Skinpress Demo Rss

Sudut Pandang Spesifik

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Sunday, December 04, 2011

Posted at : 3:08 AM


Kita semua tau, kalau kita mencoba ngambil sudut pandang dari suatu hal yang beda, hal yang diluar kebiasaan, kita bakalan nemuin hal-hal baru yang sebelumnya nggak kita tau. Nah, sebenernya, seberapa jauh batasan nyicip sudut pandang ini bisa berlaku? Segimana efeknya dari apa yang lo liat pakek mata lo? Itu pertanyaan yang asik buat dijawab dan bukan retoris, menarik.

Gue kepikiran hal ini ketika gue lebih jauh sama beberapa orang yang beda jurusan kuliah, tentunya tentang apa-apa aja yang dilakuin di jurusan masing-masing. Bahan ajar, orang-orang, keinginan, fokus, semuanya beda, dari sanalah timbul sebuah pola pikir baru yang lahir dari kebiasaan, kebiasaan yang lo terima setiap hari, setiap waktu, kewajiban yang lo harus jalanin dan apa yang lo dapetin. Semuanya ngebentuk paradigma baru, yang kemungkinan kombinasinya nggak terbatas!

Gue bahkan nggak perlu mencoba sudut pandang ekstrim dari kubu yang berlainan, misalnya aja, dari segi LGBT, dari segi jurusan dan kekhususan hal yang diambil seseorang pun, ketika gue mencoba berenang didalamnya, gue menemukan hal menarik. Gue nih, seorang mantan mahasiswa psikologi, gue punya pandangan yang pastinya beda ketika gue dihadapi sama persoalan sosial. Gue bisa mengidentifikasi ada yang namanya bystander effect—misalnya, makanya gue nggak ngerasa segitu anehnya ketika ada seseorang yang lagi butuh pertolongan tapi nyatanya nggak ada orang yang siaga langsung nolong, diem aja. Ya karena bystander effect tadi, setiap orang beranggapan bahwa orang lain yang bakalan nolong orang yang lagi ditimpa kemalangan tadi.

Sementara, ketika gue sekarang kuliah di jurusan kuliner, setiap kali gue ngunyah sesuatu, setiap kali gue melihat jenis makanan lewat depan mata gue, gue nggak lagi cuma punya pikiran pengen ngunyah, men. Tapi, gue instan mikir, itu makanan bahannya apaan? Proses masaknya apa aja? Ada teknik atau spice khusus yang dipake? And so on.

Common sense, huh? Tapi boi, gue sama sekali nggak pernah mikirin ini sebelumnya, sudut pandang. Sebelum gue kuliah di bidang kuliner, gue nggak peduli sama makanan yang gue makan, tinggal kunyah dan beres, diem di perut sebentar, dan keluar lagi buat nyumbang metan ke atmosfir, done. Sudut pandang spesifik ini bener-bener ngasih lo sebuah pengetahuan baru, pengetahuan yang mungkin nggak bisa lo pelajari, tapi secara pasif terus ngasih rangsangan ke kepala, ke pola pikir dan ngebentuk lo menjadi orang yang punya penglihatan yang beda dari orang laen. Gini deh, ketika lo kuliah di jurusan desain produk misal, pas lo ke supermarket dan tujuan awal lo cuma buat belanja, lo bakal mulai ngeliatin bentuk-bentuk deodoran yang ada disana, bertanya-tanya segala hal yang bisa dibilang idiotik atau retarded oleh orang selain mereka yang menggeluti bidang yang sama dengan lo. Masalahnya, siapa sih yang tanya “kenapa bentuk kaleng obat semprot badan itu bulet? Nggak kotak?” selaen mereka yang kerjaannya ngegambar bentuk produk?

Menarik? Banget. Dengan pemikiran begini, rasanya gue pengen minjem otak tiap anak dari tiap jurusan yang berbeda yang ada di dunia ini, ngintipin apa aja yang mereka liat dari kacamata sudut pandang spesifik mereka. Blah.. ngebayanginnya aja lutut gue udah lemes.

Kecuali, kayaknya gue ogah minjem otak anak jurusan yang ada kata “agama”. Isinya pasti annoying.

Perempuan di Seberang

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, November 19, 2011

Posted at : 3:31 AM


Gue gak kenal, sohib gue juga nggak kenal. Dia berdiri begitu aja di ujung sana, di sisi lain kerumunan sebuah pertunjukan debus. Kurang lebih duapuluh meter, tapi mata sohib gue seolah elang yang ngeliat tikus (tentunya putih bersih, imut, tikus cakep pokoknya) dari kejauhan dan langsung menekan shutter dengan membabi-buta, dan nunjukin hasil jepretannya ke gue. Gue nyengir, berusaha menyipitkan mata melihat perempuan satu itu tanpa viewfinder. Ya emang, cakep.

Probabilitas yang mengerikan gue bilang, apa yang terjadi kalau gue dan Luthfi telat lima menit nonton acara debus di kota tua waktu itu? Atau gue ngisi bensin dulu sebelum berangkat kesana? Atau gue nggak minat nonton dan milih duduk di pinggiran sambil ngenyot es potong nan seger? Atau ngampar ngerokok nyante nyampah sambil ngobrol sama guide museum Fatahillah? Atau milih spot di sisi lain kerumunan dari yang kita pilih waktu itu? Atau bahkan... Luthfi nggak mengarahkan lensa kameranya kearah sana?  Kalau.. satu dari banyak hal yang gue jabarkan tadi terjadi, mungkin gue nggak akan menulis sekarang, mungkin gue nggak akan mengenang pertunjukkan debus kota tua satu tahun yang lalu—sebatas kenangan kosong yang nggak bisa diinget. Dan foto ini pun nggak akan pernah terpotret.  

