Skinpress Demo Rss

Demonic Pride: Part I

Filed Under () by Pitiful Kuro on Thursday, December 17, 2009

Posted at : 4:27 PM

A Little Human Talks


Tanah basah, tanah terkena hujan, menjadi lembek seperti lempung, membuat kotor sepatu-sepatu yang baru saja dicuci, membuat bau kaus kaki menjadi apak. Sakit badan, semua sakit, baju basah, celana basah, flu menyerang, dia batuk, saya batuk, mereka pusing, saya turut pusing. Satu titik, satu luka. Hujan tidak ada artinya jika hatimu turun hujan setiap harinya.

Kami berbicara bahasa yang sama, bahasa manusia normal dengan kata-kata standar slang Indonesia. Apa yang menjadi inti dari pembicaraan pun jangan ditanya, ke kiri, ke kanan, atas, bawah. Semua standar yang ada di dunia kami perbincangkan dengan taraf serius, tapi, hanya hal yang standar saja. Kami tidak bisa berbicara hal-hal yang sulit atau dalam, frekuensi kami tidak sampai kesana, atau dengan kata lain, kami sama sekali tidak peduli dengan kedalaman pikiran, kedalaman hati, ataupun perasaan, hanya satu catatan yang harus diperhatikan, satu frekuensi yang sama, yaitu perbincangan sehari-hari.

Dengan embel-embel: serius.

“Tolong kopinya ya!”

Tidak sampai lima menit, kopi hitam kesukaan kami berdua sudah mengebul di kursi kayu tempat kami duduk, sekaligus meja kami. Mengarah ke beranda, langit nampak gelap layaknya malam-malam seyogyanya, mendung menggelayut, namun tidak nampak sedikitpun tombak-tombak air akan menetes dari kepulan itu. Waktu menunjukkan pukuk sebelas, termasuk hitungan malam untuk orang seperti dia, ditambah dengan embel-embel ujian yang harus dihadapinya besok, ia masih menyempatkan waktunya untuk menyambut saya dengan tangan dan pintu terbuka lebar.

Kata mulai meluncur, kalimat tersusun, dan wacana yang awalnya buram menjadi sedikit nyata sejalan dengan perbincangan kami. Kami tidak berbicara sepihak, juga tidak berusaha unggul dalam hal ‘lebih’, atau ‘kurang’, kami mengerti apa-apa saja yang kami berdua ucapkan, tidak ada nasihat, tidak ada solusi, kami berbicara. Tidak sepihak seperti yang saya katakan, saya berbicara, dia mendengar, dia berbicara, maka saya pun mendengar, tidak ada intervensi dari kedua belah pihak. Seperti yang saya bilang, kami berbicara.

Mudah saja, sesuatu yang ingin dipertahankan maka pertahankanlah. Satu hal mempunyai sekian faktor, jika satu faktor diikhlaskan, tapi faktor lainnya tidak, masa sama saja dengan bohong, munafik. Pikirkanlah orang lain, saya bilang, tapi ada satu titik dimana kita memikirkan orang lain tapi jauh dibawah kesadaran kita, kita telah menjadi egois dan memikirkan diri sendiri, katanya. Saya bersikukuh bahwa tidak begitu, dan ternyata (mungkin) saya salah. Yah, egois itu merupakan kata terakhir yang ada didalam benak saya ketika berbicara tentang orang lain. Tapi kekalutan pikiran kadang mengalahkan logika setajam apapun. Alasan tidak ingin menyakiti, tapi justru membuat sakit, apakah benar itu jawabannya? Pikirkan lagi, selami kepala dengan air dingin, bukan pisau, dan kembalilah ke tanah, merangkak ke atas dari berton-ton timbunan lempung di tempat kau tenggelam, sebelum hujan berhenti dan tanah kembali mengeras, lalu kau akan sulit kembali keatas—yang terburuk, mungkin kau tidak akan kembali lagi.

Mengerti? Tentu.

Kalau boleh jujur, tidak banyak yang kami bicarakan secara verbal, namun kami berbicara dengan frekuensi yang sama. Ya. Kami bicara.

0 comment: