Skinpress Demo Rss

Demonic Pride: Part II

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, December 21, 2009

Posted at : 8:32 PM

The Joy and The Sorrow



“Udah sampai, lo dimana?”

“Kampus, lo masuk aja,”

Satu pepatah lama mengatakan, semakin minim ilmu, maka semakin banyak yang harus dikorbankan. Setuju, tentu sangat setuju. Terlebih, hal itu benar-benar saya alami saat ini. Andaikan saya tahu bahwa ada sebuah angkutan dalam kampus yang dapat mengantarkan mahasiswanya untuk berkeliling universitas yang luasnya hampir setengah kota kecil ini dengan gratis, tentunya saya tidak perlu susah-susah berjalan kaki kan? Ah, bukan salah mereka, tapi saya yang memang tidak tahu bukan?

Lalu saya berjalan, di tengah gerimis yang berkala menghujam tanah, saya menerobos bulir-bulir air, berlindung di bawah kemeja flanel yang tidak dapat dikatakan layak lagi untuk digunakan, berusaha berlindung dari tatapan mahasiswa-mahasiswa yang memandang dengan tatapan heran mencemooh, yang mungkin saja berpikir: “gila,”. Tapi yah, mungkin saja, saya tidak marah, karena sebagian kecil dari diri saya sudah mengatakan demikian, bahkan sejak zaman SBY masih mencumbu JK, ya, saya memang gila.

Jauh, amat jauh. Saya berjalan dengan sepasang sendal karet, yang jika terkena air akan menjadi sangat licin dan tidak mudah untuk digunakan. Erh, diantara menyenangkan dan tidak, kawan. Di satu sisi, ada pemandangan serba hijau, plus danau buatan yang apik menyegarkan mata, ditambah lagi suasana hujan yang mengguyur pepohonan tidak tinggi, dan baunya? Yeap, bau tawar yang menusuk hidung dengan kesegarannya yang anomali. Tapi di sisi lain, kau tahu? Tidak pernah menyenangkan berjalan dengan kepala berat, pikiran penuh dengan hal-hal yang seharusnya diisi dengan tugas-tugas yang menumpuk dan hal lainnya yang lebih fitrah untuk dikerjakan daripada bermuram durja menyembah hal tabu yang dilabel najis oleh seluruh manusia. Terkecuali mereka.

“Sampai.”

Tidak berubah, dari detik pertama mengenal dia, dan sampai sekarang setelah lebih dari empat tahun berlalu, dia tetap sama. Err.. senyumannya mesum. Yah, begitulah. Kami bertemu sapa, tidak menghiraukan orang sekitar yang mungkin memandang kami terheran. Heran? Tentu saja, karena kami berbicara seolah tanpa adanya batas yang menghalangi, dalam bentuk apapun. Bahkan yang tabu sekalipun seperti gender, karena satu hal. Kami berpikiran dengan satu cara, tidak ada gender, yang ada hanya saya sebagai manusia, dan dia sebagai manusia, titik, dan tanpa koma.

Satu hal yang menjadi persamaan kami, mungkin. Kami sama-sama berjalan mengangkangi nasib, takdir kami ludahi, dan aturan kami pandang sebagai sarana pemacu adrenalin, karena mereka ada hanya untuk dilanggar bukan? Haha. Saya cukup takjub sebenarnya. Tidak ada satu benangpun yang menghubungkan bentuk pertemanan saya dengannya, tapi entah mengapa, ada suatu kecenderungan dimana saya tidak bisa lepas darinya yang (sangat) menyebalkan, tapi justru seperti ada magnit yang membuat saya selalu mencarinya jika ada suatu hal buruk yang terjadi pada saya, entahlah.

Yeah, dia tertawa, dengan lebar mulut yang sebesar belahan laut merah oleh musa, tanpa malu, dan amit-amit luar biasa kenapa saya bisa ada disebelah orang macam ini pula? Sekali lagi, entahlah.

Kami tidak bicara, kami hanya saling pandang yang bahkan bukan kearah yang bisa dikatakan ‘saling pandang’. Untuknya, saya berkata sepatah yang mungkin hanya potongan kecil sebuah puzzle yang tidak akan pernah bisa tersusun. Ada setitik ketakutan dimana saya mengangkangi hal yang dinamakan kejujuran, karena diapun berbicara fasih dengan asas yang dinamakan kebohongan putih. Saya tidak ingin membuat dia susah, dan sebaliknya, dia pun tidak ingin membuat orang-orang didekatnya turut susah. Ah, hidup, begitu berbelit, namun belitannya itulah yang membuat leher ini terasa terangsang naif.

“Dia sudah beres, saya pergi kesana, sampai nanti..”

0 comment: