Skinpress Demo Rss
Love your enemies
Do good to those who curse you
Pray for those who mistreat you
Psalms 129:2

Menemukan Sebuah Genre

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on

Posted at : 7:10 AM

Mungkin sebagian besar para moviegoers punya genre yang dijadikan favoritnya dalam menonton sebuah film, entah horror, komedi, thriller, atau suspense. Dan biasanya, film-film yang sesuai dengan genre favoritnya itu akan didahulukan melewati film-film lainnya. Contohnya aja, bude gue, dia fanatik ekstrim sama film-film yang berbau action, film-film action segala rupa dari jamannya Jean Claude Van-Damme, Steven Seagle sampai Matt Damon atau Channing Tatum di zaman sekarang selalu ia tonton. Dan film-film genre lain, mau seterkenal apapun, ga akan sanggup bikin lehernya nengok barang satu derajat. Duileh, yang namanya Avatar aja dia kaga ngeh (atau kaga mau ngeh?)

Menonton film buat gue itu gue pikir hanya kegiatan sampingan, hobi sekunder yang ngga penting-penting amat, karena fokus gue (dulu) lebih kepada apa yang bisa gue baca, daripada apa yang bisa gue nikmatin secara audio visual. Jadinya, gue selalu menerima aja setiap genre yang gue tonton, ngga pilih-pilih dan berusaha untuk selalu enjoy nikmatin. Lain dulu lain sekarang, semenjak pindah ke Bandung, gue jadi lumayan sering menyambangi bioskop, yah.. untuk seenggaknya menonton film-film yang box office lah, yang punya pamor publik, untuk sekedar membunuh waktu kosong gue yang emang lowong banget disini.

Kebiasaan yang mulai berubah ini membuat gue lebih selektif saat menyaring, mana-mana aja nih film yang sekiranya ngga hanya berakhir dengan gue tonton aja, tapi yang juga bisa memberikan cinematic orgasm. Kepuasan puncak saat menonton sebuah film. Awalnya sih berjalan dengan santai aja, mencari-cari dan coba menelaah mana nih, film yang bisa bikin gue merinding? Dan akhirnya gue menemukan genre yang mungkin akan menjadi genre favorit gue.

Ternyata.. film yang mengandung gore, violence, blood dan splatter tingkat sarap yang mampir di otak gue, menyindir-nyindir modula oblongata dan menyengat adrenalin untuk menenangkan diri gue yang kelewat kesenengan. Aneh, padahal gue kira, gue hanya akan tertarik dengan film-film dengan sinematografi sekelas lukisan, jajaran pemain papan atas yang bisa bikin gue ciut hanya dengan satu dialognya, atau grafis-grafis edan yang bisa bikin dunia khayalan jadi nyata. Tapi bukan tuh. Pernah denger Evil Dead? Nah, itu salah satunya yang menjadi kiblat gue sekarang.

Darah yang tumpah dalam jumlah riddikulus, potongan organ yang terbang kesana kemari, usus yang memburai, kepala yang pecah kaya semangka, dan tentunya, hero kelas B yang seakan Mary Sue (unbeatable) bawa-bawa gergaji untuk menghasilkan deskripsi-deskripsi diatas saat mencincang zombie-zombie tersebut. Urgh.. tempting. Daripada Batman atau Wolverine, gue lebih suka Ash (Evil Dead) yang menggergaji kepala pacarnya saat pacarnya udah kerasukan roh jahat di tiap seri Evil Dead. Atau Lionel (Braindead a.k.a Dead Alive) yang mencincang halus puluhan zombie hanya dengan pemangkas rumputnya.

Tapi jangan salah, genre yang (mungkin) menjadi favorit gue ini jangan disamakan dengan Twisted Thriller macam Saw atau Hostel. Horror dalam favorit gue adalah film-film ‘rendahan’ yang menjanjikan kesadisan frontal tanpa ba-bi-bu, tanpa mikir, tanpa make otak, dan yang gue butuhkan adalah beberapa batang rokok, kopi, dan popcorn yang bisa gue nikmatin sambil nyantai saat nonton.

Memang, baru beberapa film dalam genre ini yang gue tonton, tapi gue rasa, itu udah cukup untuk menstempel, bahwa gue memang jatuh cinta kepada genre yang satu ini. Sekedar referensi, film-film yang udah gue tonton itu, diantaranya:

Evil Dead
Evil Dead II: Dead by Dawn
Feast
Return of The Living Dead
Trailer Park of Terror
Braindead a.k.a Dead Alive
Toxic Avenger (ini mah cacat, sumpah)
Bad Taste

Sekedar informasi, dua film diatas, Bad Taste dan Braindead adalah film yang dibuat oleh Peter Jackson sebelum dia bikin Trilogi LOTR, yang panjangnya bisa bikin orang insomnia jadi ngantuk itu loh, dan sebelum badannya bengkak kayak panda seperti sekarang. Soal kualitas? Bad Taste itu seperti film yang scriptnya dibuat oleh anak kelas 6 SD dan di sutradarai oleh orang yang pernah menderita schizophrenia, belum sembuh total tapi sudah disuruh menyutradai sebuah film, hasilnya? Bad Taste. Tapi memang tujuan pembuatan film ini (katanya) memang mewakili selera murahan filmaker pada dekadenya. Entah ya..

Ah, lain kali gue mau review film-film diatas.

Temen lo Mana?

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, March 15, 2010

Posted at : 2:56 AM

Gue termasuk orang yang telat daftar ke friendster, sekitar kelas 3 SMA kalau ngga salah inget. Padahal yang namanya FS itu udah tenar dari jaman gue masih SD, dan tambahan pula, gue udah cukup melek internet dari kelas 3 SD. Dan andaikan salah satu temen baik gue ngga nyuruh gue bikin sambil gelendotan seharian di badan gue, kayanya sih gue ngga akan bikin tuh akun. Pembelaan abadi gue ketika ditanya, kenapa ngga bikin bung? Selalu dijawab dengan: buat apa? Yeah, biasanya juga akan dibales dengan gampang: “nyari temen/nambah temen/cari kenalan/whatsoever”. Waktu itu gue bingung sendiri sama temen baik gue itu, apa sebegitu gampangnya ya yang namanya cari temen? Gampang, katanya sih. Buat gue mah susah.

Ide-ide gue soal pertemanan selalu berubah, atau kalau mau optimis dikit sih, berkembang (atau malah degradasi?) suatu waktu gue berpendapat bahwa mencari teman itu adalah hal yang krusial, pikiran anak smp yang udah terlalu lompat jauh ke dunia kerja: nyari relasi. Pernah juga, gue memandang pertemanan itu hubungan timbal balik yang setimpal, ketika kita ngga mendapat apa yang seharusnhya kita terima, maka pertemanan itu ga pantes untuk dipertahankan. Trus juga, gue pernah sebodo amat sama yang namanya temen, dengan keyakinan gue bisa berdiri sendiri tanpa sosialisasi intim dengan orang-orang tertentu, masih bisa hidup toh. Dan mungkin masih banyak lagi.

Nah, susahnya, niatan tiap orang yan g berbeda dalam membangun pertemanan itu membuat yang namanya pertemanan itu sendiri susah dibangun. Ketika sejumlah orang mempunyai visi yang sama dalam pertemanan mereka, maka akan terbetuklah sebuah kelompok, ketika visi itu mulai berbeda atau bahkan berganti, ya bubar. Bubar gitu aja kayak tinja disiram masuk kloset. Tentunya, ngga semua pertemanan bubar cuma karena beda visi toh, ada juga kan yang langgeng-langgeng lempeng, sedikit penyesuaian maka semuanya akan kembali normal sepeti sedia kala.

Unik, ketika yang dinamakan pertemanan mengusung tema intimacy tingkat tinggi, kenapa bisa ya bubar begitu aja tanpa jejak dan tanpa variabel eksternal semacam jarak ataupun waktu? Sebagai contoh kecil, seorang rekan SMA gue, cewe, punya geng, entah namanya losya, lumpia, atau kecapi—apalah, gue lupa, salah seorang anggotanya ‘dikeluarkan’ (dalam bentuk pengucilan, cibiran dan dijauhi) hanya karena si cewe ini ngga bisa dateng pada waktu acara maen bareng kelompok ini. Aneh? Belum, sampai gue tulis mereka jambak-jambakan (tadinya temen baik looh) di kelas dan tereak-tereak sampe kedengeran dalam jarak 3 kelas. Seru bener.

Get my point?

Kalau yang namanya pertemanan diusung tinggi-tinggi, kedekatan ekstrem, kebersamaan yang nempel kayak pake power glue dst itu, kenapa bisa dengan mudah ngejauhin, dan bahkan ngancurin abis-abisan? Katanya temen, katanya selalu bareng, tapi kenapa yang namanya toleransi kok dikangkangi seakan sekedar bullshit yang bikin nengok leher pun kagak minat? Widih, pusing gue.

Apakah, ketika seseorang yang berada dalam kelompok, melenceng sedikit dari visi misi kelompok tersebut sudah masuk kedalam kriteria yang pantas bagi dia untuk dikeluarkan—baik langsung maupun tidak? Ngga kan yak? Kalau iya, yang namanya temenan itu kampret dong? Nyebelin, abis muter-muter melulu. Ribet kan? Makanya gue males tuh punya temen banyak-banyak. Bukan. Lebih tepatnya, gue ogah untuk terlibat secara personal plus emosional terlalu jauh dengan orang/kelompok yang sekiranya belum gue tahu seperti apa visi-misinya. Pernah sih, hasilnya kaga enak dan ujungnya malah gue yang repot sendiri karena jadi terlalu sentimen dan nendang logika, hueh.

Satu hal yang gue percaya soal pertemanan, yang namanya temen itu bukan hanya untuk seneng-seneng. Gue ngga akan bisa ngeliat temen gue susah. Ketika temen gue masuk tol pake motor, ya gue kasih tau, kalo dia salah jalan, kalau dia kehilangan kunci motor, gue akan kasih tau kalau kuncinya itu nyangkut di topinya. Yah, gitulah.

Demonic Pride: Part III

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Monday, March 08, 2010

Posted at : 1:04 AM

Demonic Witch With Angelic Twitches

Di hari yang sama, hujan kembali turun. Hanya gerimis becek yang membuat siapapun berentitaskan manusia ingin mendekam di selimutnya yang hangat, atau duduk santai di beranda ditemani coklat panas. Sementara saya? Ah tentu, sesetan apapun, saya masih manusia yang menginginkan rasa manis di lidah yang hangat di kala cuaca tidak bersahabat macam ini. Tapi satu hal, maaf, bukan satu, mungkin banyak hal—yang membuat saya bahkan tidak bisa mengedipkan mata sedetikpun dengan perasaan tenang, dan menarik nafas tanpa ada rasa sakit yang ngilu di dada. Saya merasa harus bergerak, walau pelan di hujan yang tengah mengguyur, saya harus terus berjalan.

“Gw yang kesana! Lo diem, diem!”

“Kagak! Gue yang kesana, nyasar kan lo?”

“Kagaak, gue kagak nyasar! FIB kan? FIB? Kanan doang?”

“Aaaah.. dieem!”

*pett*

Grumble.. nenek tua yang memang kalo sudah pikun pasti kerjaannya marah-marah terus, ah, benturan usia memang kadang membuat orang menjadi tambah menyebalkan berbanding lurus dengan waktu yang dilaluinya. Kemeja flanel yang melekat di badan sudah lepek, sambil menggerutu, saya melewati kerumunan mahasiswa yang menatap saya terheran. Ya tentu saja. Di kampus bonafit semacam ini ada seorang lucu yang pakaiannya bisa disamakan dengan tukang pungut sampah. Ah tuan, nyonya, hanya berusaha berjalan senyaman mungkin dan tanpa paksaan. Boleh kan?

Dan sampai.. di tempat penuh kenangan yang beberapa tahun lalu saya injak dengan penuh.. apalah, kenistaan mungkin? Dia berdiri disana, dengan payungnya tegak berdiri, melindungi wajahnya dari hujan yang berusaha mencolek jahil. Gatal rasanya ingin tertawa setiap bertemu dengan orang yang satu ini. Kesan yang ditimbulkan sangat kontradiksi dengan kenampakan fisik yang dimilikinya, antara nenek sihir tua sepuh beradu dengan seorang wanita biasa yang tidak kenal bau kejam. Dua hal berbeda, yang satu ingin sekali rasanya saya jitak, dan satu lagi mungkin, ingin saya tatap dengan senyuman ternista yang saya miliki.

“Nah! Kagak nyasar kan gue?”

“Alaah, jangan sok deh lo, payung nih!”

“Gak usah!”

“Sok sehat, sok kuat! Mana? Batuk tuh lo!”

“Biarin!”

Lalu kita berjalan, menuju destinasi yang sudah ditetapkan sebelumnya, sebuah tempat makan biasa yang ‘tidak biasa’. Mungkin, ketidakbiasaan yang dimiliki tempat ini telah membuat saya, dan dia sama-sama merasa iri. Tempat apakah sebetulnya? Biasa saja, hanya sebuah fakultas di sebuah universitas ternama di bilangan Depok. Hanya saja, isi dari tempat ini adalah kumpulan orang-orang diluar nalar yang pola pikirnya membuat saya ngiler sebanyak mungkin. Yeah, dalam satu tempat berkumpul orang-orang menarik yang memungkinkan untuk saya ajak tukar pikiran, suatu hal yang mungkin tidak dapat saya temukan di tempat saya tinggal sekarang, tentu saja saya ngiler.

Disini kami duduk, di sebuah meja cukup besar dengan lantai penuh coklat khas hujan yang becek, hujan sudah berhenti, menyisakan pengap yang menekan udara dengan hawa hangatnya. Kodok dan serangga-serangga yang berlindung dibalik dedaunan rontok mungkin sedang menghela nafas sedalam-dalamnya, mengisi paru-paru dan trakea mereka dengan segarnya udara hujan yang tawar. Namun dia tetap standar, maksud saya, tidak bergeming. Tentunya tidak biasa bagi saya untuk menemui dia, bahkan dia sendiri sebelumnya mengetahui bahwa dia adalah orang yang enggan saya temui secara langsung.

Film apik tidak dimulai dengan konflik utama, tapi diawali dengan introduksi, pengenalan masalah, dan barulah ke pokok permasalahan. Begitupun juga perbincangan saya dengannya, karena apa yang saya bawa ke dia adalah hal yang tidak bisa dikatakan baik—atau kita boleh mengatakannya juga, tidak pernah dikatakan baik. Maka memberikan straight penuh ke arah muka adalah sama saja bunuh diri, jab-jab ringan yang mengarah ke pundak tentunya lebih manusiawi, terutama, karena saya berbicara dengan manusia supersensitif yang emosinya (sebenarnya) tidak dapat diganggu gugat, tentu saya harus lebih berhati-hati.

Tentang batas, sebuah batas. Batas yang membedakan manusia yang berada didalam jalur dan yang diluar jalur, atau kita bisa mengatakannya dengan mudah: manusia yang patuh pada norma, dan yang tidak. Sebuah pilihan yang mudah, namun sulit untuk dieksekusi. Bilamana menurut pada idealisme diri, maka dia ataupun saya akan memilih berada diluar jalur, melanglang entah kemana, bertualang yang tidak seperti bertualang, yah, hanya kiasan. Menjalani hidup sebagaimana kami memandang hidup, bukan bagaimana hidup memandang kami.

Dan kami, memilih untuk berada didalam jalur. Katakanlah, memilih berada didalam jalur—yang menyerempet ke pinggir—karena kami masih memikirkan adanya norma keparat tadi. Kami tertawa bersama yang maknanya hanya menertawakan diri kami sendiri, kami meletetkan lidah kami dan menunjukkan angkuh jari telunjuk kami kepada mereka, kerabat-kerabat kami yang entah dimana sekarang. Tidak jelas rimbanya. Menantang hidup, membelokkan norma sampai bengkok seperti hidung Gepeto.

Yep. Kami tertawa.

Tidak yakin, apakah kami senang, atau malah marah. Kami mengubur idealisme kami sedalam-dalamnya dengan tanah bermasyarakat, kami aman, mereka tidak, kami tenang, mereka gelisah tiap-tiap milisekon. Lalu, apa yang kami cari kalau begitu?

“Tuh, temen lo dateng, si manusia kelebihan aura positif.”

“Oh.. yah..”