Skinpress Demo Rss

Tolong?

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, December 27, 2009

Posted at : 8:29 PM

Tuhan? Saya takut sendirian. Saya tidak mau sendirian. Tolong, Tuhan?

Tuhan?

Filed Under () by Pitiful Kuro on

Posted at : 6:48 PM

We are on the same boat, Father.

Benci, rindu, marah, sedih, senang.

Perasaan tersebut selalu berputar ketika ditanya tentang dia. Kalau kita bilang, umur 20an udah cukup dewasa untuk melakukan banyak hal, ahli bicara dan lain-lain. Coba amati, bagaimana orang dewasa bisa berbohong. Dahsyat, kawan, sangat dahsyat. Manipulasi data yang mereka timbulkan itu sangat meyakinkan, itulah sebabnya semakin tua seseorang, maka semakin mungkin ia melakukan korupsi, karena yah, mereka makin pandai berbohong. Mendistorsikan kenyataan sampai batasan buram yang mata tidak bisa lagi lihat dengan jelas. Hebat memang, hebat.

Manipulasi itu sekarang makin tipis, kenyataan makin terlihat, siapa yang bajingan, siapa yang bangsat sudah jelas. Tapi, mengangkangi mereka, melangkahi mereka bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Semua orang berkata bahwa tempat saya kembali ya tentu mereka, tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi bagaimana, jika saya tidak ingin kembali?

Ah Tuhan.

Kau tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatmu bukan? Iya kan?

Tentu saja.

Apa yang saya alami mungkin hanya akan dilihat cetek oleh banyak orang, mentalitas bobrok, rendah, cengeng, tidak punya kredibilitas. Semuanya sudah pernah saya emban. Tapi apakah mereka benar-benar tahu apa rasanya? Mungkin ya, mungkin juga tidak.

Tuhan.

Nasib sama kau timpakan bagi kami, baik saya, maupun dia. Ya tentu, kami sama-sama serigala, kami sama-sama pernah membelakangi jalanmu satu kali, kami sama-sama liar, dan kami sama-sama terluka.

Hebat ya, Tuhan?

Kau pernah membutakan mata kami, membuat kami berputar-putar dalam pusaran pertanyaan, menusuk kami dengan tombak peradilan, kau membuat luka yang tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Kau hebat, penuh kuasa, kau banting kami dengan satu jengkal jarimu, kau hajar kami dengan satu tiupan nafasmu, kau membuat kami rata dengan tanah hanya dengan tatapanmu.

Tapi terima kasih, Tuhan.

Kau pernah memberikan kami sebuah berkah yang luarbiasa, dengan perantara berkah tersebut, ia mencabut butanya mata kami, ia mengarahkan kami ke terang cahaya dan bukannya gua yang tak berujung, ia memberikan kami kaki untuk berjalan di lapangan yang luas, ia menarik tangan kami untuk merasakan apa itu dunia diluar kegelapan yang kami tempati selama ini. Ia menarik kami keatas, mengajak kami melihat bahwa banyak hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya.

Tapi.. Tuhan?

Berkah yang kau berikan padanya kau rampas, kau menghancurkannya lagi, impiannya, utopia dan impian yang ia bangun, yang ia pendam tanpa berkah tersebut tahu, kau hancurkan semuanya. Rata. Dengan. Tanah. Istrinya lari, anak-anaknya hilang entah kemana, pegangan hidupnya kau ambil, semuanya. Tidak tersisa satupun. Menyisakan sesosok tua penuh uban, dengan mimik muka yang seolah telah melihat neraka dengan matanya langsung. Ia mati Tuhan, mati.

Berikutnya saya, setelah kau buat saya menyaksikan dia hancur, kau mengambil pula satu-satunya hal yang saya pegang. Kau membuat saya kembali ke dalam dunia yang pernah saya tempati, dunia satu-satunya yang dulu saya kenal, dunia yang tidak akan pernah mau saya injak kembali. Dunia dimana tidak pernah ada cahaya secercahpun untuk dibagi. Dunia kematian, Tuhan. Kau tahu itu, kan?

Jadi, kenapa, Tuhan?

Satu kali kami mati tidakkah cukup?

Harus berapa kali?

Sampai kapan?

Jadi..

Jika saya mati, akankah kau peduli, Tuhan?

Asosial

Filed Under () by Pitiful Kuro on Wednesday, December 23, 2009

Posted at : 8:11 PM

Ada seorang dosen gue yang pernah bertanya:

“Apa ada yang bisa hidup tanpa sosialisasi disini?”

Well, semua diem, tapi beberapa saat kemudian, ada salah seorang yang angkat tangan, dosen pun bertanya (dengan ragu), “kamu yakin bisa?” dan si mahasiswanya pun menjawab, katanya bisa sampai 3 hari.

Haha, gue mau ketawa rasanya. Ngga ada yang susah dalam hal nggak bersosialisasi, menjadi seorang yang asosial itu ngga butuh pengorbanan apa-apa. Tinggal kunci pintu rapat-rapat, dan nikmati ruangan yang mengungkung dengan seluruh pori-pori. Apalagi, jika memang keadaan mendukung, dan kepribadian orang itu juga mengamini. Banyak kenalan gue yang merasa dirinya asosial, ngga punya temen, ngga ada orang yang bisa diajak bicara, dan ngejalani hidupnya di depan komputer dengan bahagia dan selamat sentosa.

Plus, ketika kepribadian dan mental bawaan juga turut menyokong keadaan, asosial bukanlah kata yang sulit diucapkan, ketika seseorang sudah bersifat neurotik, menghancurkan diri sendiri baik orang lain, insting permusuhannya terlalu kuat dan menjadi terlalu binatang atau bahkan iblis yang sudah bukan manusia lagi, dia ngga akan perlu susah-susah menjauhi orang untuk mendapatkan label asosial tertempel dijidatnya, orang-orang akan dengan senang hati menjauh terlebih dahulu.

Nurture, nature, banyak sebab yang menjadikan label asosial melekat pada diri seseorang. Tapi satu hal yang gue tekankan dari dulu, kesemua orang yang pernah gue kenal, kesemua orang yang mau mendengarkan gue bicara. Satu hal aja.

Mereka, ngga, akan, pernah, mau, jadi, begitu.

Oh bloody damn, bloody damn. Tiga hari? Jangankan tiga, lima? Sepuluh? Sebulan pun gue iyakan kalau ditanya seberapa jauh kemampuan asosial gue. Seperti yang gue bilang, tidak bersosialisasi itu gampang, karena tidak ada hal yang dilakukan untuk mendapatkan label tersebut. Tapi bayangkan begini, dada dibedah, jantung dikeluarkan dan kita disuruh memukul-mukul jantung kita sendiri. Seperti apa rasanya? Sakit, kawan, sangat sakit. Menjadi asosial tidak sulit, tapi rasa sakit yang membayangi kata tersebut amat menyakitkan, rasa sakitnya ngga akan hilang bahkan ketika bius mati rasa dengan dosis gajah sudah disuntikan, gue bisa jamin, rasa sakit itu ngga akan hilang.

A mother of a dear mate told me, we will never felt a same feeling as other people feel. Agreed, very agreed. Manusia tetap manusia dan bukan malaikat apalagi Tuhan. Apa yang orang lain rasakan, kita belum tentu tahu, jadi tolong amat sangat tolong, jangan pernah berprasangka tanpa ada informasi yang cukup untuk memberikan judge. Orang menjauhi orang lain bukan tanpa alasan, pasti ada alasan, dan ketika ditanya apakah mereka senang dengan keadaan tersebut, bahkan ketika mereka menjawab: “gapapa, gue baik.” Mereka cuma menambah luka di hari mereka, karena sebenarnya...

Yah.. mereka kesepian, kau tahu?

Dan jika gue ditanya, apa gue mau begitu lagi? Tentu jawabannya sudah jelas. Tapi, ketika keadaan memaksa,

—gue bisa apa?

Demonic Pride: Part II

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, December 21, 2009

Posted at : 8:32 PM

The Joy and The Sorrow



“Udah sampai, lo dimana?”

“Kampus, lo masuk aja,”

Satu pepatah lama mengatakan, semakin minim ilmu, maka semakin banyak yang harus dikorbankan. Setuju, tentu sangat setuju. Terlebih, hal itu benar-benar saya alami saat ini. Andaikan saya tahu bahwa ada sebuah angkutan dalam kampus yang dapat mengantarkan mahasiswanya untuk berkeliling universitas yang luasnya hampir setengah kota kecil ini dengan gratis, tentunya saya tidak perlu susah-susah berjalan kaki kan? Ah, bukan salah mereka, tapi saya yang memang tidak tahu bukan?

Lalu saya berjalan, di tengah gerimis yang berkala menghujam tanah, saya menerobos bulir-bulir air, berlindung di bawah kemeja flanel yang tidak dapat dikatakan layak lagi untuk digunakan, berusaha berlindung dari tatapan mahasiswa-mahasiswa yang memandang dengan tatapan heran mencemooh, yang mungkin saja berpikir: “gila,”. Tapi yah, mungkin saja, saya tidak marah, karena sebagian kecil dari diri saya sudah mengatakan demikian, bahkan sejak zaman SBY masih mencumbu JK, ya, saya memang gila.

Jauh, amat jauh. Saya berjalan dengan sepasang sendal karet, yang jika terkena air akan menjadi sangat licin dan tidak mudah untuk digunakan. Erh, diantara menyenangkan dan tidak, kawan. Di satu sisi, ada pemandangan serba hijau, plus danau buatan yang apik menyegarkan mata, ditambah lagi suasana hujan yang mengguyur pepohonan tidak tinggi, dan baunya? Yeap, bau tawar yang menusuk hidung dengan kesegarannya yang anomali. Tapi di sisi lain, kau tahu? Tidak pernah menyenangkan berjalan dengan kepala berat, pikiran penuh dengan hal-hal yang seharusnya diisi dengan tugas-tugas yang menumpuk dan hal lainnya yang lebih fitrah untuk dikerjakan daripada bermuram durja menyembah hal tabu yang dilabel najis oleh seluruh manusia. Terkecuali mereka.

“Sampai.”

Tidak berubah, dari detik pertama mengenal dia, dan sampai sekarang setelah lebih dari empat tahun berlalu, dia tetap sama. Err.. senyumannya mesum. Yah, begitulah. Kami bertemu sapa, tidak menghiraukan orang sekitar yang mungkin memandang kami terheran. Heran? Tentu saja, karena kami berbicara seolah tanpa adanya batas yang menghalangi, dalam bentuk apapun. Bahkan yang tabu sekalipun seperti gender, karena satu hal. Kami berpikiran dengan satu cara, tidak ada gender, yang ada hanya saya sebagai manusia, dan dia sebagai manusia, titik, dan tanpa koma.

Satu hal yang menjadi persamaan kami, mungkin. Kami sama-sama berjalan mengangkangi nasib, takdir kami ludahi, dan aturan kami pandang sebagai sarana pemacu adrenalin, karena mereka ada hanya untuk dilanggar bukan? Haha. Saya cukup takjub sebenarnya. Tidak ada satu benangpun yang menghubungkan bentuk pertemanan saya dengannya, tapi entah mengapa, ada suatu kecenderungan dimana saya tidak bisa lepas darinya yang (sangat) menyebalkan, tapi justru seperti ada magnit yang membuat saya selalu mencarinya jika ada suatu hal buruk yang terjadi pada saya, entahlah.

Yeah, dia tertawa, dengan lebar mulut yang sebesar belahan laut merah oleh musa, tanpa malu, dan amit-amit luar biasa kenapa saya bisa ada disebelah orang macam ini pula? Sekali lagi, entahlah.

Kami tidak bicara, kami hanya saling pandang yang bahkan bukan kearah yang bisa dikatakan ‘saling pandang’. Untuknya, saya berkata sepatah yang mungkin hanya potongan kecil sebuah puzzle yang tidak akan pernah bisa tersusun. Ada setitik ketakutan dimana saya mengangkangi hal yang dinamakan kejujuran, karena diapun berbicara fasih dengan asas yang dinamakan kebohongan putih. Saya tidak ingin membuat dia susah, dan sebaliknya, dia pun tidak ingin membuat orang-orang didekatnya turut susah. Ah, hidup, begitu berbelit, namun belitannya itulah yang membuat leher ini terasa terangsang naif.

“Dia sudah beres, saya pergi kesana, sampai nanti..”

Ultimate Fasting

Filed Under () by Pitiful Kuro on Thursday, December 17, 2009

Posted at : 6:13 PM

Gue despret, gila lah, tiga hari makanan sama sekali ngga bisa masuk. Tiap kunyah langsung eneg dan akhirnya keluar lagi, padahal bau-baunya gue bakalan kena tipes, tapi badan sama sekali ga mau kerjasama untuk nyembuhin diri. Yang bisa kompromi sama perut dan mulut cuma rokok sama kopi—kopi susu sih tepatnya, kopi item lagi ga bisa masuk, sama-sama eneg. Gah. Psikosomatis kayanya.

Saking frustasinya, hari ini gue rencananya puasa aja, karena toh gue ngga akan makan apa-apaan (tepatnya ga bisa sih), dan tadi pagi gue kebangun jam setengah empat (tepatnya lagi, ga tidur), niat puasa, minum aer putih dan tidur lagi nunggu subuh. Tapi apa daya? Pas bimbingan dirumah dosen, gue khilaf ditawarin teh manis sama si ibu, eh, keminum. Dogol. Kepalang basah, sekalian aja gue coba ngisi perut pake singkong kukus yang si ibu sediain, eneg, tapi masuk! Hahah.. makanan pertama setelah nasi kuning tiga hari lalu.

Pede karena bisa masuk makanan, gue coba ngembat apel, makanan favorit gue dari zaman de-kiplik. And what? Muntah lagi. Oh dunia, ga ada yang lebih sakit ketika makanan favorit ga bisa dimakan. Apapun alasannya, tolong ilang lah, gue pengen makan, gue ga boleh kena tipes, gue harus ikut medan operasi januari nanti. tolong doong!

Well, pegangan gue ilang.

Demonic Pride: Part I

Filed Under () by Pitiful Kuro on

Posted at : 4:27 PM

A Little Human Talks


Tanah basah, tanah terkena hujan, menjadi lembek seperti lempung, membuat kotor sepatu-sepatu yang baru saja dicuci, membuat bau kaus kaki menjadi apak. Sakit badan, semua sakit, baju basah, celana basah, flu menyerang, dia batuk, saya batuk, mereka pusing, saya turut pusing. Satu titik, satu luka. Hujan tidak ada artinya jika hatimu turun hujan setiap harinya.

Kami berbicara bahasa yang sama, bahasa manusia normal dengan kata-kata standar slang Indonesia. Apa yang menjadi inti dari pembicaraan pun jangan ditanya, ke kiri, ke kanan, atas, bawah. Semua standar yang ada di dunia kami perbincangkan dengan taraf serius, tapi, hanya hal yang standar saja. Kami tidak bisa berbicara hal-hal yang sulit atau dalam, frekuensi kami tidak sampai kesana, atau dengan kata lain, kami sama sekali tidak peduli dengan kedalaman pikiran, kedalaman hati, ataupun perasaan, hanya satu catatan yang harus diperhatikan, satu frekuensi yang sama, yaitu perbincangan sehari-hari.

Dengan embel-embel: serius.

“Tolong kopinya ya!”

Tidak sampai lima menit, kopi hitam kesukaan kami berdua sudah mengebul di kursi kayu tempat kami duduk, sekaligus meja kami. Mengarah ke beranda, langit nampak gelap layaknya malam-malam seyogyanya, mendung menggelayut, namun tidak nampak sedikitpun tombak-tombak air akan menetes dari kepulan itu. Waktu menunjukkan pukuk sebelas, termasuk hitungan malam untuk orang seperti dia, ditambah dengan embel-embel ujian yang harus dihadapinya besok, ia masih menyempatkan waktunya untuk menyambut saya dengan tangan dan pintu terbuka lebar.

Kata mulai meluncur, kalimat tersusun, dan wacana yang awalnya buram menjadi sedikit nyata sejalan dengan perbincangan kami. Kami tidak berbicara sepihak, juga tidak berusaha unggul dalam hal ‘lebih’, atau ‘kurang’, kami mengerti apa-apa saja yang kami berdua ucapkan, tidak ada nasihat, tidak ada solusi, kami berbicara. Tidak sepihak seperti yang saya katakan, saya berbicara, dia mendengar, dia berbicara, maka saya pun mendengar, tidak ada intervensi dari kedua belah pihak. Seperti yang saya bilang, kami berbicara.

Mudah saja, sesuatu yang ingin dipertahankan maka pertahankanlah. Satu hal mempunyai sekian faktor, jika satu faktor diikhlaskan, tapi faktor lainnya tidak, masa sama saja dengan bohong, munafik. Pikirkanlah orang lain, saya bilang, tapi ada satu titik dimana kita memikirkan orang lain tapi jauh dibawah kesadaran kita, kita telah menjadi egois dan memikirkan diri sendiri, katanya. Saya bersikukuh bahwa tidak begitu, dan ternyata (mungkin) saya salah. Yah, egois itu merupakan kata terakhir yang ada didalam benak saya ketika berbicara tentang orang lain. Tapi kekalutan pikiran kadang mengalahkan logika setajam apapun. Alasan tidak ingin menyakiti, tapi justru membuat sakit, apakah benar itu jawabannya? Pikirkan lagi, selami kepala dengan air dingin, bukan pisau, dan kembalilah ke tanah, merangkak ke atas dari berton-ton timbunan lempung di tempat kau tenggelam, sebelum hujan berhenti dan tanah kembali mengeras, lalu kau akan sulit kembali keatas—yang terburuk, mungkin kau tidak akan kembali lagi.

Mengerti? Tentu.

Kalau boleh jujur, tidak banyak yang kami bicarakan secara verbal, namun kami berbicara dengan frekuensi yang sama. Ya. Kami bicara.

What a Life?

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, December 14, 2009

Posted at : 2:57 PM

in the end.. im just a filthy dog, barking loudly at the moon.. *woof*

Petuah Nenek Sihir Tentang Nulis

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, December 13, 2009

Posted at : 12:33 PM

Couple weeks ago, my dear foe friend of mine told me that blog—or we can say, blogging—will make me feels lonelier than it should be.

What did i do when i’ve got nothing to do, rollin in my kosan without purpose, and just staring the plafon with my mouth filled up with cigarrete except writin something that crossing in my mind? Ggrrah, but she told me that way.

And honestly, it very true. Saat kita menulis, akan ada banyak hal yang sebelumnya tidak terkonsep ikut tertuang didalam tulisan yang kita buat, dan hal-hal tersebut, sayangnya membuat gue dan orang-orang setipe merasa.. yah, kesepian. Menyakitkan saat kita mengetahui borok kita sendiri yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Seperti.. kita tentunya tidak akan mempermasalahkan sebuah panu di pantat jika kita tidak tahu kalau kita mempunyai panu bukan? Dan apabila tahu? Aah.. pusing sendiri. Padahal orang lain belum tentu tahu karena letaknya yang hanya diketahui oleh kita.

Apakah gue sadar sebelumnya? Yah, mungkin saja. Apa yang dikatakan oleh dia hanyalah sebagai sarana untuk menarik buah pemikiran tersebut ke alam sadar. Dan apa yang gue lakukan setelah gue sadar, apakah gue akan berhenti menulis? Tentu tidak. Seperti yang lo tau, say, buat gue kadang rasa sakit justru kerasa enak, rasa sepi mungkin adalah msg di mie ayam gue, dan kata susah itu udah ada tempat khususnya tersendiri terukir di jidat gue.

Well? Mungkin gue emang masochist sejati, gi?

Ah, guess i need to talk to you, again.
(btw, grammar gue jangan di protes yeh :p)

The End of Twilight Saga

Filed Under () by Pitiful Kuro on

Posted at : 12:14 PM


Frikkin hillarious... lol..

Crap!

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Tuesday, December 08, 2009

Posted at : 2:41 PM

Imagine this situation.

When you need someone to--at least--sit, or just stand beside you. To cheer you up, and pull you up from a hole of sorrow.

--But in fact.

There is no one, even your shadow is runaway, spit your face with his/her bloody hatred.

What will you do?

For me, i'd like to say:

What the Fvck?