We are on the same boat, Father.
Benci, rindu, marah, sedih, senang.
Perasaan tersebut selalu berputar ketika ditanya tentang dia. Kalau kita bilang, umur 20an udah cukup dewasa untuk melakukan banyak hal, ahli bicara dan lain-lain. Coba amati, bagaimana orang dewasa bisa berbohong. Dahsyat, kawan, sangat dahsyat. Manipulasi data yang mereka timbulkan itu sangat meyakinkan, itulah sebabnya semakin tua seseorang, maka semakin mungkin ia melakukan korupsi, karena yah, mereka makin pandai berbohong. Mendistorsikan kenyataan sampai batasan buram yang mata tidak bisa lagi lihat dengan jelas. Hebat memang, hebat.
Manipulasi itu sekarang makin tipis, kenyataan makin terlihat, siapa yang bajingan, siapa yang bangsat sudah jelas. Tapi, mengangkangi mereka, melangkahi mereka bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Semua orang berkata bahwa tempat saya kembali ya tentu mereka, tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi bagaimana, jika saya tidak ingin kembali?
Ah Tuhan.
Kau tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatmu bukan? Iya kan?
Tentu saja.
Apa yang saya alami mungkin hanya akan dilihat cetek oleh banyak orang, mentalitas bobrok, rendah, cengeng, tidak punya kredibilitas. Semuanya sudah pernah saya emban. Tapi apakah mereka benar-benar tahu apa rasanya? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Tuhan.
Nasib sama kau timpakan bagi kami, baik saya, maupun dia. Ya tentu, kami sama-sama serigala, kami sama-sama pernah membelakangi jalanmu satu kali, kami sama-sama liar, dan kami sama-sama terluka.
Hebat ya, Tuhan?
Kau pernah membutakan mata kami, membuat kami berputar-putar dalam pusaran pertanyaan, menusuk kami dengan tombak peradilan, kau membuat luka yang tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Kau hebat, penuh kuasa, kau banting kami dengan satu jengkal jarimu, kau hajar kami dengan satu tiupan nafasmu, kau membuat kami rata dengan tanah hanya dengan tatapanmu.
Tapi terima kasih, Tuhan.
Kau pernah memberikan kami sebuah berkah yang luarbiasa, dengan perantara berkah tersebut, ia mencabut butanya mata kami, ia mengarahkan kami ke terang cahaya dan bukannya gua yang tak berujung, ia memberikan kami kaki untuk berjalan di lapangan yang luas, ia menarik tangan kami untuk merasakan apa itu dunia diluar kegelapan yang kami tempati selama ini. Ia menarik kami keatas, mengajak kami melihat bahwa banyak hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya.
Tapi.. Tuhan?
Berkah yang kau berikan padanya kau rampas, kau menghancurkannya lagi, impiannya, utopia dan impian yang ia bangun, yang ia pendam tanpa berkah tersebut tahu, kau hancurkan semuanya. Rata. Dengan. Tanah. Istrinya lari, anak-anaknya hilang entah kemana, pegangan hidupnya kau ambil, semuanya. Tidak tersisa satupun. Menyisakan sesosok tua penuh uban, dengan mimik muka yang seolah telah melihat neraka dengan matanya langsung. Ia mati Tuhan, mati.
Berikutnya saya, setelah kau buat saya menyaksikan dia hancur, kau mengambil pula satu-satunya hal yang saya pegang. Kau membuat saya kembali ke dalam dunia yang pernah saya tempati, dunia satu-satunya yang dulu saya kenal, dunia yang tidak akan pernah mau saya injak kembali. Dunia dimana tidak pernah ada cahaya secercahpun untuk dibagi. Dunia kematian, Tuhan. Kau tahu itu, kan?
Jadi, kenapa, Tuhan?
Satu kali kami mati tidakkah cukup?
Harus berapa kali?
Sampai kapan?
Jadi..
Jika saya mati, akankah kau peduli, Tuhan?
Benci, rindu, marah, sedih, senang.
Perasaan tersebut selalu berputar ketika ditanya tentang dia. Kalau kita bilang, umur 20an udah cukup dewasa untuk melakukan banyak hal, ahli bicara dan lain-lain. Coba amati, bagaimana orang dewasa bisa berbohong. Dahsyat, kawan, sangat dahsyat. Manipulasi data yang mereka timbulkan itu sangat meyakinkan, itulah sebabnya semakin tua seseorang, maka semakin mungkin ia melakukan korupsi, karena yah, mereka makin pandai berbohong. Mendistorsikan kenyataan sampai batasan buram yang mata tidak bisa lagi lihat dengan jelas. Hebat memang, hebat.
Manipulasi itu sekarang makin tipis, kenyataan makin terlihat, siapa yang bajingan, siapa yang bangsat sudah jelas. Tapi, mengangkangi mereka, melangkahi mereka bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Semua orang berkata bahwa tempat saya kembali ya tentu mereka, tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi bagaimana, jika saya tidak ingin kembali?
Ah Tuhan.
Kau tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatmu bukan? Iya kan?
Tentu saja.
Apa yang saya alami mungkin hanya akan dilihat cetek oleh banyak orang, mentalitas bobrok, rendah, cengeng, tidak punya kredibilitas. Semuanya sudah pernah saya emban. Tapi apakah mereka benar-benar tahu apa rasanya? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Tuhan.
Nasib sama kau timpakan bagi kami, baik saya, maupun dia. Ya tentu, kami sama-sama serigala, kami sama-sama pernah membelakangi jalanmu satu kali, kami sama-sama liar, dan kami sama-sama terluka.
Hebat ya, Tuhan?
Kau pernah membutakan mata kami, membuat kami berputar-putar dalam pusaran pertanyaan, menusuk kami dengan tombak peradilan, kau membuat luka yang tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Kau hebat, penuh kuasa, kau banting kami dengan satu jengkal jarimu, kau hajar kami dengan satu tiupan nafasmu, kau membuat kami rata dengan tanah hanya dengan tatapanmu.
Tapi terima kasih, Tuhan.
Kau pernah memberikan kami sebuah berkah yang luarbiasa, dengan perantara berkah tersebut, ia mencabut butanya mata kami, ia mengarahkan kami ke terang cahaya dan bukannya gua yang tak berujung, ia memberikan kami kaki untuk berjalan di lapangan yang luas, ia menarik tangan kami untuk merasakan apa itu dunia diluar kegelapan yang kami tempati selama ini. Ia menarik kami keatas, mengajak kami melihat bahwa banyak hal yang belum pernah kami rasakan sebelumnya.
Tapi.. Tuhan?
Berkah yang kau berikan padanya kau rampas, kau menghancurkannya lagi, impiannya, utopia dan impian yang ia bangun, yang ia pendam tanpa berkah tersebut tahu, kau hancurkan semuanya. Rata. Dengan. Tanah. Istrinya lari, anak-anaknya hilang entah kemana, pegangan hidupnya kau ambil, semuanya. Tidak tersisa satupun. Menyisakan sesosok tua penuh uban, dengan mimik muka yang seolah telah melihat neraka dengan matanya langsung. Ia mati Tuhan, mati.
Berikutnya saya, setelah kau buat saya menyaksikan dia hancur, kau mengambil pula satu-satunya hal yang saya pegang. Kau membuat saya kembali ke dalam dunia yang pernah saya tempati, dunia satu-satunya yang dulu saya kenal, dunia yang tidak akan pernah mau saya injak kembali. Dunia dimana tidak pernah ada cahaya secercahpun untuk dibagi. Dunia kematian, Tuhan. Kau tahu itu, kan?
Jadi, kenapa, Tuhan?
Satu kali kami mati tidakkah cukup?
Harus berapa kali?
Sampai kapan?
Jadi..
Jika saya mati, akankah kau peduli, Tuhan?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment