Skinpress Demo Rss

Lagi? Iyalah.. Gue gituh..

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, February 28, 2011

Posted at : 6:47 AM

Gue udah kehabisan kata-kata, semuanya nyangkut di leher, panasnya jantung udah sekalian buat masak mi rebus, dan hebatnya, batuk gue mendahsyat luar biasa beberapa menit lalu. Hebat? Coba bayangin, gue bisa nelen sebungkus rokok semalem tanpa ada sakit yang berarti sama sekali, sekarang? Bahkan satu batang pun bisa bikin gue ambruk kepentok bufet, motor gue jatoh, dan nyaris nabrak di perjalanan kesini, rumah sohib gue, Lutfhi. Tempat gue ngabur ketika udah nggak ada lagi tempat yang bisa gue singgah disaat gue mentok di tempat yang gue nggak tau namanya. Yea, ada pacar, tapi kalau mentok juga, gue kemana dong selain ke temen yang memang nggak ada kemungkinan untuk ribut-ribut segala, emangnya homo?

Gue nggak ngomong apa-apa sama dia (Luthfi), gue cuma dateng, duduk ngaso, dia bertanya “kenapa lau?” dan udeh. Selanjutnya gue udah cukup nyantai, gue nggak jawab pertanyaannya sampai ke detail, bahkan ‘D’ dari detail pun nggak. Tapi plong, sekarang gimana sisanya, gimana gue bisa kembali skeptis apatis, cuek bebek ketika gue melihat problem itu. Rasanya gue pengen maki-maki, rasanya gue pengen kebut-kebutan nggak pake otak, rasanya gue mau ngerokok berapa batangpun gue mau. Impulsif, gue tau, dan sayangnya gue nggak tau gimana caranya ngilangin sifat tuyul yang satu itu.

Bokap gue brengsek, men, dalam artian brengsek sebrengsek-brengseknya orang. Tapi gue tetep nggak bisa jauh dan berusaha tetep kontak dengan kebrengsekannya dia, kenapa? Gampang dia bokap gue. nyokap gue orang paling kepala batu, paling nggak bisa dikritik dan paling nggak bisa diajak ngomong baik-baik, nah, biarpun kuntilanak udah insyaf dan mulai dateng ke pengajian malem jumat, tetep aja dia nggak akan bisa denger omongan orang pake kepala, udah dipaku palanya, duer. Blah, ngomong apa gue.

Haha, gue mau ketawa sambil ngerokok, sayangnya nggak bisa, nanti batuk gue makin parah. Mulut udah bau besi walau nggak ada titik merah terdekteksi. Ketawa? Yaiya, gue garuk-garuk tanah di keluarga, pengen ke pacar, ngadu barang satu dua hal, tapi nggak bisa, kecekat karena mungkin salah gue sendiri yang emang nggak bisa tidur, tapi toh akhirnya ngorok juga, batal perginya. Wham slam bam, gak tau jadinya gimana kalau gue nggak kesini, mungkin udah ditereakin “ngentot” sama semua orang dijalanan saking gobloknya nyetir, kalau bego bisa kuadrat, maka gue pangkat tiga. Ribet. Oh yea, gue pengen banget tulisan ini bentuknya maki-maki, tapi sekali lagi dan gue gak akan bosen untuk memasukkan nama Luthfi disini, berkat dia, tulisan ini jadi rada guyon.

Emang guyon gitu? Yakali.

Selerah humor orang beda-beda, dan gue aja yang rada eksklusif, nggak ketawa kalau belom rasis, nggak nyengir kalau nggak nyindir, nggak senyum kalau belum ada orang lain ikutan senyum. Haah.. rasanya gue pengen nembak pelatuk di kepala gue sendiri. Dan.. ini alamat hubungan gue sama keluarga nyokap ambruk lagi.

Malam Tumpul

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Thursday, February 24, 2011

Posted at : 3:11 AM

Hari kedua, empat puluh delapan jam telah lewat semenjak terakhir mata terpejam mutlak. Bukan ingin namun dingin, seperti ular yang menjalar menelusuri perutmu, perlahan melata mendaki ke punggungmu, menapaki pundakmu hingga bersarang di leher, menyerang tengkuk dengan tusukan tumpul namun menyayat bagai sembilu. Kalau kamu tanya apa itu, aku tak tahu. Aku tidur, rasaku bangun, aku terpejam, indraku menajam. Mungkin ini sebatas lindur, luka menahun berbentuk kejam yang enggan hilang sebelum aku terpejam. Badanku lelah menahan rajam, tapi pikiran riuh berontak bagai disiram garam.

Suasana sendu, gemuruh licik terdengar samar namun menggema liar. Itu air, suara aliran air kali tepat di depan tempatku mondok sekitaran dipatiukur. Selalu membuat kangen akan pelukan alam diantara lebat pinus, sadisnya rajahan nyamuk dan gosong parafin tiap kali kuendus. Bukan malam bila tak gelap, dan bukan dosa bila tak lelap, awan menari membentuk pedang air, entah kapan menusuk, namun dinginnya terlanjur meremuk rusuk. Pintu terbuka, agar kamarku tak jadi rumah kaca, karbondioksid mendesak murka menghimpit paru-paru yang tak lagi perjaka, maka kubuka, dingin udara kubayar dengan belaian lembut di sekitar dada.

Malam.

Aku membenci pagi, karena dia melepaskanku dari pelukan malam yang amat kucintai. Malam itu cantik, malam itu erotis, malam itu ironis, kau bedakan nada maka akan memisahkan mana yang romantis dan mana yang tragis, mungkin bukan untuk mereka yang humoris, tapi tidak salah jika sang malam memang memanjakan kami yang kelewat melankolis. Bukan bangga, tapi rasa terima kasih beribu syukur kepada waktu-waktu ini yang terasa sangat manis. Bukan sekedar berkata najis, tapi tentu, kamu membaca dengan tersenyum sinis, hai, para apatis.

Dia akan merangkul mereka yang berbahagia, dengan pesona yang akan membuat sebuah rasa menjadi berlipat harga, merubah senangmu menjadi gembira, mengganti senyummu menjadi tawa, dan dengan jentikkan jari, sayangmu menjelma cinta. Koin itu bersisi dua, kepala dan ekor, memilih enggan atau percaya, ekor malam adalah yang paling buruk rupa. Dia akan meludah kepada mereka yang berduka, mereka yang tak lelap dalam tidurnya berselimut nestapa, memberikan kesendirian luar biasa saat tak ada sahabat menyapa, menghancurkan bendungan paling keras yang melindungi air matamu, dan menarik paksa makhluk liar bernama kesepian hingga buatmu binasa.

Aku memilih yang pertama dan membuang yang kedua, tidak, tidak kubuang, kusimpan disaat genting untuk menghadapimu, bukan kuat, tapi sentuhan lembut di organ metafisik, nada kemayu di telinga berbisik, air mata kupilih daripada menghardik. Konfrontasi fisik kubuang lampau, persetan teriakan lebih baik sengau, jantungku sakit mendengar suaramu yang parau, tawa getirmu yang tertahan tak lagi berkicau. Kepalaku hilang separuh, jangankan memikirkan seekor burung, paruhnya pun hanya berbayang keruh.

Ini kamu.

Bukan dia, atau siapapun yang terlintas dikepalamu. Aku bilang, jangan tegar. Apalah arti sebuah tembok kokoh jika fondasinya lapuk dimakan rayap. Senyummu selebar nil tapi merindukan dekap tanpa pernah ingin kau lepas. Letakkan topeng model apapun yang kamu ingin, dari yang paling hangat hingga yang terdingin, yang tergersang hingga serimbun beringin. Tapi telanjanglah, bagai manusia vitruvian, lelaba humanis sehangat matahari, yang tak hanya memberikan panas, tapi penerangan akan bentuk yang kau tutup lama. Telingaku tak enggan mendengar jerit paling parau, mataku sudi melihat borok paling bernanah, kulitku siap terbakar tingkat empat dan hidungku akan menerima baumu yang paling amis.

Aku percaya dan kamu pun percaya. Nada itu enggan berhenti sekalinya dimainkan, sayang. Berapapun cangkir kopi tidak akan cukup, satu cangkir lebih dari cukup hanya jika ada kamu.

Kado adalah.. Utang..

Filed Under () by Pitiful Kuro on Wednesday, February 23, 2011

Posted at : 5:30 AM

Dan.. kalau lo nganggep gue lupa, sori aja, salah. Waktunya ngga ada, caileh, sok sibuk bener. Oke, jadi begini, emak gue, atau tepatnya sih, emak tiri kuadrat gue beberapa hari yang lalu ulang tahun, dan gue diancem dimintain kado berupa blog post, dan inilah, gue sanggupin.

Kenapa? Soalnya gue bokek kalau harus ngasih kado dalam bentuk lain.

Sekilas pandang, dia Rere, lengkapnya Reni Handayani Mirza Putri, cukup panjang untuk dibuletin di LJK, dan cukup pendek kalau misalkan dibandingin dengan rokok klobot. Tahun ini umurnya 27, udah kerja di salah satu institusi pemerintah entah apa detailnya, dan sayangnya sampai detik ini ketika gue nulis, masih single. Pasti rada horor barang sedikit ya, di umur yang udah nggak abege lagi masih belum ada kejelasan apa-apa soal sama siapa dia bakal ngabisin sisa hidupnya nanti *jahat*. No big deal sih, asalkan lo ngejalanin hidup lo sebagaimana mestinya lo mau menjalani hidup. Nah.. mau ngomong apa gue coba?

Ucapan selamat? Panjang umur? Biar ga seret jodoh? Rejeki gampang? Blah, itu basi, ngga juga sih, toh itu universal dan udah jadi template, anggep lah, lo udah naro susu tiga hari di kulkas, lo gak tau itu udah basi apa belum, tapi ya minum aja daripada sayang kebuang, toh rasanya masih enak-enak aja. Naon. Nah kan, daripada gue ngomongin hal yang ambigu basi apa nggaknya, gue mau coba bahas aja deh beberapa statement lo. Makna gak makna, bodo amat, yang penting tugas ngerepp dalam bentuk ucapan selamat ulang tahun ini bisa makin panjang paragrafnya, soanya gue mandek dan rada webe. Nah kan, ngomongin gue webe aja udah nambah beberapa baris kalimat nih, asoy bener deh, cihuy, saiiik. *terus aja bung, terus.*

Statement nomer wahid lo nih, tentang relationship, tentang bagaimana sebuah hubungan timbal balik itu sangat berarti buat seorang Rere. Nggak masalah, toh gue juga orangnya pragmatis aja, gue mengamini ketika dia mengatakan ‘gue pengen seseorang yang gue beri perhatian lebih, afeksi, juga memberikan hal yang sama ke gue, timbal balik, equal, sama rata sama rasa’. Setengah bener. Nggak salah, tapi agak terlalu dipaksakan juga, karena nggak semua orang berpikiran kayak dia, nggak semua orang rela menurunkan derajatnya sama sesama manusia ketika dia—seenggaknya dianggap tinggi oleh orang lain—yang lo analogikan dengan artis dan idolnya. Itu satu. Terus, mungkin dia nggak sadar, ketika dia penasaran dengan seseorang, berusaha menilik informasi dengan antusias, yang setelahnya membuat orang itu merasa ‘agak’ diatas angin, apa itu yang disebut dengan setara?

Kalau itu yang dia harapkan adalah kesetaraan, mungkin, kurang tepat. Seseorang akan merasa dikejar kalau dia merasa dikejar, seseorang akan merasa penting ketika dia dianggap penting. Titik. Dan akan susah kalau lo mengharapkan kesetaraan dengan hubungan yang dimulai dengan demikian.

Soal, kenapa nggak pernah tanya? Simpel, lo nggak pernah memberikan clue, nggak pernah memberikan suatu pernyataan yang membuat gue bertanya hal lain selain ‘kapan nikah?’, yeaa.. entah ini gue yang terlalu labil sampai-sampai gue memberitahukan apa-apa aja yang terjadi sama gue, atau emang lo yang udah terlalu stabil sampai-sampai apapun yang lo alami adalah hal yang biasa aja? Dunno, tapi andai iya hal yang kedua, cobalah untuk ngerasain hidup lo sampai ke tulang, buat yang biasa menjadi sesuatu yang bisa diceritakan, atau paling nggak, menambah tone warna di hidup lo. Nuf said.

Kayak yang gue bilang, lo bukan cameo, lo adalah pemeran utama di film kehidupan lo sendiri, have fun, lo menjadi pusat kamera kemanapun lo pergi. Sekarang, tinggal gimana merubah sudut pandang, karena lo harus sadar, lo pun punya porsi penting di hidup orang-orang lain di dekat lo. Itu pasti.

Dan sekarang? Bagian dimana akhirnya gue sadar susu yang gue simpen di kulkas masih enak ternyata buat diminum. So? Panjang umur, semoga rejeki makin gampang dan lo bisa memenuhi hasrat miss jinjing itu, makin soleh, makin ikhlas ngebahagiain ortu, dan tentunya nggak lain dan nggak bukan, yang paling penting diantara yang terpenting, semoga gampang jodoh, dapet cowo sesuai idaman—tapi tetep, jangan terlalu picky, kasih mereka kesempatan buat berdampingan dengan lo, baru protes :> have a wonderful 27th years of your life, mak.

Suram Suram.

Filed Under () by Pitiful Kuro on Thursday, February 10, 2011

Posted at : 5:07 PM

Para bangsat, datang mengetuk pintu
Mengajarkan, tentang penyesatan
Mengajarkan, tentang pengkhianatan
Dan kudengar sampai selesai, oh aku tak munafik.
Yang mengatakan sayang didepan tapi menyahut Anjing dibelakang
Manis kukatakan manis, pahit akan kuludahi

Terpukul katanya, sakit katanya
Dia kuat katanya, dia hebat katanya
Tapi mana? Dia jatuh, dia tersungkur.
Tak bangun, tak hidup
Dia bohong, dia dusta.
Bukan nista, hanya tak kuat.
Biadab tak biadab hanya kualat

Salahkah dia hei busuk
Dunia membentuk tanpa pernah mengetuk
Ia dirayu, bukan ikhlas, oleh iblis paling buas
Bahkan dia minta ampun membungkuk
Ia memohon amat lirih dengan remuk

Tidak bahkan satu, namun nol lirikan kikuk
Ia mengutuk dunia, yang kukuk bagai pelatuk
Mengetuk-ngetuk goblok tanpa maksud

Salahkah dia, eh busuk?
Busuk, dirinya busuk, semuanya busuk
Bukan ampunan yang ia minta berikut
Namun kutukan minim makna tanpa ada imbalan

01-01-2009
29-03-2010

____

Tulisan tanpa judul paska insiden 24 maret 2010, ditulis saat emak lagi ngorok nemenin gue di Bandung. Nggak pernah gue buka lagi setelah bait pertama gue tulis taun 2009 sampai waktu itu. Dan gue nggak pernah buka setelah gue lanjutin bait-bait berikutnya, sampai tadi. Sampai gue buka blog itu, yang sukses bikin gue inget waktu-waktu insiden 24 maret itu. Hoeh.. Kali ini gue buka dan gue masukin chord, jadinya njerit-njerit sendirian deh di kosan.

Parah deh. Makasih Nan, kalau kamu nggak ngingetin, tulisan ini bakalan jadi bangke di HDD kali.

Experiente Patronum

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, February 07, 2011

Posted at : 1:51 PM

Kembali ke tahun 2007, disaat gue masih imut, lucu, dan tentunya berpantat super besar. Darimana gue belajar pada saat itu? Gue nggak punya temen-temen yang mau berbagi ceritanya, gue nggak punya pacar yang punya sesuatu yang bisa diajarkan pada gue, dan hidup yang gue jalani terlalu standar untuk bisa gue tulis—bahkan untuk bahan ketawa sekalipun. Hari-hari gue berjalan sunyi, nggak ada suara apa-apa, konduktor udah mengayun tongkat sampai pegel, tapi tidak brass pun mau berbunyi. Nah, darimana gue belajar tentang hidup? Pengalaman? Experience yang bisa menambah value gue sehingga nggak disebut cuma daging (lebih) berjalan?

Dari buku.

Oh yea, hell-o, kalau ada yang tanya ‘buku apa?’ dan gue akan dengan jumawa bertampang nahan sendawa, bahwa buku yang gue anggap bisa memberikan gue beberapa pelajaran hidup itu adalah buku-buku macem chicken soup. Chicken soup yang itu, yang isinya tangisan sunda 400 halaman penuh. Saat itu gue berpikir, kalau-kalau gue nggak bisa mendapatkan pengalaman langsung dari kulit gue sendiri, gue pikir ngga ada salahnya kalau gue mencari hal metafisik itu dari orang lain, tulisan orang lain. Bukan gue denger langsung dari sumbernya, tapi gue baca. Ngaruh? Er…. Waktu itu, gue berasa ngaruh-ngaruh aja, man, cerita seseorang yang lolos dari kematian, atau mengalami hal yang menakjubkan seperti apa yang ditulis di buku-buku itu, oke, gue beberapa kali tersentuh, beberapa kali juga nangis *d’oh*, gue merasa tercerahkan.

Terus.

Apa? Segimanapun gue tersentuhnya, mau berember-ember air mata gue membasahi bantal, itu tetep bukan gue, bukan pengalaman gue, bukan darah gue yang tumpah, bukan. Itu orang lain. Dan apa akibatnya? Alright, mungkin berpengaruh seminggu pertama, lebih bisa menghargai berbagai macam hal, tapi? Tapi, yeah, lupa. Buku itu gue tutup, apa yang ditulisnya menghilang begitu aja. Inget, kata-katanya mungkin inget, Gede Prama, Mario teguh, syalala lalala, siapapun itu namanya, tapi gue nggak akan inget maknanya, gak ada artinya selain kumpulan kalimat indah yang sempat memenuhi otak sebelah kiri, otak, dan bukan organ lain apalagi organ tak kasat mata, hati. Pret cuh.

Gue sadar kok waktu itu, tapi gue tetep aja memfavoritkan buku-buku macem itu, karena gue nggak tau lagi darimana harus nyari pengalaman. Suatu ketika mungkin jenuh udah kelewat batas toleran, buku-buku macam itu mulai diletakkan di tempat paling dalam lemari buku, nggak bisa begini, gue pikir, hal-hal semacam ini harus terasa di kulit, tidak lewat buku, lewat film, lewat ceramah jumat setengah hati atau apapun yang nggak ada kata ganti orang pertama di dalamnya, saya, aku, gue dan Cubung Hanito.

Kemarin, dia, polisi rokok, si ngambek seduktif, barista paling imut yang pernah gue temuin seumur hidup bilang hal diatas. Memetakan hal yang sebelumnya gue nggak begitu paham walaupun tau maksudnya. “Pengalaman nggak bisa didapat dari quote, chicken soup, or whatsoever, kita yang mengalami, makanya disebut pengalaman.” Kurang lebih sih, detailnya lupa, maklum pikun. Oh yeah, dia bilang dengan muka seriusnya yang bikin gue pengen uwek-uwek pipinya yang tipis, kalau serius malah gemes, hrrrr… guk. Alamilah, dan jadikan itu pengalaman. Nggak bisa lebih setuju lagi. Dan hei, ini pun bentuk pengalaman kan? Kalau gue tetep stick to the books, apa gue bakalan tau suatu saat nanti kalau gue adalah orang yang harus belajar menggunakan kulit sendiri untuk merasakan rasa dunia? Gue rasa nggak . Gue ketemu dia, dan dia memberitahu gue jalan pikirannya yang kebetulan bersilangan dengan jalan pikiran yang gue punya, dan gue tahu, akhirnya. Ha..