Kejadian luar biasa, kebetulan yang nggak disangka, kumpulan dari jutaan hal abstrak yang bersatu menjadikan sebuah momen sederhana. Detail-detail mikro yang seolah ada pengatur dibalik semuanya. Coba pikir, gimana caranya hal-hal itu bisa kejadian?

Tentu aja.

It just happen. Dot. Ngarep apaan emangnya?

Untuk cewek yang ada di foto, tolong dong nongol lagi, kayaknya sohib gue butuh kecengan seger.

Roman

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, November 02, 2011

Posted at : 1:43 AM


Malam dingin walau tanpa kabut, lampu kamar mati gelap, selimut siap menyambut tapi sayangnya mata dan kepala masih menagih minta dicambuk. Alarm dipasang, elektronik, terinstallasi di komputer yang duduk manis dipojokan. Minim.. minim roman, dan bukan pagi kalau tidak ada suara monokrom menyebalkan itu. Yah, itu standar gue, roman gue sebagai laki-laki konvensional soal apa-apa aja yang gue pegang dan gue gunakan. Simpel dalam fungsi, tapi rumit dalam tingkatan ideal. Kalo nggak ideal, nggak roman namanya.

Romannya laki-laki itu ngopi di warkop. Berusaha sok penting ngobrolin fenomena-fenomena sosial politik yang bahkan ngerti pun belom tentu. Dengan sebungkus rokok yang diniatkan habis saat itu juga, berbagi dengan bapak-bapak lain, berbagi dengan rekan seobrolan, berbagi dengan siapapun yang saling silahkan duduk di bangku kayu panjang legendari khas warung kopi. Itu roman. Lengkap dengan segelas kopi hitam, dan apresiasi tingkat klenik jika ada seorang kakek-kakek atau tukang ojek yang menggunakan teknik menguyuk kopi legendaris yang mulai punah itu.. teknik gelas terbalik. Itu roman, romannya laki-laki.

Romannya laki-laki itu.. memaki tanpa maksud, memukul tanda hormat, melecehkan tanda sayang, menghina tanda cinta. Makian-makian kasar kosong yang ditujukan ke sesama yang dikeluarkan dan diterima dengan hati yang lapang, pukulan-pukulan ringan kadang keras dengan maksud senda gurau, lecehan-lecehan yang bertuju penghiburan, menghina tanda eratnya keakraban. Itu roman, roman kami, laki-laki. Kadang absurd, kadang sarkastis, tidak jarang anarkis, tapi tidak diantara itu adalah maksud, tidak diantara itu adalah makna, tapi lapisan tipis tanda afeksi, tanda sayang dalam bentuk lain. Itu roman.

Romannya laki-laki itu perjalanan. Karena hidup itu adalah sebuah perjalanan, sadar menyadari. Maka dibuatlah simulasi nyata akan sebuah hidup, perjalanan panjang tanpa ujung yang tak mengenal kata puas. Sendirian menempuh kilo demi kilo di tengah pekatnya malam bertemankan gerungan mesin dan udara dingin yang menusuk paru-paru sadis. Menelan debu dan tanah, menyapu kantuk yang menggigit mata, menghilangkan kata mudah akan adanya jalan pintas, menafikkan fakta bahwa semua ini hanya insiden fana. Tapi nyata. Di-nyata-kan. Karena ini roman. Berbicara roman, maka lupakan fungsi. Pembayaran lelah dengan pemandangan, menyunggingkan senyum lebar saat menyentuh tempat tujuan, duduk santai di pinggir jalan, menyalakan rokok dan bergumam dalam hati, “ini masih kurang,”.

Kalian bilang aneh, tapi ini roman kami, para laki-laki.

Hal-hal rendah, remeh, atau bahkan kadang nekat, ceroboh. Apapun sebutannya, itulah cara kami menikmati hidup. Menyadari hidup itu singkat, lalu mengapa tidak sekalian saja hajar habis-habisan? Nikmati sampai ke sumsum tulang yang paling dalam. Didihkan darah, tegangkan otot, lepaskan tawa dan hisap asap rokok sampai paru-paru berkabut tebal. Lalu hembuskan, dan terimalah fakta bahwa gue, dan mungkin elo siapapun jauh disana, telah menikmati hidup semaksimal mungkin. Sebagai manusia, sebagai laki-laki, sebagai entitas yang menapak bumi, sebagai penanggung beban untuk menjalankan hidup semaksimal mungkin.

Yah.. itu gue.

Sell Ek See

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, October 04, 2011

Posted at : 3:00 AM


Gue bangun di suatu pagi, masak air seperti biasa dan nyalain rokok sebagai sarapan. Buka pintu dan berusaha melawan udara dingin Bandung yang kadang nggak manusiawi. Ngampus, kayak biasa toh, cuci muka, gosok gigi, tanpa mandi dan berangkat menunggang kuda besi tercinta yang gue namain sama kayak nama pacar—soalnya, hubungan manusia dan mesin itu absurd, makanya gue kasih nama orang supaya lebih kedenger rasional walau percuma.

Helm dipasang, mesin di starter dan berangkat. Bandung dingin, orang-orang yang lagi menuju tempat kerjanya masing-masing lebih dingin lagi. Lo tau? Kecelakaan itu lebih sering terjadi di jam berangkat ngantor, soalnya, nggak ada orang yang demen tidurnya keganggu buat ngelakuin aktivitas annoying secara konsekuen. Gue pun sampe kampus, ngerokok lagi, waktu-waktu yang selalu gue sediakan lebih cepat untuk bisa menghisap batang karbondioksid, karena mereka adalah temen gue disaat gue nggak punya siapapun untuk disapa, nyawa, disaat gue butuh tiupan penghiburan di waktu kosong.

Gue buruk dalam relationship, segala bentuk.

Temen, pacar, keluarga. Selalu ada blunder yang gue lakuin bahkan secara sengaja. Makanya, untuk menemukan satu dua orang yang punya arti di mata gue itu susah, apalagi temen. Selektif, pilah-pilih itu gue lakuin, dengan sengaja. Sengaja, itu poinnya, maka dari itu, gue udah ninggalin hal-hal yang berbau kecewa, sedih karena orang-orang yang gue seleksi, masa-masa pencarian, gue nggak memasukan emosi macem itu dalam to-do list. Pointless, nggak ada guna. Karena gue udah memilih untuk melakukan seleksi secara ketat, kenapa juga gue harus jatuh karena seleksi yang gue sendiri lakuin? Retoris.

Kadang gue menemukan beberapa. Orang-orang yang mengganggu saraf mata dan otak gue untuk nggak bisa bilang nggak tertarik. Mereka menarik, dalam banyak arti dan klasifikasi, ngebuat gigi gue bergemeletuk hebat tanda ekstasi, mata gue menajam memantapkan target, dan taring gue meruncing siap gigit. Bisa fisik, bisa otak dan cara mikir mereka, atau atittude yang luar bisa eye slicing. Atau apapun, gue nggak menancapkan paneng kriteria apa aja yang gue masukin untuk bisa bikin gue tertarik, terjadi begitu aja dan boom! Gue siap cengkram. Kalau udah begini, seleksi dilakukan, apapun caranya, gue akan ngasih berbagai macam saringan dari yang paling besar, sampai yang paling kecil. Gigit nih.

Sayangnya, nggak semua cerita semulus Dorian Gray, atau semanis The Count Of Monte Cristo. Seleksi gagal, entah apa alasannya. Tapi lebih konyol ketika apa yang gue lakuin—seleksi ini kepentok sama hal-hal substansial di luar daftar checklist yang gue sediakan. Bukan seberapa outstanding pola pikirnya, bukan seberapa menarik atittudenya, tapi hal-hal semacem gender—bukan, gender bisa gue bilang salah satunya. Iya, gender yang itu, hal sepele yang kita bedain dari seseorang itu punya penis atau vagina. Sepele?  Yea rite.

Gue pernah bilang, punya best mate atau temen ngobrol lawan jenis itu nggak masalah, tapi untuk menjadikan sesi ngobrol itu murni berasal dari kepala atau  seberapa kuat lo pengen bersaing soal intelektual dengan orang ini, itu yang jadi masalahnya. Dari dasar ide ini, gue sampe berharap beberapa orang yang gue kenal itu lebih baik kelaminnya beda dari yang seharusnya, dengan kata lain, cewe-cewe yang gue kenal ini gue harap di dasar roknya itu punya penis. Karena hubungan antar lawan jenis itu susah untuk dialihkan dari afeksi. Yang mana kaitannya erat soal perasaan dan hati. Dari poin ini udah salah, karena yang utama dari ngobrol itu kepala yang dipake, bukan hati. Gue nggak masalah dengan itu, gue bisa menyamaratakan semua orang punya gender yang sama, gue nggak peduli itu penis atau vagina atau bahkan klinfelter,  gue nggak peduli. Tapi itu gue, apa lawan bicara gue udah sampe pada frekuensi yang sama dengan itu?

Kenapa laki-laki? Kenapa gue pilih para penyandang penis untuk diajak ngobrol?

Soalnya gue muffin muncher, bukan cock cruncher—then, it’s not going anywhere, dong kalo lawan bicara gue itu punya penis, afeksi nggak akan kemana-mana, tetep berfokus dimana seharusnya berada, untuk Nanda The Browne Sugar, dan dia tetep fokus mengalirkan afeksi untuk cewek entah di sudut hatinya yang sebelah mana. Yah.. suka atau enggak, gender cukup menjegal gue untuk seleksi, karena gue nggak pengen hal-hal konyol kejadian kalo gue mengincer mereka-mereka yang bervagina untuk gue ajak tanding soal otak. Selain karena emang 75% dari populasi mereka itu jelas  retarded, gue nggak mau merusak fun yang gue dapet dari kepala mereka dengan apa-apa aja yang mungkin keluar dari hati mereka.

Gue pun turun dari motor, meletakkan helm di stang dan berjalan santai. Seorang cewek melintas di depan mata. Menarik. Tapi gue cuma menghela nafas panjang..

“Well, satu nama harus gue coret.. sekarang..”

Open Sick Minded People

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, September 17, 2011

Posted at : 11:29 PM

Sekarang penetrasi berbagai macem kebudayaan dah masuk ke negara kita tercinta, dari yang lempeng-lempeng aja sampe yang bikin alis naek sebelah pun ada. Masuknya kebudayaan-kebudayaan ini nuntut kita, sebagai manusia yang tinggal di suatu negara dengan identitas spesifik untuk merubah pola pikir supaya hal-hal baru ini bisa masuk dan diterima dengan baik. Nah, seberapa besar lo membuka pikiran lo ini yang menghasilkan kata konvensional; mereka yang berpegang tetap pada apapun yang klasik, yang dasar. Dan mereka-mereka yang berpikiran terbuka dan bisa nerima perubahan-perubahan itu dengan ketawa.

Gue dibilang berpikiran terbuka, oh yea, gue seneng dengernya, tapi gimana ketika gue dibilang berpikiran terlalu terbuka? Sekuler? Dan pada saat-saat tertentu, bahkan gue dibilang ateis karena keliatannya nggak memiliki landasan moral yang berdasar pada nilai-nilai religius. Masa sih? Soalnya, ada yang bilang gue nggak punya stereotipe akan hal apapun, statement ini dia keluarin waktu gue lagi nyetel TV Series yang belakangan ini lagi gue tonton, Queer As Folks—garis bersarnya, menceritakan tentang gay life—dia heran gue bisa segitu enjoynya nonton serial itu tanpa harus ngerasa jijik ataupun awkward.

Soalnya, gue emang nggak ngerasa seperti itu sih. Terlepas dari gue yang emang hetero meragukan ataupun mantan mahasiswa psikologi yang harusnya lebih terbuka akan beberapa hal yang menyimpang termasuk LGBT, seharusnya gue masih nyimpen pola pikir kalo gay itu: sedikit creepy. Nggak. Karena gue selalu mencoba untuk berpikir se holistik mungkin, entah gimana caranya, gue mencoba untuk memanusiakan manusia semanusia mungkin apapun label-label yang menempel di jidat mereka, gue copot dan gue buang ke tong sampah. Dasarnya apa? Soalnya, gue penegn mendapatkan probabilitas setinggi mungkin untuk mendapatkan temen ngerokok atau temen minum baru. Halah.

Gue gak segitunya deh. Gue masih punya pandangan-pandangan skeptis tentang hal-hal tertentu, soalnya gue masih orang dan bukannya Demit yang bisa ngegodiain manusia tanpa pandang bulu. Contoh aja, gue ngerasa kalo gue itu seksis—anti kesetaraan gender. Wets, jangan mikir gimana-gimana dulu, kenapa gue bisa berpikiran seperti itu, karena yang namanya kesetaraan dalam hal gender itu adalah hal yang mustahil kedua setelah SBY bisa nurunin berat badan. Sekarang, ketika para feminis-feminis itu tereak seoal perlakuin gue secara sama kayak lo cowok-cowok brengsek, apa prakteknya bisa semulus itu?

Kagak.

Feminis tereak, kasih gue jobdesk yang sama, tapi nyatanya, ada aja jenis bidang tertentu yang nggak memungkinkan cewek-cewek itu untuk ditempatkan disana, atau lebih seringnya, cewek-cewek itu malah ngeluh, “kenapa GUE ditempatin disini?” d’oh. Untuk feminis, kayaknya harus dibahas dalam bahasan khusus dah. Kepanjangan. Soalnya, kapan sih lo bisa debat sama cewek dengan hasil yang sama-sama enak?

Intinya, gue nggak seterbuka itu, walau gue akui emang kebukanya diatas rata-rata, gue bisa berdiri tegap ketika gue menonton laki-laki berjoget a’la bencong. Gue bisa ngebuka mata lebar ketika gue nonton torture porn. Gue bisa jalan enteng aja ketika ngelewatin gang yang penuh sama PSK. Ataupun gue bisa ngobrol dengan kalem sama orang-orang yang keliatannya baru keluar dari penjara. Tapi nggak semuanya gue bisa anggep dengan  biasa, seksis tadi contohnya, atau gue paling nggak tahan ngeliat laki-laki yang mentalnya kayak combro, lembek. Jadi bencong ya sekalian, maksud gue.

Tapi tetep, gue berpendapat bahwa dengan gue membuka pikiran selebarnya, maka gue akan punya temen ngobrol lebih banyak. Lagipula, mereka-mereka yang dianggap menyimpang sama sistem sosial pun ngerasa seneng ketika gue nganggep mereka normal sebagai temen ngobrol. Ya gak?



Karla

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, September 13, 2011

Posted at : 1:35 AM

Namanya Karla, usianya delapan tahun. Aku mengingatnya samar, ia duduk di sebuah sofa pada pagi hari minggu, menonton kartun kesukaannya sampai siang datang menyambut atau ibunya lebih dulu berteriak. Mandi. Dan dia pun terbirit takut. Aku tertawa.

Aku hanya bisa mengingatnya samar, senyumnya yang tulus sampai pipi merahnya mengembung, tingkahnya yang diluar akal sehat. Meloncat ke kolam ikan lalu mencoba berenang. Aku panik dibuatnya.

Aku hanya bisa mengingatnya samar, saat-saat diamnya di kamar, mendengarkan musik melalui walkman kesayangan ibunya. Khusyuk, aku tidak bisa mendapatkan perhatiannya saat nada mulai mengalun dalam telinganya. Aku asik mengamati dari pintu.

Aku hanya mengingatnya samar. Namanya Karla. Aku rindu, kamu dimana?


Infeksi Sosial

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, September 12, 2011

Posted at : 10:37 PM

Ngomongin soal hubungan antar manusia sekarang itu nggak bakalan mungkin tanpa melibatkan yang namanya teknologi. Segala hal ada hubungannya dengan apa yang kita pencet atau terkoneksi ke internet. Memudahkan emang, orang-orang yang ada dibelahan dunia lain bisa lo kontak dengan segera saat lo mau, cukup pencet satu dua tombol dan lo bisa ngobrol dengan bebas, itu teknologi, dan sesuai dengan tujuan awal teknologi terus berkembang, emang hal ini ditujuin supaya kehidupan manusia dimudahkan. Bisa digarisbawahi tuh, memudahkan, dan bukannya malah bikin susah.

Gue teringet sama seorang temen, waktu yang namanya Blackberry keluar, dia girang bukan main, seneng karena kemungkinan untuk sosialisasi dengan baik semakin kebuka lebar jalannya, dan dia pun beli satu. Seneng? Pasti, lo bisa ngontak siapapun dimanapun dan kapanpun, semacem address book yang bisa ngasih feedback langsung. Bener, dia memanfaatkan gadget satu itu dengan baik, gak cuma pake, tapi bisa memanfaatkan semua fitur yang ada didalemnya secara maksimal. Hidup jadi lebih mudah, kehidupan sosial berasa bersinar dan lo gak akan ngerasa kesepian, karena manusia punya kecenderungan untuk sosialisasi ketika keadaan memungkinkan, dan gadget satu itu ngasih semua kemudahan yang dibutuhin untuk ngelakuin sosialisasi.

Itu awalnya, lama kelamaan dia pun mikir, gunanya apa? Maksudnya, emang bener lo bisa sosialisasi sama siapapun dalam waktu yang gak terbatas, tapi apa iya kalo itu yang dia butuhin, sebagai manusia yang utuh? Ketika suatu saat, lo enek dengan semua hal yang ada di dunia ini, kenyang sama temen, mual sama cinta, dan ngerasa cukup banyak nelen yang namanya konflik sosial, apa sih yang lo butuhin selain waktu sempurna buat diri sendiri? Waktu yang lo ciptain buat lo dan hanya buat lo sendiri, masa iya lo ga butuh itu?

Gue pernah bilang di blog ini juga, nggak ada manusia yang mau sendirian barang satu jam, ya, gue pernah bilang begitu. Tapi kayaknya sekarang gue harus menarik kata-kata itu. Itu hanya sebatas statement yang gue keluarin disaat-saat tertentu, karena lo tau, manusia dikasih otak buat mikir dan hati buat merasa, saat hati mengalami perubahan, otak pun bakal berubah. Waktu itu gue sendirian, atau seenggaknya, merasa seperti itu, disaat lo nggak punya siapa-siapa bahkan untuk diajak ngobrol, jelas lo merasa kalo lo nggak akan pernah mau ngerasa sendirian karena sendirian nggak enak, masalahnya, gue waktu itu udah lupa apa rasanya ada di tengah kerumunan. Apa yang gue pandang sekarang beda dari dulu, itu dua tahun lalu, masa iya gue nggak mengalami perubahan sama sekali?

Temen gue bilang, dari sekian banyak kontak yang ada di handphonenya, berapa sih yang bener-bener dia kontak? Dia temuin dan ajak ngobrol? Katanya sepuluh pun nggak sampe. Ramai, tapi sepi. Mungkin itu yang dia rasain, terlebih efek lainnya dimana dia merasa nggak punya waktu untuk dirinya sendiri. Lalu? Kenapa nggak diciptain aja waktu itu? Nggak segampang itu, ketika ada kemungkinan sekecil apapun untuk berinteraksi, manusia sulit untuk nolaknya walau mereka nggak ingin, karena interaksi itu menyenangkan dan manusia itu makhluk sosial. Memang menyenangkan, tapi kesenangan ini juga yang kadang membuat kita lupa kalo manusia pun itu makhluk yang individual. Makhluk yang didorong oleh alam untuk bertahan hidup dengan kemampuannya sendiri terlepas perannya sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial.

Temen gue pun melakukan sebuah gerakan berani, dia mematikan handphonenya total, memutus segala kemungkinan-kemungkinan sosialisasi tersebut sampai pada titik dimana ketika ada orang yang ingin bener-bener sosialisasi sama dia, maka dia harus ditemui langsung. Beberapa waktu yang lalu, gue menemui dia dan apa yang terjadi? Katanya, dia nemuin frekuensi hidupnya yang udah lama hilang, sosialisasi ketika ingin dan waktu berkualitas untuk dirinya sendiri bisa diciptakan dengan mudah. Ada perubahan pembawaan dari dia, gue nggak tau detailnya gimana, tapi kayaknya, pertanyaan dia yang dulu diajuin ke gue—yang selalu ada di jidatnya itu—seolah udah nggak ada. Mungkin udah ketemu? Mungkin.

Gimana, apa, caranya, harus ngapain.

Seperti temen gue, gue juga ngerasa jenuh. Merasa harus cek twitter tiap satu jam sekali, facebook yang juga gue intip, Messangger yang bahkan gue selalu invisible. Gue berharap bisa melakukan sesuatu disana, sayangnya nggak. Nggak tapi gue cek, gue liat, kumpulan orang-orang entah darimana ada di depan mata gue tapi sama sekali nggak bisa gue sentuh, sosialisasi. Andaikan iya, kosong. Nggak ada rasanya. Apa itu yang gue cari? Nggak.

Bukan itu.

New Menu

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, August 23, 2011

Posted at : 1:49 AM

There is no palce like road.

Dimana orang bisa saling maki, tendang-tendangan, dan keplak helm. Yang ngemudi seruntulan, yang leletnysa kayak orang mau kawinan, yang nyebrang dengan mental kuat Iman (nyebrang dulu, kalo ketabrak ya takdir). Yang namanya nyawa udah wasalam kagak keitung yang kecabut disana, dari kesenggol spion, nabrak bemper, sampe batok kepala kelindes truk tronton. Tapi disaat semua faktor minus itu ngebuat hati ini nyes dan mikir-mikir lagi buat berkendara, ada aja bapak-bapak yang nawarin ta’jil di tengah lampu merah yang lamanya kaya dosa.

“Teh manis dek, udah adzan..”

:’)

==

Hi yo silver! Been a long time. Belakangan ini ceritanya gue udah sibuk masuk kuliah nih, ceritanya. Tapi kalo dibilang gara-gara itu jadi jarang nulis ya kagak juga, waktu luang masih banyak, waktu nganggur dipake leha-leha, dan tv series sangat menggoda sekali untuk dicolek tombol play nya. Jadi gue nggak sibuk, sebenernya, padet sih padet, tapi tetep fleksibel. Kenapa jarang nulis, ya gue punya satu masalah sih, masalah niat *plak*.

Gak ada cerpen, gak ada dialy rants, gak ada karangan sistematis menye-menye yang ngebuat orang paling humble pun siap menyediakan telapak tangannya buat ngegampar. Padahal bulan agustus mau abis, tapi entri baru sekian, bulan puasa mau abis, tapi nggak ada kenangan yang dikristalisasi kedalam bentuk tulisan. No probs, selama gue menjalaninya dengan cengar-cengir inosen dan ketawa-ketiwi garing, gue kira gue gak perlu tulisan. Elah, becanda, tulisan itu bentuk katarsis satu pihak yang sempurna men, gak mungkin juga gue tinggalin. Ya terus? Tulisan ini mau dibawa kemana? Ya suka-suka gue.

Ngomongin soal kuliah, sekarang kayaknya gue udah agak tenang dikit, lega. Karena, ngobrol soal kuliah, ujung-ujungnya nggak jauh dari yang namanya karir, ya seenggaknya, level gue udah naek dari pengangguran jadi mahasiswa, ceritanya, tenang dikit deh. Dapet tempat kuliah yang bagus, jurusan yang oke, cewek-cewek kampus yang cakep (ngeceng, men), dan pacar yang cakep *lha*. Semuanya kerasa lebih baik, menyenangkan, dan nggak perlu lagu ngurusin tetek bengek permasalahan aneh-aneh. Bebas, men. Permasalahan disini yaa, segala yang pernah mampir sekitar setaun belakangan rasanya coplok gitu aja, di satu titik kayaknya gue tercerahkan—yang semoga aja bukan temporer.

Hubungan sama keluarga juga makin baik, super sekali. Pulang kampung bisa cipika-cipiki sama keluarga, becanda bebas sama tuyul-tuyul itu dua, yang sekarang tingginya udah berkembang dalam level yang membahayakan. Masalahnya, mas Bantong, kalo badan lo gede tapi titit lo kecil, nanti pacar lo beberapa tahun kedepan yang kasian. Oke, gue bukan kakak yang berhak mendapat titel best brother of the year emang, tapi seenggaknya gue tau dong cara biar mereka nggak jauh-jauh hubunganya sama kakaknya yang ngganteng ini (pake ‘ng’, men, maknanya dilipat dua). Itu tuyul umurnya uda duabelas, taun depan udah masuk SMP, bentar lagi udah kenal sama yang namanya masturbasi kayaknya. Mungkin gue harus ngajuin proposal kamar pribadi kali yak buat itu anak? Wakaka.

Si bokap kerjaannya udah mulai greng, men. Tandanya apa? Jadi jarang ngehubungin gue buat minta tolong. Syit men, tapi bagus deh, seenggaknya udah punya duit cukup kalo mau cari istri lagi. Katanya, mau cari yang Abege. Sableng.

Random? Gak juga ah.

Jatuh

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, August 05, 2011

Posted at : 5:47 AM

Lo tanya masalah gue apa, gue jawab banyak. Dan mungkin seluruh manusia bakalan ngasih jawaban kolektif sama, banyak. Tapi secara objektif, lo bandingin masalah gue sama Jesus M. Christ, ya jelas banyakan dia, toh menurut literatur, bapak-bapak berjenggot tebal itu mengemban dosa seluruh umat manusia di pundaknya, elah. Gue nggak berbicara soal sekte atau agama tertentu, gue hanya seorang binatang bernama ilmiah homo sapiens yang lagi berusaha menuliskan sesuatu.

Berapa orang yang udah bilang gue itu suram? Entah. Lalu berapa yang bilang gue nggak punya semangat hidup? Lupa. Berapa pula yang bilang gue pundungan? Gak keitung. Gue menolak ide itu, tentunya, toh gue masih pengen dianggap sebagai manusia sehat, yang normal berfungsi sebagaimana mestinya. Siapa yang nggak pengen diterima di lingkungannya sih? Bergaul tanpa harus memikirkan hal-hal yang nggak perlu. Itu, pikiran gue. Tapi dengan bukti sebanyak itu, para juri memutuskan gue adalah manusia yang diklasifikasikan sebagai makhluk suram, apa gue harus terus-terusan menolak itu? Poinnya, hey, bagaimana kalau apa-apa yang mereka bilang itu bener? Apa gue harus tetap menolak kenyataan?

Mungkin gue suram, tapi gue menyesuaikan diri.

Berapa orang yang naikin alis mendengar polah tingkah gue? Tauk. Gua hanya melakukan hal-hal yang pengen gue lakuin, nggak kurang dan nggak lebih. Kalau penilaian orang lain rada miring, bukan salah gue, apalagi mereka. Ini hanya soal sudut pandang yang kebetulan berbeda. Buat gue mungkin adalah hal yang biasa, tapi buat mereka adalah hal yang bahaya. Gue hanya seneng melakukan hal-hal yang orang lain jarang lakuin. Naik motor jarak jauh, hiking sendirian. Beberapa bilang bahaya, buat gue sih hiburan. Dan kalau emang ternyata bahaya, yang penting gue menikmati saat-saat gue melakukannya. Toh saat-saat itu adalah saat-saat gue merasa hidup gue lebih berarti, ngalahin diri sendiri untuk kepuasan. Pengorbanan pasti ada, tapi tetep menyenangkan.

Mungkin lo bilang bahaya, tapi gue menikmatinya, itu cukup kan?

Hidup itu menyenangkan. Makanya, sayang kalau nggak dinikmati dengan popcorn dan soda di tangan. Apa yang gue lakuin adalah, gimana caranya gue memanfaatkan waktu-waktu gue mumpung masih hidup untuk menjadikan hidup gue lebih terasa hidup. Gue pengen mencicipi tiap detilnya, perdetik, permilisekon, bagian paling kecil dari hidup nggak pengen gue lewatin, merasakan semuanya sendiri, pake mata, kuping, kulit dan lidah. Tiap jengkalnya, tiap langkah yang pernah gue ambil adalah satu kata baru yang bakalan mengisi lembaran hidup gue. Itu. Karenanya gue berpergian, karenanya gue berkendara, karena ketika gue mati nanti, gue bisa ngobrol sebentar sama cucu gue, kalo hidup gue itu.. menyenangkan.

Gue mau hidup, hanya itu, hidup yang bener-bener merasakan saripati hidup.

Gue bilang, sengsara itu setia. Derita itu pelengkap. Mengikuti bagai roh kemanapun lo pergi, mendorong kedalam jurang yang dalem, membuat lo berlutut memohon ampun, menyiksa dengan cambukan-cambukan kelewat tajam sampai daging terbelah. Mereka ada. Mereka hadir dalam bentuk yang begitu kejamnya, begitu jijik sampai mata pun terpejam karena baunya yang sengit. Tapi mereka ada buat gue, membuat gue hidup. Karena, hidup nggak akan menyenangkan jika terlalu sempurna, hidup akan kosong bila tak ada kata hampa, karena.. tanpa cacat, hidup tak bisa dibilang menarik. Maka gue bisa bilang, sengsara itu fitrah, kesempatan besar untuk menguji diri, memecut otot, mematahkan tulang, menajamkan taring. Karenanya, gue nggak akan bisa berkembang, diam di tempat menunggu ajal dengan wajah yang rata tanpa senyum. Datar, karena gue nggak pernah mengalami hal-hal sulit, yang membuat gue bahagia ketika gue menyelesaikan persoalan tersebut.

Gue pernah jatuh. Karena sengsara. Tapi gue tetep bangun lagi. Dan gue pun terjatuh lagi tanpa bisa bangun. Gue pun menggeliat, berusaha menggerakkan tiap senti dari badan gue untuk bangun, bergerak-gerak perlahan, lalu merangkak. Lalu apa? Gue jatuh lagi. Ke tanah yang basah, dengan wajah berhias lumpur. Dingin. Tapi toh, gue masih hidup, kaki gue sebagai tumpuan masih terpasang, tangan gue sebagai senjata masih ada pada tempatnya. Tujuan gue hanya satu, bangun lagi dan kembali menikmati hidup yang emang seharusnya dari awal gue nikmatin. Entah berapa kali lagi harus jatuh, yang jelas, hanya diam nggak akan menghasilkan apa-apa, menggerutu dengan mulut berlumur lumpur hanya membuat tampang keliatan kusut. Bangun, dan bangun lagi. Karena gue, dan tentunya kamu, nan, punya banyak hal yang harus dijalani. Perjalanan menuju hidup tenang dengan cucu yang lari-lari sepanjang hari itu masih panjang. Sini, tak gandeng tangannya.


Credit: Makasih buat mas Garib untuk pencerahannya.

Fry-ends.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, August 03, 2011

Posted at : 3:49 AM

Two and a half.

Gue gak percaya gue masih melek, sama kayak ga percayanya ketika dibilangin soal interview gue tempo hari, katanya Inggris gue paling lancar, less grammar mistakes, dan satu-satunya yang ngejawab pake full inggris. Percaya? Gue mah kagak. Jadi, seperti biasa, sebagai prolog gue menempatkan derita gue pribadi soal susahnya tidur malem—dan hangover siangnya, tentunya minus tiga shots tequila. Oh yeah, gue nggak bisa ngebayangin muka-muka anak rohis pas baca paragraf ini. Respon yang paling masuk akal: “tobat akhi..”

Oke ngaco. One leap for another. Gue lagi di Jakarta. Devil’s Playground, Lair of the Demons, Lucifer’s Sanctuary, atau apalah nama keren yang ngebuat lidah muter lainnya. Yang jelas pulang kampung, dan kalo ada satu dari elo yang beranggapan kalo gue pulang buat menjalankan puasa pertama bareng keluarga tertjinta, maap-maap aje, kagak. Kagak salah lagi. Kidding. But it’s true. Naaah.. kena deh.

Apaan.

Jadi, suatu malam yang gelap, ketika hujan pun berubah embun, gue melakukan pembicaraan dengan seorang kawan lama, via telpon. Dan isi dari pembicaraan itu kurang lebih membahas yang namanya pertemanan, lebih sempitnya sih, hanya sebuah kasus, tapi menggelitik. Menggelitik? Iya, impuls yang cukup kuat untuk ngebuat gue yang otaknya segede biji kedongong—kecil tapi menusuk *halah—kepikiran selama beberapa hari. Yeah beberapa hari, harusnya gue bisa menuliskan ide itu, rangsangan itu di hari gue ngobrol kemaren, tapi sayangnya pantat gue di pantek ke bantal dan mata gue dipaku ke layar laptop yang menampilkan duet Bromance Jared Padalecki dan Jensen Ackels di Supernatural, jadinya ya.. ide pun menguap bagaikan rokok putih yang lima menit disedot udah tinggal filter.

*Btw, pantatnya Jensen Ackles semok gilak.

*ehem

Temen, pertemanan, sahabat, pacar. Hal-hal dalam koma ini nggak punya tolak ukur, lo nggak bisa mengatakan seberapa erat seseorang berteman pake gelas ukur, seberapa cintanya lo sama pacar, seberapa relanya lo berkorban buat sohib lo. Tentu, kecuali lo Darwinis sejati yang mau bikin patokan-patokan khayal tentang hal-hal tersebut. Ini metafisik. Sejujurnya, gue kadang penasaran, sampe batas manakah yang namanya stranger bisa melemapaui batas sehingga bisa dinamakan temen? Dan sampai dimana yang namanya temen ini bisa disebut sahabat? Apa dari jangka waktu? Seberapa lama seseorang berhubungan? Atau dari kualitas waktu yang digunakan? Atau hanya berdasarkan kesamaan minat dan tujuan? Ini subjektif, tiap orang punya definisi dan misinya masing-masing soal ini toh. Dan goblok total tanpa kompromi kalo ada orang yang maksain pandangannya soal pertemanan ke orang lain. Garansi goblok tiga tahun.

Metafisik. Makanya nggak ada harga pasti tentang sebuah pertemanan. Pastinya mahal, apalagi ini ada sangkut-pautnya sama yang namanya waktu, proses pembuatan, dan gimana menjaganya supaya tetap ajeg. Perjuangan untuk menjadikan seseorang sebagai teman itu nggak enteng, yah walau mungkin prosesnya berjalan dengan mengikuti arus, tapi pasti ada berat-beratnya.

Pertemanan itu soal preferensi. Lo sendiri yang milih siapa aja yang menjadi temen lo, atau sebaliknya, siapa aja yang cocok jadi musuh. Alasannya bisa macem-macem, err.. kalo gue bilang, semacem lingkaran-lingkaran kecil tentang ketertarikan kita sama orang lain. Entah itu hobi yang sama, pergaulan yang sama, minat yang sama, pola pikir, fisik, kondisi psikis, dan hal-hal lainnya. Lo milih bertemen sama si A karena dia demen AC/DC, fine, nggak ada yang salah, dan bukan nggak mungkin lingkaran-lingkaran kecil tadi bersinggungan satu sama lain, dan level hubungan meningkat menjadi sohib? Siapa yang tau. Hey hey, lo mungkin bisa bilang, “gue nggak pilih-pilih temen.” Oke, tapi apa iya? Gue rasa lo juga nggak akan nyaman ngobrol sama orang yang bawa-bawa Demon Goetia ke kampus, sementara lo penghuni tetap gereja pas hari minggu.

Nggak mudah untuk menciptakan sebuah pertemanan yang sehat, dimana lo bisa diterima dengan tangan terbuka lebar tanpa kerutan di dahi. Makanya, kadang beberapa orang mencoba terlalu keras demi mendapatkan hal ini. Sayangnya, nggak semua cara garis keras ini kedengeran sehat dan waras di kuping. Cara yang nggak sehat buat dirinya sendiri, dan juga untuk orang-orang yang jadi target pertemanannya. Janji yang hampa, sedikit tipu, atau bahkan usaha untuk membeli pertemanan—pakek duit. Sehat? Nggak. Dapet? Mungkin iya, tapi ya itung hari pake jari. Dan mereka mengambil jalan itupun bukan tanpa alasan, kayaknya. Faktor terlalu banyak, apalagi kalo ngomongin soal psikis.

Bleh..

G-N

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, July 29, 2011

Posted at : 10:02 PM

Tiga hari dalam keadaan braindead, rasanya gue mau garuk aspal. Tau nggak? Kalau kita mengunyah terlalu banyak informasi, asupan stream data yang terus-terusan masuk ke kepala, tapi tanpa ada output yang bisa dikeluarin, rasanya kayak.. telor yang lo masukin microwave. Kaboom. Isi kepala lo muncrat ke kaca.

Ya nggak begitu juga sih.

Mungkin gue hanya keabisan cerita, mungkin gue perlahan menjadi plain-old-empty-brainded-dull-man yang nggak menarik. Mungkin juga karena gue udah lama nggak mendapatkan materi dari kuliahan—psikologi, yang mana, penerapannya bisa lo langsung taro kedalam tulisan, gosipin orang pake teori, semacam itulah. Atau mungkin juga, hidup gue jadi makin asoy, nggak ada beban pikiran yang ngebuat gue ngerutin jidat dan smoking frenzy. Yang manapun, ngebuat gue ngerasa kaku tiap kali mau norehin tinta di ms word. Aha, penggunaan majas dalam kalimat, itu tandanya gue jujur.

Apapun itu, yang pasti gue nggak ngerasa bosen. Tontonan banyak, materi informasi yang bisa gue kunyah di internet juga panjang listnya, pacar juga senantiasa minta ditelponin tiap hari—manja-manjaan, leyeh-leyeh, adu imut, goyang lidah, semua yang bisa lo sebut—dan motor gue makin keren tiap hari (lha). Apaan sih, maksud gue, post ini bukan this-is-so-random-shit thingy yang pointless, tapi lebih ke well-my-life-is-great-afterall thingy yang nandain gue baik-baik aja. Great good better than you sick minded people out there. Kidding.

Bukan juga stagnasi, pengumpulan informasi yang begitu njeblug banyaknya menandakan gue nggak berhenti disini, tepatnya, otak gue, ogah amit-amit kalo gue sampe jadi tumpul. Kenapa? Badan gue gede soalnya. Masih tanya kenapa? Tau kan, yang namanya manusia itu selalu bawa cap stempel kemanapun mereka pergi, dan tangannya selalu gatel kalo ngeliat orang—pengennya jedotin itu stempel ke muka, masalahnya adalah, stereotipe dari badan gede = idiot. Makanya, kalo lo memilih untuk hidup dengan remarkable body (ecie), maka lo harus punya yang namanya remarkable brain (ciehuhuy). Dan sebenernya, kalau tadi gue bilang post ini kagak pointless, gue mulai merasa tulisan ini udah kagak jelas juntrungannya.

Amen.