Skinpress Demo Rss

Just An over-speculated-self-centered-cynical-brat

Filed Under () by Pitiful Kuro on Thursday, February 26, 2009

Posted at : 4:06 PM

Fujita: Hey, Kid, Which one will you prefer, The lone wolf, or The happy sheep?
Sawamura: (surely answer), The lone wolf.
Fujita: Why? You don’t want to go to school? Enjoyin math or japanese literature? Having a good time with your friends? Spend your time with your girlfriend? Hm?
Sawamura: No, if i choose to become a sheep, my power comin from the other, but if i choose the wolf, i’ll become strong even there’s no one beside me. And sheep? If that brat leave all alone by it’s companion, game over, died.


I’m just a pre-teenager when i read these dialogue, my vision of life that time is just a little bit better than a tortoise. Narrow. Simply, i reject that argumen. It’s irrasional, how come we got any power if we all alone, eat our meal at the lunch break without laughing with our besties? Whoa, i’m—the 13 years-naive-scupid-boy—can’t imagine a life like that. Gue pikir, Yuriko Nishiyama membuat karakter Masahiro Sawamura yang begitu dinginnya itu untuk menyeimbangkan Toru Naruse yang over ceria. Terlalu banyak aura positif pun ngga baik, kan. Makanya, beliau membuat karakter yang sedemikian pundungnya dengan pengalaman luar biasa menyedihkan. Pokoknya tanpa tujuan dan filosofi tertentu, hanya membuat karakter negatif dan habis perkara. Gue ngga terlalu menyukai Sawamura sebagai personaliti, bagaimana mungkin ada manusia yang seperti itu? Memilih untuk sendirian, berharap dengan kesendiriannya itu dia justru akan bertambah kuat. Well.

Sejujurnya menarik. Saat-saat edisi awal, karakter ini memang buat gue mengernyitkan dahi. Tapi makin kesini, gue malah suka sama tokoh ini. Terutama saat gue membaca ulang 29 jilid Harlem Beat saat gue SMA, yang memang—walaupun tidak mirip—ada sedikit perasaan senasib.

Domba atau serigala. Lagi-lagi, apakah ini soal pilihan? Oh. Gue benci memilih. Domba? Hm? Bagaimana dengan itu? Kelihatan sangat menyenangkan bukan? Selalu terlihat berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbahagia. Oh ya, tentu ngga bahagia-bahagia melulu, kan? Setiap manusia sudah seyogyanya memiliki masalahnya sendiri-sendiri, beragam, dan berbeda satu sama lain. tingkatan levelnya pun begitu, ada ringan, ada yang berat, tergantung point of view si pelaku masalahnya. Disinilah adventage dari seekor domba—atau manusia yang memilih menjadi domba (lah, ga ada analogi yang bagusan ya?), mereka bisa membaur dan tentunya bisa seenggaknya untuk berbagi dengan yang lainnya, kebahagiaan, rasa dipercaya, dan tentunya rasa penyelesaian masalah bersama. Persis. Itukah yang Sawamura maksud? Bahwasannya kekuatan seekor domba itu berasal dari domba-domba lainnya? Sweet. Bloody Sweet. Tapi seperti telah disampaikan secara singkat oleh Sawamura di dialog diatas. Apa yang terjadi dengan domba yang terpisah dari kerumunannya? Tinggal tunggu waktu kematiannya dengan tenang.

And the lucky other one? The Wolf. Karakteristik serigala, individualis. Titik. Satu-satunya keunggulan yang dimiliki hewan ini hanya itu, tidak berkelompok, berburu sendirian (dalam beberapa spesies, tentu ada yang berkelompok), maka hewan ini dapat bertahan dalam kondisi apapun. Bagus, eh? Kurang lebih. Kekurangannya? Ngga ada? Selain terlalu individual, ngga ada.
Tidak domba, tidak serigala, diantara keduanya itu ngga ada yang dirasa cocok buat gue pakai sebagai konsep. Terlalu pesimis, menarik diri, bebal, menyebalkan untuk menjadi seekor domba. Tapi juga terlalu berekspetasi kanan-kiri untuk seekor serigala. Jadi? Serigala berbulu domba? Nein, konteksnya ngga bisa mengacu kesana. Andaikan diberi pertanyaan harus pilih yang mana, i’ll prefer wolf.

Well.. Shit (really) Happens.

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Monday, February 23, 2009

Posted at : 8:54 AM

Gue. Kelaperan.

Yah, ngga selebay itu sih. Alasannya, bukan ngga mau makan ataupun lagi ngga enak badan sampe mulut ngga mau membuka, tapi.. Ngga ada duit, hue. Weits, bukannya gue udah ngga dianggep anak lagi dan kucuran uang bulanan dihentiin, duit sih dikasih tuh. Dan lagi, bukan berhemat karena alasan apapun, toh ngga ada barang yang lagi pengen-pengen amat dibeli kok. Sebab musababnya cuma satu. Gue. Lupa. Nomer. Pin. ATM.

Cuma itu kok. *pasrah*.

Okeee, mau bilang gue pikunan atau kandidat kuat penyakit Alzheimer ya silakan, namanya juga manusia, dan manusia itu tempatnya lupa, kan? *pengalesan*. Lagian kenapa juga gue bisa lupa empat digit nomer krusial penyambung nyawa itu? Apa gue ngga membuat catatan sebagai pengingat dikala otak lagi down gini? Buat kok. Tapi gue simpen sebagai note di hape, dan ngga beberapa lama kemudian, hapenya di reset, blaash, ilang dah tuh catetan. Nomer-nomer yang lewat di kepala semuanya udah dicoba dan kesemuanya salah. Phew. Rencananya mau ke Banknya lagi minta pin, tapi buku tabungan ada di jakarta, yowis, survive.

Duit pegangan, 100rb, gue dapet dari bude yang tinggal di Bandung, untungnya mau ngasih, kalo ngga, bisa makan batu ntar. Yeap, 15 hari dengan 100rb? Ngga heran kan kalo di entri sebelumnya gue menulis ‘makan mie 6 hari berturut-turut’? akhirnya sih, dengan cercaan dari kanan kiri, gue makan nasi juga akhirnya. Makan sehari sekali, tanpa cemilan apapun, rasanya kaya apaan? Beh, meliliit. Ngenet ngga enak, darah rendah jadi kambuh, kalo berdiri langsung pusing dst dst. Makan nasi sih makan nasi, lauknya? Yaah, demi penghematan gede-gedean, lauk gue hanya satu jenis, kalo ngga sayur daon singkong, ya urap, kalo ngga urap ya sayur labu, kalo ngga sayur labu ya lodeh. Sayur semua. Untungnya masi ada cadangan beras yang mayan banyak, jadinya ngga pusing-pusing amat. Nasinya gue masak 1 takaran sehari, itupun dibagi dua. Begitu juga lauknya, sengaja beli sayur 2rb perak itu supaya bisa dibagi dua, makan pagi dan sore. Aduh, berasa ngekos banget deh gue.

Saldo duit gue sekarang.. Rp. 60.000. mesti cukup sampai tanggal 28 febuari. Woot? Banyak? Nehi. Dipotong 35rb buat ongkos pulang ke jakarta hari jumatnya. Bolak balik pulang melulu? Yah, kan minggunya ada ujian. 60rb – 35rb = 25rb. Tunggu-tunggu, masih dipangkas lagi dengan pengeluaran buat tugas psikologi Faal, ngeprint. 10 lembar x 300 = 3000. jadi sisanya 22rb. 22rb/5 hari = +/- 4400 perhari. Dengan uang makan beli lauk sehari 2000 cukup lah, sisanya mungkin akan gue beli buat penambah insulin biar ngga lemes-lemes amat. Iyap, gula jawa, apalagi makanan manis yang bisa dibeli dengan seribu duaribu perak? Haha.

Bling outside, Gloom Inside

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Sunday, February 22, 2009

Posted at : 4:16 AM

20 Febuari, Persiapan Acara Inaugurasi Psikologi UPI.

Inaugurasi, acara intern angkatan. Diadakan dengan alasan untuk syarat kelulusan angkatan kami, angkatan 2008, yang disebabkan minimnya niatan kami dalam mengikuti masa bimbingan satu smester silam. Bertajuk Psychology Diaries, isinya sebagian besar adalah pengenangan angkatan-angkatan terdahulu serta apresiasi seni yang dibawakan oleh angkatan 2008nya sendiri dan beberapa guest star dari luar. Bisa dibilang, ini adalah acara pertama dimana gue ngga menempatkan diri didalamnya. Gue ngga berminat sama sekali untuk terjun didalam acara ini sekedar menyibukkan diri dengan jobdesk-jobdesk yang ada di project ini, dan nama gue dalam seksi logistik pun bisa dibilang hanya pajangan kalau-kalau kelompok dimana gue berkumpul bukan menjadi salah satu motor penggerak acara ini. Alasannya? ya, gue ngga tertarik untuk aktif dan bergabung dengan BEM. Satu lagi? Keseluruhan panitia dalam acara ini itu mencapai delapan puluh anak, yah, ngga semua sih, tapi tetep aja banyak. Sementara di SMA, gue terbiasa dengan kepanitiaan kecil dengan jumlah anggota yang jumlahnya ngga mencapai 15 orang bahkan untuk acara dengan anggaran puluhan juta. Jadi kalau 15 orang cukup, 80 orang? Wew. Pemborosan energi, kan? Jadi berkurang satu atau dua orang bukan masalah kayanya.

Pokoknya, gue baru bener-bener dipake tenaganya itu H-1. sebagai kuli, tentunya. Sorenya dateng, dan ternyata tempat pelaksanaan acaranya masih dipake sama jurusan lain, jadinya harus nunggu lagi sampai jam 7an sebelum bisa mulai kerja. Kerjaannya sih standar aja, bikin dekorasi, bantu nyusun bangku dan angkut-angkut barang. Yang cukup ‘berkesan’nya itu bagian ngangkut barangnya. Sound system yang notebene adalah box berisi magnet dalam jumlah besar itu mimpi buruk. Tenaga sih ada, tangannya yang ga mumpuni, mengingat kejadian sendi geser yang sepaket dengan tendon sobek itu juga ngga bisa pulih normal. Sendi pergelangan gue yang kegeser itu susah balik normal, udah sampe tiga tukang pijit dicoba, masih ga bisa juga. Saat ngangkat itu box sih ngga masalah, nah, pas kelarnya baru kerasa ini tangan kaya mau lepas.

Hal menarik soal sound system. Kami mendapatkan sepaket sound ini dengan harga yang naujubilah-bin-omaigat-dahsyat-banget-dah harganya. Bayangin, dengan spesifikasi sound system seharga 1.5 juta rupiah bisa kami dapatkan dengan harga 300rb aja? Whoaw. Faktor pendukungnya cuma satu, koneksi. Bapaknya Alita ternyata punya kerjaan sampingan jadi pengelola sound untuk acara-acara, dan jadilah itu negosiasi berjalan encer tanpa tawar menawar dulu, mantap.

Ada yang ngajak ngopi, gue ngopi. Ada yang ngajak untuk bantuin kerja, gue bantu, ada yang ngajak makan, gue pun makan (dengan bujukan yang susah payah). Belakangan mood makan nurun drastis. Gue mencetak rekor dengan hanya makan mie 6 hari berturut-turut, itupun cuman makan sekali sehari. Phew. Entah ada berapa orang yang mewanti-wanti usus gue bisa mbledug kalau gue makan mie terus. Soal makan, gue dijebak. Gue dibeliin makanan bukan atas kemauan gue sendiri sama Alita, nasi goreng. Nice way to provide me, sigh. Dan itu mengakhiri rekor gue makan mie yang mana seharusnya bisa diperbaharui lagi pada waktu-waktu berikutnya. Kita pun makan, dengan ancaman “masa Ita makan sendiri?” sukses membuat hati gue ternyuh, padahal ini anak ada yang ngincer, kan kalo diliat makan bedua ngga enak :p. Untuk meluruskan niat, gue pun mengajukan pertanyaan yang bersangkutan sama si pengincarnya ini. Dan jawaban klise-malu-malu-ah-masa-iya pun mengalir lancar, “masa sih..”, atau “abisnya..”, dan “dia mah..”. gitu tuh, ribet. Weits, mas pengincar, kalau anda baca, silahkan klarifikasi ke saya, hahaks.

Dekor selesai kira-kira pukul 1. sisa waktu dimanfaatin untuk yang performance besoknya latihan. Yang dekor ya jelas nganggur, harusnya sih tidur untuk persiapan beberesnya besok, tapi ya mana ngantuk kalo lagi ada acara macem ini sih? Dan lagi, orang-orang juga udah pada kecapean dan kehilangan minat untuk ngobrol setelah kerja. Ah, bosen. Gue keluar gedung acara, duduk di berandanya, ngga mikirin apa-apa, kosong. Senyum ngga bisa, pundung juga ngga bisa. Statis lagi untuk saat-saat ini. Lima-sepuluh menit gue duduk, akhirnya gue bangun dan beride sableng untuk keliling kampus pada jam dua pagi. Keren. FYI, UPI itu bukan kampus yang gede-gede amat, masih lebih gedean UNJ sih kayanya. Suasananya sepi *iyalah*, ngga ada orang satupun membuat gue tergoda untuk berkaraoke solo di tengah jalanan. Takut? Iya, tapi hanya sebatas pada suasananya aja, beruntunglah gue yang sama sekali ngga memiliki indra perasa soal alam gaib yang peka, jadi kalau hanya tempat gelap pekat, pohon yang gedenya amit-amit, atau suara-suara aneh sih ngga akan membuat bulu kuduk gue merinding—ralat. Percaya atau ngga, saat gue lagi asik-asiknya bersiul (Patience – Gun’s N Roses, intronya kan siulan) didepan perpustakaan kampus, ada yang berbaik hati membalas siulan gue, whoa, baiknya. Ngga tahu apaan, yang jelas itu membuat kecepataan gue bertambah 200%.

Destinasi dari jalan malam itu sebenernya mau ke taman kampus, dulu pas jalan-jalan malam gue yang pertama gue kesana, cuman, sekarang setelah dikasih tau bahwa bangunan yang ada di taman kampus itu peninggalan jaman belanda, gue jadi mengurungkan niat, haha. Destinasi B, lapangan berdebu. Bukan tempat yang bagus, hanya lapangan kosong tanpa fungsi yang terletak di bumi siliwangi, kampus UPI. Yang istimewa disana (menurut gue), kita bisa ngeliat bintang dengan lumayan jelas. Tempatnya gelap, minim cahaya, jadi bintang yang makin pelit nongol itu pun berbaik hati mau berbagi satu-dua kerlip sinarnya ke gue malam ini. Kisaran 10menit gue disana mendongak ampe pegel. Gue pun balik, melewati Fakultas MIPA yang terkenal gedungnya paling oke se-UPI, tapi anehnya gue malah paling ngga enak pas lewat situ, kesannya horor.

Yap, jalan-jalan sukses bikin capek, pengen tidur tapi ngga ada lapak yang enak. Ah sori, lapak yang enak buat gue itu bukan tempat yang berkasur, berguling, berselimut. Tapi cukup tempat dimana gue bisa menempatkan badan gue dalam posisi tidur. tau dengan kata lain, tempat yang rata, datar. Yaudah, gue ke lantai dua gedung, padahal udah diwanti-wanti sama Herlina—temen 1 kelompok yang punya kepekaan diatas normal—bahwa di lantai dua bangunan ini banyak yang ‘nunggu’nya. Yoh, tidur yang nyaman Vs ketakutan pada entitas asing yang bahkan belum tentu bisa gue liat. Tentu tidur nyaman yang gue pilih yah.

21 Febuari, The Day.

Sejujurnya, gue ngga ikut acaranya *digorok*

Pas bangun dari tidur gue di lantai dua tadi, waktu menunjuk ke pukul lima lewat dikit. Gue harus pulang untuk mengambil baju khusu panitia (berwarna terong! Astaga!) yang ngga gue bawa pas persiapan semalem. Ngantuk, dengan lunglai dan menggigil akibat ganasnya udara subuh Bandung, gue pulang ke kosan. baju diambil, dan tiba-tiba dorongan untuk membaringkan badan di kasur tidak-empuk jadi meningkat, gue pun berbaring. Lalu setelah berbaring, godaan mata untuk terpejam jadi sama kuat, gue pun memejamkan mata dengan niatan istirahat bentar. Setelah mata tertutup, gue digoda lagi untuk tidur 10menit, optimalisasi waktu, gue pun menyetel weker gue untuk bunyi 10 menit kemudia. Dan ternyata, mata baru terbuka lagi jam 10. yeah, sama sih angkanya, 10, tapi beda makna.

Acara dimulai jam 9, gue merasa cukup telat. Gue pun ngga merasa dibutuhkan dalam teknis acara, kuli, kan? Jadinya, mumpung gue sangat ngantuk, waktupun gue manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tidur.

Baru dateng ke tempat acaranya pas selesai, gue cengar-cengir inosen mandangan panitia yang jaga gerbang depan. Dan oh, gue masih kebagian 1 performance dari dosen yang apresiasi puisi. Tanggepan gue, ngga ada kata selain ‘marvelous’. Walaupun dibilangnya puisi, lebih pas dikatakan pembacaan prosa, karena ngga memakai majas, dan hanya membacakan suatu kondisi-situasi, yang mana ternyata sangat menarik apabila dibawain dengan penuh emosi. Tepok tangan dah. Acara pun selesai, ketua BEM memberitahukan peresmian kelulusan kita sebagai angkatan, gue menjauh, hahaks. Toh emang ngga minat.

***

“Dia itu siapa?”
“Dia yang mana?”
“Yang lo tulis di blog lo,”

Gimana kalau ditanya begitu? Apa gue harus menjawab begini, “Ooh, dia, itu kelinci gue, gue lagi kangen lebay sama itu makhluk, makanya gue pake kata ganti ‘dia’,” masuk akal ga tuh?

Najis.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, February 21, 2009

Posted at : 3:09 AM

Di batas limit. Sialan. Idealisme semu najis bikin gue muak. Oh tolong deh. Tuhan katanya? Sebagai formalitas hanya untuk dianggap suci? Dianggap baik? Najis!

Omong kosong! Laknat. Nista!

Punya kaca? Tidak? Tuh, genangan air di aspal bopak. Ngaca!

Nah nah? Apa yang elo liat? Malaikat putih suci yang idealismenya sempurna? Salah total. Manusia woi. Manusia! Sadar ya, eh si salah persepsi.

Dan ludah lo pun sudah berapa kali lo jilat ulang, hm?

Tolong deh.. Sadar diri.

Ada yang terlewat

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Thursday, February 19, 2009

Posted at : 3:20 AM

“Penonton, atau pemain?”

“Penonton.”

“Kenapa?”

“Ga harus ada alasan khusus, kan?”

“Pasti ada alasannya, harus masuk akal, jadi?”


Apa? Anda, yang mungkin bisa saya katakan mempunyai rasa ingin tahu yang kelewatan, menanyakan hal-hal sampai detail terkecil, terdalam. Oh iya, mungkin wajar kalau-kalau anda menanyakan sampai sebegitunya ke orang yang memang menarik walaupun diliat dari kacamata kuda, tapi saya? Astaga, bahkan bayangan saya pun males ngikutin *haha*. Banyak, mungkin sebagian besar orang itu ingin menjadi pemain. Berada dibawah sorot lampu, berdiri di tengah orang banyak dan menjadi pusat perhatian, pastinya adalah hal yang diinginkan banyak orang. Tapi bukan berarti semua orang kan? Banyak juga yang memilih menjadi penonton—wow, bahkan di seminar-seminar dengan bunyi ‘ESQ’ sering dikatakan bahwa orang yang menjadi penonton itu lebih banyak porsinya. Ga bisa dipungkiri kan? Dan kalau gue berada di salah satu dari sekian banyak penonton, apakah itu hal yang aneh? Toh porsinya lebih banyak, umum, kan? Toh intinya, saya ngga tertarik, sama sekali.

...


Belakangan, gue bisa menyebutkan beberapa waktu belakangan yang gue alami ini menyenangkan, tapi juga bisa sebaliknya. IH sementara waktu gue tinggal, sama sekali ngga ada minatan untuk sekedar masuk satu-dua thread, ngepost, ber-RPG ria, ngga ada. Ym-pun begitu. OL sekedar OL, ngga menyapa, Invis, dan hanya beberapa anak IH yang gue sapa—daya tariknya ngga nahan. Sisanya adalah orang-orang non-IH, orang kampus, blog, yang nemu di tengah jalan dan lainnya. Gue mulai pewe sama RW, mungkin? Semoga. Semester baru, kelas baru, dan tentunya beberapa orang yang memang bisa ‘masuk’ ke area pergaulan gue pun banyak yang sekelas, hanya sedikit yang pisah. Yang berarti, waktu bersama mereka pun semakin banyak, dan semakin banyak waktu yang bisa dihabiskan sama mereka, NW gue mulai terbengkalai. Dulu yang setiap saat harus ngeliat ke hape, sekarang udah bisa gue simpen aman di kantong, sesekali gue keluarin saat mau cek entri-entri baru di blog langganan, hanya itu. Apakah ini berarti gue bukanlah seorang ansos lagi?

“Ngga, lo itu bukan Ansos, bung,”

Dan selanjutnya, dia memberitahu gue bahwa yang sebenarnya dinamakan ansos itu yaa, orang yang udah ngga peduli dengan lingkungan, total, masyarakat ngga bisa menerima dia, dan seperti dia yang ngga bisa menerima masyarakat.

“Nah, elo masih peduli sama lingkungan lo, kan?”

Peduli itu harus dengan tindakan yang riil kan? Perbuatan, atau seenggaknya ucapan yang bisa dipersepsikan dengan jelas oleh orang lain, itu yang dinamakan tindakan dengan artian sebenar-benarnya. Tapi gue skeptis, biarpun gue peduli setengah kiamat, tapi andaikan ngga dibuktikan secara riil, apakah itu bisa dibilang gue peduli? Ada orang kena masalah, berusaha menjabarkan-setengah-hati, butuh dukungan, tapi karena harga diri yang bikin jijik ini, gue malah berusaha ngebanyol, berusaha masa bodo dengan apa yang seseorang itu katakan, seseorang itu sampaikan. Bukannya belaian kata yang gue kasih, tapi malah sebuah tanggapan yang dia nilai sinis, wotdehek? Hal lain lagi? Orang punya masalah—atau seenggaknya gue tau dia lagi terjebak dalam sebuah persoalan yang katakanlah cukup pelik, gue tau, tapi gue ngga berusaha mempersuasi dia untuk maju, untuk bangkit, gue cuma menunggu di belakang garis yang gue nilai aman, dengan pertimbangan saat melewati garis itu, gue mungkin akan menyentuh bagian yang ngga ingin diketahui orang lain, lalu hal terburuknya, gue bisa dibenci. Oh ya, gue terlalu takut untuk bisa peduli. Jadi? Apakah gue masih bisa lo bilang peduli, pi?

Mungkin iya, mungkin engga.

Tabiat buruk orang indonesia, kesalahan definisi yang kebablasan. Kata Anti-Sosial pun mungkin sudah melalang-lenggang di otak banyak orang dengan pengertian yang keliru. Seperti gue salah mengartikan definisi sebenarnya otaku dulu. Yah, setelah gue telisik lebih dalem lagi sih, yeap, gue bukan seseorang yang anti sosial. Sekilas tadi gue sebutkan juga, anti sosial itu adalah orang-orang yang udah ngga peduli lagi sama lingkungan, dan terang-terangan menunjukkan hal itu, biasanya kekosongan dan perasaan hampa itu selalu ada di orang-orang macam ini. Naah, sedangkan kata asosial, berarti, ‘merasa’ dirinya ngga mempunyai kaitan dengan lingkungannya secara umum, atau bahkan, ‘merasa’ bahwa lingkungannya itulah yang ngga mau menrima dia. Berarti, gue bukan ansos, gue (mungkin) ngga bener-bener ditolak sama lingkungan, hanya soal persepsi yang over spekulatif soal pendapat orang lain tentang diri gue sendiri, yeap? Hu uh, dan walaupun gue udah memanualkan ide seperti ini, tetep aja ngga bisa dengan mudah mengubah sudut pandang yang udah gue pake sekian taun ini begitu aja, aiya, bahkan saat ada yang nanya, “mau sampe kapan lo kaya gini terus?”, jawaban mudah gue, “sampe kiamat.”

Kalau memang definisinya seperti itu, berarti ngga ada satupun orang yang gue kenal, atau bahkan gue sendiri yang bertitelkan anti sosial dong? Anak-anak IH pun, yang memang beberapa banyak orang mungkin menganggap dirinya ansos rasanya ngga tepat, lebih tepat kalau kita sebut sebagai asosial toh ya? Ansos mah hanya disandang oleh sekelumit orang yang memang total ngga bisa diterima masyarakat, ya misalkan pembunuh kali? Aha, lagian juga cuma sebutan, cuma kata, yang penting pemaknaannya sama, kan?


“Kita mau bikin film indie, lo pas banget sama salah satu tokohnya,”

“Hah? Yang kaya apa?”

“Pokoknya karakter orang yang ga bisa diterima masyarakat deh, anti sosial gitu,”

“...”

“Apa yah? Awalnya sih gue kira lo begitu, tapi lo ngga gitu kok”

“Haha..” *Cengengesan*



Yap, gue bukan, atau seenggaknya orang lain berpendapat gue itu bukan ansos, yes. Senang atau ngga, benci atau iya, kehidupan kampus gue mulai merangkak membaik—walaupun dibarengi dengan adanya penurunan di bidang lain, *ha-ha*.

Nda Ngumplukke Balung Pisah

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Thursday, February 12, 2009

Posted at : 11:58 PM

Lagi-lagi gue terbangun dan bingung, soal waktu, soal tempat. Bahkan sempet-sempetnya panik dan mempertanyakan kasur siapa yang gue tiduri kali ini? Tentu kasur gue sendiri, kerusakan otak sementara. Anehnya lagi, gue sama sekali ngga bisa mengingat hari apa sekarang. Tadinya gue kira rabu, yang berarti ada kuliah jam setengah sembilan, gue baru terbangun lagi jam setengah delapan, phew. Merasakan betapa ngantuknya mata, maka sms gue layangkan ke salah seorang rekanan untuk menyampaikan gue malas dan ngga akan masuk, yeah. Dan beberapa jam kemudian, gue tergoda untuk mengecek kalender yang ternyata menunjukkan hari kamis untuk tanggal 12 febuari. Dan ada kuliah pukul setengah empat, wah menyenangkan, ya?

Ah ralat, kalau pernah ditulis disini bahwa gue payah soal pemilihan kata secara verbal, gue mau mengoreksinya. Anjir, gue baru sadar, pak, bu, ternyata yang gue hasilkan dalam bentuk tulisan pun ngga jauh beda ancurnya. Yah, sedikit lebih baik daripada kemampuan ngomong gue sih. Tapi pastinya, masih parah. Buktinya? Tuh liat tulisan di entri sebelumnya, kata yang dipilih asal-asal seenak udel, pengulangan-pengulangan kata yang ga penting, dan terutama.. bertele-tele. Waduh, syok nih. Haha. Bohong kalau misalkan gue mengatakan tidak punya latar belakang sastra sama sekali. Nyatanya, ibu gue adalah seorang guru Bahasa Indonesia lulusan sastra Indo di UNJ. Seorang tukang bikin puisi yang aktif saat bergabung sama pecinta alam. Aih, seharusnya dengan pertimbangan bibit itu, gue punya seenggaknya kemampuan nulis lah, tapi ini ngga. Mungkin gue kena kutuk. Iya, gue kan selalu mencerca setiap puitisi yang mencoba mengekspresikan diri mereka melalui karyanya masing-masing, tapi gue malah bereaksi-ngerut-kening. Dan hasilnya, dewi bahasa marah lalu mengutuk gue, aha, ngaco to the core.

Sebabnya? Emm, biarpun gue punya darah sastra yang mengalir deras di vena, gue ngga pernah mendapatkan didikan sastra tersebut. Si ibu, yang notebene adalah seorang pekerja, jadi ngga punya waktu untuk mengarahkan gue ke bidang yang sekiranya dia inginkan untuk gue ambil. Hasilnya? Gue ngga pernah punya cita-cita valid pemberian darah gue sendiri. Sebenernya gue ngga punya masalah sama yang namanya puisi mau se-alay apapun bahasanya—secara personal. Tapi gue pernah hidup di lingkungan yang.. Ehem.. katakanlah menjunjung tinggi kelelakian, semua masalah bisa diselesaikan secara fisik, dan logika. Sehingga bentuk katarsis seperti pelampiasan pada bahasa yang kita kenal dengan puisi, cerpen, novel, atau penumpahan emosi kedalam kertas dalam bentuk apapun, sukses gue pandang sinis akibat lingkungan.

Itu kejadian kira-kira waktu gue SMP, dan itu cukup mempengaruhi gue sampai sekarang gue mengetik ini. Memang, gue percaya Gnosis Sanguinis, sebuah bentuk ilmu atau sifat yang ngga bisa kita dapatkan dengan pengalaman hidup, hanya bisa didapat dari darah. Dan darah yang gue maksud disini tentu Ibu gue, seorang sastrawan setengah jadi yang dikonvert ke bidang keguruan. Nampak jelas kalau-kalau kegilaan beliau soal sastra waktu muda menurun tajam ke gue. Sangsi andaikan gue suka sastra dari apa yang gue alami, mengingat dari umur lima tahun gue udah doyan baca Dragon Ball, bukannya Kucing Bersepatu Boot.

Bukan cuma sastra, darah gue menggelegak setiap kali ngeliat siluet gunung dari kejauhan. Si ibu yang merupakan dedengkot pecinta alam di kampusnya, si inosen berhati besi berkepala batu—atau seenggaknya itu yang gue tangkep. Didikan yang beliau terima dari keluarganya bukan sekedar wacana ringan pengisi rubik gosip di koran merah. Hidup sebagai anak perempuan di keluarga dengan delapan anak. Plus embel-embel hidup dibawah garis kemelaratan ngebuat dia menjadi orang yang sangat keras, terlalu keras malah. Dengan segala watak dan lingkungan itu, dia jatuh cinta dengan kegiatan pecinta alam. Jauh dari rumah, menjelajahi gunung, manjat tebing, dan bahkan nyasar berhari-hari dan bertahan dengan makan daun singkong. Yang seperti itulah yang membuat dia merasakan hidup. Tepat. Itu juga menurun ke gue

Tapi jelas, dia punya mimpi, dia punya egoisitas sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri yang melayani keluarganya dengan baik, simpel seperti itu. Tapi sayang, mungkin gue dan tentunya si bapak ngga bisa memenuhi ego beliau. Sekarang pun, dia sedang menyusun plan kesekian untuk memuaskan egonya, sebuah keluarga bahagia yang lengkap plus rumah kecil tiga kamar. Gue hanya manut-manut, udah ngga peduli lagi mau bagaimana jadinya, terserah, yang penting ego beliau terpuaskan, dia bahagia, dan itu cukup. Berkali kali gue bilang, “Ngga usah tanya pendapat, cukup jalanin yang ma’ mau, kalo-kalo bisa bikin ma’ seneng, okelah, jalanin!” tapi emang kepala batu, masih aja dia nanya terus pendapat gue. Ah ya, itu juga menurun ke gue. Lucu memang, seorang dengan mental baja pun masih ingin merasakan lingkup sosial yang bernama keluarga. Nyaris ngga nyambung, nyaris roman. Berasal dari keluarga yang cukup chaos mungkin mendorongnya demikian, delapan anak, satu rumah dipinggir kali, dan tidur udah kaya ikan asin dijejer. Ajaib itu kehidupan

Gue pernah diceritain, bahwa keluarga besar gue adalah keluarga yang sangat beruntung yang bisa selamat dari krisis ekonomi 65’. Saat itu kacau, bisnis anjlok, rumah dijual, dan akhirnya keluarga besar itu terpecah. Dan salah satu pecahannya, tinggal di bantaran kali. Di pecahan itulah si ibu tinggal. Perlahan, satu-satu dari delapan anak itu mulai gede dan akhirnya bisa melepas pecahan itu dari ujung tanduk, well, kaya sinetron ya? Dan sekarang, gue lah yang mewakili pecahan itu—walau ngga ingin, bentuk keluarga besar macem itu bikin ga nyaman. Gila hormat. Yeaa, gue yang bahkan mengurung diri di kamar pas lebaran ini disuruh beramah tamah sama sanak saudara? Tunggu kiamat. Keluarga Betawi, gue ngga suka sifat dominan mereka. Sok tau, tukang ngatur, nada bicara tinggi, dan hampir selalu merasa benar. Phew. Ah iya, tambah satu lagi, maniak ego! Bahkan sekarang udah memasuki tahun keempat gue melaksanakan aksi bisu dengan salah satu kakak si ibu, dan diapun begitu. Alasannya? gue cuma membela apa yang gue percaya, dan dia ga suka, marah, dan akhirnya diam sampe bego.

Gnosis Sanguinis, sebuah ilmu/sifat yang ngga bisa didapatkan dari pengalaman, seperti yang gue sebutkan sebelumnya. Kalau ada sifat yang diwariskan dari si ibu, lalu apa yang bapak gue wariskan ke gue? Sebut deh semua sifat nyebelin gue, maka itu berasal dari orang ini. Pesimis, masa bodo, over serius. Whew. Dia bukan tipe yang bisa diterima banyak orang. Janjinya sangat susah dipegang, pembohong kelas lele, dan manipulatif. Kontraktor yang aneh, beneran. Mau suksesnya kaya apaan juga, kantornya masih yang itu-itu aja, butut, sebagian masih kayu, setengah jadi dan masih banyak bagian yang belum disemen alus. Hobinya bukan nongkrong di cafe—cafe sih, cuman agak primitif, namanya warung kopi. Kopi kapal api, pekat, gulanya satu sendok favorit dia, ahaha. Kalau ketemu dia dan ngga mengenalnya, daripada disebut kontraktor sukses, pasti akan dikira pria paruh baya baru di PHK. Satu-satunya cowok yang gue kenal selama 18 tahun gue hidup yang ngga punya setelan jas sama sekali, mantep pak. Bisa nangkep? Yeah, kesederhanaan dia bener-bener nurun ke gue. Ada lagi, dia bener-bener bodoh, sangat! Ba-nget! Entah berapa kali dia udah ditipu sama temen kerjanya. Sampe-sampe kerjaannya pernah bangkrut total dan beralih bidang. Alasannya seinget gue, “Orang minta tolong, kalau ngga dikasih ya mati, masa ngga dikasih?” dan itu kata yang membeo yang diucapkan ke ibu gue setiap kali dia ditipu. Bodoh kan? Dan sayangnya, itu juga nurun ke gue—walaupun sekarang gue udah bisa memilah mana yang harus gue tolong dan mana yang ngga.

