Pintunya Terbuka tuh
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, August 10, 2009
Posted at : 2:45 PM
Berapa lama gue ngga mengapdate entri disini? Ah, malas kalau disuruh ngitungin hari satu-satu. Tapi bukan berarti gue ngga menulis sama sekali, kebanyakan hal yang ingin gue tulis udah disalurkan ke tempat lain, sedangkan kejadian yang gue alami belakangan terlalu statis untuk dijadikan bahan tulisan. So, blog yang udah berdiri lebih dari setahun ini nganggur lah. Padahal, awalnya gue ingin membuat entri setiap tiga hari sekali, yang berarti kira-kira sepuluh postingan perbulan, niatan awal sih gitu, nyatanya? Ngek.
So? Mumpung tugas udah ngga ada dan ada yang lewat dikepala gue, mari nulis.
Seseorang yang bisa gue bilang temen, dulunya, dateng ke Bandung. Gue bertemu dengan dia di suatu tempat, sedikit nostalgia, dan menari dengan candaan-candaan khas kita berdua. Hal-hal klise yang biasa dilakukan teman lama tentunya. Tapi bagaimana kalau ternyata dia udah berbeda jauh dari apa yang kita kenali dulu? No, no, bukan soal tampilan, bukan fisik, tapi soal apa yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau hubungan yang dulunya dibina dengan baik menjadi garing karena jarak dan waktu? Well.
Si teman ini tiba-tiba mengatakan hal yang intinya menandakan permusuhan dari hubungan baik itu ke gue. Alasannya? karena gue ngga bisa memenuhi keinginan dia. Tentunya ini akan jadi masalah yang bisa ngebuat kepikiran sampe-sampe hanya mengonsumsi rokok dan kopi (atau teh) dalam hitungan hari. Tapi nyatanya ngga.
Kaya yang gue bilang di beberapa entri sebeljumnya, hanya ada beberapa orang yang gue akui, hanya orang-orang inilah yang bisa ngebuat gue stres berkepanjangan. Dia ini tadinya adalah salah satunya, tapi dikarenakan hal yang membuat hubungan gue dan dia jadi buruk, jarak dan waktu, pengakuan dari gue pun hilang. Hasilnya? Mudah, peduli amat. Dia mau marah kek, mau jungkir balik kek, ya mana peduli, respek hilang, ketertarikan hilang, ya selamat tinggal. Yea, gue mengadaptasi pola pikir ini dari Rere dengan sedikit perubahan.
Satu hal yang berbeda dari Rere, mungkin. Pemutusan hubungan ngga akan berasal dari gue, kalau pihak lain udah ngga merasa perlu untuk berinteraksi atau mengontak gue, ya ngapain juga gue maksa-maksa? Kalau dia ngga butuh, ya (terpaksa) gue juga ngga butuh. Haha, menghilangkan relasi? Itu yang gue takutin, tapi kalau pihak lain yang mau, bisa apa gue?
Itu mungkin yang membuat gue berpikir untuk memprofesionalkan hubungan dengan kebanyakan orang. Kalau memang ada perlu, ya silakan hubungi gue, siap sedia membantu, tapi andaikan engga? Ngga masalah juga sih. Dengan begitu guenya ngga perlu takut kan kehilangan relasi? Toh relasinya aja ngga ada, haha. Yang pasti, gue menyayangkan kalau orang yang gue akui, yang jumlahnya juga sedikit, malah jadi musuh. Yah, masa bodo lah. Like i care.. but, i do care.. muahaha..
Jah, gue misuh-misuh gini juga orangnya juga kaga akan baca.. yasutra lah. Seenggaknya nulis.
So? Mumpung tugas udah ngga ada dan ada yang lewat dikepala gue, mari nulis.
Seseorang yang bisa gue bilang temen, dulunya, dateng ke Bandung. Gue bertemu dengan dia di suatu tempat, sedikit nostalgia, dan menari dengan candaan-candaan khas kita berdua. Hal-hal klise yang biasa dilakukan teman lama tentunya. Tapi bagaimana kalau ternyata dia udah berbeda jauh dari apa yang kita kenali dulu? No, no, bukan soal tampilan, bukan fisik, tapi soal apa yang ada di kepalanya. Bagaimana kalau hubungan yang dulunya dibina dengan baik menjadi garing karena jarak dan waktu? Well.
Si teman ini tiba-tiba mengatakan hal yang intinya menandakan permusuhan dari hubungan baik itu ke gue. Alasannya? karena gue ngga bisa memenuhi keinginan dia. Tentunya ini akan jadi masalah yang bisa ngebuat kepikiran sampe-sampe hanya mengonsumsi rokok dan kopi (atau teh) dalam hitungan hari. Tapi nyatanya ngga.
Kaya yang gue bilang di beberapa entri sebeljumnya, hanya ada beberapa orang yang gue akui, hanya orang-orang inilah yang bisa ngebuat gue stres berkepanjangan. Dia ini tadinya adalah salah satunya, tapi dikarenakan hal yang membuat hubungan gue dan dia jadi buruk, jarak dan waktu, pengakuan dari gue pun hilang. Hasilnya? Mudah, peduli amat. Dia mau marah kek, mau jungkir balik kek, ya mana peduli, respek hilang, ketertarikan hilang, ya selamat tinggal. Yea, gue mengadaptasi pola pikir ini dari Rere dengan sedikit perubahan.
Satu hal yang berbeda dari Rere, mungkin. Pemutusan hubungan ngga akan berasal dari gue, kalau pihak lain udah ngga merasa perlu untuk berinteraksi atau mengontak gue, ya ngapain juga gue maksa-maksa? Kalau dia ngga butuh, ya (terpaksa) gue juga ngga butuh. Haha, menghilangkan relasi? Itu yang gue takutin, tapi kalau pihak lain yang mau, bisa apa gue?
Itu mungkin yang membuat gue berpikir untuk memprofesionalkan hubungan dengan kebanyakan orang. Kalau memang ada perlu, ya silakan hubungi gue, siap sedia membantu, tapi andaikan engga? Ngga masalah juga sih. Dengan begitu guenya ngga perlu takut kan kehilangan relasi? Toh relasinya aja ngga ada, haha. Yang pasti, gue menyayangkan kalau orang yang gue akui, yang jumlahnya juga sedikit, malah jadi musuh. Yah, masa bodo lah. Like i care.. but, i do care.. muahaha..
Jah, gue misuh-misuh gini juga orangnya juga kaga akan baca.. yasutra lah. Seenggaknya nulis.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment