Skinpress Demo Rss

Ini Soal RW

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Wednesday, January 21, 2009

Posted at : 8:07 PM

Berita baik rekananku sekalian, komputer gue kena virus! Yeah, salah gue emang yang dengan sengaja ngga masang antivirus dari awal. Karena gue ngga pernah berspekulasi untuk nyentuh tempat biadab perkembangbiakan yang subur bagi virus yang dinamakan warnet. Yah, ada net dikosan, ngapain gue nyolok flashdisk gue diwarnet buat nyari bahan? Tapi ternyata, karena peristiwa kemalingan seminggu yang lalu, gue jadi sering bertandang kewarnet dan.. disana flashdisk gue kena virus. Greaaat! Mana bukan virus ece-ece pula, sistem gue kena serang, kalo gue sendiri yang ngurus, bakalan item doang ntar layar kompinya. Beh.

Yah, gue pasrah deh, ngga berani macem-macem ngutak-ngatik ini kompi dengan tangan penghancur gue. Mungkin beberapa hari kedepan akan gue bawa ketempat servis, heu, dan gue minta antivirus ke mereka, tentu.

Beberapa hari ini agak aneh, bagi gue tentu. Minggu yang diwarnai puasa total beberapa hari ini cukup rumit untuk diverbakan, andai-andai ngga dimengerti, mohon dimaafkan. Awalnya hari rabu, gue ngga begitu inget ada apa di hari itu, namun malemnya, kebiasaan yang entah mulai mengakar sejak kapan di gue itu nongol lagi. Yeah, terhitung dari rabu malam sampai sabtu pagi, gue ngga makan apa-apa. Makan—seinget gue cuma satu roti, dan segelas Sundae. Alasannya? Ngga tau. Sejauh otak gue bisa mengingat, puasa total macem itu gue jalanin kalau-kalau ada hal aneh yang mengganggu pikiran. Tapi minggu ini? Ada? Ngga? Ah, ada kayanya.

Secara kronologis, sebenernya rabu malam itu gue emang ngga niat makan, biasa, ngga ada dorongan apapun yang membuat gue ngga makan, hanya males. But i guess, semuanya mulai di hari kamis. Ada suatu event yang sebenernya cukup normal untuk orang kebanyakan tapi cukup heboh buat gue. Perayaan ulang tahun? Apakah sebegitu menariknya buat gue? Oh, sangat, gue ngga pernah tuh yang namanya ambil bagian dalam perayaan ulang tahun seseorang. Apalagi ampe pake plonco-ploncoan tepung terigu. Well, menarik. Dan kalau ditanya, kenapa hal menarik begitu bisa membuat gue kepikiran, dan ngga bernafsu makan? Bukannya kontradiksi? Hal yang menyenangkan malah berefek negatif. Entah yaa.

Kamis sore, rombongan kelompok yang pernah gue tulis di post sebelumnya berniat pergi nonton. Dan tentunya, mereka ngajak gue. Dan sekedar penyegar ingatan. Gue bukan orang yang suka pergi atau jalan-jalan ke tempat what-so-called mall, itu satu. Gue bukan orang yang terlalu suka nonton film, itu dua. Dan gue adalah orang yang akan berjengit kepada setiap film dalam negri, itu tiga. Dan yeapp! Saat itu gue diajak pergi, ke BIP pula, nonton pula, dan film Indonesia pula. Lengkap. Dan kenapa gue mengamini ajakan mereka? Ingin membaur adalah jawaban yang tepat.

Gue ngga punya kehidupan RW, ada, dan hanya satu, dijakarta pula, dan bisa dibilang.. Kecil pula. Well yeah, gue memang adalah orang yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, tapi kalau mengingat jaraknya, gue dibandung dan mereka dijakarta? Kehidupan RW gue satu-satunya itu sama sekali ngga bisa gue nikmatin, kan? Dan.. Di Bandung, yang memang gue ngga puas dengan kehidupan kampus disini, membuat gue memutuskan untuk bergerumul dengan kehidupan NW gue selama empat tahun kedepan. Itu rencananya. Tapi kenyataan kan ngga selalu mulus, toh? Plus insiden modem kemalingan. Gue jadi ngga punya kehidupan di Bandung. Itulah alasan gue membaur. Tapi sekedar pengingat, gue membaur bukanlah pelarian sementara dari NW gue. Gue ingin ambil bagian dalam kelompok ini, sangat. Untuk sekarang gue memang ngga bisa menikmati gaya pergaulan mereka yang notebene adalah ABG abis. Tapi gue berusaha.

Berusaha? Beratkah? Oh, temanku, sangat berat. Gue adalah orang yang kesederhanaannya berada di garis kemelaratan masyarakat. Sebisa mungkin ngga akan mengeluarkan uang untuk hal-hal yang ngga penting atau ada subtitusinya. Gaya berbaju gue adalah ‘yang penting bisa dipake, dan nyaman’, dan nyamannya gue.. jangan ditanya deh. Mengutip salah satu analisis menarik di suatu forum, “Hidup itu murah, yang mahal adalah gaya hidup,”. Sepakat dengan anda. Untuk hidup, makan kenyang itu bisa dengan uang lima ribu di warteg. Tapi gaya hidup, makan di resto-resto bonafit ngga akan selesai dengan lima puluh-seratus ribu. Dan banyak hal-hal lainnya. Dan gue yang begitu sederhana sekarang harus berciuman dengan hal-hal yang bisa dibilang.. cukup mewah. Sejujurnya ngga enak, setiap menitnya ada di tempat-tempat macem itu membuat gue teringat kehidupan simpel gue yang sangat gue rindukan. Sepeda, nikmatin udara berbau sampah dari atas KRL ekonomi, mengais jalan menggunakan mata gue saat numpang di metromini, dan tidur di tengah lapangan ngeliat purnama yang lagi sempurna-sempurnanya hanya ditemenin susu. Kegiatan-kegiatan itu begitu murah, nyaris gratis, tapi menimbulkan kepuasan luar biasa buat gue.

Apakah otak gue rusak? Sense of life gue sebegitu tidak berkelasnya? Mungkin. Tapi ini gue, roman gue adalah dengan hal-hal rendah macem itu. Seberapa banyakpun gue mengeluarkan uang dan bermewah-mewah ria, gue ngga pernah bisa menemukan kepuasan seperti yang gue temukan di kegiatan-kegiatan barusan. Dan soal kelompok itu, man, bukanlah gue namanya andaikata tidak ada kata pesimistis dan negative thinking yang membuntuti dibelakang nama gue. Apa maksudnya? Oke, kita permudah dengan satu kalimat simpel yang bahkan bisa dimengerti oleh anak kelas dua SD yang baru lancar membaca.

Siapa sih gue?

Non, non, ini bukan soal rendah merendahkan diri yah, ini bicara soal kenyataan dan realita yang ada. Secara fakta, gue menyampaikan dari sumber langsung yang terpercaya. Gue adalah orang yang ngga pandai bertutur kata, kemampuan verbal gue dibawah rata-rata manusia lengkap dengan ketidakjelasan artikulasi gue saat bicara (terjemahan: ngomongnya kaga jelas). Kekurangan itu dilengkapi dengan dogolnya pemilihan diksi atau kata yang tepat untuk diucapkan, ketus, dan ngga jarang memang langsung ditujukan untuk menyerang lawan bicara.

Yah, dengan sekian premis yang sudah disebutkan diatas. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gue adalah orang yang ‘klop’ untuk susah bergaul. Dan dengan segala variabel diatas, apakah gue dapat diterima di kelompok tersebut? Mungkin tidak, tapi mungkin juga iya, expanding possibilities. Hei, gue ngga tegaan juga sama diri gue sendiri dengan memasukkan kemungkinan yang negatif melulu, kan? Tapi yah, gue cukup.. Optimis, optimis bahwa gue mungkin tidak akan terlalu berkesan untuk mereka. Mengingat bahwa gue dikelompok itu bener-bener jarang bersuara. Beberapa hal yang gue verbalkan disana hanya tanggapan-tanggapan kecil, satu-dua tawa, dan sisanya? Diam. Ada dan ngga adanya gue ga akan terlalu berpengaruh pastinya. Ah, agak menyedihkan juga mengakui fakta macem ini.

***

Butuh afeksi lebih, cari pacar? Beh..

Symphaty For The Devil

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Wednesday, January 14, 2009

Posted at : 9:37 PM

Familiar dengan judulnya? Yah, lagu yang aslinya dibawain sama Rolling Stones ini emang banyak diremake ulang sih, tapi, yang paling gue suka tentu yang versi Gun’s N Roses (dijadiin OST buat Film Interview With Vampire). Satu lagi yang gue suka itu versinya The Finger, band yang pasti ngga pernah kedengeran di Indonesia deh namanya, haha. Dan ada apa dengan judul lagu itu sampe-sampe gue jadiin judul entri kali ini? Agak berhubungan sama kejadian baru-baru ini sih.

Oke, gue kemalingan, dua hape, dompet (kosong) digondol itu maling waktu gue tidur. Gue ngga sadar? Oh, ya, tentu, gue tidur pules. Hari itu gue tidur jam tiga pagi, ngetik-ngetik tulisan yang ngga jelas gunanya buat apaan. Dan saat gue terbangun paginya, jam setengah tujuh, gue mendapati bahwa itu hape yang bercokol jadi modem semaleman udah ngga ditempat. Beh. Yasudhlah, ngga penting juga gue menuliskan kronologis gue dengan muka bingung bangun tidur toh? Pokoknya, hari itu juga gue langsung pulang ke Jakarta buat ngurus KTP yang ikutan raib bersama dengan si dompet.

Poinnya, setelah kejadian ini, gue mendapatkan perspektif baru soal beberapa hal yang sebenernya umum dan sering kita temuin di keseharian. Prolognya, sebelum hari gue kemalingan, gue membaca satu entry menarik dari blog langganan gue. About the badguy. Mereka eksis, mereka ada, keberadaan mereka dibutuhkan. Mengakui atau ngga, kita, manusia, the human being, mankind, membutuhkan mereka, para orang jahat. Dunia mengenal kata damai, mengenal kata tentram, tapi darimana? Tentu, dari orang jahat. Orang jahat ada, mereka membuat kericuhan sana sini, disingkirkan, maka barulah tercipta yang namanya kedamaian.

Dikatakan mereka pemberani, yeah, ada yang bilang menjadi orang baik itu susah. Sebenernya sih, menjadi orang baik itu cukup mudah kok, cukup diam dan diam, anggukan kepala mengikuti irama nilai dan norma, maka anda akan dengan otomatis diakui sebagai orang baik oleh tatanan masyarakat dimana anda tinggal. Kalau yang dimaksud baik itu susah berdasarkan hati, well, lain cerita.

Untuk orang jahat? Kenapa tadi gue bilang susah, plus pemberani pula? Mereka ada untuk dibenci, mereka ada untuk dijadikan tumbal kedamaian, mereka eksis hanya untuk menjadi buah bibir negatif masyarakat. Ah, tentunya, dengan segala pengorbanan mereka, kita juga masih susah memberikan terima kasih toh? Yaa, mereka melakukan hal yang bikin rugi sih, dan gue juga, sebagai penulis entri ini masih enggan memberikan kata terima kasih untuk mereka, jadi? Seenggaknya, terima sedikit rasa simpati gue untuk kalian deh, haha. Yah, kehilangan hape yang gue gunain sebagai modem? Jah, penderitaan lahir batin untuk ansos macem gue.

Seorang anak Psikologi malah bersyukur saat tau gue kemalingan hape. Bagus, katanya, karena dia melihat gue yang inetan meluluuu dikamar, ngga bergaul, keluar cuma pas makan, kuliah sama Badminton doang. Badan juga kaga keurus, kopi gila-gilaan, makan juga yang gampang—mie melulu, dan gue, juga pasti ngga akan berenti sebelum emang bener-bener ditimpa musibah kaya gini. Haha, bener juga sih, gue terlalu nyaman dengan kebiasaan macem itu, ngga ada niatan berubah sama sekali dari guenya. Makanya dia bersyukur. Weh, baik sekali niatan mu nak. Tapi kayanya bulan depan gue bakalan beli hape khusus inetan dah, nyahaha.

***

Ah, tanpa net? Beberapa hari ini gue mengais-ngais setiap sudut ruangan yang gue datengin, nyari buku yang sekiranya bisa gue baca. Yeah, tanpa inet, bukan berarti gue membebaskan diri dari kegiatan ansos gue dong? Ahaha. Btw, gue sekarang lagi ngebaca Tunnels karya Roderick Gordon & Brian Williams. Buku ini diramalkan akan menjadi sama fenomenalnya kaya Harpot, mengingat editor buku ini adalah orang yang sama dengan yang nemuin J.K Rowling’s Harry Potter. Barry Cunningham. Tau apa reaksi gue saat membaca buku Tunnels ini? Ah men, gue familiar, sangat familiar sama gaya penulisannya. No, no, seinget gue, gue ngga pernah membaca karya lain dari duo novelis ini, ngga. Dan apa yang membuat gue begitu familiar sama tulisan mereka? Well, bukannya sok-sokan, belagu, atau kepedean, tapi gue merasa tulisan mereka itu sangat mirip dengan gaya RPG gue. Oh, oke, silahkan kalo mau nimpuk gue karena kelewar pede, tapi gue merasakan seperti itu. Terutama susunan kata dan penggunaan tanda komanya. Pokoknya kalimat yang bila pendek, maka akan sangat pendek, dan bila panjang, maka akan sangat panjang. Ahaha, kepedean kah? Dunno.

Salah satu kalimat gue.
Dan ya, mungkin kau benar, Kristobal, dunia terlalu luas, dan umurnya baru empat belas tahun, mungkin masih banyak, banyak yang belum ia lihat, dan mungkin memang terlalu cepat untuk menyerahkan dirinya kepada orang itu, mungkin.

Kalimat dari buku Tunnels.
Cal mempercepat langkahnya saat mereka melewati sekelompok penduduk Colony yang, dilihat dari cara mereka memandang, jelas mengetahui siapa Will sebenarnya.

Kenapa? Ngga mirip? Bodo ah, pokoknya pemotongan kata, dan penggunaan tanda koma yang diatas normal itu gue rasa sangat familiar dengan gaya tulisan gue. :p. Buat Tunnels nya sendiri? Ah, gue suka, ngebacanya penuh rasa penasaran. Ngga seliar Harry Potter sih, tapi memberikan sensasi lain yang ngga Harry Potter berikan, sensasi Thriller. Alurnya memang cukup lambat, tapi gue sempet menyelesaikan tiga ratus halaman dengan waktu kurang dari setengah hari kemaren, gue rasa itu cukup membuktikan seberapa excitednya gue baca itu buku kan?

***

Buku lain? Gue menyelesaikan kumpulan cerpen Akutaga Ryunosuke dan Yakuza Moon kemaren. Buat Akutagawa Ryunosuke, ngga salah deh gue ngefans ama cerpenis satu ini dari dulu. Top. Setiap cerpennya selalu punya nilai-nilai moral tersembunyi yang khas. Dari kesemua yang ada disana, gue paling suka Kumo no Ito (Spider Web), dan tentunya Rashomon. Rashomon udah gue baca telebih dulu versi Inggrisnya, menarik, lebih oke daripada versi Indonesianya deh gue rasa.

Dan, dan, dan.. Gue menemukan hal konyol setelah baca kumpulan cerpen tersebut, gue teringat sama pertunjukan teater beberapa waktu lalu di Taman Ismail Marzuki. Gue nonton berdua sama Lutfi. Judul teaternya, ‘Rashomon’. Saat menyaksikan teaternya, gue heran, kok jalan ceritanya beda sama yang gue baca dulu di cerpen? Tapi karena gue tau kalo versi cerpen dan filmnya itu beda dan katanya itu teater diadaptasi dari film, maka gue diem aja nonton itu teater, secara gue belom nonton filmnya. DAN TERNYATA, KAWAN!! Setelah gue baca itu kumpulan cerpen, gue baru sadar ternyata kelompok teater itu melakukan kesalahan FATAL. Yang mereka tampilkan itu bukan Rashomon! Tapi, In a Grove! (didalam belukar, lupa judul Jepangnya). Beh, kaga abis pikir, kok bisa salah judul gitu? Apa mereka ngga baca dengan bener adaptasi tersebut, heh? Mana disana beberapa orang yang asal nyablak pula, katanya Akutagawa Ryunosuke itu cerpenis humor? Oh please! Dia itu cerpenis sosialis di antara cerpenis naturalis yang lagi booming saat itu. Isi cerpennya itu sindirian-sindiran satir terhadap tatanan sosial masyarakat Jepang saat itu men, lucu darimananya? Dari Hongkong? (ah, makanya gue ngga mau ke Hongkong..)

Buat satu buku lagi, Yakuza Moon. Hmm, kisahnya cukup mengerikan. Ternyata ada orang yang sebegitu dekat sama yang namanya neraka. Yah, dari segi cerita, cukup membosankan sih, khas otobiografi soalnya, nyeritain diri sendiri. Tapi yah, mengikuti kehidupan Shoko Tendo juga cukup menarik. Ngga banyak yang bisa gue tulis soal buku ini, mending baca aja dan siap-siap bergidik deh :D.

Walah, panjang juga entri yang ini. Semoga ada manfaatnya. Dan buat Ussi, di YM trakir itu gue becanda men -___-a. Pengen ngejelasin sambil ketawa-tawa tapi gue lupa dan off duluan, haha. See yah.

Not-so-Random Thingy

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Friday, January 09, 2009

Posted at : 4:02 AM

Buh, ini blog nyaris gue telantarin, jujur. Alasannya? Gue capek nyari skin yang sesuai dengan keinginan gue, ahaha, tapi untungnya nemu juga yang kena di hati. Kriterianya sih, simpel, html sederhana, dan yang paling utama, tulisannya kecil. Soalnya gue pribadi sih kurang bisa nikmatin bacaan yang bentar-bentar ganti baris. Tapi well, udah ketemu toh, salam kenal deh sama ini skin, semoga tahan lama n awet sampe kakek-kakek, *loh*. Setengah bulan lebih dari apdet terakhir, weleh, banyak yang mau gue taro disini, tapi yah, tangan males :p.

Oh yah, minggu tenang (23 desember – 5 januari) gue abisin setengahnya dijakarta dan setengahnya di bandung. Awal-awal, tanggal 23 siang, rencana pulang ke jakarta begitu selesai kuliah, naek.. Motor. Yup, Jakarta – Bandung dengan jarak kurang lebih 150km itu ditempuh menggunakan motor. Untuk orang yang udah terbiasa sama kendaraan roda dua itu sih mungkin kaga masalah, tapi kalo yang pantatnya perawan kaya gue, jah, pegel luar biasa. Siang menjelang sore, gue sama Dani (yang ngajakin ke jakarta naek motor) berangkat. Rencananya lewat jonggol, karena jalur puncak terlalu ekstrim buat dilewatin sama motor bebek (+ karung beras dibelakang).

Itu perjalanan, jangan ditanya deh, pegelnya dapet, tapi mata gue puas :d. Kami ngelewatin satu jalanan yang luruuuuuus banget, banget, cakrawalanya keliatan jelas, langit sama daratan kebelah dua, dan tanpa sadar gue nyanyi The Long and Winding Road-nya The Beatles—sumbang, untung lagi di motor, gada yang denger :p. Kejadian lain, hmm.. Ngga ada yang khusus sih, selain gue ampir jatoh melayang gara-gara ada turunan parah dijalanan dan si Dani juga dong-dong maen ngegas aja, siyal. Lama tempuh perjalanan itu sekitar lima jam, yeah, pantat gue men, pantat guee, bisa dibandingin sama 17" HP L1706 LCD Monitor, rata *lebay*. Sampe dijakarta kira-kira setengah enam, gue didrop di senen, dan dia langsung narik lagi ke tebet. Yah, lumayan, walaupun pantat pegel.

Dan liburan gue dijkarta? So-so aja tuh, gue namatin banyak buku yang sebelomnya ngga sempet dibaca, Ronggeng Dukuh Paruk, Maryamah Karpov, The Silver Chair, sama Parasit Lajang. Well, selain kegiatan rumahan geje ntu, gue juga melakukan ritual yang pastinya gue lakukan setiap kali gue kejakarta: sepedaan. Tapi ngga banyak tempat yang gue datengin kali ini secara solo. Cuman daerah sekolah, senen, cempaka putih dan sekitar serdang. Sebenernya disuruh si Ibu buat nyamperin bapak, nengok keadaannya, tapi yah, gitulah, skip skip.

Bersama kelompok Bersepeda Lintas Jakarta yang rada-rada heboh, rencana awalnya sih cuma mau sepedaan ke monas, makan bakmen (bakmi menteng), dan pulang. Sebelom berangkat gue ngusulin abis sepedaan kita pergi kemana gitu, maunya sih nonton, tapi entah kenapa berubah jadi ke kota tua. Awalnya, abis sepedaan, balik dulu, baru kita jalan ke kota tua. Eeeh, pas sampe di monas, si Lutfi ngusulin ke kota naek sepeda, ohoho, menarik. Gue pun ngusulin lagi, daripada cape ngegenjot, mendingan sepedanya dinaekin ke kreta, dan jadilah, tiga sepeda dan tiga penunggangnya ngangkut sepeda dari stasiun cikini ke beos. Di kota tua, malah maen bulu tangkis, wakakakak. Pulangnya, naek sepeda, dari kota, nyusurin jalan sampe ke jembatan merah, lanjut ke gunung sahari dan akhirnya balik kerumah lutfi. Yeap, cukup menyenangkan.

Sepedaan geje

bulutangkis-ing depan musim fatahillah :p



Itulah masa liburan gue dijakarta hanya gitu aja, ngga ada hal khusus laennya deh. Gue juga ngga ikut gath IH, dan gue juga ngga ikut ke cibatok buat tahun baruan, ah, taun baruan mah Cuma nama, emang orang-orangnya yang ngebet pada pengen kepuncak aja itu mah, wakaka. Beh, ngga makna banget lah. Dan tanggal 30 gue balik ke bandung diiringi sama kejadian konyol di stasiun, yaitu, yaoloh, kunci kamar kosan gue ktinggalan di rumah =)), emang mental pikunan, padahal gue udah balik dua kali ngecek barang, yang pertama gue ketinggalan USB, dan yang kedua charger hape. Dasar emang penggila gadget, USB n charger boleh inget, kunci ketinggalan :p. Itu membuat gue harus loncat dari kereta men, soalnya baru inget kunci ketinggalan pas 5 menit sebelom kereta brangkat, jadilah gue nelpon orang kosan, nanya ada kunci cadangan kaga, dan ternyata kaga ada, telpon selesai, kereta udah jalan, ya lompat gue.


***

Di bandung, malam taun baru gue abisin kaya biasa, nge-net, syahaha. Ngga makna dan sangat khas gue yak. Tapi pas jam 10an si Marwan, rekanan tandang menandang di kosan sms, mau dateng katanya, oke, seenggaknya gue ngga sendirian di taun baru, kasian juga si Marwan, anak desa datang ke kota. Jadi dah, dia dateng ke kosan gue, dan gue—seperti biasa, bikin kopi. Mendekati jam 12, kembang api mulai meletus disana sini, gue keluar dan duduk bersila di bangunan sebelah yang lantai duanya belom jadi :3. yah, ngga sebagus di cibatok sih, disana mah kembang apinya diatas kepala. Tapi lumayan lah, ngga jelek-jelek amat kok. Jam satuan dia pulang, gue kembali ngenet, ngobrol-ngobrol geje sama orang-orang yang juga begadang taun baruan. Dan begitulah, taun baru gue diabisin dengan ngga tidur selama dua hari penuh :p.

RW masih sama, berjalan dengan so-so aja. Gue sempet beneran frustasi. Gue jalan-jalan malem dari jam 8 ampe jam 12, satu kampus gue muterin, ajib. Dijalan gue diem, yang ngomong kepala gue. Tempatnya variasi, dari padang rumput, sampe lapangan baseball, dari pinggir jalan sampe bagian kampus yang terdalam, cukup asik.

Gue lagi berusaha ningkatin kualitas RW gue btw. Setelah gue pikir-pikir, yang paling mudah tuh kita menyusup masuk ke salah satu kelompok yang udah solid diawalnya. Dan ya, gue punya satu kelompok yang sangat ingin gue masukin, gue ingin bergabung disana, ingin ngobrol-ngobrol kaya mereka dengan satu sama lainnya, blabbering around without reason, yeap. Gue mencoba untuk gabung, gue selalu minta ikut kalo ada kegiatan ngumpul, berusaha ngebaur deh. Dan nyatanya. Setelah gue merasakan berada di tengah mereka, gue malah ngga kerasan. Kenapa? Pastinya sih ngga tau, cuma, gue merasa apa yang mereka omongin itu ngga pernah sesuai selera dan nyambung sama gue. Oh, diliat dari pembicaraannya sih harusnya menarik, pembicaraan khas anak-anak yang lagi berhormon tinggi lah, tapi tetep, gue ngga bisa nikmatin. Entah karena terlalu berharap membicarakan hal-hal fenomenal edukatif dan mempunyai output atau apa, gue ngga nyaman. Dan memang kan? Gue pada dasarnya ngga bisa bergeram dalam kelompok. Maan, kapan yah gue bisa gitu?

Dan btw, ada dua orang mensuggest gue untuk cari cewe =)), aduh, ngakak gue, alasan pertama, ada gitu yang doyan sama orang yang mukanya titisan preman pasar rebo gini? Alasan kedua, gue memang susah, dan lagi ngga pengen—dan sama sekali ngga mau membangun hubungan what so called ‘pacaran’, entah, saat ini gue berpikiran begitu, tapi semoga aja berubah. Soal unreachable? Well, sejujurnya sih, udah dari gue pindah ke bandung rasa suka itu gue alihkan ke ketertarikan aja, udah ngga menyangkut soal hati, tapi cuma soal selera, move on, rite? Dan untuk sekarang? Yaa, ngga ada yang nyantol-nyantol tuh, bentuknya hanya tertarik, dan ngga lebih. Cuma ‘terpanggil’ liat sifatnya, atau kadang kenampakan fisik seseorang. Dan bagusnya sih, gue ngga harus ngais-ngais tanah lagi, karena udah ngga pake hati :3. Satu orang sarap mengutuk gue kalo-kalo pacar gue berikutnya pasti dari NW, siyal. Sini kelinci lo, gue sate.