btw, jatinangor tuh kagak jauh-jauh amat yak? Cuman jalanan lurus ‘blas’, belok kanan, sedikit macet dan beres deh. Dulu gue kira jauh banget loh, karena udah keluar Bandung dan masuk kabupaten kan ya? Tapi masih bisa diakses pulang-pergi setiap hari kok *kalo niat*. Kebayang dah kaya apaan guru-guru SMA gue yang tinggalnya di Bekasi dan harus pulang pergi Bekasi-Jakarta tiap hari! Eew.. masuk pagi pula. Salim dulu ah bu *sungkem*.
Kesan di perjalanan? Hadah, setiap speedometer mencapai angka 50km/j, pasti ada suara dibelakang gue, iyap, si kenek, meine freundin pasti jejeritan kalau gue bawa ngebut dikit. Suara-suara macem, “Aduh! Pelan-pelan!”, “40 ajah!”, “Teteh takuut!” and so on berkumandang tiap tiga menit. Padahal kalau dia yang bawa, ngebut-ngebut halal aja tuh, pengen gue jitak tapi dia pake helm, ga akan berasa kan? Ya ga jadi deh. Tapi ada benernya juga sih, toh gue baru belajar, sok-sokan ngebutnya ditahan dulu aja sampe bener-bener bisa. Ihi..
Jatinangor juga ngga kaya bayangan, awalnya gue kira penuh pohon dimana-mana, hijau asri, sejuk, udaranya enak. Tapi yang ada malah kebalikannya, hahah.. mimpi-mimpi gue pupus sudah. Tapi untung kesananya sore, jadi gersangnya ngga terlalu berasa. Sesampenya disana, kita, gue dan meine freunding langsung parkir di Jatos, masuk kedalam ke mall satu-satunya di jatinangor yang minim fasilitas *gaya lah, orang kota gituh*. Masuk kesini cuma nangkrin di foodcourt beli teh poci, ngobrol-ngobrol sedikit untuk nunggu magriban. Ihi, bokek. Abis solat langsung jalan-jalan di daerah sana.
Satu hal yang familiar dengan jatinangor, atmosfirnya mirip-mirip sama kota di jawa. Mungkin karena banyak truk-truk pengankut material ataupun bis-bis kotanya, tapi gue merasa ada kemiripan sama kota-kota yang ada di garis utara pulau jawa, atau pantura pada khususnya. Dalam cara yang aneh, gue ngerasa kaya ada dirumah *halah, gaya*. Ujung-ujungnya kita makan di warung nasi goreng, kalau di daerah kampus UPI, mungkin nasi goreng pengkolan kali ya? <- kata meine freundin, hahah.. Begitu selesai, langsung balik lagi ngelewatin jalan yang sama dengan yang kita dilewatin untuk ke jatinangor. Hasrat untuk ngebut dan nyelip-nyelip gue pun ngga tertahankan, dan dibelakang kepala ada yang jerit-jerit lagi..
Harus lancar, biar dia ngga jerit-jerit lagi :)
Pintunya Terbuka tuh, part II...
Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, August 11, 2009
Posted at : 10:57 PM
“Ini semua biar kamu mandiri, bung.”
Apa tolak ukur seseorang bisa dikatakan mandiri? Kalau candaan garing jaman gue SMP pasti akan bilang, “bisa mandi sendiri,” haha. Kalau tolak ukur standar ya tentu, bisa mengurus dirinya sendiri tanpa ketergantungan orang lain. Entah itu nyari makan, ngurus semua kebutuhan sehari-hari ataupun udah ngga membutuhkan afeksi berlebih dari keluarganya (manja). Dan kalau boleh ditambahkan dalam contoh ekstrim, udah bisa nyari uang sendiri. Tapi pastinya tolak ukur mandiri itu beda di setiap kultur budaya, oh, ngga usah terlalu umum seperti budaya, di setiap keluarga mungkin punya tolakan mandiri yang beda-beda..
Untuk gue sendiri, gue udah dilepas kayak ayam dari gue SD. Tepatnya kelas lima, saat itu keluarga kecil gue keluar dari keluarga besar untuk alasan yang gue pun ngga tau, kami mengontrak rumah yang jaraknya ngga begitu jauh dari rumah keluarga besar, approximately 5 km kali ya? Dan karena ibu kerja dan si bapak juga kerja (mungkin), gue harus ngurus diri gue sendiri ngga tau gimana caranya.
Jam setengah tujuh berangkat sekolah, selesai jam tiga, pulang kerumah ngga ada siapa-siapa, gue diharuskan masak sendiri, entah cuma goreng makanan beku, atau bereksperimen geje di dapur. Kerjaan gue ya maen melulu, terus yang asiknya, karena lingkungan rumah kontrakan gue itu termasuk lingkungan ‘slump’ (kumuh), temen gaul gue di lingkungan rumah itu ya heboh-heboh. Ngga ada batasan umur disana, gue bergaul sama preman-preman tukang mabok, tatoan, tindikan dimana-mana dan kalo ngomong itu ngga pernah lepas dari kata “k*n*l”, “anj*ng*”, “ng*n*o*” and so on. Lingkungan mempengaruhi kepribadian kan? So, jadilah gue, Cubung Hanito versi begundal berandal bromorcorah di saat mimpi basah-pun gue belom.
Mandiri eh?
Gue ngga bisa melihat poin pengorbanan yang dilakukan orang tua gue untuk menjadikan gue mandiri. Mereka hanya melepas gue kaya ayam dan beres. Kalau kata tutor gue di rohis dulu,
“Usaha antum cuma segitu, ya jangan harap Allah akan ngasih apa yang antum mau,”
Nah, sekarang mereka tobat, dan minta gue balik? Dan mengatasnamakan didikan ayam dilepas itu sebagai proses untuk membentuk kemandirian gue? Makanya, bullshit. Dalam kesadaran yang jauh, gue bersyukur dididik dengan cara macam itu, dengan begitu gue merasa bisa mandiri lebih awal setidaknya, dan gue ngga terlalu membutuhkan afeksi dari keluarga yang memang nyaris ngga pernah diberikan. Mungkin itu faktor utama yang membuat gue merasa bisa bertahan dengan prinsip alone but not lonely beberapa waktu yang lalu. Hahah.
Lalu? Apakah gue trauma? Melihat output keluarga yang blecetan kemana-mana dan ngga jelas bentuknya itu? Well, sort of. Ngga bisa dibilang juga gue trauma, toh gue masih dengan santai bisa meletetkan lidah gue kepada mereka. Benci? Biasa tuh, udah mati rasa sama yang namanya family matter. Terus?
Gue cuma ngga mau nikah, simpel kan?
No, no, bukannya gue puter haluan dan jadi gay, kagak lah. Gue doyan cewe seperti gue doyan apel, bisa digigit *loh*. Andaikan gue menunjukkan symptom-symptom gayness, itu hanya sekedar candaan, oke?
Dan kalau ditanya alasannya? err, apa penjabaran singkat disepanjang entri-entri gue sebelumnya ngga cukup? Yah, cuma takut sih. Gimana kalau kesalahan yang sama terulang lagi? Nanti perempuan yang jadi istri gue gimana nasibnya? Dan kalau punya anak, anak gue bakalan jadi kaya apa? Apa akan jadi kaya gue yang—euh. Gue dalam posisi yang sekarang, sebagai anak, merasa udah cukup, ga usahlah ada keluarga lain lagi yang ujungnya cuma jadi begini. Dan gue, sebagai cikal bakal pembentuk keluarga di masa depan nanti merasa ngga perlu untuk menambah daftar panjang tersebut. Karena itu, gue nggak mau nikah.
“Lo tau apa yang beda diantara lo dan gue, bung?”
“Ngga, lo bilang kita sama, kan?”
“You have the father material, and im not,”
“Hahah..”
(Kapan ya? Sekitar desember 2008 mungkin, Monas.)
Kembali ke poin awal, apakah benar begitu? Apakah gue udah tau sendiri garis takdir gue sepuluh tahun yang akan datang seperti apa? Apa gue tau besok pagi gue akan makan apaan? Apa gue tau kalau dua tahun lagi itu awal dari sebuah akhir? Dan apa gue tau gua hanya akan membuat keluarga yang ujungnya cuma ancur-ancuran? Ngga tuh. Gue hidup 19 tahun, dan selama 7 tahun mengkonsepkan bahwa gue ngga akan menikah nantinya. Tapi hei, ada faktor x yang lain, apakah selama 19 tahun gue hidup gue hanya menemukan satu jenis keluarga doang? Hanya keluarga yang hancur doang? Ngga tuh. Di banyak tempat dan kenalan, gue menemukan keluarga-keluarga yang rapih, harmonis dan terlihat manis.
Pikiran awal: Loh? Apa salah gue? Kenapa keluarga gue blarakan, tapi orang lain bisa keliatan indah begitu? Dosa gue apa?
Pikiran-setelah-bener-bener-mikir: Kenapa ngga bikin aja keluarga yang seperti itu?
Entahlah pikiran itu muncul sejak kapan, apalagi orang yang katakanlah orang terdekat gue sekarang, tinggal di keluarga yang harmonis, sangat malah. Mungkin terlalu berada lama disana membuat pola pikir gue ngegeser? Siapa yang tau? Gue ngga bisa bilang kalau paradigma gue tentang pernikahan udah berubah, gue masih tetep takut nikah, tapi, sedikit, paradigma itu udah bergeser. Semoga.
Karena kamu, mungkin?
Pintunya Terbuka tuh
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, August 10, 2009
Posted at : 2:45 PM
Berapa lama gue ngga mengapdate entri disini? Ah, malas kalau disuruh ngitungin hari satu-satu. Tapi bukan berarti gue ngga menulis sama sekali, kebanyakan hal yang ingin gue tulis udah disalurkan ke tempat lain, sedangkan kejadian yang gue alami belakangan terlalu statis untuk dijadikan bahan tulisan. So, blog yang udah berdiri lebih dari setahun ini nganggur lah. Padahal, awalnya gue ingin membuat entri setiap tiga hari sekali, yang berarti kira-kira sepuluh postingan perbulan, niatan awal sih gitu, nyatanya? Ngek.
So? Mumpung tugas udah ngga ada dan ada yang lewat dikepala gue, mari nulis.
Seseorang yang bisa gue bilang temen, dulunya, dateng ke Bandung. Gue bertemu dengan dia di suatu tempat, sedikit nostalgia, dan menari dengan candaan-candaan khas kita berdua. Hal-hal klise yang biasa dilakukan teman lama tentunya. Tapi bagaimana kalau ternyata dia udah berbeda jauh dari apa yang kita kenali dulu? No, no, bukan soal tampilan, bukan fisik, tapi soal apa yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau hubungan yang dulunya dibina dengan baik menjadi garing karena jarak dan waktu? Well.
Si teman ini tiba-tiba mengatakan hal yang intinya menandakan permusuhan dari hubungan baik itu ke gue. Alasannya? karena gue ngga bisa memenuhi keinginan dia. Tentunya ini akan jadi masalah yang bisa ngebuat kepikiran sampe-sampe hanya mengonsumsi rokok dan kopi (atau teh) dalam hitungan hari. Tapi nyatanya ngga.
Kaya yang gue bilang di beberapa entri sebeljumnya, hanya ada beberapa orang yang gue akui, hanya orang-orang inilah yang bisa ngebuat gue stres berkepanjangan. Dia ini tadinya adalah salah satunya, tapi dikarenakan hal yang membuat hubungan gue dan dia jadi buruk, jarak dan waktu, pengakuan dari gue pun hilang. Hasilnya? Mudah, peduli amat. Dia mau marah kek, mau jungkir balik kek, ya mana peduli, respek hilang, ketertarikan hilang, ya selamat tinggal. Yea, gue mengadaptasi pola pikir ini dari Rere dengan sedikit perubahan.
Satu hal yang berbeda dari Rere, mungkin. Pemutusan hubungan ngga akan berasal dari gue, kalau pihak lain udah ngga merasa perlu untuk berinteraksi atau mengontak gue, ya ngapain juga gue maksa-maksa? Kalau dia ngga butuh, ya (terpaksa) gue juga ngga butuh. Haha, menghilangkan relasi? Itu yang gue takutin, tapi kalau pihak lain yang mau, bisa apa gue?
Itu mungkin yang membuat gue berpikir untuk memprofesionalkan hubungan dengan kebanyakan orang. Kalau memang ada perlu, ya silakan hubungi gue, siap sedia membantu, tapi andaikan engga? Ngga masalah juga sih. Dengan begitu guenya ngga perlu takut kan kehilangan relasi? Toh relasinya aja ngga ada, haha. Yang pasti, gue menyayangkan kalau orang yang gue akui, yang jumlahnya juga sedikit, malah jadi musuh. Yah, masa bodo lah. Like i care.. but, i do care.. muahaha..
Jah, gue misuh-misuh gini juga orangnya juga kaga akan baca.. yasutra lah. Seenggaknya nulis.
So? Mumpung tugas udah ngga ada dan ada yang lewat dikepala gue, mari nulis.
Seseorang yang bisa gue bilang temen, dulunya, dateng ke Bandung. Gue bertemu dengan dia di suatu tempat, sedikit nostalgia, dan menari dengan candaan-candaan khas kita berdua. Hal-hal klise yang biasa dilakukan teman lama tentunya. Tapi bagaimana kalau ternyata dia udah berbeda jauh dari apa yang kita kenali dulu? No, no, bukan soal tampilan, bukan fisik, tapi soal apa yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau hubungan yang dulunya dibina dengan baik menjadi garing karena jarak dan waktu? Well.
Si teman ini tiba-tiba mengatakan hal yang intinya menandakan permusuhan dari hubungan baik itu ke gue. Alasannya? karena gue ngga bisa memenuhi keinginan dia. Tentunya ini akan jadi masalah yang bisa ngebuat kepikiran sampe-sampe hanya mengonsumsi rokok dan kopi (atau teh) dalam hitungan hari. Tapi nyatanya ngga.
Kaya yang gue bilang di beberapa entri sebeljumnya, hanya ada beberapa orang yang gue akui, hanya orang-orang inilah yang bisa ngebuat gue stres berkepanjangan. Dia ini tadinya adalah salah satunya, tapi dikarenakan hal yang membuat hubungan gue dan dia jadi buruk, jarak dan waktu, pengakuan dari gue pun hilang. Hasilnya? Mudah, peduli amat. Dia mau marah kek, mau jungkir balik kek, ya mana peduli, respek hilang, ketertarikan hilang, ya selamat tinggal. Yea, gue mengadaptasi pola pikir ini dari Rere dengan sedikit perubahan.
Satu hal yang berbeda dari Rere, mungkin. Pemutusan hubungan ngga akan berasal dari gue, kalau pihak lain udah ngga merasa perlu untuk berinteraksi atau mengontak gue, ya ngapain juga gue maksa-maksa? Kalau dia ngga butuh, ya (terpaksa) gue juga ngga butuh. Haha, menghilangkan relasi? Itu yang gue takutin, tapi kalau pihak lain yang mau, bisa apa gue?
Itu mungkin yang membuat gue berpikir untuk memprofesionalkan hubungan dengan kebanyakan orang. Kalau memang ada perlu, ya silakan hubungi gue, siap sedia membantu, tapi andaikan engga? Ngga masalah juga sih. Dengan begitu guenya ngga perlu takut kan kehilangan relasi? Toh relasinya aja ngga ada, haha. Yang pasti, gue menyayangkan kalau orang yang gue akui, yang jumlahnya juga sedikit, malah jadi musuh. Yah, masa bodo lah. Like i care.. but, i do care.. muahaha..
Jah, gue misuh-misuh gini juga orangnya juga kaga akan baca.. yasutra lah. Seenggaknya nulis.
Sikit Tentang Rohis
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Tuesday, July 28, 2009
Posted at : 11:22 PM
What a freaaaakkin cold night wind breeze out theree!?
Jam sembilan malem, tapi anginnya kaya jam tiga pagi, sinting. July mau berakhir dan akan digantikan Agustus, yang berarti September ngga akan lama lagi, haha, gue rindu hujan yang turun setiap hari. Walaupun cucian jadi lama keringnya, seenggaknya gue bisa menikmati musim kesukaan gue itu. Segalanya jadi dingin, sedikit-sedikti keujanan, sedikit-sedikit pilek, dan selimut jadi dobel, yeap, rindu enak ga enaknya musim ujan.
Well, selain penanggalan masehi yang berganti, dan musim yang berubah, satu hal lagi yang menjadi momok kebanyakan orang di negara yang mayoritas muslim dan berada di daerah kanan ini. Penanggalan Hijiriah, ngga lama lagi bulan puasa akan dateng. Kenapa? Yah, sejujurnya gue ngga begitu girang-girang amat dengan datengnya puasa, sebaliknya, gue juga ngga merasa terganggu dengan datangnya bulan dimana keseharian kita harus serba nahan (ehem, agak bermasalah dengan emosi sih, tapi bukan hal besar toh). Kalau kebanyakan orang jadi keinget sama atmosfir bulan puasa yang tenang dan damai itu, gue, jadi keinget Rohis.
It’s a couple years ago, disaat gue masih aktif di organisasi keagamaan itu, menjalani bulan puasa bisa dibilang menyenangkan, bisa juga nyiksa. Tentu menyenangkan, dengan berbagai macam kuliah-kuliah islami, tiap minggunya dikasih menthoring sama orang-orang yang cukup cakap di bidangnya, diberikan doktrin-doktrin bagaimana menyenangkannya bagaimana menjalankan ibadah puasa sebagai seorang muslim, ya gimana ngga kepengaruh?
Ngga menyenangkannya? Well, jadi pusat pertanyaan di kelas, mungkin. Dongkol juga sama guru Agama gue yang sekaligus jadi pembina Rohis, dia menyarankan pada anak kebanyakan untuk bertanya kepada anggota Rohis kalau-kalau ada yang ngga dimengerti.. Eah..
“Boleh ini ngga bung?”
“Itu boleh ngga sih?”
“Doa ini gimana?”
“Eh, niat sholat ini gimana?”
“Eh eh eh..”
Dan tentunya gue jawab dengan demokratis. Jawaban yang gue kasih ngga kolot konservatif, tapi juga ngga liberal terlebih sekuler. Jawaban yang ada ditengah yang tidak menjudge benar salah, tapi bagaimana yang nanya ini bisa memutuskan baik ngganya sendiri. Halah, sok keren gue. Ngga enaknya, dari petuah-petuah yang diberikan para mentor, mau ga mau yang mendengar pasti jadi terpacu kan? Apalagi kalau diberikan dengan gaya yang amat persuasif. Contohnya,
“Alangkah baiknya bila antum mencari amal sebanyak-banyaknya di bulan yang penuh berkah ini. Kalau antum biasa tilawah satu halaman sehari pada hari biasa, cobalah untuk tilawah satu juz sehari saat bulan ramadhan ini. Pahalanya—bla bla bla”
Note: antum: kalian, atau ‘kamu’ dalam artian paling halus.
Dan gue pun tilawah satu juz sehari. Eaak, mulut sampe kering pas puasa, yang ngga lancar baca jadi lancar, yang lelet jadi cepet, yang pendek napas jadi panjang and so on. Entah rela atau terpaksa, gua melakukannya. Yah, seenggaknya gue udah pernah khatam sekali karena petuah-doktrin-super-persuasif itu, ehe.
Dan disaat gue teringat dengan euforia ramadhan saat itu, tiba-tiba gue mendapatkan sebuah Tag di FB, sebuah notes. Bunyinya:
Note: murni kopipas, besar kecil huruf itu tanggung jawab yang nulis, Lol..
Tanggepan gue: Nah lohh?
Entah mereka yang aneh, atau guenya yang mati rasa? Tapi gue sama sekali ngga merasakan apa yang mereka rasakan. Kangen secara personal dengan member rohis lain? a big no. Kangen sih iya, tapi bukan dengan orangnya., organisasinya. Alasan gue milih Rohis pada awalnya karena gue benci dengan badan eksekutif yang ada didalam lembaga pendidikan (baca: OSIS). Tapi gue ingin berorganisasi, sementara organisasi legal didalam lingkungan sekolah ya itu-itu aja, OSIS dan MPK. Ekskul? Yea, gue akhirnya milih ekskul yang berbentuk organisasi, Rohis.
Dan gue menikmatinya, sungguh. Bekerja secara profesional di sebuah badan itu menyenangkan. Apalagi dengan angkatan gue yang cowonya hanya berjumlah delapan orang. Semuanya pas, efisien dan ngga ada pemborosan tenaga percuma karena kebanyakan orang. Tanggung jawab lebih besar. Gimana caranya nyalurin duit puluhan juta agar sampai ke divisi-divisi yang beres dan digunain secara efisien dengan orang yang terbatas. Phew. Itu tiga tahun yang menyenangkan secara profesional, tenaga gue bener-bener kepake. Tapi secara personal? Eak..
Awalnya mungkin iya, awal bergabung gue ngira bisa mempercayai mereka satu demi satu. Yang notabene adalah kumpulan orang yang beda-beda latar belakang, gue pikir menyenangkan bisa berbagi pikiran dengan mereka, awalnya. Sampai suatu titik gue sadar. Bahwa organisasi yang tidak didasari dengan loyalitas, tapi dengan ikatan keagamaan itu hanya berbuah dua jalan. (1) Kuat erat karena sepaham, (2) blarakan karena berprinsip terlalu konservatif dan cenderung masa bodo dengan permasalahan tiap individu. di OSIS, yang landasannya loyalitas, ketika satu anggotanya terkena masalah, maka akan langsung dipertanyakan keloyalannya terhadap organisasi, di Rohis? Jangan harap. Dan sejak sadar itu, gue membatasi, cukup dengan ikatan profesional aja di organisasi itu. Ambil ilmunya, jalankan kegiatannya, tapi jangan terikat dengan orang-orangnya.
Gue penasaran apa yang terjadi kalau gue ketemu dengan para mentor gue dulu.. haha, yang pasti, dari pengalaman dengan apa yang terjadi kepada senior-senior angkatan atas gue dulu saat balik ke sekolah. Pertanyaannya kurang lebih:
“Assalamualaikum, apa kabar akhi?”
(Baik aja akh)
“Masih konsisten di jalan Allah ga antum?”
(Alhamdulillah, masih akh)
“Solatnya gimana? Masih susah kaya dulu ngga?”
(Ngga, udah ngga pernah bolong kok)
“Tadarusnya gimana, tajwidnya membaik ga? Udah tartil belum?”
(Udah jarang akhi, tapi seminggu ada kok satu halaman)
Huahahaha.. Kaya diinterogasi dah. Untungnya gue ngga pernah denger mentor-mentor gue nanya begini:
“Akhi, pacaran?
(Iya akh, ehehe..)
Bisa langsung disidang di tempat.. jiah..
Jam sembilan malem, tapi anginnya kaya jam tiga pagi, sinting. July mau berakhir dan akan digantikan Agustus, yang berarti September ngga akan lama lagi, haha, gue rindu hujan yang turun setiap hari. Walaupun cucian jadi lama keringnya, seenggaknya gue bisa menikmati musim kesukaan gue itu. Segalanya jadi dingin, sedikit-sedikti keujanan, sedikit-sedikit pilek, dan selimut jadi dobel, yeap, rindu enak ga enaknya musim ujan.
Well, selain penanggalan masehi yang berganti, dan musim yang berubah, satu hal lagi yang menjadi momok kebanyakan orang di negara yang mayoritas muslim dan berada di daerah kanan ini. Penanggalan Hijiriah, ngga lama lagi bulan puasa akan dateng. Kenapa? Yah, sejujurnya gue ngga begitu girang-girang amat dengan datengnya puasa, sebaliknya, gue juga ngga merasa terganggu dengan datangnya bulan dimana keseharian kita harus serba nahan (ehem, agak bermasalah dengan emosi sih, tapi bukan hal besar toh). Kalau kebanyakan orang jadi keinget sama atmosfir bulan puasa yang tenang dan damai itu, gue, jadi keinget Rohis.
It’s a couple years ago, disaat gue masih aktif di organisasi keagamaan itu, menjalani bulan puasa bisa dibilang menyenangkan, bisa juga nyiksa. Tentu menyenangkan, dengan berbagai macam kuliah-kuliah islami, tiap minggunya dikasih menthoring sama orang-orang yang cukup cakap di bidangnya, diberikan doktrin-doktrin bagaimana menyenangkannya bagaimana menjalankan ibadah puasa sebagai seorang muslim, ya gimana ngga kepengaruh?
Ngga menyenangkannya? Well, jadi pusat pertanyaan di kelas, mungkin. Dongkol juga sama guru Agama gue yang sekaligus jadi pembina Rohis, dia menyarankan pada anak kebanyakan untuk bertanya kepada anggota Rohis kalau-kalau ada yang ngga dimengerti.. Eah..
“Boleh ini ngga bung?”
“Itu boleh ngga sih?”
“Doa ini gimana?”
“Eh, niat sholat ini gimana?”
“Eh eh eh..”
Dan tentunya gue jawab dengan demokratis. Jawaban yang gue kasih ngga kolot konservatif, tapi juga ngga liberal terlebih sekuler. Jawaban yang ada ditengah yang tidak menjudge benar salah, tapi bagaimana yang nanya ini bisa memutuskan baik ngganya sendiri. Halah, sok keren gue. Ngga enaknya, dari petuah-petuah yang diberikan para mentor, mau ga mau yang mendengar pasti jadi terpacu kan? Apalagi kalau diberikan dengan gaya yang amat persuasif. Contohnya,
“Alangkah baiknya bila antum mencari amal sebanyak-banyaknya di bulan yang penuh berkah ini. Kalau antum biasa tilawah satu halaman sehari pada hari biasa, cobalah untuk tilawah satu juz sehari saat bulan ramadhan ini. Pahalanya—bla bla bla”
Note: antum: kalian, atau ‘kamu’ dalam artian paling halus.
Dan gue pun tilawah satu juz sehari. Eaak, mulut sampe kering pas puasa, yang ngga lancar baca jadi lancar, yang lelet jadi cepet, yang pendek napas jadi panjang and so on. Entah rela atau terpaksa, gua melakukannya. Yah, seenggaknya gue udah pernah khatam sekali karena petuah-doktrin-super-persuasif itu, ehe.
Dan disaat gue teringat dengan euforia ramadhan saat itu, tiba-tiba gue mendapatkan sebuah Tag di FB, sebuah notes. Bunyinya:
kenangann itu,?
Yesterday at 6:55pm
beberapa hari yang lalu, dwi ga sengaja buka bLog SIAR77 yang lama,,
dan disitu dwi baca untuk yang kedua kaLinya LPJ daurah (SWISS 77) yang diLaksanakan pada tanggaL 5, 6 n 7 januari di tahun 2007,,
dan posisi dwi saat itu sebagai peserta,,
subhanaLLah,,
seteLah sekian Lama terpendam, kenangan itu merekah kembaLi,,
rasa yang teLah tersimpan rapi,,
kini mencoba keLuar dan menampakkan diri,,
tak tahan mata ini untuk tidak berlinang,,
mengingat itu,,
mencoba untuk memaknainya kembaLi,,
kini ku hanya dapat menyimpan semuanya dalam angan,,
"junduLLah"
sebuah kata. namun begitu besar maknanya,,
sebuah kata. yang membuat bergetar ketika mengetahui arti didaLamnya,,
sebuah kata. yang membuat kami menyadarii,,
sebuah kata. yang membuat kami mencoba untuk memahamii,,
kemana,?
kemana mereka semua,?
mereka yang saat itu ada daLam naungan Nya,?
kemana,?
kemana mereka smua,?
semua bukti yang membawaku bersama,,
kemana,?
kemana mereka semua,?
rasa yang saat itu teLah dipupuk,?
kemana,?
kemana mereka semua,?
semua janji yang teLah terpatri, waLau tak terungkap dari caci,,
fosiL dari setiap makhLuk hidup,,
artefak dari sebuah benda,,
rumus dari sebuah perjaLanan,,
air dari setiap sungai,,
udara dari setiap awan,,
kauand,,
masihkah ada kenangan itu di hati kaLiand,?
Note: murni kopipas, besar kecil huruf itu tanggung jawab yang nulis, Lol..
Tanggepan gue: Nah lohh?
Entah mereka yang aneh, atau guenya yang mati rasa? Tapi gue sama sekali ngga merasakan apa yang mereka rasakan. Kangen secara personal dengan member rohis lain? a big no. Kangen sih iya, tapi bukan dengan orangnya., organisasinya. Alasan gue milih Rohis pada awalnya karena gue benci dengan badan eksekutif yang ada didalam lembaga pendidikan (baca: OSIS). Tapi gue ingin berorganisasi, sementara organisasi legal didalam lingkungan sekolah ya itu-itu aja, OSIS dan MPK. Ekskul? Yea, gue akhirnya milih ekskul yang berbentuk organisasi, Rohis.
Dan gue menikmatinya, sungguh. Bekerja secara profesional di sebuah badan itu menyenangkan. Apalagi dengan angkatan gue yang cowonya hanya berjumlah delapan orang. Semuanya pas, efisien dan ngga ada pemborosan tenaga percuma karena kebanyakan orang. Tanggung jawab lebih besar. Gimana caranya nyalurin duit puluhan juta agar sampai ke divisi-divisi yang beres dan digunain secara efisien dengan orang yang terbatas. Phew. Itu tiga tahun yang menyenangkan secara profesional, tenaga gue bener-bener kepake. Tapi secara personal? Eak..
Awalnya mungkin iya, awal bergabung gue ngira bisa mempercayai mereka satu demi satu. Yang notabene adalah kumpulan orang yang beda-beda latar belakang, gue pikir menyenangkan bisa berbagi pikiran dengan mereka, awalnya. Sampai suatu titik gue sadar. Bahwa organisasi yang tidak didasari dengan loyalitas, tapi dengan ikatan keagamaan itu hanya berbuah dua jalan. (1) Kuat erat karena sepaham, (2) blarakan karena berprinsip terlalu konservatif dan cenderung masa bodo dengan permasalahan tiap individu. di OSIS, yang landasannya loyalitas, ketika satu anggotanya terkena masalah, maka akan langsung dipertanyakan keloyalannya terhadap organisasi, di Rohis? Jangan harap. Dan sejak sadar itu, gue membatasi, cukup dengan ikatan profesional aja di organisasi itu. Ambil ilmunya, jalankan kegiatannya, tapi jangan terikat dengan orang-orangnya.
Gue penasaran apa yang terjadi kalau gue ketemu dengan para mentor gue dulu.. haha, yang pasti, dari pengalaman dengan apa yang terjadi kepada senior-senior angkatan atas gue dulu saat balik ke sekolah. Pertanyaannya kurang lebih:
“Assalamualaikum, apa kabar akhi?”
(Baik aja akh)
“Masih konsisten di jalan Allah ga antum?”
(Alhamdulillah, masih akh)
“Solatnya gimana? Masih susah kaya dulu ngga?”
(Ngga, udah ngga pernah bolong kok)
“Tadarusnya gimana, tajwidnya membaik ga? Udah tartil belum?”
(Udah jarang akhi, tapi seminggu ada kok satu halaman)
Huahahaha.. Kaya diinterogasi dah. Untungnya gue ngga pernah denger mentor-mentor gue nanya begini:
“Akhi, pacaran?
(Iya akh, ehehe..)
Bisa langsung disidang di tempat.. jiah..
Nightwalker
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Thursday, July 23, 2009
Posted at : 3:58 AM
03.53 am. Outside.
Can't sleep due to a bad mental health..
Minus dua jam lalu, gue udah ada diluar kosan, berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Well yea, kalau ditanya tujuan sih, ada aja, mengurangi tekanan batin? Lol. Apalah namanya, yang jelas gue menikmati suasana sepi yang jelas ngga mungkin bisa gue dapat di siang hari. Kapan lagi lo bisa jalan di tengah-tengah tanpa takut kelindes angkot kalau bukan malem-malem? Dan kapan lagi lo bisa jalan hanya dengan selapis kemeja flanel dengan dua kancing dibuka tanpa diliatin orang kalo bukan malem-malem (buset, sok seksi abis gue)?
It was fun. Disaat gue mau balik ke kosan, gue memutuskan untuk berjalan sedikit lagi, area berlawanan dari perjalanan panjang gue sebelumnya. And there i met them, di depan Daarut Tauhid, gue ketemu Arsy, Dani, sama Marwan, gegeletakan kaga jelas juntrungannya di depan mesjid. Yea, mereka baru pulang dari Jakarta dalam rangka study tour (?). Herannya, mereka udah sejam setengah diluar (karena kosannya dipake tidur buat yang cewe), kenapa ngga hubungin gue aja dan langsung tidur di tempat gue? Bzt, sungkan? Yah, apalah. Toh akhirnya mereka geletakan juga disini.
Ada yang pernah nanya ke gue,
“Kenapa lo ngga jadi gay, bung?”
Wotdehek.
Alasan dia bertanya seperti itu? Mungkin, mungkin sih, (1) yang nanya itu gay, (2) gue banyak bercerita tentang masa lalu gue ke dia, (3) gue belom pernah pacaran waktu itu. Dengan tiga poin diatas, terutama poin nomer dua, dia sangat yakin kalau gue gay. Masa lalu yang buruk, keluarga yang acakadul adalah faktor utama seseorang untuk menjadi gay, kata dia. Heeh, tau sih standarnya, kekecewaan terhadap orang tua, kejadian traumatis dengan orang dewasa, semuanya itu alasan yang cukup untuk mendorong seseorang menjadi gay, sekali lagi, katanya.
Entahlah, walaupun gue melihat seperti apa figur orang tua gue dulu, terlebih, dulu gue lebih sering maen boneka dan berimaji bahwa tumpukan guling adalah rumahnya dibanding bermain robot-robotan dan ngerusak mobil yang baru dibeli dalam 30 menit maen, gue masih normal. Sampe sekarang gue doyan cewe tuh, dan masih menyempatkan diri ngebuka situs bokep disaat gue ingin (Wakkakaka, a guy’s nature, eh?). Although, frankly, in the old times, before i met this gay guy, i once attracted to one people that, unfortunately, a guy. Okay, i know its silly, but, that relation almost became a relationship (creepy, isn’it?). hahah!
Bukannya gue meragukan orientasi seksual gue sendiri, tapi saat itu toh gue masih SMP, masih lugu, manis, imut, lucu (minus ceceran darah, tentu). Gue ngga ngerti apa-apa, sementara yang ngajak adalah seseorang yang umurnya jauh diatas gue, dengan pemikirannya yang bisa gue bilang luas, gue nyaris terpengaruh sama ajakan dia (IYA! Gue pake mikir pas ditanya mau jadi pacarnya apa kagak =)) ). Well, seenggaknya gue normal sekarang, dan ketertarikan seksuil gue terhadap laki-laki lain udah nol besar. Bersyukurlah, bung.
“Nggak, karena gue lebih seneng nyium bau shampoo cewek, bukannya bau keringet mas-mas kuli bangunan, kaya elo,”
“Sialan,”
Dan kenapa gue tiba-tiba teringat pertanyaan lawas itu? Orangnya pun gue udah ngga tau dimana sekarang, terakhir kontak juga lebih dari setengah tahun lalu. Hm? Mungkin blog ini yang mengingatkan gue sama dia. Huahaha, konten dari blog milik Fa itu, bener-bener menggambarkan apa yang sering dia ceritakan ke gue. Bagaimana rasanya ingin tampil kedepan publik tanpa harus malu dengan orientasi seksual yang sayangnya dikutuk agama dan dicibir masyarakat itu. Gimana susahnya mencari pasangan yang Love just by love, not for lust, or money, or.. whateva, just love. Dia ngga menyalahkan siapapun dengan orientasinya, dia bahagia dengan itu, katanya—walaupun dengan konsekuensi lebih sulit untuk mencari pasangan.
Well, its raining suddenly.
Udah cukup lama ya tanah ngga basah di Bandung, siang panas, malemnya dingin, ada yang lagi sedih hari ini? Lol.
Hari itu juga hujan, gue mengantarnya ke terminal Pulo Gadung, yang seperti biasa, angkutan di Indonesia apa sih yang sempurna dengan kata telat? Satu jam lebih gue dan dia menunggu di tempat-yang-kalau-bisa-dibilang-lobby, hujan mengguyur, tanah becek, dan para calo berlarian kesana kemari menanyakan penumpang, “naik apa mbak? Mau kemana? Dibawain mbak barangnya? Payung?” and so on. Saat yang mungkin jadi saat terakhir gue bertemu dia, saat dimana gue harus menambahkan lagi nama dalam daftar ‘Orang-orang yang pergi entah kemana’. Kami menunggu, dia berusaha tertawa, gue hanya tersenyum naif. Tidak banyak obrolan, hanya gumaman dan helaan nafas panjang yang berulang, sesekali tertawa tanpa alasan, atau tepukan di punggung yang entah maknanya apa.
Bis datang.
Gue hujan-hujanan membantu mengangkat barang dia yang emang banyak (dasar bencong!) ke bagasi, setelah selesai, gue dan dia bersalaman dalam kuyup, saling tepuk punggung. Kata-kata terakhir dia.
“Maju bung, lo bisa!”
Dari gue,
“Tetep kontak yak.”
Dia naik ke bisnya, melambai-lambai dari jendela yang setengah gelap ke gue yang ada diluar, kehujanan, sampai bis itu hilang dari pandangan mata gue. Gue kembali ke halte, berteduh, menyalakan rokok, dan menunggu hujan berhenti untuk kembali pulang.
Dan dia? Tidak ada kabar. Semoga harapan lo terkabul, punya seseorang yang mencintai lo karena cinta, bukan karena nafsu ataupun uang atau.. apalah. Hanya cinta, kan? kata-kata lo gue kutip tuh. Hehe..
Wish you luck.
Can't sleep due to a bad mental health..
Minus dua jam lalu, gue udah ada diluar kosan, berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Well yea, kalau ditanya tujuan sih, ada aja, mengurangi tekanan batin? Lol. Apalah namanya, yang jelas gue menikmati suasana sepi yang jelas ngga mungkin bisa gue dapat di siang hari. Kapan lagi lo bisa jalan di tengah-tengah tanpa takut kelindes angkot kalau bukan malem-malem? Dan kapan lagi lo bisa jalan hanya dengan selapis kemeja flanel dengan dua kancing dibuka tanpa diliatin orang kalo bukan malem-malem (buset, sok seksi abis gue)?
It was fun. Disaat gue mau balik ke kosan, gue memutuskan untuk berjalan sedikit lagi, area berlawanan dari perjalanan panjang gue sebelumnya. And there i met them, di depan Daarut Tauhid, gue ketemu Arsy, Dani, sama Marwan, gegeletakan kaga jelas juntrungannya di depan mesjid. Yea, mereka baru pulang dari Jakarta dalam rangka study tour (?). Herannya, mereka udah sejam setengah diluar (karena kosannya dipake tidur buat yang cewe), kenapa ngga hubungin gue aja dan langsung tidur di tempat gue? Bzt, sungkan? Yah, apalah. Toh akhirnya mereka geletakan juga disini.
Ada yang pernah nanya ke gue,
“Kenapa lo ngga jadi gay, bung?”
Wotdehek.
Alasan dia bertanya seperti itu? Mungkin, mungkin sih, (1) yang nanya itu gay, (2) gue banyak bercerita tentang masa lalu gue ke dia, (3) gue belom pernah pacaran waktu itu. Dengan tiga poin diatas, terutama poin nomer dua, dia sangat yakin kalau gue gay. Masa lalu yang buruk, keluarga yang acakadul adalah faktor utama seseorang untuk menjadi gay, kata dia. Heeh, tau sih standarnya, kekecewaan terhadap orang tua, kejadian traumatis dengan orang dewasa, semuanya itu alasan yang cukup untuk mendorong seseorang menjadi gay, sekali lagi, katanya.
Entahlah, walaupun gue melihat seperti apa figur orang tua gue dulu, terlebih, dulu gue lebih sering maen boneka dan berimaji bahwa tumpukan guling adalah rumahnya dibanding bermain robot-robotan dan ngerusak mobil yang baru dibeli dalam 30 menit maen, gue masih normal. Sampe sekarang gue doyan cewe tuh, dan masih menyempatkan diri ngebuka situs bokep disaat gue ingin (Wakkakaka, a guy’s nature, eh?). Although, frankly, in the old times, before i met this gay guy, i once attracted to one people that, unfortunately, a guy. Okay, i know its silly, but, that relation almost became a relationship (creepy, isn’it?). hahah!
Bukannya gue meragukan orientasi seksual gue sendiri, tapi saat itu toh gue masih SMP, masih lugu, manis, imut, lucu (minus ceceran darah, tentu). Gue ngga ngerti apa-apa, sementara yang ngajak adalah seseorang yang umurnya jauh diatas gue, dengan pemikirannya yang bisa gue bilang luas, gue nyaris terpengaruh sama ajakan dia (IYA! Gue pake mikir pas ditanya mau jadi pacarnya apa kagak =)) ). Well, seenggaknya gue normal sekarang, dan ketertarikan seksuil gue terhadap laki-laki lain udah nol besar. Bersyukurlah, bung.
“Nggak, karena gue lebih seneng nyium bau shampoo cewek, bukannya bau keringet mas-mas kuli bangunan, kaya elo,”
“Sialan,”
Dan kenapa gue tiba-tiba teringat pertanyaan lawas itu? Orangnya pun gue udah ngga tau dimana sekarang, terakhir kontak juga lebih dari setengah tahun lalu. Hm? Mungkin blog ini yang mengingatkan gue sama dia. Huahaha, konten dari blog milik Fa itu, bener-bener menggambarkan apa yang sering dia ceritakan ke gue. Bagaimana rasanya ingin tampil kedepan publik tanpa harus malu dengan orientasi seksual yang sayangnya dikutuk agama dan dicibir masyarakat itu. Gimana susahnya mencari pasangan yang Love just by love, not for lust, or money, or.. whateva, just love. Dia ngga menyalahkan siapapun dengan orientasinya, dia bahagia dengan itu, katanya—walaupun dengan konsekuensi lebih sulit untuk mencari pasangan.
Well, its raining suddenly.
Udah cukup lama ya tanah ngga basah di Bandung, siang panas, malemnya dingin, ada yang lagi sedih hari ini? Lol.
Hari itu juga hujan, gue mengantarnya ke terminal Pulo Gadung, yang seperti biasa, angkutan di Indonesia apa sih yang sempurna dengan kata telat? Satu jam lebih gue dan dia menunggu di tempat-yang-kalau-bisa-dibilang-lobby, hujan mengguyur, tanah becek, dan para calo berlarian kesana kemari menanyakan penumpang, “naik apa mbak? Mau kemana? Dibawain mbak barangnya? Payung?” and so on. Saat yang mungkin jadi saat terakhir gue bertemu dia, saat dimana gue harus menambahkan lagi nama dalam daftar ‘Orang-orang yang pergi entah kemana’. Kami menunggu, dia berusaha tertawa, gue hanya tersenyum naif. Tidak banyak obrolan, hanya gumaman dan helaan nafas panjang yang berulang, sesekali tertawa tanpa alasan, atau tepukan di punggung yang entah maknanya apa.
Bis datang.
Gue hujan-hujanan membantu mengangkat barang dia yang emang banyak (dasar bencong!) ke bagasi, setelah selesai, gue dan dia bersalaman dalam kuyup, saling tepuk punggung. Kata-kata terakhir dia.
“Maju bung, lo bisa!”
Dari gue,
“Tetep kontak yak.”
Dia naik ke bisnya, melambai-lambai dari jendela yang setengah gelap ke gue yang ada diluar, kehujanan, sampai bis itu hilang dari pandangan mata gue. Gue kembali ke halte, berteduh, menyalakan rokok, dan menunggu hujan berhenti untuk kembali pulang.
Dan dia? Tidak ada kabar. Semoga harapan lo terkabul, punya seseorang yang mencintai lo karena cinta, bukan karena nafsu ataupun uang atau.. apalah. Hanya cinta, kan? kata-kata lo gue kutip tuh. Hehe..
Wish you luck.
In the old times, i used to be a crybaby man who gave his teardrops for everything melancholic. Bzt, im not kidding, for a period, there is a time that i never not crying at least once in a day. Haha, maybe for people who know me later will laughing like Mbah Surip, but again, its true. Entahlah, mungkin dulu gue sangat labil, oversensitif hingga semua perkataan orang lain masuk ke hati. Cengeng mungkin, he eh.
Saat itu gue membenci diri gue sendiri yang terlalu gampang menangis, gue laki-laki kan? Dengan fisik berukuran XL, logiskah kalau gue menyumbangkan air mata untuk guling dan masih menggigit bantal di tengah malam? Tentu ngga, makanya gue benci kan. Dulu selalu berpikir gimana caranya untuk ngga menangis, atau seenggaknya, menahan air mata untuk tidak keluar disaat yang ngga tepat, yah. Untungnya sih, gue ngga pernah nangis didepan umum (haha), hanya orang tertentu aja yang mengetahui bahwa gue dulu adalah drama king yang siap mengumbar air matanya kapanpun.
Gue menangis, sayangnya, dalam diam :)
Permasalahannya juga macem-macem, dari persoalan kecil remeh temeh, sampai ke persoalan yang benar-benar mebebani pundak ngga kira-kira. Dan kalau udah gue hadapi, gue tinggal mencari tempat sepi, yang biasanya adalah kamar gue sendiri untuk menangis. Matiin lampu, nyalain lilin dan setel lagu di mp3 (gue dulu punya mp3, hahah). Sangat drama king kan? Melankolis najis tralala-trilili.
Gue lupa kapan terakhir kali gue menangis, mungkin satu atau dua tahun lalu, tepatnya bener-bener lupa. Entah hal apa yang menyadarkan gue untuk ngga membuang-buang air mata lagi untuk setiap urusan yang gue hadapi, tapi gue inget siapa orangnya, hehe. Dari titik itu, gue mulai mengeraskan hati, hadapi semuanya dengan kepala dingin—sedingin mungkin. Walau memang kadang bila ditinjau dari segi hati, gue sering overheat, kepala gue tetep dingin, selalu mencari jalan keluar yang serasional dan selogis mungkin. Dan sepertinya gue berhasil.
Untuk ukuran cowok, mungkin gue sering melihat orang menangis belakangan ini. Ukuran cowo? Tentu, karena kalau cowo lagi ngobrol sama sesamanya, kaga pake nangis-nangisan, itu mah cewe kan? Setahun belakangan banyak kerabat gue dan beberapa orang yang cukup dekat yang meninggal. Dan itu berarti badai airmata dimana-mana. Sayangnya, seperti yang gue tulis sebelumnya, gue adalah orang yang buruk dalam bersimpati, walaupun otak nyuruh gue untuk nangis, ada hal yang membuat gue menahan diri untuk tidak menyumbang air mata lagi ke tanah. Bahkan saat kematian mbah pun, gue ngga menangis. Well, gue tinggal punya satu nenek sekarang, no matter what, i’ll meet her.
Dan sekarang, uh.. rindu mau nangis, keluar air mata sih sering, kalo kelilipan semut atau kebanyakan nguap, pasti keluar air mata. Tapi yea, tentu bukan yang macem itu, nangis yang dikarenakan sesuatu yang mengganjal di hati, di kepala. Entah itu yang bersumber dari perasaan senang yang ekstrim, atau yang paling sering dialami: karena sedih. Gue punya ruangan gelap yang ada sinar bulannya kalau malem sekarang, tapi sayang, gue lupa caranya nangis, tsk. Kapan sih manusia puas? Disaat gue lagi cengeng, i always think how to become stronger, and then, when i reach the peak of power, i wanna go down and wash my eye at the nearest river of sadness. Tsk tsk tsk.
Saat itu gue membenci diri gue sendiri yang terlalu gampang menangis, gue laki-laki kan? Dengan fisik berukuran XL, logiskah kalau gue menyumbangkan air mata untuk guling dan masih menggigit bantal di tengah malam? Tentu ngga, makanya gue benci kan. Dulu selalu berpikir gimana caranya untuk ngga menangis, atau seenggaknya, menahan air mata untuk tidak keluar disaat yang ngga tepat, yah. Untungnya sih, gue ngga pernah nangis didepan umum (haha), hanya orang tertentu aja yang mengetahui bahwa gue dulu adalah drama king yang siap mengumbar air matanya kapanpun.
Gue menangis, sayangnya, dalam diam :)
Permasalahannya juga macem-macem, dari persoalan kecil remeh temeh, sampai ke persoalan yang benar-benar mebebani pundak ngga kira-kira. Dan kalau udah gue hadapi, gue tinggal mencari tempat sepi, yang biasanya adalah kamar gue sendiri untuk menangis. Matiin lampu, nyalain lilin dan setel lagu di mp3 (gue dulu punya mp3, hahah). Sangat drama king kan? Melankolis najis tralala-trilili.
Gue lupa kapan terakhir kali gue menangis, mungkin satu atau dua tahun lalu, tepatnya bener-bener lupa. Entah hal apa yang menyadarkan gue untuk ngga membuang-buang air mata lagi untuk setiap urusan yang gue hadapi, tapi gue inget siapa orangnya, hehe. Dari titik itu, gue mulai mengeraskan hati, hadapi semuanya dengan kepala dingin—sedingin mungkin. Walau memang kadang bila ditinjau dari segi hati, gue sering overheat, kepala gue tetep dingin, selalu mencari jalan keluar yang serasional dan selogis mungkin. Dan sepertinya gue berhasil.
Untuk ukuran cowok, mungkin gue sering melihat orang menangis belakangan ini. Ukuran cowo? Tentu, karena kalau cowo lagi ngobrol sama sesamanya, kaga pake nangis-nangisan, itu mah cewe kan? Setahun belakangan banyak kerabat gue dan beberapa orang yang cukup dekat yang meninggal. Dan itu berarti badai airmata dimana-mana. Sayangnya, seperti yang gue tulis sebelumnya, gue adalah orang yang buruk dalam bersimpati, walaupun otak nyuruh gue untuk nangis, ada hal yang membuat gue menahan diri untuk tidak menyumbang air mata lagi ke tanah. Bahkan saat kematian mbah pun, gue ngga menangis. Well, gue tinggal punya satu nenek sekarang, no matter what, i’ll meet her.
Dan sekarang, uh.. rindu mau nangis, keluar air mata sih sering, kalo kelilipan semut atau kebanyakan nguap, pasti keluar air mata. Tapi yea, tentu bukan yang macem itu, nangis yang dikarenakan sesuatu yang mengganjal di hati, di kepala. Entah itu yang bersumber dari perasaan senang yang ekstrim, atau yang paling sering dialami: karena sedih. Gue punya ruangan gelap yang ada sinar bulannya kalau malem sekarang, tapi sayang, gue lupa caranya nangis, tsk. Kapan sih manusia puas? Disaat gue lagi cengeng, i always think how to become stronger, and then, when i reach the peak of power, i wanna go down and wash my eye at the nearest river of sadness. Tsk tsk tsk.
A Letter Of Agony
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Friday, July 10, 2009
Posted at : 3:40 PM
Tidur siang, bukan ide yang jelek. Tapi siang ini gue terbangun dengan satu sms masuk.
Gue membaca sms itu seperti membaca kutipan singkat diary lama, bukan dejavu, tapi seolah kedatangan sms itu udah gue perkirakan sebelumnya. Well..
What should i say, tho? Gue bukan orang yang hebat dalam bersimpati. Yah, mungkin dulu gue adalah ahlinya, tapi pengalaman lama mengajarkan banyak, dan buat gue, bersimpati itu sama nilainya dengan kosong. Entah buat yang lain, simpati tidak pernah memberikan kekuatan tambahan dikala awan mendung menggelayuti hari-hari yang hampa, itu buat gue pribadi.
I’ll never give my sorrow for you, tapi satu hal, gue akan memberikan penghormatan tertinggi untuk lo, yang mungkin pernah duduk disamping gue disaat-saat yang sulit, walau, ujungnya tidak berakhir baik. Darah kita mengikat, tulang kita pernah ada didalam satu jalur, dan gue bersyukur pernah memiliki elo sebagai salah satu bagian dari diri gue.
Sayang, walau gue berharap lo masuk surga, kayanya itu ngga mungkin mengingat seperti apa lo hidup dulu, haha, semoga lo ngga ditempatkan di neraka yang terlalu panas yah. Gue akan menyusul ngga dalam waktu yang lama, dear.
Yep.... nikmati perjalanan panjang lo ini kalau begitu.
---See ya.
“X meninggal, kecelakaan. Jenazahnya akan dibawa dari semarang besok, pemakamannya lusa, lo dateng kan?”
Gue membaca sms itu seperti membaca kutipan singkat diary lama, bukan dejavu, tapi seolah kedatangan sms itu udah gue perkirakan sebelumnya. Well..
“Ngga bisa, titip salam buat yang lain.”
What should i say, tho? Gue bukan orang yang hebat dalam bersimpati. Yah, mungkin dulu gue adalah ahlinya, tapi pengalaman lama mengajarkan banyak, dan buat gue, bersimpati itu sama nilainya dengan kosong. Entah buat yang lain, simpati tidak pernah memberikan kekuatan tambahan dikala awan mendung menggelayuti hari-hari yang hampa, itu buat gue pribadi.
I’ll never give my sorrow for you, tapi satu hal, gue akan memberikan penghormatan tertinggi untuk lo, yang mungkin pernah duduk disamping gue disaat-saat yang sulit, walau, ujungnya tidak berakhir baik. Darah kita mengikat, tulang kita pernah ada didalam satu jalur, dan gue bersyukur pernah memiliki elo sebagai salah satu bagian dari diri gue.
“Ashes to ashes, dust to dust; in sure and certain hope of the Resurrection into eternal life.”
Sayang, walau gue berharap lo masuk surga, kayanya itu ngga mungkin mengingat seperti apa lo hidup dulu, haha, semoga lo ngga ditempatkan di neraka yang terlalu panas yah. Gue akan menyusul ngga dalam waktu yang lama, dear.
Yep.... nikmati perjalanan panjang lo ini kalau begitu.
---See ya.
Subscribe to:
Posts (Atom)