Sebagai manusia, dia sangat-sangat-sangat-sangat menyebalkan, tapi sebagai seorang bapak, dia sempurna. Terutama buat gue, ah. Banyak hal yang membuat gue ingin sekaligus ngga ingin seperti mereka. Pastinya sih, mereka bukan goal yang gue jadikan kiblat.

....

Dan say? Tau ga sih seberapa menyeramkannya otak kita berpikir? Apa lo mencuri ide gue dalam mimpi? Atau sebaliknya? Lol..

Lalu?

Dia bilang jangan Pamrih? WHoah, sayangnya saya orang yang profit oriented soal kehidupan sosial, man. Gelar dibelakang nama saya itu salah satunya Prg. Kepanjangan dari apa? Pragmatis, my beloved javanese sugar (halah). 

Permisi..

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, February 11, 2009

Posted at : 12:17 AM

Lelaki itu berbelok ke kiri tepat di sebuah persimpangan, daerah mana, tidak tahu, karena esensi fragmen ini tidak menekankan kepada sebuah kejelasan geografis. Ah nona, ah tuan, mari. Lelaki itu berjalan tanpa melihat segala yang ada disekitarnya, fokusnya terpatri kepada buku yang ia pegang setinggi dada. Berbahaya memang. Matanya minus, sehingga buku itu didekatkan sedemikian rupa sampai-sampai nyaris ia cium. Sayang, padahal cuaca pagi ini begitu indahnya. Tirai-tirai kabut kabut tipis menyelimuti hari yang seolah enggan beranjak siang, udara dingin menggelitik tengkuk siapapun yang berada di luar selimut, menggelitiki syaraf-syarafnya manusia dengan jahil tanpa pandang mata.


Tapi ia tak tergoda.


Trotoar bersemen bagus, menandakan lingkungan perumahan yang cukup prestisius. Pepohonan lebat yang beranjak kuning musim gugur memenuhi kanan kiri jalan tak bernama pagi ini. Ah. Kasihan si lelaki, ia bahkan tak menengok sedikitpun saat ada kucing kecil lucu mengeong lembut di sudut trotoar. Kehilangan induk sungguh malang. Langkah bisunya bergesek perlahan dengan semen, membaca dengan lekat buku tak berjudul di tangannya yang kaku, desau angin dingin ia hiraukan, suara sayup dedaunan ia tampik, bau rumput bertanah pagi ia campakkan. Ia ada, dalam dunianya.

Deru mesin satu dua kali terdengar, cahaya suram lampu kabut menyinari jalan yang tak tampak mempunyai ujung. Bayang-bayang besar mobil melewati si lelaki acuh, sama acuhnya seperti si lelaki terhadap dunia yang ia pijak.

Ia menyentuh dadanya sesekali, memeriksa apakah jantungnya masih berdetak sampai detik ia menyeentuhnya. Masih. Ia baru saja ditinggalkan kelompoknya karena suatu urusan, kekurangan tempat menjadi alasan. Ia enggan mengingatnya saking bosan. Acuh, memegangi dada kirinya yang berdetak konstan, ia masih berjalan membaca bukunya tenang. Tapi aneh, semakin jauh ia berjalan, semakin ia sadari, bahwa irama nada jantungnya makin naik. Degupnya makin cepat. Dan disaat ia mengalihkan perhatian dari bukunya, bersamaan pula saat ia menemukan bahwa dirinya tengah berada di deretan pohon berbatang menjulang minim daun. Pohon bambu. Ia baru tersadar setelah entah berapa kilometer ia berjalan, ia sudah pergi begitu jauh meninggalkan tempat perpisahan dengan kelompoknya. Dan dimana dia sekarang? Tidak tahu, fragmen ini tidak menceritakan kejelasan geografis, bukan?


Pohon bambu—banyak pohon bambu.


Pagar-pagar besar setinggi dua meter memenuhi daya tampung retinanya.


Dan dibalik semua itu, bangunan.


Bangunan besar bergaya renaisance-hampir-belanda. Dinding-dindingnya bercat putih kusam mengelupas sana-sini. Dua ting—tidak, tidak—tiga tingkat, menjulang tinggi angkuh di tanah yang entah berapa meter kubik luasnya. Lelaki itu terpana melihat bangunan tersebut, tak bergerak, tak mampu, diam.

Desau angin berhembus tega, menggoyang rimbunnya dedaunan bambu di pekarangan rumah itu. Baunya, hmmh, kau tentu tahu sendiri. Dan bunyinya,


‘Srsssshhh.. Srsssshhh.. Wurrssshh’


Instrumen murni dari alam, dengan sentuhan modern geraman mesin pesawat dari kejauhan. Ia menatap takjub akan semua yang ia rasakan sekarang, buku yang ia baca sudah entah tergeletak dimana, ia kosong seketika. Pandangannya tertuju ke setiap lekuk bangunan tua di hadapannya sekarang, tiap tikungan tangganya, gagangnya yang berkarat megah, pintunya yang besar dan berkelas, lalu jendelanya yang—


Apa?


Sesuatu, siluet kasar nampak buram dari mata minus si lelaki. Berdiri di dekat salah satu jendela rumah tua yang mistis mutlak. Detik itu pula, si lelaki ingin pergi meninggalkan tempat ia berdiri, berlari, sensasi tak nyaman entah apa menggantikan pesona alam yang ia rasakan beberapa saat lalu. Tapi ia tak bisa. Sesuatu aneh mengetuk pelan hatinya yang kaku, menariknya perlahan, memaku kakinya yang enggan namun ingin beranjak. Siluet itu bergerak perlahan menyambut angin dengan anggun dan lembut. Perempuan?

Si lelaki mengerjapkan matanya maksimal, akomodasi matanya yang payah ia paksakan sampai batas terujung. Dan ya, itu kuntilanak? Dengan suasana yang demikian, besar kemungkinan, tapi bukan! Bidadari? Juga bukan.


Kuntilanak-nyaris-bidadari. Pastilah itu.


Rasa enggan dan rasa tertarik sekaligus, apalagi kalau bukan entitas yang demikian absurdnya? Yang jelas satu, ia perempuan. Benar kan, non? Mau kuntilanak, mau bidadari, asalnya tetap perempuan. Entitas asing itu tak menggubris keberadaan si lelaki, sama sepertinya, ia terkungkung dalam dunianya yang sempit, berbatas tegas kaku, percaya bahwa tidak ada yang ingin menembus batas tersebut. Ah. Kata siapa? Sekarang si lelaki terpesona, akan suasana mencekam, akan getaran menyenangkan, absurd, tapi kau tahu rasanya? Ya, asik.

Si lelaki melangkah ke depan gerbang, memandangi sebuah ketukan bermotif singa menggigit cincin, tanpa ragu, ia meraihnya dan membenturkanya tiga kali ke pagar.

“Knock, Knock, Knock,”

“Boleh aku masuk?”

Pagi Hari

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, February 09, 2009

Posted at : 4:23 AM

“Neeeee nonenonenot not noooot, niii ninuninunit nit nit nit niiiit, niii ninuninuniit nenonenoneet nenonenoneeet,”

Pukul setengah enam pagi, weker gue bunyi seperti biasa tanpa cela. Gue membuka mata, dan gue terbangun dengan posisi keyboard dikepala sebagai bantal. Euh, kepala gue sakit, gue terjaga sampai kira-kira pukul setengah empat pagi. Berbicara hal-hal ngelantur tanpa ujung pangkal dengan seseorang. Phew, entah berapa kali gue harus mengambil nafas semalam, yeap, mengambil nafas lantaran tegang ataupun mengendurkan rahang. Aduh.

“Neeeee nonenonenot not noooot, niii ninuninunit nit nit nit niiiit, niii ninuninuniit nenonenoneet nenonenoneeet,”

Iyaa iyaa, gue denger, si weker. Mungkin gue jadul. Padahal ada hape yang suaranya cempreng amat andai-andai gue jadikan alarm. Tapi ngga, menggunakan jam konvensional berbatere ini adalah roman tersendiri bagi gue, anehkah itu? Biar. “Tok,”, kepala weker gue tekan, pemicu agar suara nista naninut itu supaya diam. Auh, subuh? Gue ngantuk, sangat ngantuk, izinkan gue tidur, yah? 10, ngga deh, 5 menit lagi gue bangun, oke? Abis itu gue langsung ambil wudhu, gelar sejadah, dan langsung narik dua rokaat, beneran..

08.40

Shit.

Gue memandangi jam meja gue yang tadi pagi udah mewanti-wanti. “Nah lo, makan tuh, gue doain rejeki lo disontok uler dah,” dalam diam, jam itu seolah berkata demikian.. Ah.. Gue mengusap-usap mata, membersihkan diri dari kotoran mata yang akrab disapa belek, mengendap semalam suntuk, menguap, ngulet, dan masih memeluk bantal gue satu-satunya. Pada hati-hari normal, sekarang seharusnya gue udah panik, ambil wudhu kaya orang dikejar setan dan tukang kredit disaat bersamaan, (loh? Setan Kredit), dan solat dua rokaat dengan speed gila-gilaa. Bukan, bukan solat dhuha, tapi solat subuh yang ngaret mampus. Seharusnya begitu. Tapi pagi ini gue begitu malas, maa-laas.

Sampai ke ubung-ubun.

Besok udah hari senin lagi, oh yes, gue kembali kuliah. Di pagi yang tengah meloncat siang ini gue berestimasi akan ada kejadian apa besok. Wuih. Ngebayangin siapa yang akan menjadi Ketua Mahasiswa berikutnya, seperti apa dosen-dosen barunya, dan rekanan-rekanan kelas yang belum sempat sekelas. Ah, berspekulasi liar begini memang selalu asoy, apalagi ditambah dengan kondisi badan letoy sehabis sesi begadang YM gebay-geboy. Kita lihat ah besok. Akan kaya apa.

Fyi, selimut tebal masih terpasang. Udara Bandung yang fluktuatif belakangan ini membuat gue harus menyiapkan artikel selimut melapisi badan gue setiap malam. Iya, fluktuatif, kalo ngga dingin ya dingin banget. Tapi gue cinta dengan keadaan begini. Karena dingin masih bisa ditangkal dengan make lapisan tambahan. Nah kalo panas? Mau bugil pun kalo emang panas ya panas aja.

Gue meraba-raba di tempat seharusnya hape gue berada, kalo ga ada? Beh, ditumis halus ntar gue sama yang nyumbang lebih dari setengah buat beli ini barang. Kegiatan pagi yang biasa. OL YM, ngecek blog-blog langganan, dan mencari sesuatu yang lain, yang gue ngga temukan di hari sebelumnya. Terdengar simpel yah? Wah, gue berharap demikian. Gue meletakkan kembali barang penyambung gue dengan dunia net itu ke tempat asalnya. Gue meraba lagi, mencari sesuatu yang pasti bikin gue pusing nyari hampir setiap pagi: kacamata. Dan gerakan tangan gue pun semakin liar karena mata yang memang malas membuka, dan si kacamata yang ga kunjung disua. Dapat? Bukan, benda yang ngga asing terdeteksi di indra perasa, sangat kenal, sangat familiar. Pisau.

Ah.. Bukan, bukan.

Bukan pisau Butterfly, terlebih pisau militer. Cuma pisau buah biasa yang sering gue gunakan untuk—motong buah (berharap apa?), motong keju, dan gula jawa; dan sekaligus gue fungsikan sebagai sendok, tentu. Hasilnya? Ya paling ngga seminggu sekali mulut gue bakalan kegores sama itu pisau. Gue pegang, gue keluarin mata pisau itu dari selipan gagangnya. Gue acungkan ke arah atas (geje). Dan tiba-tiba perasaan menyenangkan itu kembali masuk ke kepala gue, menggoda habis-habisan dengan segala pesona yang dimiliki. Sang Adam di goda Iblis, aha.

Cukup ah.

Gue menyarungkan lagi mata pisau ke gagangnya. Meletakkan kembali ditempat gue meraihnya. Lalu secara magis, kacamata itu tiba-tiba muncul disamping bantal, whoa.

Biarpun pagi itu tenang, dan memang ngga semua roh gue sudah kembali ke badan, gue merasa pagi ini kacau. Okee, iya kacau, gue ga solat subuh, tapi mari kita kesampingkan dulu. 24 jam ini parah. Emosi gue dipermainkan sama entitas abstrak tapi teratur yang kita kenal dengan nama waktu. Hmh, gue keluar dari selimut, membelokkan leher ke kanan dan kiri, berusaha mencari apa yang hilang sejak semalaman. Ada, sesuatu, penting, ngga, iya, bukan. Kalutnya gue membuat tenggorokan ingin bergetar dengan vibrasi maksimal, gue mau teriak. Kayanya lega, semuanya bisa terselesaikan dengan meluapkan emosi yang menumpuk—sepertinya. Tapi Freud berkata lain, pikiran yang menggantung itu ngga akan pernah hilang, akan terus menumpuk dan menumpuk sampai akhirnya overload. Love. Maka gue urungkan niatan tadi.

Gue mengingat beberapa hari kebelakang, gue di judge..
“Lo ngga punya kehidupan, lo ngga hidup, bung!”
Masa sih? Gue bernafas, gue bergerak, gue makan. Apa yang kurang dari gue untuk dikatakan sebagai makhluk hidup? Ah, kurang kata reproduksi, iya ya? Tapi konteksnya ngga mengacu kesana. Sekarang beda. Sekarang gue ngga punya pembelaan apa-apa kalau ada yang mengatakan begitu. Tanpa ekspresi, tanpa gairah hidup, tanpa niat, tanpa keinginan. Gue sukses dipanggil zombie oleh anak kampus. Gue pasrah, tanpa pembelaan, palu pengadilan diketukan, dan gue dicap sebagai mayat hidup, keren banget. Eh, sori, dua tahun, izinkan gue kembali ke dua tahun yang lalu.

***

“Apa buktinya kalo lo hidup?”
“Ada,”
“Apa?”
“Lo ga mau tau, no,”
“Bilang aja, atau ini alasan lo lagi?”
“Pokoknya ada, dan lo ngga mau tau, pasti,”
“Sok lo, coba aja, apaan?”
“...”
“Apaan? Woi, Bung?”
“Yakin?”
“Hmhh”
“Janji lo ga akan benci gue?”
“Anjing! Serem amat kata-kata lo!” (tertawa)
“Eh? Anjrid, bener, serem!” (tertawa juga)
“Jadi, apa?” (cengengesan)
“Rasa sakit, no,” (cengengesan juga)
“Hah?”
“Iya, sakit itu kan bukti eksistensi,”
“A..apaan?” (mukanya serius)
“Iya, itu, kalo gue masih bisa ngerasain sakit, gue hidup, kan? Gue ada di dunia, no,”
“Apaan sih lo!” (teriak)

Nb: Kalau terdengar seperti pembicaraan Homo, maap-maap aja, saya normal, sekedar klarifikasi, *ehem*

***

Masih segar, dan ngga mungkin bisa gue lupain. Dialog gue dengan dia, pembukaan perdana cangkang keras yang menutupi benda berbau busuk dibawahnya. Gue seneng dia bisa menerima (walau dengan sulit). Walaupun sekarang dia entah dimana dan melakukan apa. Masa-masa yang gue lewatin dengan dia sebagai partner, muse, motor penggerak hidup, adalah saat-saat yang menyenangkan. Sangat. Walaupun berakhir tragis, tapi pernah ada masa-masa menyenangkan, seenggaknya.

Hari makin siang ternyata, matahari ngga maukah menunggu gue yang lagi malas ini untuk memperlambat naiknya? Euh. Gue bangun dan keluar kamar untuk ke kamar mandi, lalu kembali lagi ke kasur, meluk bantal yang mendingin dengan cepat karena gue tinggal lepas. Gue berusaha menyamankan posisi tidur gue. Dan ya, gue sekali lagi, menolak semua euforia itu kembali untuk kesekian kalinya dalam beberapa hari ini. Tidak dengan dia yang membenci gue, dia yang sedang bingung, ataupun dia yang sekarang ingin gue kenal. Iya, mereka. Tiga orang sialan itu. Aih.

Gue merangkak, mengelitiki komputer gue supaya mau berlari.

“Sekarang datang, besok pergi, ngga ada yang tau apa yang akan terjadi besok, kan? Bisa aja elo capek sama gue, bosen, kesel, atau apapun! Karena ini gue, gue memang menyebalkan! Aha! Dua minggu, kita liat siapa yang bertahan, oke? Elo, atau gue! Deal?”

Deal.

Itu perkataan yang gue lontarkan hampir ke setiap orang yang baru gue kenal, dan bisa diajak ngomong—itu dulu. Dan gue mengatakan kalimat sulap itu ke seseorang beberapa bulan lalu. Dan sekarang? Setelah semuanya, oho, jangan harap dia bisa lepas dari gue. Dia akan gue hantui sampe sangkakala dibunyikan, sampe kiamat, say, ngga akan gue lepas >:).

Banyak.

Dia yang menghabiskan waktunya untuk menangkap citra kehidupan.

Dia yang berdukun mencari inspirasi.

Dia yang takut perpisahan.

Dia yang unsensitif, kebas sampai ke hati terluar.

Dia yang bergulat dengan label.

Dia yang cantik, yang gue cintai, yang gue sayang meskipun minim interaksi

Dia yang disorientasi, yang menghilang, yang nyaris gue cium.

Dia yang tinggi, selalu gue kejar, selalu ingin ada didekatnya tapi mustahil.

Dia yang menyebalkan, tapi mau menengok ke gue.

Dia yang.. Ah.. Gue bisa menulis sampai puluhan. Tapi ngga, gue capek, gue takut. Semakin spesifik, rasa khawatir akan membuntuti gue. Gue ngga mau. Gue sayang anda, elo, mereka, semua. Semua bentuk yang ada selain diri gue. Gue hidup sekarang bukan karena rasa sakit. Bukan sama sekali bukan. Gue hidup karena kalian. dan gue tau, ngga mudah menjaga ikatan yang terlalu rentan ini, sulit. Semua butuh kontak, butuh perhatian, butuh kepala yang dingin, butuh maintenance, dan lainnya. Dan akan sulit andai hanya gue yang ingin, tapi kalian engga. Dan gue menghargai keputusan tersebut, mungkin wajar. Pokoknya, gue ingin.

Komputer sudah start-up. Hape gue colok ke kompi. Dan ya, gue siap mengarungi dunia (maya) hari ini. Rasa-rasanya, setelah sekian waktu lamanya, ini adalah pagi pertama yang bisa gue nikmati :)

Taman Lembang, BLJ, Januari 2009.

Right, Night?

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, February 07, 2009

Posted at : 1:12 AM

Iya, yang begini, posisi badan tidur miring, tubuh menekuk seperti posisi janin berkembang, kedua tangan pegang kepala, mata dipejamkan dengan akomodasi otot maksimal. Berusaha menampik segala sesuatu yang bisa indra gue terima, ngga suara hujan, ngga dengung CPU, ngga suara ‘tok tok’ tukang baso yang niat jualan sampe tengah malem.

Gue, gila-gilaan.

Wah, tau ga sih rasanya saat satu kata, satu tulisan, bisa membuat isi perut serasa naik keatas, diafragma berasa ditonjok, dan tengkuk elo meremang? Hmm.. Love it. Ini terlalu hebat, gue nyengir abis-abisan. Sensasi rasa yang lama ngga gue dapet bisa gue rasain lagi dengan maksimal. Takut, girang, kesenengan setengah mati, sedih, marah, de el el dalam waktu yang singkat. Tanpa alasan pula. Enjis. Rasanya gue mau menari (kiasan pastinya, ngga jamin apa yang terjadi kalo beneran, kiamat?). Inikah hidup? Mungkin. Ini jalan lain untuk menikmati hidup, gue rasa. Jalan lain yang gue percaya itu yaa, melakukan perjalanan. Tapi dengan cara beginipun, menikmati perubahan emosi gila-gilaan karena hal kecil juga cukup.. Mantap.

“Bung?”
“Hoit,”
“Lo ikut?”
“Euh? Dalam rangka apa?”
“Main-main aja, mau? Ikut aja lah!”
“Ada helm? Yakin gapapa gue ikut?”
“Ada tuh, gapapa laah, lo bareng sama Marwan,”
“Sip,”

Hari ini, sehari setelah kepulangan gue ke Bandung, dan setelah seharian gue melakukan hal-hal yang gue sebut diatas itu, dan karena masih ingin mempertahankan kewarasan dalam batasan wajar, gue keluar kosan. Pergi ke kosan yang paling deket dan emang dijadikan tempat ngumpul, kosnya si Marwan. Disanalah dialog diatas berlangsung. kerumah Alita untuk negosiasi soal Sound System yang akan dipakai untuk event Psikologi nanti. Dan (selalu ada kata Dan) gue yang dateng ke kosan itu untuk sekedar mampir, bukan untuk berpergian, jadinya gue hanya pake kaos oblong yang agak melar sampe-sampe dada gue keliatan setengahnya, jaket, dan celana tiga perempat. Itu ide buruk di cuaca yang lagi parah begini. Alhasil, selama perjalanan gue menggigil kedinginan.

Fakta yang gue temukan diperjalanan, bahwasannya Bandung ternyata kota yang cukup bagus (baru nyadar?). iya, beneran, gue terpana sendiri dari atas motor melihat jalan-jalan Bandung yang tengah mendung. Banyak bagian bagus yang gue ngga sadari sebelumnya (atau emang kaga pernah sadar? Ngamar melulu). Ditambah panorama gunung yang keliatan disana sini, man, cinta deh. Lain kali, kalo ada kesempetan, gue mau keliling Bandung, entah via apa, angkot, mungkin? Atau ada yang mau berbaik hati menjadi guide nganterin gue keliling?

Dirumah Alita, ternyata negosiasi berjalan dengan sangat encer, gampang, mudah, dan ngga ribet. Malah dipermudah dalam beberapa urusan lain selain sound sistem. Enaknya punya koneksi ya begini nih. Sisanya dinikmati sama ngalor ngidul. Makan mie goreng, dan seperti biasa, gue yang paling cepet ngabisin. Yah, udah kebiasaan, gue ngga bisa makan dengan ‘pelan’. Sopan sih sopan, tapi speednya, jangan anggep remeh dah. Dan disela-sela pembicaraan itu, ada yang nyeletuk, namanya Sadena. Orang yang mempunyai kemampuan verbal luar biasa, ngomongnya lancar bukan main, eit, bukan bawel, tapi bener-bener mempunyai skill linguistik yang outstanding. Dari pengamatan mata awam amatir dan ngga kompeten ini, gue menilai 8.5/10 lah untuk skillnya. Dia bilang begini di sela-sela pembicaraan.

“Kalo ngomong tuh liat mata lawan bicara,”

Bener, sepakat. Tapi gue ngga bisa, haha. Penting memang, dalam menjunjung norma kesopanan, tata cara, dan etika berbicara, sangat penting. Tapi yah, gue punya beberapa alasan untuk tetap ‘ngawang’ kalo diajak ngomong.

Satu, gue grogian, asli, apalagi kalo lawan bicaranya itu cewe. Ngga peduli mau cewe yang udah dikenal tahunan, atau yang orientasinya diragukan (Tika, misal, LOL). Sama aja. Gue tetep grogi-grogi aja. Ditambah skill verbal gue yang memang jongkok mati, artikulasi kaga jelas, dan jeleknya pemilihan kata. Maka gue tambah minder untuk ngomong. Jadi yah, palingan gue ngeliat keatas, bawah, samping, atau manapun asal ngga bertemu muka dengan lawan bicara.

Kedua, buah jatuh ngga jauh dari pohonnya, bener, lingkungan keluarga gue adalah kumpulan dari orang-orang yang bisa aja ngobrol sambil makan, nonton TV, atau kegiatan lainnya. Dan mereka tetep fokus sama kegiatan mereka sementara mulut ngoceh. Otomatis ngga ada yang namanya kontak mata kan? Aih, salah satu alasan gue benci TV ya itu, merebut keluarga gue *halah, lebay*. Itu pikiran jaman baheula, sekarang sih sebodo kodok.

Untungnya, perkataan dari Sadena yang memang cukup menusuk itu ngga ditujukan ke gue, haha. Sulit buat gue menatap lawan bicara tanpa maksud untuk bersikap mengintimidasi. Pernah loh, waktu gue SMP, tatapan mata gue mengusir lima anak SMA yang bermaksud malak gue di Bis, yah, walaupun badan gue memar-memar dan bibir gue sobek, tapi tetep, mereka ngga jadi malak melihat gue tetep gigih memelototi mereka disela-sela pengeroyokan itu, hahaks.

Negosiasi selesai, satu hal mencolok yang bisa gue tangkep dari keluarganya Alita. Sangat harmonis, haha, agak ngiri. Sehabis itu, semuanya pun pulang. Gue kembali nebeng sama Marwan buat balik ke kosan. ah, udara tambah dingin (gila-gilaan), dan gue cuma bisa pasrah saat si Marwan ngegas gila. Dingin, gelap, dan sepi, mengingat waktu udah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Gue melihat keatas, bulan awal, terang tapi ketutup awan mendung tipis. Seperti dia, mungkin. Dia ada disana, jauh, ditambah tertutup lapisan yang gue ngga tau bentuknya. Iya, gue sama sekali ngga mengenal dia dengan baik, total. Dan gue mau, astaga, Jin main galasin, gue pengen tau semua tentang dia dan segala tetek bengek yang ada hubungannya dengan dia. Gue ngga merasa maniak, gue cuma mau mengenal dia, cuma itu kok.

Beneran deh.

A Nadir Part Stupid

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, February 04, 2009

Posted at : 1:50 AM

Gue senang, astaga. Lama, entah sejak kapan—setelah masa ekuilibrium tenang yang ga bisa dikatakan singkat, akhirnya ada sedikit pergeseran kurva, ke kanan tepatnya. Oh ya,. Gue dan hidup gue masih berlangsung sama-sama aja kaya ngga ada perubahan sama sekali, yang berubah hanya.. Ini.. *mengetuk-ngetuk tempurung kepala sendiri*, pemikiran, sudut pandang, atau dengan gaya yang lebih kerennya, point of view. Begitulah. Mungkin orang-orang yang ke-skeptisannya ngga berbeda jauh sama gue akan bilang, “Ilusi,”. Mungkin. Mungkin gue Cuma berkhayal kelewat liar, atau mengalami degradasi fungsi otak tingkat akut yang mengarah ke down syndrome, atau-atau, sekarang gue hanya mimpi kelewat bagus dan tanpa sadar sekarang gue sedang mengetik untuk mempost entri blog dalam mimpi, aih, siapa tau.

Tapi gue bangun, melek, dan cukup sadar untuk menyadari bahwa baru aja paru-paru perawan gue ternodai kehormatannya oleh nikotin yang bejat, ah, skip dulu. Bukan hal istimewa, bukan hal yang khusus, apalagi luar biasa toh? Cuma kurva yang telah lama stagnan itu kini geser dikiit ke kanan, seolah ada yang mengisi salah satu kolom ‘target’ dalam lembaran formulir kehidupan yang gue pegang. Menyenangkan, tulang gue begetar sampe ke sum-sum, dan kepala gue terasa enteng (hal yang jarang kejadian). Gue merasa paham perasaan Kimbley yang kegirangan mendengar suara bom, dan Susumu Nakoshi yang menyadari bahwa mobilnya baik-baik aja setelah dikira ditilang.

Sesuatu ini.. Ah, man. Sangat tidak mungkin gue taro di blog ini. Yang bersangkutan masih punya akses yang cukup luas untuk membuka, membaca, mengetahui, dan akhirnya menggantung gue di tugu Monas sebagai manifestasi tanggapan akan tulisan gue. Oleh karena itu, gue yang masih pengen hidup beberapa taun lagi ini memutuskan ngga naro disini, secara lugas, maupun ngga. Ah, secara implisist sih, ada bebeapa orang yang gue kasih beban informasi ini, tapi secara nyata, ngga ada yang tau.

Penting? Oh, bagi gue sih sangat, bagi orang lain? Nein, ga ada nilainya, dan andai-andai tau pun, palingan hanya dahi berkerut dalam yang gue terima sebagai reaksi, beh, dan daripada begitu, gue lebih baik bungkam? Iya kan pak?

***

Banyak waktu, banyak hal, banyak kejadian, sebagian bermakna, sepermpatnya biasa, setengah dari seperempatnya ngga berkesan, dan sisanya amaze. Ngga ada yang menyangka apa yang akan kita temukan, bahkan didepan rumah. Yaa, siapa sih yang nyangka bahwa hubungan keluarga yang telah lama kering bisa agak melunak dengan seporsi kerak telor? Atau siapa juga yang menyangka bahwa seorang neenk-nenek tua renta murah senyum bisa memalak seribu rupiah dari kantong gue? Atau.. Anak pengamen yang disaluti akan niat baik dan kerja kerasnya (didepan kami), berubah menjadi ular mendesis dibelakang. Siapa yang tau? Satu langkah, satu makna, eh? Atau satu langkah banyak makna?

Aduh. Haruskah semuanya itu mempunyai nilai? Tuhan itu satu, ya kan ya? Tapi kenapa harus satu? Satu itu terbatas, seperti yang gue terima di Bilangan Fu, sementara, nol tidak. Satu dan nol, mana yang mendekati kemisteriusan? Kebesaran? Yang maha tinggi dan tidak dapat diukur? Nol. Benar katanya, gue setuju. Tapi gue ngga seliberal itu untuk menerima, dan tidak se-konvensional itu untuk menampik. Abu-abu? Itu istilah yang paling ngga pengen gue pake mengingat ambiguitasnya yang tinggi (gue lebih suka kata netra). Apapun deh. Sekarang semuanya, mungkin, terlihat menarik. Tapi tunggu beberapa tahun kedepan, apakah semuanya masih sama? Sekarang damai, besok bisa ribut. Sekarang tenang, besok bergejolak. Sekarang gue tertawa, tapi dua detik kemudian gue bisa termenung mengamini nasib. Sialan.

Gue menengkupkan tangan ke wajah. Bau tembakau khas kretek masih kuat tercium dari lima jari kanan gue yang punya satu cacat—dislokasi urat yang males gue sembuhin (bekas nonjok, untuk pengingat). Ah, lewat lagi untuk yang kesekian kalinya, bayangan itu, beberapa hari yang ditempuh dengan euphoria menyenangkan ini bisa aja lenyap di udara pada detik berikut. Dan itu mungkin terjadi, mungkin tidak. Ilusi kan katanya? Itu katanya, bukan kata gue. Nikotin, dengan pesonanya mungkin menarik hati gue (atau paru-paru?) untuk merayakan ilusi itu. Dan sambil satu-dua kali menyesap, gue bertanya, kepada pohon, manusia, alam. Mana yang baik? Yang benar-benar baik sampai-sampai mengganggu otak, atukah yang biasa saja? Manapun oke, mau yang baik, mau yang ngga, semua sama, sama baik. Dan mereka mendengar, hati melesak, katanya pilihlah yang paling baik buat gue. Ah. Yang terbaik? Gila. Gue bisa gila untuk dapat yang terbaik. Tau soal batu mulia? Yang terbaik itu Cuma bisa didapatkan dari ekspedisi gila-gilaan manjat karang terjal dengan kemiringan 45 derajat itu cuma makanan pagi, itu kalo mau yang terbaik.

Dan gue harus melakukan itu? Bertubuh pejal pemanjat gunung dahulu baru bisa mendapatkan yang terbaik? Oke, diusahakan. Katanya sih, saat mendapatkan yang terbaik, kepuasan lebih berasa daripada yang standar-standar aja, betul, ngga salah, setuju. Tapi apa gue bisa? Inferioritas gue ngga main-main, pesimistis bukan cuma nama, skeptis bukan hanya sapaan, itu nyata.

Menghantui gue sampe kiamat.

Gue ngga menyalahkan dua orang yang udah mau susah-susah sampe membuat gue bisa berjalan di bumi ini untuk kepuasan dan sarana pelampiasan. Gue ngga akan menunjukkan jari penuduhan kepadan lingkungan yang membantu membentuk prbadi macem ini. Udah cukup ah, sampai gue kena radang lambung pun, mereka ngga bisa memberi pertanggungjawaban. Menyebalkan? Tidak? Sesuka-sukanya lah.

Gue ngga akan pernah mengerti pikiran orang lain, tidak barang seujung jaripun, ngga akan, never. Gue ngga setinggi itu, berminat Psikologi karena tertarik pikiran orang, bukan untuk memanipulasinya, menjadikannya objek dan tetek bengek lainnya yang membuat gue bergidik jijik. Makanya gue bilang ngga akan pernah bisa mengerti pikiran orang lain—atau lebih tepatnya, ngga mau mengerti, yeap, gue ngga mau mengerti. Seperti kebalikannya, gue ngga mau orang mengerti apa yang gue pikirin, itu menakutkan. Lebih seram daripada oom-oom paruh-baya-homo-yang-nyolek-nyolek-gue-di-terminal (sebenernya sih sereman si oom). Banyak hal yang gue ngga pengen orang lain tau dengan mencari tau. Sebisa mungkin, semua gue informasikan secara langsung, dari gue. Dengan begitu gue bisa membatasi mana yang akan gue bagi dan mana yang tidak. Ah, blog ini pun salah satu display yang menampilkan bagaimana gue sebenernya (atau katakanlah, bagaimana gue mau terlihat). Kadang secara implisit, tapi ngga jarang juga secara eksplisit. Tidak penting, tapi mungkin dapat menghancurkan gue suatu saat nanti. Ha..

Dan sekarang? Gue terlihat seperti apa?

NB : dan soal judul entri ini? Jangan diambil pusing, gue cuma memasukan dua kata (yang cukup berkaitan dengan entri ini) ke mesin anagram, dan ngambil salah satunya buat judul.. hahaks..