Skinpress Demo Rss

Keinginan itu Bukan Utopia

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, September 04, 2009

Posted at : 12:55 AM

“if there is no blood spoils, there is no glory at all”

Berkali-kali gue ditanya soal cita-cita, dengan jumlah yang entah sudah berapa ribu kali dalam rentang waktu semenjak gue bisa mengingat. Mulai dari saat taman kanak-kanak yang khas dengan jawaban abstraknya, sampai ke masa kuliah sekarang yang sudah melogiskan pikiran untuk memberi jawaban memuaskan bagi si penanya. Mungkin ada orang yang sudah mamatenkan cita-citanya semenjak kecil, dokter ya dokter tok, tidak berubah sampai akhirnya dia benar-benar menjadi dokter, beri aplause buat mereka-mereka yang demikian. Tapi tentunya sebagian besar orang akan terbelokkan cita dan keinginan mereka karena waktu dan tentunya keadaan, ya iya, ngga mungkin kan dunia ini hanya diisi sama presiden, dokter, pilot dan insinyur aja? Nanti gue laper ngga ada yang jualan warteg dong? Haaha..

Nah, sekarang untuk soal mereka-mereka yang cita dan keinginannya dianggap terlalu muluk untuk masyarakat umum. Taruhlah pengalaman lama gue dulu. Saat gue mau pergi ke bogor naik sepeda, orang serumah malah ketawa pas gue berangkat. Apakah mereka menilai keinginan gue terlalu tinggi? Ah-so, bener sih, karena saat itu lagi kemarau, dan gue berangkat siang-siang, ngga sampai sepertiga jalan gue udah nyerah dan balik lagi naek kereta, wahaha. Pulangpun gue ditertawakan, mereka seolah mendapat legitimasi tertulis bahwa keinginan gue—sepedaan sampe bogor—itu adalah muluk. Tapi emang kepala batu ya batu aja, ngga sampai seminggu gue berangkat lagi, kali ini malam jam 12 pas, gue berangkat diem-diem kaya maling, and voila, gue sampe disana dengan selamat. Pulangnya, orang rumah pada pucet tau gue abis dari bogor, huahaha..

Keinginan macam apa sih yang terlalu muluk? Jadi CEO perusahaan multinasional? Mengoleksi perangko-perangko lama? Atau apa? Kemarin Ussi bilang dia dilecehkan *halah mak* sama kawan kampusnya, bahwa idenya untuk mendaki bromo tidak menggunakan jalur pendaki itu muluk. Loh kenapa? Bukannya justru asik menantang diri dengan sesuatu yang lebih asing? Kalau lewat kalur konvensional pasti akan sering ketemu pendaki lain, jalurnya juga itu-itu aja, bosen. Yah, tidak bisa dipungkiri sih, kemungkinan bahayanya juga pasti berlipat, tapi eu, bukannya rekreasi makin asik kalau bukan hanya sekedar rekreasi ya? Taruh nyawa dekat garis mati, maka semuanya akan terasa lebih asik.

“One freedom means thousand fall”

Tapi dia (Ussi), memang liar bukan kepalang ampun. Coba pikir, dia berencana untuk ke papua sendirian, alamak, bisa bayangkan badannya yang kontet dan bantet itu guling-gulingan dikejar suku pedalaman disana? Huahaha.. atau justru karena posturmu itu lo jadi percaya diri us karena yakin bakal diterima mereka sebagai keluarga barunya? *ampun*. Ehem.. sejujurnya gue sama sekali ngga menganggap idenya itu muluk, jauh dari kata itu malah, mungkin bisa gue bilang terlalu keren? Yeah, disamping gender dan umur yang harusnya masih doyan ngerumpi.

Atau karena yang memandang keingan tersebut ini gue? Karena gue punya keinginan yang sama muluknya? Entah ya. Tika bener, bisa naek sepeda aja gue udah sampe bogor, naek motor gue mungkin mau keliling Indonesia, pengen sih, banget, haha. Yap, target gue berikutnya tuh, begitu ada motor *ngarep* gue mau ke aceh, atau opsi lainnya, ke surabaya, tepos tepos dah.

Dan untuk soal bromo us. Gue sama sekali ngga bilang muluk, tapi andaikan gue bergerak dalam kelompok, tentunya ada hal lain yang harus diitung ulang. Apa semuanya sanggup? Mengingat tingkat kesulitan dan bahaya yang harus ditempuh itu tentunya lebih daripada jalur biasa. Kalau orang-orangnya yang setipe sama gue atau elo, yang ‘pergi dulu, bisa enggaknya nanti’ ya jalan aja, kalo kagak kuat pun pasti kita akan maksa sampe atas yak?

Blog lo diapdet kek

0 comment: