Ada seorang dosen gue yang pernah bertanya:
“Apa ada yang bisa hidup tanpa sosialisasi disini?”
Well, semua diem, tapi beberapa saat kemudian, ada salah seorang yang angkat tangan, dosen pun bertanya (dengan ragu), “kamu yakin bisa?” dan si mahasiswanya pun menjawab, katanya bisa sampai 3 hari.
Haha, gue mau ketawa rasanya. Ngga ada yang susah dalam hal nggak bersosialisasi, menjadi seorang yang asosial itu ngga butuh pengorbanan apa-apa. Tinggal kunci pintu rapat-rapat, dan nikmati ruangan yang mengungkung dengan seluruh pori-pori. Apalagi, jika memang keadaan mendukung, dan kepribadian orang itu juga mengamini. Banyak kenalan gue yang merasa dirinya asosial, ngga punya temen, ngga ada orang yang bisa diajak bicara, dan ngejalani hidupnya di depan komputer dengan bahagia dan selamat sentosa.
Plus, ketika kepribadian dan mental bawaan juga turut menyokong keadaan, asosial bukanlah kata yang sulit diucapkan, ketika seseorang sudah bersifat neurotik, menghancurkan diri sendiri baik orang lain, insting permusuhannya terlalu kuat dan menjadi terlalu binatang atau bahkan iblis yang sudah bukan manusia lagi, dia ngga akan perlu susah-susah menjauhi orang untuk mendapatkan label asosial tertempel dijidatnya, orang-orang akan dengan senang hati menjauh terlebih dahulu.
Nurture, nature, banyak sebab yang menjadikan label asosial melekat pada diri seseorang. Tapi satu hal yang gue tekankan dari dulu, kesemua orang yang pernah gue kenal, kesemua orang yang mau mendengarkan gue bicara. Satu hal aja.
Mereka, ngga, akan, pernah, mau, jadi, begitu.
Oh bloody damn, bloody damn. Tiga hari? Jangankan tiga, lima? Sepuluh? Sebulan pun gue iyakan kalau ditanya seberapa jauh kemampuan asosial gue. Seperti yang gue bilang, tidak bersosialisasi itu gampang, karena tidak ada hal yang dilakukan untuk mendapatkan label tersebut. Tapi bayangkan begini, dada dibedah, jantung dikeluarkan dan kita disuruh memukul-mukul jantung kita sendiri. Seperti apa rasanya? Sakit, kawan, sangat sakit. Menjadi asosial tidak sulit, tapi rasa sakit yang membayangi kata tersebut amat menyakitkan, rasa sakitnya ngga akan hilang bahkan ketika bius mati rasa dengan dosis gajah sudah disuntikan, gue bisa jamin, rasa sakit itu ngga akan hilang.
A mother of a dear mate told me, we will never felt a same feeling as other people feel. Agreed, very agreed. Manusia tetap manusia dan bukan malaikat apalagi Tuhan. Apa yang orang lain rasakan, kita belum tentu tahu, jadi tolong amat sangat tolong, jangan pernah berprasangka tanpa ada informasi yang cukup untuk memberikan judge. Orang menjauhi orang lain bukan tanpa alasan, pasti ada alasan, dan ketika ditanya apakah mereka senang dengan keadaan tersebut, bahkan ketika mereka menjawab: “gapapa, gue baik.” Mereka cuma menambah luka di hari mereka, karena sebenarnya...
Dan jika gue ditanya, apa gue mau begitu lagi? Tentu jawabannya sudah jelas. Tapi, ketika keadaan memaksa,
“Apa ada yang bisa hidup tanpa sosialisasi disini?”
Well, semua diem, tapi beberapa saat kemudian, ada salah seorang yang angkat tangan, dosen pun bertanya (dengan ragu), “kamu yakin bisa?” dan si mahasiswanya pun menjawab, katanya bisa sampai 3 hari.
Haha, gue mau ketawa rasanya. Ngga ada yang susah dalam hal nggak bersosialisasi, menjadi seorang yang asosial itu ngga butuh pengorbanan apa-apa. Tinggal kunci pintu rapat-rapat, dan nikmati ruangan yang mengungkung dengan seluruh pori-pori. Apalagi, jika memang keadaan mendukung, dan kepribadian orang itu juga mengamini. Banyak kenalan gue yang merasa dirinya asosial, ngga punya temen, ngga ada orang yang bisa diajak bicara, dan ngejalani hidupnya di depan komputer dengan bahagia dan selamat sentosa.
Plus, ketika kepribadian dan mental bawaan juga turut menyokong keadaan, asosial bukanlah kata yang sulit diucapkan, ketika seseorang sudah bersifat neurotik, menghancurkan diri sendiri baik orang lain, insting permusuhannya terlalu kuat dan menjadi terlalu binatang atau bahkan iblis yang sudah bukan manusia lagi, dia ngga akan perlu susah-susah menjauhi orang untuk mendapatkan label asosial tertempel dijidatnya, orang-orang akan dengan senang hati menjauh terlebih dahulu.
Nurture, nature, banyak sebab yang menjadikan label asosial melekat pada diri seseorang. Tapi satu hal yang gue tekankan dari dulu, kesemua orang yang pernah gue kenal, kesemua orang yang mau mendengarkan gue bicara. Satu hal aja.
Mereka, ngga, akan, pernah, mau, jadi, begitu.
Oh bloody damn, bloody damn. Tiga hari? Jangankan tiga, lima? Sepuluh? Sebulan pun gue iyakan kalau ditanya seberapa jauh kemampuan asosial gue. Seperti yang gue bilang, tidak bersosialisasi itu gampang, karena tidak ada hal yang dilakukan untuk mendapatkan label tersebut. Tapi bayangkan begini, dada dibedah, jantung dikeluarkan dan kita disuruh memukul-mukul jantung kita sendiri. Seperti apa rasanya? Sakit, kawan, sangat sakit. Menjadi asosial tidak sulit, tapi rasa sakit yang membayangi kata tersebut amat menyakitkan, rasa sakitnya ngga akan hilang bahkan ketika bius mati rasa dengan dosis gajah sudah disuntikan, gue bisa jamin, rasa sakit itu ngga akan hilang.
A mother of a dear mate told me, we will never felt a same feeling as other people feel. Agreed, very agreed. Manusia tetap manusia dan bukan malaikat apalagi Tuhan. Apa yang orang lain rasakan, kita belum tentu tahu, jadi tolong amat sangat tolong, jangan pernah berprasangka tanpa ada informasi yang cukup untuk memberikan judge. Orang menjauhi orang lain bukan tanpa alasan, pasti ada alasan, dan ketika ditanya apakah mereka senang dengan keadaan tersebut, bahkan ketika mereka menjawab: “gapapa, gue baik.” Mereka cuma menambah luka di hari mereka, karena sebenarnya...
Yah.. mereka kesepian, kau tahu?
—gue bisa apa?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment