Skinpress Demo Rss

Kangen.. Duileeh..

Filed Under (,, ) by Pitiful Kuro on Sunday, February 28, 2010

Posted at : 5:50 PM

Tau kan apa artinya kangen?

Jadi, menurut KBBI, kangen atau rindu itu ar—hayah, ga usah sok ilmiah dulu deh. Tau kan ya, definisi ngga perlu, yang penting esensi dari kata tersebut pasti semuanya udah tau.

Intinya sih, ada perasaan yang mirip gak enak badan, tapi imbasnya bukan ke fisik, tapi ke hati *alamaaak*. Biasanya timbul dengan berbagai macam sebab, ada yang tiba-tiba kangen saat ngeliat album kenangan masa lalu, ketemu orang yang mirip dengan kawan lama, status updatenya muncul di timeline kita, kangen sama pacar, atau bahkan kangen tiba-tiba aja, de el el dah.

Kangen? Ya tentu, gue juga. Sama temen yang ada di jakarta, sama temen-yang-kalo-bisa-disebut-temen, temen yang diluar kota, temen-kampus-yang-tiap-hari-ketemu-tapi-kangen-juga-kadang, dst dst. Untungnya ngga pernah kangen sama keluarga, amit-amit dah, amit-amiit.

Biasanya apa sih yang dilakukan kalau lagi kangen? Pastinya kan, ngontak orang yang bersangkutan dong, entah itu secara langsung, bela-belain ketemu padahal rumahnya jauh, atau tidak langsung—yang mana media udah amat mendukung temu kangen, ga ada alasan ga punya nomer kontaknya, pergilah ke warnet, ketik facebook.com, dan voila, pertemuan kangen-kangenan bisa diorganisir dengan gampang.

Buat gue?

Ribay, karena buat gue kontak via sms dan telpon itu, entah kenapa nyebelin amit-amit. Mungkin gerak jempol 1-2 menit bukan masalah, tapi buat gue sih lumayan masalah. Bukan males, rasanya ngga efektif aja. Sms isinya dibatasi 150 karakter, bisa lebih kalau niat, ngetiknya pake jempol, dan satu tuts di handphone itu isinya 3-4 huruf, gondok ga ngetiknya? Kagak? Wah, gue iya :)). Sedangkan telpon, okelah, lebih efektif, pesan bisa sampai langsung bersamaan dengan kita mau menyampaikan apa (yaiyalah, pake suara), tapi rasanya agak lucu juga kalau misalkan nelpon tanpa subjek yang jelas dengan judul kangen aja.

Makanya, biasanya dua jalur komunikasi itu, sms dan telpon gue gunakan saat gue bener-bener perlu untuk berkomunikasi dan keperluan yang emang mendesak. Gue lebih prefer YM, walaupun dari hape dan ngetiknya pake jempol-jempol juga, seenggaknya balesannya bisa kita dapet instan, gapake lama, dan pesannya juga ga harus numplek numpuk kaya sms, lebih santai :).

Akibatnya, yah, kadang gue ditegur temen, entah yang bilang sambil bercanda “gak kangen lo sama guee?” sampai yang bener-bener serius bilang “lo ninggalin gue.” Karena smsnya sering nggak gue bales. Huweh. Bukan drama, dan benar-benar terjadi. Tapi mungkin dia bener. Gimana caranya orang tau kalau kita kangen sama dia, sedangkan kita nggak menunjukkan itu?

Yeah, buat gue ini adalah hal yang harus diubah, bad habbit harus disapu masuk ke kolam kerapu, balas sms walaupun malas, karena kita nggak tahu kalau orang diseberang sana benar-benar ingin kita tahu, apakah dia tahu kalau kita kangen sama tahu? *Tahuuu, tahunya buuk? Tahuunyaa?* *apaan sih*.

Intinya mah, kangen tiada arti tanpa tindakan, karena tanpa tindakan, orang nggak akan tau kalau kita kangen sama dia. *uhuk*.

Laper, Yahuy

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Thursday, February 18, 2010

Posted at : 1:04 PM

Untunglah gue dikasih uang lebih bulan ini. Karena, yah, gue harus mengganti banyak barang entah yang gue rusakin, gue ilangin, dstdst. Gue juga harus beli kacamata baru karena yang lama ilang, dan yang sebelumnya udah ga layak pakai. Belum lagi yang katanya uangnya udah pada abis, gue minjemin beberapa ratus ribu buat mereka.

Dan sekarang? Kok malah gue yang susah? Huah.

Duit gue sekian, dengan jangka waktu sekian hari sampai dapet gaji berikutnya. Kalo diitung, ya gue bokek, paling sehari jatahnya lima rebu.

Dan di Mahacita, tampang gue udah kaya orang anoreksia, kuyu, lemes, blalala blalala. Ditanya lah, kenapa. Gue bilang, belum makan dua hari.

voila.

Dalam lima menit gue udah di ‘rescue’ ke warteg terdekat. Diseret, ditarik, dijejelin sepiring bentang makanan.

Ah dunia.

Biar kata tukang mabok dan doyan ngegele, bukan jaminan kalau mereka bukan orang baik toh?

Salam lestari.

Gue.. Baik..

Filed Under () by Pitiful Kuro on Saturday, February 06, 2010

Posted at : 8:22 AM

Gue baik.

Baik-baik aja..

Nggak, gue baik..

Serius, gue baik..

Yeah, baik, sangat baik..

Baik?

Oke, gue baik..

Beneran..

Sialan, gue baik.. BAIK!

Gak tuh, gue baik!

Anjing.. Gue baik..

Baaaiik..

Ah, baik kok.

........baik.

Bangsat lah, oke, gue baik..

Laknat, baik, oke? Baik! Gue baik cunguk!

Demi Ifrit, gue baik!

Baik.. Baik.. Baik..

Baik-baik aja tuh..

Baik? Baik? Baik?

Hahahahaha!

Baik kok guee..

Mau kiamat juga gue baik aja.

Baik gak sih?

Yah, gue baik, sangat baik kayak dedemit dogol laknat, otak diluar, usus ngamplang, muka ilang kulit.

Gue baik, heh?

Yeah, baik bangsat.

Gue baik-baik aja.

Baik.

Bersulang, Untuk Morcerf!

Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, February 02, 2010

Posted at : 11:11 PM

Awalnya, seperti tersambar petir, kabar yang sampai ke telinga ini menusuk jauh sampai ke jantung, debaran terasa makin keras berpacu bagai kuda teji, leher meliuk mencari sudut kosong tempat untuk melamun. Bukan kosong, tapi kepada apa yang kita sebut sebagai memori, memori sebuah—atau dua buah konversasi tanpa konklusi yang tertuang secara acak kedalam nalar paling dalam di waktu yang tak teratur.

Pahit? Hanya kepahitan mutlak yang ada didalam kenangannya, mana yang berbau manis tidak dapat dicari, ada, tapi ilusi, ilusi memuakkan yang menurunkan kabut tebal didepan mata, menutupi penglihatan terang menjadi buram temaram. Ditipu hal manis, rasanya tetap sama, pahit.

Khawatir?

Bodoh mengingat umur yang telah beranjak lanjut. Salah, bukan kedewasaan berdasar umur, namun tempaan alam, seleksi kehidupan yang menempa telah menciptakan model pendewasaan diluar batas rasional manusia paling logis. Matang, seperti telur yang terlalu lama diangkat dari jerangan. Hebat, kuat, hidup, dan berjalan. Tapi satu hal yang membuat kepala tidak bisa digunakan dan hati yang berbicara.

Khawatir—yang, tanpa sebab.

Maka dari itu, bicara, konfirmasi akan validitas data yang ada, menjadikan sebuah sapaan dari burung menjadi nyata, tertuang dalam media elektronik maya meyakinkan. Bahwa tidak ada apa-apa. Dia hidup, katanya, seperti tokoh rekaan yang telah hidup terlebih dahulu dengan jemarinya, ia lahir kembali dari stagnasi kematian yang memeluknya bertahun-tahun.

Maka dari itu, puji syukur.

Saya lega.

Soal Ngerokok

Filed Under () by Pitiful Kuro on

Posted at : 3:52 PM

Saya masih bisa terbilang daun muda jika dilihat dari kacamata perokok, masih kurang dari setahun saya merokok secara aktif, itupun diselingin sekitar satu bulan percobaan untuk berhenti merokok. Jika ditanya awalnya, mungkin hanya sebentuk selebrasi akan suatu hal, yang mana menurut saya konyol jika harus dirayakan dengan terlalu berlebihan, maka dari itu, saya menerima saja sebatang rokok yang ditawarkan teman saya. Sekarang malah, saya bisa dikatakan lebih candu dan aktif daripada teman saya itu, hehe.

Awalnya sih, saat teman saya menawarkan rokok pertama yang saya coba, saya menolak, tapi karena dia memaksa terus, dan mumpung hati saya lagi ringan bagai bulu saking senang, akhirnya saya terima, eh, dia malah bilang ngga boleh, dan gantian lah saya yang maksa, haha. Sebatang rokok pertama yang saya hisap adalah rokok umat abang-abang di Indonesia, Dji Sam Soe, Kretek non filter. Pilihan yang buruk untuk pemula, disamping rokok tersebut lumayan berat, non filter membuat saya yang notabene binal saat itu (bibir selalu basah, haha), kesusahan. Belum sampai lima hisapan, ujung tempat menghisapnya sudah basah nggak karuan dan bolak balik saya harus meludah membuang tembakau yang masuk ke mulut, sial.

Sejauh ini, beberapa jenis rokok telah saya coba. Kretek, mild, kretek filter, rokok putih dsb. Pilihan saya jatuh kepada rokok kretek filter, alasannya yah, rokok mild terlalu ringan untuk saya hisap—seperti menghisap angin malah, untuk kretek, masih sekali-sekali saya konsumsi, tapi dengan pertimbangan tidak adanya rokok kretek filter disekitar saya, karena alasannya masih sama, saya sulit merokok kretek non filter karena ujungnya keseringan basah dan membuat tembakaunya masuk mulut, jadinya malah ngga enak. Untuk rokok putih, wah, saya juga tidak tahu alasannya, yang jelas beberapa rokok putih yang saya coba itu rasanya ngga mantep, mungkin karena saya orang indonesia murni kali ya? Tembakau polos tanpa racikan apa-apa tidak membuat lidah saya goyang, harus kretek dengan tambahan cengkeh mungkin? Hehe.

Biarpun umur merokok saya masih seumuran kecambah, saya selalu tertarik dan ingin mencoba merokok dengan berbagai macam gaya. Oh bukan, tentunya bukan gaya macam ‘merokok sambil salto’ ataupun ‘merokok dalam air’. Tapi lebih kepada alternatif-alternatif lain seputar merokok yang ada, misal saja, cerutu, merokok dengan pipa, nyangklong, shisha, tingwe (ngelinthing dewe), klobot (rokok dengan kulit jagung sebagai kertas pembungkus) dan mungkin cara lain yang belum saya tahu.

Sejauh ini, lebih dari setengah cara merokok diatas sudah saya coba. Alternatif pertama yang saya coba adalah merokok dengan pipa, awalnya saya mencoba alternatif ini karena mengetahui teman saya—yang juga meracuni saya untuk merokok—sudah mencoba merokok dengan cara ini, katanya kurang mantap. Tapi saya tetap panasaran dan ingin mencobanya. Saya membeli pipa rokok ini pada kesempatan terakhir saya ke Tangkuban Perahu kemarin, harganya kalau tidak salah sekitar 15 ribuan, cukup mahal memang, tapi mengingat ini daerah wisata, saya tidak protes. Pipanya sendiri nampaknya terbuat dari kayu yang dipoles habis sampai bertekstur seperti gading, panjangnya sekitar 10 senti, dan lubangnya pas untuk memasukkan rokok sekelas kretek, dan pastinya kebesaran untuk rokok mild.

Pipa, punya saya gak gini sih, lebih lurus, dan bukan dari gading seperti yang diatas, hek.. ilang

Menurut saya pribadi sih, merokok dengan pipa itu cukup asik. Apalagi untuk orang yang ‘malas’ membuang tembakau yang masuk mulut bolak-balik macam saya, merupakan sebuah alat penolong yang membuat saya dapat merasakan nikmatnya rokok kretek tanpa harus repot-repot lebih dulu. Sifatnya juga praktis karena dapat dibawa kemana-mana, dan menimbulkan prestise tersendiri saat menggunakannya. Hehe, asik juga loh sampai diliat orang-orang saat merokok menggunakan pipa, mungkin karena jarang ada anak muda (wiw, masih berasa muda?) yang merokok pakai pipa. Tapi sayang, pipanya entah dimana sekarang, tahu-tahu tidak ada di tempat saya biasa meletakkannya, mungkin tertinggal entah dimana, hueh. Yang pasti, kalau ada kesempatan untuk membeli lagi, pasti saya akan beli.

Alternatif berikutnya yang saya coba adalah merokok dengan cangklong. Kalau yang ini, sempat di protes oleh pacar saya, karena cangklong identik dengan kakek-kakek. Keinginan untuk mencoba alternatif ini muncul ketika saya melihat gambar-gambar tokoh terkenal macam Einstein dan Pramoedya merokok menggunakan cangklong, selain terlihat ‘nyeni’nya, saya juga merasa bahwa mereka terlihat amat jantan saat mengebulkan asap dari cangklong mereka. Dengan bantuan dari Ibu pacar saya, akhirnya saya mendapatkan cangklong pertama saya.


Cangklong dari si Ibu

Saya mencoba pertama kali menggunakannya dengan menggunakan tembakau dari sebatang rokok Dji Sam Soe, rasanya? Hueek, tidak enak, panas dan membuat mulut serta tenggorokan sakit. Jelas saja, tembakau untuk rokok lintingan dipakai untuk cangklong, ya jelas tidak pas. Lalu saya mencoba menggunakan tembakau murni yang dijual per ons di circle K. Tetap! Tidak enak! Kalau ini, memang pada dasarnya tembakau yang saya gunakan (Mars Brand) memang kualitasnya jelek. Kering, dan aromanya bahkan seperti cumi bakar menurut saya. Lalu saya mencoba membeli tembakau racikan yang dijual di pasar, barulah saya merasakan nikmatnya merokok dengan menggunakan cangklong, pas.

Tapi sayang, merokok itu bukan hanya soal prestise dan kenikmatan, namun kepraktisan dan efisiensi serta efek yang ditimbulkan saat merokok juga harus dipertimbangkan. Nah, hal inilah yang tidak dimiliki cangklong, efisiensi dan kepraktisan. Menggunakan cangklong memang nikmat, tapi tidak portable. Saya harus membawa tembakau secara terpisah jika ingin ‘nyangklong’ di luar. Selain itu, memasukkan tembakau kedalam cangklong juga tidak bisa sembarangan, kalau terlalu padat, nanti malah tidak bisa dihisap, jika terlalu kendor, ujungnya malah seperti menghisap udara kosong. Ke’pas’an dalam meletakkan tembakau inilah yang juga memakan cukup banyak waktu. Jadi, saya lebih memilih untuk menikmati ‘nyangklong’ pada saat santai saya saja, di rumah sendiri, sambil ditemani kopi dan membaca buku, walah, nikmat’e.

Alternatif berikutnya baru saja saya coba kemarin, yaitu tingwe (ngelinthing dewe), atau Indonesianya sih, melinting sendiri. Yah, tidak ada bedanya sih dengan merokok biasa, yang membedakan adalah rokok yang kita hisap itu adalah buatan tangan kita sendiri, bagaimana kedengarannya?

Melinting sendiri bukan kegiatan yang sulit kok, walaupun awalnya pasti kagok dan gagal untuk membuat 1-2 batang pertama, tapi batangan berikutnya saya jamin sudah bagus. Dengan bantuan alat linting manual, kertas papirus, tembakau, filter, dan lem, kita dapat membuat rokok dengan kualitas pabrik. Soal rasa? Ah, jangan ditanya, karena sekarang pun sudah banyak dijual tembakau-tembakau paketan dengan rasa rokok terkenal macam Dji Sam Soe, Djarum Coklat, Sampoerna Mild, dan banyak lagi, walaupun dengan nama plesetan yang merepresentasikan rokok tersebut. Misalnya Margono (Marlboro), Samsuri (Dji Sam Soe), Gafur (Gudang Garam Filter), Supri (Djarum Super) dst.

Perangkat ngelinting rokok

Keunikan dari rokok tingwe adalah, kita dapat membuat rokok yang sangat ‘personalized’, yang sesuai dengan selera kita. Misalkan, saya suka rasa dari Djarum Coklat, tapi saya tidak suka rokok yang tidak terlalu tebal dan tidak berfilter macam yang dijual perbungkus di pasaran. Saya tinggal membeli tembakau rasa Djarum Coklat, menambahkan tembakau sesuai selera, dan memberikan filter diujungnya, jadilah, rokok Djarum Coklat yang tidak tebal dan berfilter sesuai keinginan saya. Mantap bukan?

Selain kita bisa mengkustom rokok sesuai keinginan kita, satu kelebihan tingwe yang lain adalah dari segi ekonomisnya. Mari kita hitung dari pemula yang baru pertama kali mencoba melinting (seperti saya).

Alat linting manual: Rp. 6.000.
Kertas Papirus (isi 100 lembar): Rp. 1.000
Tembakau 1 ons; Rp. 5.000.
Lem: Rp. 1.000.
Filter (isi 100) Rp. 1.500.
Total: Rp. 14.500.

Satu ons tembakau dapat dijadikan 30-60 batang rokok (tergantung selera ketebalan perbatangnya, yang pasti, jika dijadikan 30 batang rokok, ketebalannya nyaris mirip cerutu, hehe). Ekonomis? Pastinya. Rokok pabrik menjadi mahal karena dikenakan pajak macam-macam selain cukai tembakau, sedangkan rokok tingwe hanya dikenakan cukai tembakau saja, selebihnya ya linting dewe. Bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk membeli rokok keluaran pabrik, dengan tingwe bisa menghemat sekitar 60 persen lah kira-kira. Dengan Rp. 12.000, menggunakan metode tingwe, bisa saja membuat lebih dari 100 batang rokok (jika sudah mempunyai alat lintingnya terlebih dulu), sedangkan jika membeli rokok pabrik, paling hanya mendapatkan satu-dua bungkus. Jauh?

Paling, yang saya sesalkan adalah tidak adanya tembakau yang merepresentasikan rasa Wismilak (rokok favorit saya), jadilah saya membeli rasa Djarum Coklat, karena rasanya paling bisa saya terima dibandingkan dengan rasa rokok yang lain.

Merokok tingwe mungkin adalah metode yang paling cocok dengan para perokok berat, namun berasal dari kalangan menengah ke bawah—atau mungkin, para anak kos yang punya uang terbatas? Hehe—selain memberikan solusi keuangan yang lebih ngirit, tapi juga memuaskan keinginan untuk meracik sendiri rokok yang benar-benar diinginkan.

Sejauh ini, baru itu alternatif merokok yang saya coba, berikutnya mungkin saya ingin mencoba merasakan bagaimana nikmatnya cerutu, atau mungkin rokok klobot, yah, lihat sajalah nanti.

Rokok, anyone?