Skinpress Demo Rss

Pintunya Terbuka tuh, part II...

Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, August 11, 2009

Posted at : 10:57 PM

“Ini semua biar kamu mandiri, bung.”

Apa tolak ukur seseorang bisa dikatakan mandiri? Kalau candaan garing jaman gue SMP pasti akan bilang, “bisa mandi sendiri,” haha. Kalau tolak ukur standar ya tentu, bisa mengurus dirinya sendiri tanpa ketergantungan orang lain. Entah itu nyari makan, ngurus semua kebutuhan sehari-hari ataupun udah ngga membutuhkan afeksi berlebih dari keluarganya (manja). Dan kalau boleh ditambahkan dalam contoh ekstrim, udah bisa nyari uang sendiri. Tapi pastinya tolak ukur mandiri itu beda di setiap kultur budaya, oh, ngga usah terlalu umum seperti budaya, di setiap keluarga mungkin punya tolakan mandiri yang beda-beda..

Untuk gue sendiri, gue udah dilepas kayak ayam dari gue SD. Tepatnya kelas lima, saat itu keluarga kecil gue keluar dari keluarga besar untuk alasan yang gue pun ngga tau, kami mengontrak rumah yang jaraknya ngga begitu jauh dari rumah keluarga besar, approximately 5 km kali ya? Dan karena ibu kerja dan si bapak juga kerja (mungkin), gue harus ngurus diri gue sendiri ngga tau gimana caranya.

Jam setengah tujuh berangkat sekolah, selesai jam tiga, pulang kerumah ngga ada siapa-siapa, gue diharuskan masak sendiri, entah cuma goreng makanan beku, atau bereksperimen geje di dapur. Kerjaan gue ya maen melulu, terus yang asiknya, karena lingkungan rumah kontrakan gue itu termasuk lingkungan ‘slump’ (kumuh), temen gaul gue di lingkungan rumah itu ya heboh-heboh. Ngga ada batasan umur disana, gue bergaul sama preman-preman tukang mabok, tatoan, tindikan dimana-mana dan kalo ngomong itu ngga pernah lepas dari kata “k*n*l”, “anj*ng*”, “ng*n*o*” and so on. Lingkungan mempengaruhi kepribadian kan? So, jadilah gue, Cubung Hanito versi begundal berandal bromorcorah di saat mimpi basah-pun gue belom.

Mandiri eh?

Gue ngga bisa melihat poin pengorbanan yang dilakukan orang tua gue untuk menjadikan gue mandiri. Mereka hanya melepas gue kaya ayam dan beres. Kalau kata tutor gue di rohis dulu,

“Usaha antum cuma segitu, ya jangan harap Allah akan ngasih apa yang antum mau,”

Kalau misal apa yang diberikan orang tua gue hanya segitu, ya gue juga ngga bisa memberikan hasil yang setimpal kan? no, jangan bahas soal materi, gue cukup-cukup aja tuh, tapi yang lain. Equivalent trade, pertukaran setara, gue ingin membuang paham ini jauh-jauh dari kisaran seputar kepala gue. Berikan kepada orang lain apa yang orang lain berikan kepada kita, mereka ngga memberikan gue afeksi, ya kenapa gue harus ngasih ke mereka? Jah, prinsip yang seolah-olah gue udah menjual hati gue kepada materialisme.

Nah, sekarang mereka tobat, dan minta gue balik? Dan mengatasnamakan didikan ayam dilepas itu sebagai proses untuk membentuk kemandirian gue? Makanya, bullshit. Dalam kesadaran yang jauh, gue bersyukur dididik dengan cara macam itu, dengan begitu gue merasa bisa mandiri lebih awal setidaknya, dan gue ngga terlalu membutuhkan afeksi dari keluarga yang memang nyaris ngga pernah diberikan. Mungkin itu faktor utama yang membuat gue merasa bisa bertahan dengan prinsip alone but not lonely beberapa waktu yang lalu. Hahah.

Lalu? Apakah gue trauma? Melihat output keluarga yang blecetan kemana-mana dan ngga jelas bentuknya itu? Well, sort of. Ngga bisa dibilang juga gue trauma, toh gue masih dengan santai bisa meletetkan lidah gue kepada mereka. Benci? Biasa tuh, udah mati rasa sama yang namanya family matter. Terus?

Gue cuma ngga mau nikah, simpel kan?

No, no, bukannya gue puter haluan dan jadi gay, kagak lah. Gue doyan cewe seperti gue doyan apel, bisa digigit *loh*. Andaikan gue menunjukkan symptom-symptom gayness, itu hanya sekedar candaan, oke?

Dan kalau ditanya alasannya? err, apa penjabaran singkat disepanjang entri-entri gue sebelumnya ngga cukup? Yah, cuma takut sih. Gimana kalau kesalahan yang sama terulang lagi? Nanti perempuan yang jadi istri gue gimana nasibnya? Dan kalau punya anak, anak gue bakalan jadi kaya apa? Apa akan jadi kaya gue yang—euh. Gue dalam posisi yang sekarang, sebagai anak, merasa udah cukup, ga usahlah ada keluarga lain lagi yang ujungnya cuma jadi begini. Dan gue, sebagai cikal bakal pembentuk keluarga di masa depan nanti merasa ngga perlu untuk menambah daftar panjang tersebut. Karena itu, gue nggak mau nikah.

“Lo tau apa yang beda diantara lo dan gue, bung?”

“Ngga, lo bilang kita sama, kan?”

“You have the father material, and im not,”

“Hahah..”

(Kapan ya? Sekitar desember 2008 mungkin, Monas.)

Jiah, gue dibilang punya figur ayah yang kuat sama orang sesat, entah dari mana dia bisa ngambil kesimpulan semacam itu, tapi gue hanya bisa ketawa penghormatan denger pendapatnya itu. Am i?

Kembali ke poin awal, apakah benar begitu? Apakah gue udah tau sendiri garis takdir gue sepuluh tahun yang akan datang seperti apa? Apa gue tau besok pagi gue akan makan apaan? Apa gue tau kalau dua tahun lagi itu awal dari sebuah akhir? Dan apa gue tau gua hanya akan membuat keluarga yang ujungnya cuma ancur-ancuran? Ngga tuh. Gue hidup 19 tahun, dan selama 7 tahun mengkonsepkan bahwa gue ngga akan menikah nantinya. Tapi hei, ada faktor x yang lain, apakah selama 19 tahun gue hidup gue hanya menemukan satu jenis keluarga doang? Hanya keluarga yang hancur doang? Ngga tuh. Di banyak tempat dan kenalan, gue menemukan keluarga-keluarga yang rapih, harmonis dan terlihat manis.

Pikiran awal: Loh? Apa salah gue? Kenapa keluarga gue blarakan, tapi orang lain bisa keliatan indah begitu? Dosa gue apa?

Pikiran-setelah-bener-bener-mikir: Kenapa ngga bikin aja keluarga yang seperti itu?


Entahlah pikiran itu muncul sejak kapan, apalagi orang yang katakanlah orang terdekat gue sekarang, tinggal di keluarga yang harmonis, sangat malah. Mungkin terlalu berada lama disana membuat pola pikir gue ngegeser? Siapa yang tau? Gue ngga bisa bilang kalau paradigma gue tentang pernikahan udah berubah, gue masih tetep takut nikah, tapi, sedikit, paradigma itu udah bergeser. Semoga.

Karena kamu, mungkin?

0 comment: