Skinpress Demo Rss

Tidak Jelas Juntrungannya

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, October 26, 2009

Posted at : 12:42 AM

Selalu mudah membuat cerita dengan awalan sebuah awal. Huruf pertama dari suku kata pertama dari kalimat pertama dari paragraf pertama, dan apakah itu? Aku. Aku duduk, tertidur, namun aku sadar. Sadar bahwa aku masih hidup, jantungku berdetak sebagaimana mestinya sebuah jantung bergerak, nafasku memburu terengah-engah, tapi diatas semua itu, aku masih hidup. Tidak peduli berapa satuan cc yang tertumpah ke jok mobil orang yang panik disampingku, tak peduli seberapa indah penampilanku sudah didandani manis oleh darahku sendiri, sekali lagi satu hal yang kutegaskan, aku masih hidup.

Tapi aku tak ditubuhku.

Aku melihat aku, duduk di dashboard melihat diriku sendiri yang merintih sakit, kesannya lucu, dan mungkin adalah kesempatan sekali seumur hidup—atau terakhir—yang bisa saja terjadi. Aku tentu tidak merasa sakit, tapi sepertinya dia, maksudku aku, tampak kepayahan. Pft—

Si supir nampak panik, begitupula dua orang yang ada di bangku penumpang, err.. tentu saja, melihat salah satu anggota keluarganya berpeluh darah tak sadar, bagaimana bisa tenang, mereka pasti sedih memikirkan bagaimana mengurus mayatku nanti, ergh.. proses kremasi, tanah pekuburan, dan tetek bengek birokrasi lainnya soal penguburan mayat yang dulu pernah kudengar hanya bikin pusing, jelas saja mereka panik. Maaf, terlalu sinis? Ah ya, kalau begitu, mereka pasti sedih akan kehilanganku, puas ralatnya?

Langit sudah memeluk bumi dengan gulita pekatnya, menyisihkan ruang sempit untuk selusin bintang paling terang bereksibisi pamer cahaya, sedangkan aku, dengan tubuh astral ringan tak lebih berat dari zarah menikmatinya santai. Sayang, rintihan dia—maaf—aku, mengganggu saja. Tak pernah menyangka dengan tubuh macam ini bisa menikmati dunia senikmat-nikmatnyanya, tahu tidak? Rasanya, emm.. seperti menyatu dengan alam, maksudku, benar-benar menyatu, ah, sudahlah, kalau belum sepertiku takkan tahu rasanya.

Aku menghirup udara yang sebenarnya tak perlu, merasakan dingin udara perbuktian yang seharusnya tak bisa kurasakan, dan mendengarkan kabar-kabar dari serangga di kejauhan gelapnya malam. Ah~ dunia.. ups! Maksudku, akhirat. Euh. Tak tega, kawan. Meskipun aku dianugrahi sinisme tingkat empat dan sarkasme level dewa, aku tak bisa membiarkan dia—ergh, maksudku tubuhku—merintih demikian hebatnya. Tak percaya aku, bagaimana mungkin seorang kuat seperti diriku, si keras kepala pantang mengeluh dan tukang injak kelemahan orang, bisa berteriak pilu begitu. Halalah, malu aku. Kapan sih prosesnya selesai? Halo? Tuhan? Kau disana? Sini dong ah.

“Yap?”

Ergh? Siapa? Aih aih, datang? Sewujud entitas berdiri (maksudku, benar-benar berdiri) diatas kap mobil yang melaju 80km/jam, bukan manusia kan? Aku membalik badanku, memaksimalkan akomodasi mata astralku untuk melihat lebih jelas wujud makhluk yang asik nangkring semeter didepanku. Apa.. si Tuhan sendiri yang menyempatkan datang ke mobil sedan butut keluaran 80an ini untuk menjemputku secara langsung?

“Oh.. bukan-bukan..”

Dia membaca pikiranku?

“Tentu,”

Waw, dia tersenyum, yang ngerinya, bukan senyuman manusia, err, secara literal. Karena saat mataku mulai dapat melihat dengan baik, kepalanya bukan kepala manusia, tapi.. anjing?

“Koreksi, pak, ini kepala Jackal, bukan anjing. Mitos mesir kuno di dunia atas, pernah dengar?”

“Dunia atas?”

“Ah, tentu tidak tahu ya, maksudku dunia orang hidup,”

Tampak lebih jelas sekarang, sosok itu berbentuk manusia utuh, hanya saja berkepala an—maksudku, Jackal. Mengenakan setelan jas hitam plus kemeja putih, nampak seperti orang yang menghadiri pemakaman. Aku turut keluar mobil mendekatinya, menembus kaca depan, dan duduk persis didepan.. emm.. siapa?

“Wah, maaf pak, terlambat memperkenalkan diri saya, anda dapat menyebut saya dengan berbagai sebutan yang ada di dunia atas sesuka anda, Shinigami, dewa kematian, Izrail, Anubis, Domorad, Elynthiok, atau apapun yang pernah anda dengar,”

“Oh, tukang cabut nyawa,”

“Ya bolehlah.. kalau begitu, mulai saja. Farhan Putranto, lahir 6 maret 1985 pukul 08.11 pagi, meninggal 8 Febuari 2010 pukul 02.54 pagi. Anak dari bapak Catur Marti—“

Err.. aku menengok sekilas ke dashboard, jam masih menunjukkan pukul 01.49, 5 menit lagi?

“—cucu dari—astaga! Pak, tolong dengarkan! Ini prosedurnya!”

“Euh, baik.. tapi.. apakah lima menit sisa ini akan digunakan untuk mendengarkan anda berbicara soal silsilah panjang yang bahkan-aku-tak-tahu-anda-sebut-siapa? Boleh ngobrol saja?”

Plop

Ah, dia menutup bukunya.

“Tentu pak,”

“Baiklah, biasanya aku mengobrol sambil minum kopi, apakah mungkin aku bisa minum kopi dengan tubuh begini? Atau aku kembali sebentar ke tubuhku untuk minum kopi? Aih, tapi nampaknya aku hanya akan kesakitan ya?”

“Mungkin..”

“Aduh, ngobrol atuh pak, saya hanya punya waktu kurang dari empat menit untuk ada disini kan? Kooperatif sedikit sesekali untuk memenuhi permintaan terakhir orang yang akan meninggal dong..”

“Sebenarnya, dalam catatan, anda sudah tercatat meninggal,”

“Ah ya.. baiklah, kalau begitu saya saja yang bertanya, nanti akan dibawa kemana saya? Surga? Neraka? Atau reinkarnasi seperti film-film kungfu itu?”

“Anda yakin ingin tahu?”

“Err... tidak akan ada bedanya tahu sekarang dan nanti kan?”

Waw, takut sih sebenarnya, berbuat baik aku jarang, berbuat jahat tidak pernah, ibadah kurasa cukup, aku sering membantu orang, hei, aku psikolog, itu terhitung membantu kan? Walau ada bayarannya, tetap saja hitungannya membantu orang. Pasti surga, eh, tapi rasanya terlalu mudah, lagipula aku baru saja jadi psikolog setahun terakhir, apa sudah cukup banyak orang yang kutolong? Bagaimana-bagaimana—

“Ehm Ehm..”

“Euh, maaf pak, lupa kalau anda bisa tahu apa yang saya pikir,”

“Begini (membuka catatan), waktu kecil anda pernah memukul kepala teman anda dengan gelas, itu minus, lalu pernah menaruh paku payung di bangku guru, minus, pernah melempari teman sekelas dengan plastik air kencing, minus, ah.. ini baik, memberi makan kucing dengan susu, plus, lalu—blablabla—oke, surga.”

“Hah?”

“Jangan senang dulu, surga dan neraka hanya berbeda suhu, di surga lebih sejuk, sementara neraka panas sedikit. Yah, kalau di dunia orang hidup, surga itu seperti bumi bagian barat—apa namanya?—ah, eropa. Neraka, katakanlah seperti daerah tropis. Saya pribadi lebih suka berlibur di neraka—ah.. maaf, melantur, ehm. Dan anda bisa berkunjung atau pindah ke dua bagian dunia itu jika anda mau. Yang berbeda dari dunia orang hidup, disana anda dapat mati, tapi di tempat yang anda kunjungi nanti, anda abadi. Mudah saja.”

“...”

“Pak?”

“Gentayangan sajalah..”

0 comment: