PPS Kuadrat Kali Delapan
Filed Under (For Remember,From My Mind,rant ) by Pitiful Kuro on Saturday, December 11, 2010
Posted at : 4:47 AM
Ini jam setengah lima pagi, waktu dimana seharusnya gue lagi pelukan sama pacar gue tercinta: guling. Tapi toh, gue disini, bangun dengan mata setengah belo akibat efek kafein, dan ensefalon yang sedikit meringan berkat nikotin, mencoba menulis. Minim ide, minim tulisan, minim kata yang bisa gue susun belakangan membuat gue takut setengah mati, mereka itu teman terbaik gue yang bisa gue peluk sementara bayangan gue sendiri udah kabur entah kemana, sahabat dikala sepi, orang tua yang membesarkan gue dengan pecutan-pecutan tipis tapi perih yang membantu gue menemukan apa yang gue ga bisa gue temukan sendiri.
Dan gue Nampak berkhianat, durhaka pada mereka. Gue menipu diri, menipu otak dan pola berpikir gue, yang entah sejak kapan berubah makin konkrit ga asik secara subjektif. Subjektif bukan objektif, gue bukan mereka dan mereka tentunya bukan gue. Ketika gue menulis, itu adalah biji dari buah yang akan menghasikan buah yang bakal gue makan sendiri, which is: tulisan gue adalah gue yang baca, reminder, pengingat, bahasa sompretnya diary, ini blog gue dan itu tulisan gue. Berterima kasihlah pada yang mau mampir, tapi hell-a-day kalau-kalau ada yang nggak ngerti, toh tujuan asalnya tulisan ini hanya punya 1 konsumen tetap, yeah heck, gue sendiri.
Gue PPS, bukan PMS walau gejalanya rada-rada mirip, kayak yang gue coba jelaskan di postingan sebelum. Gue membaca cerita lama, tentang orang yang merasa kuat jika dia menjadi serigala dan bukannya domba, cukup dia sendirian melawan dunia yang mandang dia pake mata perompak, sebelah mata. Disaat para domba pada ngegosipin serigala dengan sinis bin najis, dia Cuma bilang, “wat de fak lah”, yeah, walaupun serigala ga bisa ngomong, pasti itu yang bakalan dia ucapin di hatinya—kalo punya. Sendirian, bermain di hutan gelap tanpa cahaya, bertahan hidup dengan mengandalkan taring dan cakar, dikendalikan rasa lapar dan insting. Lalu pada suatu saat, Tuhan melihat serigala tersebut dan kasihan karena kesendirian serigala itu. Maka ia bertanya pada serigala, “maukah kau memiliki teman dan keluarga?” serigala yang selalu merasa kesepian mengiyakan tanpa ragu, dan pada saat itu juga, Tuhan mengubah serigala itu jadi domba agar dapat membaur dengan domba-domba lainnya, berkawan, makan rumput dan dislepet sama gembala yang menggenggam garpu dan pisau di tangan, menunggu sang domba matang dan tinggal sembeleh pas idul adha.
Dan ceritapun makin ciamik, si serigala bermuka domba hidup bahagia, nggak perlu membunuh lagi untuk makan, bisa berkawan dengan domba-domba gaul lainnya dan yang paling membuat dia kesengsem.. ketemu domba cantik menawan idaman para dombawan lainnya, menikah dan makin seneng. Tapi cerita nggak akan menarik kalau akhirnya happy ending, penulis pun mencari ide yang agak twist dan mengaplikasikannya ke cerita yang ia buat. Voila, domba kita tadi ini ternyata masih menyimpan unsur keserigalaan yang ia tidak dapat kendalikan, ia mengamuk sering kali, membuat kawan-kawan dan istrinya dombawati tercinta pun takut dan akhirnya meninggalkannya—takut kecaplok dan jadi kudapan teman menonton gladiator semut rangrang di hutan sebrang kali bareng lurah macan.
Tuhan pun menyadari kesalahan yang ia buat dan memutuskan untuk mengubah domba berjiwa serigala tadi menjadi serigala kembali seutuhnya, dan jadilah, serigala kita diubah. Domba-domba tadi, bahkan dombawati yang telah hidup bersamanya melarikan diri, meninggalkan serigala dengan taring dan cakarnya sendirian, takut, terpukul, dan bingung. Tidak tahu harus kepada siapa ia marah, ia tidak menyalahkan Tuhan, karena ia mengiyakan. Ia tidak menyalahkan para domba dan istri dombanya, karena dasarnya ia tidak sama dengan mereka. Dan dengan lesu, serigala pun kembali ke hutan lebatnya, berusaha mengasah taring dan cakarnya yang telah lama tumpul dimakan rumput dan perkawanan yang dianggapnya semu.
Dan itulah.. garis besarnya, dan seperti biasa juga, gue berjengit setelah baca, persis pangkat empat ketika gue habis membaca hikayat lama yang tata bahasanya ngebuat gue pengen meluk-nangis digabung dengan rasa ingin gampar si pengarang.
Dan gue Nampak berkhianat, durhaka pada mereka. Gue menipu diri, menipu otak dan pola berpikir gue, yang entah sejak kapan berubah makin konkrit ga asik secara subjektif. Subjektif bukan objektif, gue bukan mereka dan mereka tentunya bukan gue. Ketika gue menulis, itu adalah biji dari buah yang akan menghasikan buah yang bakal gue makan sendiri, which is: tulisan gue adalah gue yang baca, reminder, pengingat, bahasa sompretnya diary, ini blog gue dan itu tulisan gue. Berterima kasihlah pada yang mau mampir, tapi hell-a-day kalau-kalau ada yang nggak ngerti, toh tujuan asalnya tulisan ini hanya punya 1 konsumen tetap, yeah heck, gue sendiri.
Gue PPS, bukan PMS walau gejalanya rada-rada mirip, kayak yang gue coba jelaskan di postingan sebelum. Gue membaca cerita lama, tentang orang yang merasa kuat jika dia menjadi serigala dan bukannya domba, cukup dia sendirian melawan dunia yang mandang dia pake mata perompak, sebelah mata. Disaat para domba pada ngegosipin serigala dengan sinis bin najis, dia Cuma bilang, “wat de fak lah”, yeah, walaupun serigala ga bisa ngomong, pasti itu yang bakalan dia ucapin di hatinya—kalo punya. Sendirian, bermain di hutan gelap tanpa cahaya, bertahan hidup dengan mengandalkan taring dan cakar, dikendalikan rasa lapar dan insting. Lalu pada suatu saat, Tuhan melihat serigala tersebut dan kasihan karena kesendirian serigala itu. Maka ia bertanya pada serigala, “maukah kau memiliki teman dan keluarga?” serigala yang selalu merasa kesepian mengiyakan tanpa ragu, dan pada saat itu juga, Tuhan mengubah serigala itu jadi domba agar dapat membaur dengan domba-domba lainnya, berkawan, makan rumput dan dislepet sama gembala yang menggenggam garpu dan pisau di tangan, menunggu sang domba matang dan tinggal sembeleh pas idul adha.
Dan ceritapun makin ciamik, si serigala bermuka domba hidup bahagia, nggak perlu membunuh lagi untuk makan, bisa berkawan dengan domba-domba gaul lainnya dan yang paling membuat dia kesengsem.. ketemu domba cantik menawan idaman para dombawan lainnya, menikah dan makin seneng. Tapi cerita nggak akan menarik kalau akhirnya happy ending, penulis pun mencari ide yang agak twist dan mengaplikasikannya ke cerita yang ia buat. Voila, domba kita tadi ini ternyata masih menyimpan unsur keserigalaan yang ia tidak dapat kendalikan, ia mengamuk sering kali, membuat kawan-kawan dan istrinya dombawati tercinta pun takut dan akhirnya meninggalkannya—takut kecaplok dan jadi kudapan teman menonton gladiator semut rangrang di hutan sebrang kali bareng lurah macan.
Tuhan pun menyadari kesalahan yang ia buat dan memutuskan untuk mengubah domba berjiwa serigala tadi menjadi serigala kembali seutuhnya, dan jadilah, serigala kita diubah. Domba-domba tadi, bahkan dombawati yang telah hidup bersamanya melarikan diri, meninggalkan serigala dengan taring dan cakarnya sendirian, takut, terpukul, dan bingung. Tidak tahu harus kepada siapa ia marah, ia tidak menyalahkan Tuhan, karena ia mengiyakan. Ia tidak menyalahkan para domba dan istri dombanya, karena dasarnya ia tidak sama dengan mereka. Dan dengan lesu, serigala pun kembali ke hutan lebatnya, berusaha mengasah taring dan cakarnya yang telah lama tumpul dimakan rumput dan perkawanan yang dianggapnya semu.
Dan itulah.. garis besarnya, dan seperti biasa juga, gue berjengit setelah baca, persis pangkat empat ketika gue habis membaca hikayat lama yang tata bahasanya ngebuat gue pengen meluk-nangis digabung dengan rasa ingin gampar si pengarang.
Nyari Dimana? Tanya Siapa?
Filed Under (rant ) by Pitiful Kuro on Wednesday, November 24, 2010
Posted at : 11:30 AM
Kuliah, euh, entah berapa kali gue menyebutkan nama itu di blog ini. Tujuannya macem-macem, kadang gue ngocehin hal-hal menarik yang gue alami di tempat sakral menimba itu (tsah), kadang hal-hal yang bikin gondok, kadang juga gue (sok) mengkritisi institusi yang udah gue saksikan sendiri dengan mata kepala gue ini, baik bobrok dan bagusnya. Sekarang, kayanya gue pengen sedikit numpahin uneg-uneg gue sebagai mahasiswa yang lagi keluar jalur.
Dulu gue selalu bilang, “tenang aja, gimanapun jalannya, keinginan untuk lulus itu ngga akan pernah ilang kok,” hal ini gue sampein ke emak gue yang rada-rada khawatir anaknya yang paling ganteng, baik hati, dan suka makan apel ini kuliah di luar kota, jauh dari pengawasan. Ya emang, gue selalu nganggep kuliah sebagai hal yang okelah-gue-ga-ngerasa-ini-hal-penting-tapi-gue-harus-punya-stempel-ijazah-di-jidat-gue. Yang berarti bisa digampangkan dengan kalimat: suka ga suka, kelarin kuliah gue.
True.
Tapi man, sebenernya bukan itu sih yang pengen gue sampein (nah loh, ngapain tuh 2 paragraf nangkring diatas?), sebenernya, gue lagi berasa keluar jalur, ada yang gak sesuai dengan paham gue, ada yang salah pokoknya (eh, gue ga make baju kebalik lagi kok). Sejujurnya.. emm.. urh.. euh.. yeah, ada sedikit krisis-pegang-janji nih kayanya. Apa tuh? Katakanlah, gue adalah man of my word, gue ga akan mengingkari ucapan gue, janji-janji gue, ketepatan gue soal waktu, tingkat perfeksionis yang tinggi dan bladah-bladah lainnya selama kondisi dan syarat yang dipegang masih berlaku. Dampaknya kawan?
Hal yang paling konkrit ya blog ini, gur nganggur gur, biasanya gue posting paling enggak 5-6 kali sebulan, tapi sekarang satu itu pun juga postingan lawas gue yang baru gue post sekarang. Grok abis. Dan lucunya, gue masih ngerasa perlu untuk ngisi blog gue, dan kampretnya, gue bersyukur dengan adanya 1 postingan doang di blog ini, ini bener-bener disorientasi namanya, penurunan tingkat kepuasan, degradasi perfeksionismeeeh, dan dooh.. rasanya mau nenggak kopi 10 gelas sehari.
Hal lainnya? Banyak men, gue jadi sering ngaret atau bahkan ga dateng ke apa yang udah gue janjiin sebelomnya, gue ngerasa bersalah? Iya! Tapi tetep aja gue sadar gue telat, gue sadar gue ga dateng tapi tetep gue lakuin. Contoh lagi? Yakin? Yang wajib deh ye, kuliah men, rasanya kayak makan sambel goreng superpedes yang udah pasti bakalan bikin lo diare bin mencret 7 hari 7 malem tapi tetep aja lo sikat, sumpe deh, pusing sendiri.
Kalo kata sesepuh yang gue ceritain persoalan ini, katanya gue kurang motipasi, ho oh coy, motipasi. Frankly my dear, I don’t give a damn.. lah.. salah, itu mah quote dari pilem gone with the wind. Maksudnya, frankly speaking, kalo gue inget-inget lagi, gue malah ga ngerasa punya motivasi selama ini, sejauh ini gue manut-manut aja kuliah, dan menjalankan kehidupan gue dengan cara lempeng tanpa motivasi. Gue sebagai a man of my words juga gue jalani sebagai prinsip idup aja dan ga lebih. Lalu apa yang hilang, kata yang kita sebut sebagai motivasi disini bagi gue ngilang kemana? Ke sumur?
Tau lah, gue ga tau, satu-satunya usaha yang bisa gue lakuin untuk mengembalikan motivasi yang bahkan gue ga tau apa itu ya.. palingan.. waduh.. gak tau yah bos. Nyeduh kopi banyak-banyak kali, atau curhat sama siapa tuh? Si salam super, lupa.
Dulu gue selalu bilang, “tenang aja, gimanapun jalannya, keinginan untuk lulus itu ngga akan pernah ilang kok,” hal ini gue sampein ke emak gue yang rada-rada khawatir anaknya yang paling ganteng, baik hati, dan suka makan apel ini kuliah di luar kota, jauh dari pengawasan. Ya emang, gue selalu nganggep kuliah sebagai hal yang okelah-gue-ga-ngerasa-ini-hal-penting-tapi-gue-harus-punya-stempel-ijazah-di-jidat-gue. Yang berarti bisa digampangkan dengan kalimat: suka ga suka, kelarin kuliah gue.
True.
Tapi man, sebenernya bukan itu sih yang pengen gue sampein (nah loh, ngapain tuh 2 paragraf nangkring diatas?), sebenernya, gue lagi berasa keluar jalur, ada yang gak sesuai dengan paham gue, ada yang salah pokoknya (eh, gue ga make baju kebalik lagi kok). Sejujurnya.. emm.. urh.. euh.. yeah, ada sedikit krisis-pegang-janji nih kayanya. Apa tuh? Katakanlah, gue adalah man of my word, gue ga akan mengingkari ucapan gue, janji-janji gue, ketepatan gue soal waktu, tingkat perfeksionis yang tinggi dan bladah-bladah lainnya selama kondisi dan syarat yang dipegang masih berlaku. Dampaknya kawan?
Hal yang paling konkrit ya blog ini, gur nganggur gur, biasanya gue posting paling enggak 5-6 kali sebulan, tapi sekarang satu itu pun juga postingan lawas gue yang baru gue post sekarang. Grok abis. Dan lucunya, gue masih ngerasa perlu untuk ngisi blog gue, dan kampretnya, gue bersyukur dengan adanya 1 postingan doang di blog ini, ini bener-bener disorientasi namanya, penurunan tingkat kepuasan, degradasi perfeksionismeeeh, dan dooh.. rasanya mau nenggak kopi 10 gelas sehari.
Hal lainnya? Banyak men, gue jadi sering ngaret atau bahkan ga dateng ke apa yang udah gue janjiin sebelomnya, gue ngerasa bersalah? Iya! Tapi tetep aja gue sadar gue telat, gue sadar gue ga dateng tapi tetep gue lakuin. Contoh lagi? Yakin? Yang wajib deh ye, kuliah men, rasanya kayak makan sambel goreng superpedes yang udah pasti bakalan bikin lo diare bin mencret 7 hari 7 malem tapi tetep aja lo sikat, sumpe deh, pusing sendiri.
Kalo kata sesepuh yang gue ceritain persoalan ini, katanya gue kurang motipasi, ho oh coy, motipasi. Frankly my dear, I don’t give a damn.. lah.. salah, itu mah quote dari pilem gone with the wind. Maksudnya, frankly speaking, kalo gue inget-inget lagi, gue malah ga ngerasa punya motivasi selama ini, sejauh ini gue manut-manut aja kuliah, dan menjalankan kehidupan gue dengan cara lempeng tanpa motivasi. Gue sebagai a man of my words juga gue jalani sebagai prinsip idup aja dan ga lebih. Lalu apa yang hilang, kata yang kita sebut sebagai motivasi disini bagi gue ngilang kemana? Ke sumur?
Tau lah, gue ga tau, satu-satunya usaha yang bisa gue lakuin untuk mengembalikan motivasi yang bahkan gue ga tau apa itu ya.. palingan.. waduh.. gak tau yah bos. Nyeduh kopi banyak-banyak kali, atau curhat sama siapa tuh? Si salam super, lupa.
...Rekaman Tanpa Judul
Filed Under (Sikit Karya ) by Pitiful Kuro on Tuesday, November 16, 2010
Posted at : 12:06 AM
Clek..
ZzzZzzz..
“Silahkan, anda dapat mulai sekarang,”
“Oh, sudah ya? Baik-baik.. ehmm..”
“Ini tentang peristiwa malam itu, seperti yang telah saya bilang pada anda sebelumnya, saya sedang berjalan berdua dengan kekasih saya saat itu. Tepatnya sekitar pukul sebelas malam, yah, anda tidak perlu tahu kan alasan saya datang ke tempat demikian pada jam-jam itu? Hehe.. oh maaf. Maksud saya, saya sedang berjalan-jalan saja di sekitar taman itu, tidak ada yang aneh, cuaca memang agak lembab, tapi itu tidak mengganggu sama sekali, ya kan pak? Lalu sekitar setengah jam kami berkeliling, kami menemukan pemandangan yang cukup ganjil di tempat itu, emm, kurasa sekitar bagian timur taman, dekat kolam menari itu, ya ya.. kalau tidak salah saya melihat mereka disana.”
*Tlep*
Lelaki yang satu mematikan tape yang sedari tadi digunakan untuk merekam tiap perkataan orang satunya lagi, dengan tampang yang jelas menunjukkan ekspresi heran, berpadu dengan secercah kepuasan batin seorang jurnalis: melampaui penyeledikan polisi.
“Tunggu, mereka? Maksud anda ada dua orang atau lebih?”
“Ya, ada dua orang disana, satu ting—“
“Maaf-maaf, tunggu sebentar.”
*Clek*
“Lanjutkan.”
“Emm, yah, dua orang seperti yang saya katakan tadi, yang satunya tinggi besar, ia mengenakan kemeja flanel warna merah muda kalau tidak salah ingat, berkacamata, dan..emm.. kalau bisa dikatakan juga, tampangnya murung. Lalu yang satunya, jauh lebih kecil, lebih kurus, mungkin hanya seleher orang yang tinggi besar itu. Ia mengenakan baju serba hitam, tidak jelas apakah itu kemeja atau jas. Pastinya..”
...
...
*Tlep*
“Ada apa pak?”
“Oh, maaf, hanya berusaha mengingat kesan yang ditimbulkan orang itu, ah!”
*Clek*
“Kurasa, kalau aku tidak salah merasakan, aku merasakan tekanan yang sangat berat, meluncur dari tubuh orang itu dan menekan atmosfir jauh disekitarnya. Mudahnya, menyeramkan. Dan jangan tanya kenapa aku tahu bahwa orang itulah yang mengeluarkan tekanan itu, bukan satunya, aku tidak dapat menjelaskan dengan detail, intinya, aku merasakannya. Seperti.. kau ingin—maaf—membunuhnya, tapi juga menyayanginya secara bersamaan. “
“Tidak logis ya? Begitulah yang kurasakan. Ah, lalu sampai dimana tadi? Ya ya.. kami bertemu mereka, yah, jarak kami dari mereka lumayan jauh, sekitar 30-40meter. Mereka nampak berbincang dengan amat serius—tidak, bukan. Maksudku, orang yang kecil itu nampak menasehati orang yang besar itu. Entah apa, tidak terlalu jelas terdengar, karena suara lalu lintas di samping taman saat itu masih cukup jelas terdengar dan mengganggu pendengaran kami saat itu.”
“Ah ya.. keanehan mulai terjadi disini, pak. Awalnya kami bisa mengacuhkan obrolan mereka, toh jelas mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kami, dan kami pun tidak ingin ikut campur masalah orang lain. Tapi niatan itu hilang musnah saat orang kecil itu mengeluarkan sebuah pisau. Whew, anda mungkin berpendapat saya cukup nekat, saya langsung berteriak dan berkata bolak balik, “hei! Letakkan pisaunya!”, tapi tidak mempan, kedua orang itu sama sekali tidak mengindahkan teriakanku. Baru saja sampai setengah jalan aku mendekati mereka, tiba-tiba aku teringat kekasihku, bahwa aku kesana bersama dengannya, dan tidak baik tentunya jika meninggalkan dia begitu saja. “
“Begitu aku menengok kebelakang, aku melihat dia, kekasihku, sudah jatuh terduduk, lemas dan tampak tanpa tenaga. Melihat itu, aku langsung berbalik arah, dengan niatan menolong kekasihku dan langsung pergi dari sana tanpa babibu. Dan kau tahu pak? Apa yang kurasakan saat aku memunggungi kedua orang itu? Phew, aku melihat gambaran diriku sendiri telah mati, leherku digorok sampai putus. Memang hanya ilusi, tapi aku tahu dengan jelas bagaimana rasanya saat itu, seperti benar-benar terjadi. Saya yang terkejut langsung membalik badan, dan melihat kedua orang itu sedang melihatku, dengan tampang yang sama-sama menyeramkan, seolah benar-benar ingin membunuhku. Aih, aku tak ingin mengingatnya lagi, sudah pak, hal terakhir yang kuingat dari malam itu adalah.. emm.. lolongan yang mengerikan, seperti lolongan anjing yang.. kesakitan..”
*Cklek*
ZzzZzzz..
“Silahkan, anda dapat mulai sekarang,”
“Oh, sudah ya? Baik-baik.. ehmm..”
“Ini tentang peristiwa malam itu, seperti yang telah saya bilang pada anda sebelumnya, saya sedang berjalan berdua dengan kekasih saya saat itu. Tepatnya sekitar pukul sebelas malam, yah, anda tidak perlu tahu kan alasan saya datang ke tempat demikian pada jam-jam itu? Hehe.. oh maaf. Maksud saya, saya sedang berjalan-jalan saja di sekitar taman itu, tidak ada yang aneh, cuaca memang agak lembab, tapi itu tidak mengganggu sama sekali, ya kan pak? Lalu sekitar setengah jam kami berkeliling, kami menemukan pemandangan yang cukup ganjil di tempat itu, emm, kurasa sekitar bagian timur taman, dekat kolam menari itu, ya ya.. kalau tidak salah saya melihat mereka disana.”
*Tlep*
Lelaki yang satu mematikan tape yang sedari tadi digunakan untuk merekam tiap perkataan orang satunya lagi, dengan tampang yang jelas menunjukkan ekspresi heran, berpadu dengan secercah kepuasan batin seorang jurnalis: melampaui penyeledikan polisi.
“Tunggu, mereka? Maksud anda ada dua orang atau lebih?”
“Ya, ada dua orang disana, satu ting—“
“Maaf-maaf, tunggu sebentar.”
*Clek*
“Lanjutkan.”
“Emm, yah, dua orang seperti yang saya katakan tadi, yang satunya tinggi besar, ia mengenakan kemeja flanel warna merah muda kalau tidak salah ingat, berkacamata, dan..emm.. kalau bisa dikatakan juga, tampangnya murung. Lalu yang satunya, jauh lebih kecil, lebih kurus, mungkin hanya seleher orang yang tinggi besar itu. Ia mengenakan baju serba hitam, tidak jelas apakah itu kemeja atau jas. Pastinya..”
...
...
*Tlep*
“Ada apa pak?”
“Oh, maaf, hanya berusaha mengingat kesan yang ditimbulkan orang itu, ah!”
*Clek*
“Kurasa, kalau aku tidak salah merasakan, aku merasakan tekanan yang sangat berat, meluncur dari tubuh orang itu dan menekan atmosfir jauh disekitarnya. Mudahnya, menyeramkan. Dan jangan tanya kenapa aku tahu bahwa orang itulah yang mengeluarkan tekanan itu, bukan satunya, aku tidak dapat menjelaskan dengan detail, intinya, aku merasakannya. Seperti.. kau ingin—maaf—membunuhnya, tapi juga menyayanginya secara bersamaan. “
“Tidak logis ya? Begitulah yang kurasakan. Ah, lalu sampai dimana tadi? Ya ya.. kami bertemu mereka, yah, jarak kami dari mereka lumayan jauh, sekitar 30-40meter. Mereka nampak berbincang dengan amat serius—tidak, bukan. Maksudku, orang yang kecil itu nampak menasehati orang yang besar itu. Entah apa, tidak terlalu jelas terdengar, karena suara lalu lintas di samping taman saat itu masih cukup jelas terdengar dan mengganggu pendengaran kami saat itu.”
“Ah ya.. keanehan mulai terjadi disini, pak. Awalnya kami bisa mengacuhkan obrolan mereka, toh jelas mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kami, dan kami pun tidak ingin ikut campur masalah orang lain. Tapi niatan itu hilang musnah saat orang kecil itu mengeluarkan sebuah pisau. Whew, anda mungkin berpendapat saya cukup nekat, saya langsung berteriak dan berkata bolak balik, “hei! Letakkan pisaunya!”, tapi tidak mempan, kedua orang itu sama sekali tidak mengindahkan teriakanku. Baru saja sampai setengah jalan aku mendekati mereka, tiba-tiba aku teringat kekasihku, bahwa aku kesana bersama dengannya, dan tidak baik tentunya jika meninggalkan dia begitu saja. “
“Begitu aku menengok kebelakang, aku melihat dia, kekasihku, sudah jatuh terduduk, lemas dan tampak tanpa tenaga. Melihat itu, aku langsung berbalik arah, dengan niatan menolong kekasihku dan langsung pergi dari sana tanpa babibu. Dan kau tahu pak? Apa yang kurasakan saat aku memunggungi kedua orang itu? Phew, aku melihat gambaran diriku sendiri telah mati, leherku digorok sampai putus. Memang hanya ilusi, tapi aku tahu dengan jelas bagaimana rasanya saat itu, seperti benar-benar terjadi. Saya yang terkejut langsung membalik badan, dan melihat kedua orang itu sedang melihatku, dengan tampang yang sama-sama menyeramkan, seolah benar-benar ingin membunuhku. Aih, aku tak ingin mengingatnya lagi, sudah pak, hal terakhir yang kuingat dari malam itu adalah.. emm.. lolongan yang mengerikan, seperti lolongan anjing yang.. kesakitan..”
*Cklek*
Kadang kita tau kalau jalan yang kita ambil itu salah, entah itu buntu, entah itu one way, entah itu jalan rusaknya udah kayak grojogan sewu. Tapi kadang, kita justru ngambil jalan itu, tutup mata, dan tancap gas sekenceng-kencengnya dan ga mau peduli, ga mau tau kalau kita ngambil jalan yang salah. Yang bisa berhentiin kita disana cuma polisi dengan senyum 250.000 rupiahnya, yang ujungnya, kita menyalahkan keadaan karena mengambil jalan yang salah.
Phew.
Phew.
Melakukan ini, melakukan itu, melakukan terlalu banyak hal sampai-sampai lo ngerasa 24 jam itu gak pernah cukup dalam satu hari. Tapi ketika mencapai satu titik tertentu, dan lo melihat kebelakang dan sadar, bahwa apa yang lo lakuin itu cuma buang waktu.
Terus? Lo pengen balik lagi gitu maksudnya?
Palelo kenceng.
Terus? Lo pengen balik lagi gitu maksudnya?
Palelo kenceng.
Movie Review: The Shining (1980)
Filed Under (Review Film ) by Pitiful Kuro on Wednesday, September 15, 2010
Posted at : 12:41 PM
God, I'd give anything for a drink. I'd give my god-damned soul for just a glass of beer -- Jack Torrance
Apa yang dibutuhkan sebuah film horror? Psikopat bertopeng bergergaji mesin? Andaikan lo jawab iya, berarti lo belom nonton The Shining. Film yang diadaptasi dari novel sang maestro horror, Stephen King ini nggak membutuhkan karakter itu. Lo cukup menyediakan bapak-bapak depresif dengan aplikasi tempramental yang di built in di dalam hatinya, plus hotel-besar-angker-creepy yang terisolasi selama 5 bulan musim dingin. Voila, lo udah dapetin terror sinting yang mempunyai probabilitas tinggi untuk memicu kelenjar ekskersi bekerja lebih aktif. Dan itu adalah The Shining.
Plotnya sederhana, dimulai ketika Jack Torrance (Jack Nicholson) melamar kerjaan di sebuah hotel untuk menjadi staff jaga selama musim dingin di hotel yang lagi tutup sementara, pekerjaan menjajikan yang ngebuat lo terisolir dari dunia luar selama 5 bulan Cuma dengan keluarga lo doang, belom lagi bonus menarik yang harus Jack dan keluarga hadapi, karena hotel ini punya sejarah kelam dimane setiap penjaga musim dingin yang dimiliki hotel ini selalu dapet celaka.
Simpel, dan sangat Stephen King abis, ga perlu banyak setting, ga perlu banyak karakter, tapi itu semua udah cukup untuk ngejadiin 90 menit yang lo abisin menonton film ini menjadi 90 menit yang asshole karena ngebuat lo bolak-baik ngegigitin selimut lo (oh kagak? Gue iye ). Gue selalu berkiblat pada horror 80-90an berkat film-film macem The Shining, film yang cukup cerdas untuk ngebuat suasana nan creepy tanpa perlu sound effect dang ding dong, dan pergantian gambar ekstra ekstrim yang nampiling muka serem. The Shining gak memiliki dua elemen tersebut, tapi bisa memberikan efek orgasme ketakutan melebihin film-film yang menggunakan formula itu. Habis pikir gak sih? Lo bisa deg-degan Cuma ngeliatin anak kecil muter-muter ruangan naek sepeda roda tiga? Dengan taraf akting yang sekelas 80an, tapi lo bisa dapet sensasi ngeri yang millenium.
Dan yeah, kalau tadi gue bilang akting sekelas 80an, maka Jack Nicholson di film ini adalah rajanya pada era itu. Bisa lo liat sendiri perubahan ekstrem Jack pada saat dia belom “berubah” dan setelahnya, jauuh.. dari bapak-bapak murah senyum menjadi serial killer on a duty, yang siap mengkampak siapapun yang ngalangin nyanyian setan di otanye. Gue suka gimana Stephen King memilih karakter didalam penceritaannya, gue lebih ngeri sama Serial Killer dalam bentuk bapak-bapak kaya Jack ini, bapak-bapak yang bisa kite liat dimanapun.. Kenapa? Karena.. sadar atau nggak, mereka dekat dengan kehidupan kite, siapa tau.. tukang ojek yang barusan nganter gue adalah seria killer yang gentayangan tiap malem di sekitaran Unpad, nyari darah segar untuk muasin nafsu sintingnye? Kagak tau kan? Makanya jadi serem.
The Shining adalah sebuah horror dimane lo gak perlu melihat banyak darah didalamnya, gak perlu ngeliat banyak orang-orang gak guna ko’it gitu aje tanpa ada alesan yang jelas, gak perlu embel-embel teknik segala-gala buat nyiptain atmosfir thrilling yang bikin kuduk merinding. Gue gak perlu ragu lagi untuk bilang bahwa The Shining adah Psychologycal Horror favorit gue yang masuk ke dalam daftar A list gue bareng dengan Misery (Stephen King again, anyone? ).
9/10
Song Translation: Telephone by Lady Gaga ft. Beyonce
Filed Under (song translation ) by Pitiful Kuro on Friday, September 03, 2010
Posted at : 5:18 AM
Another song translation, fitur yang gue comot dari blog thinkpokari.blogspot.com, haha, sekarang gue mau translate-in ngasal lagunya Lady Gaga, Telephone. Ga usah banyak cingcai lah, here it is.
Lady Gaga ft. Beyonce -- Telephone
*tidur ah
Lady Gaga ft. Beyonce -- Telephone
Halo, halo bayi
Lo manggil, gue gak denger apa-apa
Gue gak dapet servis
Di kleb, lo liat.. liat
a-a-apa lo bilang?
Oh, lo putus sama gue?
Sori, gue gak bisa denger elu
Gue agak sibuk
Ag-agak sibuk
Ag-agak sibuk
Sori, gue gak bisa denger elu, gue agak sibuk. (iya tau, bawel ah)
Bentar ye
Ini lagu favorit gue yang bakal diputer
Dan gue gak bisa sms elu dengan minuman di tangan (alibi, gw bisa sambil ngerok + makan + ngompi)
Gue agak sibuk.
Berenti manggil, berenti manggil
Gue gak mau mikir lagi!
Gue tinggalin tangan dan hati gue di lantai dansa (ini lagu genrenya GORE!)
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
stop nelponin gue!
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
gue sibuk!
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
stop telponin gue!
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
Bisa manggil semua yang lo mau
Tapi ga ada orang dirumah
Dan lo gakkan mencapai telepon gue!
Keluar dari kleb (kamsudnya apa?
Manggil kapan lo mau
Tapi ga da orang dirumah
Dan lo gakkan mencapai telepon gue.
Keluar dari kleb (teteup teu ngarti)
Beyonce:
Cowok, cara lo tiup telpon gue
Gak akan ngebuat gue capcus lebih cepet
Make jaket gue lebih cepet
Ninggalin cewek gue lebih cepet (heu?)
Harusnya gue ninggalin telpon gue dirumah (ga bisa apdet status dong)
Karena ini bencana!
Manggil kayak tukang kredit (collector pan?)
Sori, gue gak bisa jawab!
Bukan karena gue gak suka elu
Cuma gue lagi di pesta
Dan gue sakit dan capek
Karena bunyi telpon gue
Kada gue ngerasa..
Gue tinggal di stasiun besar tengah (deket tebet kayanya)
Malam ini gue gak terima panggilan (sadaap)
Karena gue bakal joget
Karena gue bakal joget
Karena gue bakal joget
Malam ini gue gak terima panggilan karena gue bakal joget (harus diulang? Yang tinggal joget susah amat)
Maaf, nomer yang anda panggil sedang berada diluar jangkauan, silahkan mencoba beberapa saat lagi. #tingnong
Lo manggil, gue gak denger apa-apa
Gue gak dapet servis
Di kleb, lo liat.. liat
a-a-apa lo bilang?
Oh, lo putus sama gue?
Sori, gue gak bisa denger elu
Gue agak sibuk
Ag-agak sibuk
Ag-agak sibuk
Sori, gue gak bisa denger elu, gue agak sibuk. (iya tau, bawel ah)
Bentar ye
Ini lagu favorit gue yang bakal diputer
Dan gue gak bisa sms elu dengan minuman di tangan (alibi, gw bisa sambil ngerok + makan + ngompi)
Gue agak sibuk.
Berenti manggil, berenti manggil
Gue gak mau mikir lagi!
Gue tinggalin tangan dan hati gue di lantai dansa (ini lagu genrenya GORE!)
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
stop nelponin gue!
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
gue sibuk!
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
stop telponin gue!
Eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh, eh…
Bisa manggil semua yang lo mau
Tapi ga ada orang dirumah
Dan lo gakkan mencapai telepon gue!
Keluar dari kleb (kamsudnya apa?
Manggil kapan lo mau
Tapi ga da orang dirumah
Dan lo gakkan mencapai telepon gue.
Keluar dari kleb (teteup teu ngarti)
Beyonce:
Cowok, cara lo tiup telpon gue
Gak akan ngebuat gue capcus lebih cepet
Make jaket gue lebih cepet
Ninggalin cewek gue lebih cepet (heu?)
Harusnya gue ninggalin telpon gue dirumah (ga bisa apdet status dong)
Karena ini bencana!
Manggil kayak tukang kredit (collector pan?)
Sori, gue gak bisa jawab!
Bukan karena gue gak suka elu
Cuma gue lagi di pesta
Dan gue sakit dan capek
Karena bunyi telpon gue
Kada gue ngerasa..
Gue tinggal di stasiun besar tengah (deket tebet kayanya)
Malam ini gue gak terima panggilan (sadaap)
Karena gue bakal joget
Karena gue bakal joget
Karena gue bakal joget
Malam ini gue gak terima panggilan karena gue bakal joget (harus diulang? Yang tinggal joget susah amat)
Maaf, nomer yang anda panggil sedang berada diluar jangkauan, silahkan mencoba beberapa saat lagi. #tingnong
*tidur ah
Neil Young - Only Love Can Break Your Heart
Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, August 31, 2010
Posted at : 4:26 AM
When you were young
and on your own
How did it feel
to be alone?
I was always thinking
of games that I was playing.
Trying to make
the best of my time.
But only love
can break your heart
Try to be sure
right from the start
Yes only love
can break your heart
What if your world
should fall apart?
I have a friend
I've never seen
He hides his head
inside a dream
Someone should call him
and see if he can come out.
Try to lose
the down that he's found.
But only love
can break your heart
Try to be sure
right from the start
Yes only love
can break your heart
What if your world
should fall apart?
I have a friend
I've never seen
He hides his head
inside a dream
Yes, only love
can break your heart
Yes, only love
can break your heart
and on your own
How did it feel
to be alone?
I was always thinking
of games that I was playing.
Trying to make
the best of my time.
But only love
can break your heart
Try to be sure
right from the start
Yes only love
can break your heart
What if your world
should fall apart?
I have a friend
I've never seen
He hides his head
inside a dream
Someone should call him
and see if he can come out.
Try to lose
the down that he's found.
But only love
can break your heart
Try to be sure
right from the start
Yes only love
can break your heart
What if your world
should fall apart?
I have a friend
I've never seen
He hides his head
inside a dream
Yes, only love
can break your heart
Yes, only love
can break your heart
Pertama tau lagu ini dari saudara garib fauzie di blognya. Awalnya gue cuek bebek, paling cuma kerjaan orang gak punya ide yang bingung mau post apaan di blognya, tapi sekarang disaat gue lagi bingung mau genjreng lagu apaan lagi, gue keinget lagu ini., gue buka lagi postingannya dan gue cari chord nya.
Waw, chordnya gampang, dan lagunya cukup enak didengerin, dan gak cuma sampe disitu, belajar chord lagu pasti ngabaca liriknya, ternyata.. gue pengen ketawa sendiri saat sadar kalau lagu ini menggambarkan gue sedikit. Cieh.. tumben-tumbenan nih gue bilang ‘ini lagu gue bangeddsss’ haha. Penggambaran yang tepat untuk gue beberapa waktu lalu, dan kayaknya kagak penting juga gue bahas disini.
So? Katakanlah, gue lagu kurang ide mau nulis apaan dan ujungnya cuma kopipas lagu, uhuy.
Tengkiu buat rekanan join kopi gue yang ngenalin lagu ini, *peluk cium*
*merinding seleher
Movie Review: Braindead a.k.a Dead Alive
Filed Under (Review Film ) by Pitiful Kuro on Friday, August 20, 2010
Posted at : 3:52 AM
Braindead a.k.a Dead Alive
beware of spoilers yeap?
Braindead, atau lebih dikenal dengan nama Dead Alive ini percaya gak percaya adalah besutan sutradara yang nanganin Lord Of The Ring, yap, si Peter Jackson. Sebelum dia dilimpahin rejeki budget berjuta-juta dollar dan ngadaptasi novelnya JR Tolkien itu, dia itu kerjaannya bikin film-film ‘sakit’ yang memuaskan rasa haus mereka-mereka yang fan dari gore-exploitation-splatter.
Braindead diawali dengan perjalanan sebuah kru peneliti ke daerah selatan sumatra, yeah, sumatra nyang entu, untuk menangkap spesies kera aneh yang dikenal dengan nama Sumtran-Raticus. Spesies aneh campuran monyet dan tikus. Kera yang akhirnya ditempatkan di sebuah kebun binatang di New zealand ini mulai menimbulkan masalah, manusia yang tergigit oleh spesies weirdo yang satu ini bisa berubah dalam hitungan hari! Woo..dan tentu saja, korban pertama dari si monyet kita ini adalah nenek dari hero kita, Leonel.
Leonel, pemuda tanggung nan canggung, nerdus kuperus ini tinggal sama neneknya yang sangat cocok jika digambarkan dengan kata ‘woman hitler’ versi modern. Hidupnya serba dikekang si nenek yang katanya sih bilang untuk kebaikan cucunya tersayang, dan Leonel yang memang udah yatim ini pun mau gak mau harus nurut sama neneknya, bahkan saat disuruh meninggalkan soulmatenya tercinta, paquita.
Well, ini bukan sinetron yang menceritakan perseteruan mertua dan menantu, karenanya, horror pun dimulai saat si nenek yang udah terinfeksi monyet tadi mulai bertransformasi menjadi zombie secara perlahan dan menimbulkan kekacauan beruntun. Yang menarik dari film ini, si polos Leonel yang sadar akan perubahan neneknya ini justru mencoba untuk menyembunyikan kezombie-an si nenek dengan caranya sendiri, yang bakalan menimbulkan masalah-masalah panjang berikutnya. Dan tentu, hilariously fun.
Review__
Asli, kalau ada yang menyatakan dirinya sebagai zombie lover, exploitation-gore-splatter fans, pasti gak mungkin gak suka sama film ini. Tingkat cult dari film ini secara subjektif gue anggep sama atau bahkan lebih dari Evil Dead seriesnya Sam Raimi. Peter Jackson bener-bener tau bagaimana cara memuaskan para fans dengan memberikan suguhan yang memang ingin kita lihat. Kayaknya, pembelajaran yang dia dapet dari proses pembuatan Bad taste bener-bener memberitahunya bagaimana sih cara membuat film yang bisa muasin fanbase horor sampai titik paling klimaks.
Percaya deh, lo gak akan tahan untuk gak mengeluarkan kata-kata makian saing nikmatnya suguhan sinematis yang dihadirkan di film ini. Darah dalam jumlah masif-idiotik, potongan daging yang beterbangan kemana-mana, adegan-adegan yang pasti gak bakalan lo bayangkan bakalan memenuhi mata dan otak lo dalam 90 menit pemutaran film ini.
Kao ditanya, apakah ada adegan memorable di film ini? Wuih, jangan samain film ini kayak Clash of The Titans yang begitu meleng aja gue udah lupa siapa nama jagoannya, film ini punya terlau banyak adegan cult yang gak bakalan bisa lo apus dari otak. Dari makan sup potongan telinga, sampai zombie ML. uh yeah, kata siapa zombie gak bisa kawin? Mereka saling napsu dan bisa ngelahirin anak secara instan! Haha! Didukung pula dengan couple yang sangat kinky sekali, pastur dan suster (zombie, tentunya).
Gue juga gak bisa ngelupain adegan si Lionel ngebawa bayi zombie itu jalan-jalan (ngapain coba), sumpah, adegan ini bikin gue ketawa dan bilang ‘bangsaaaaaat’ dalam waktu bersamaan.
Ketika lo menarik nafas lega dan berpikir bahwa filmnya baru aja melewati adegan klimaks saking kerasa edannya adegan itu, lo salah, adegan yang lebih sinting masih nunggu lo di scene berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Film ini bener-bener sukses ngebuat gue yang nonton bener-bener terpaku, nganga, dan instan memaki saking gobloknya apa yang gue liat.
Lo horror fan? Lo harus liat ini. Lupain Lord of The Ring, film ini jutaan kali lebih keren daripada itu.
10/10
Ketika Takdir Berjoget
Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, August 10, 2010
Posted at : 2:18 AM
Kalau gue menyebut kata adil, keadilan, nggak akan pernah lepas dari subjektivitas, bahkan senetral apapun orang memandang. Ketika seseorang merasakan ketidakadilan pada suatu hal yang menimpanya, jauh di suatu tempat mungkin ada saja toh orang yang akan mengatakan itu adalah hal yang wajar. Karena gue berpikir demikian, dan enggan untuk menerima perkataan ‘wajar’ dari seseorang nun jauh disana, gue lebih memilih untuk nggak menceritakannya disini.
Mungkin akan ada orang yang bilang itu udah kodrat Tuhan, mungkin juga akan ada yang bilang gue nggak bersyukur, mungkin juga bakal ada yang bilang gue terlalu dramatis, atau mungkin juga ada yang bilang masih banyak orang yang nggak seberuntung gue. Ini toh (katanya) negara demokrasi, semua orang punya pendapat dan hak bersuara, dan sayangnya mungkin gue nggak ingin mendengar kata-kata tersebut. Mungkin orang lain harus bertamasya dulu ke alam pikiran gue untuk tidak mengeluarkan beberapa kalimat diatas.
Kadang lucu, untuk apa kita sharing masalah? Ketika yang ingin kita dengar hanya pembenaran dan bukan masukan, pencegahan sakit hati nampaknya juga perlu dimasukan dalam etika sharing/bercerita, karena rasa nggak enak yang lagi nyantol di hati bisa saja nambah bengkak karena orang yang kita ajak bicara. Kadang kita nggak ingin ada intervensi dari lawan bicara, kadang pula kita hanya ingin didengar, kadang kita ingin hanya dibenarkan, kadang kita juga nggak mau di judge, kadang kita ingin orang lain mengerti tanpa harus bertanya.
Sepertinya perlu untuk disampaikan di awal pada lawan bercerita kita:
“Tolong, kamu diam aja, saya hanya mau cerita.”
Atau
“Lo jangan ngasih solusi atau pendapat, cukup iyakan apa yang gue bilang.”
Atau mungkin
“Kayaknya aku nggak perlu ngomong deh, kamu ngerti kan?”
Pernah kan? Rasanya ingin curhat sama dukun, sehingga kita nggak perlu susah-susah cerita tapi dapat dimengerti, tanpa pendapat tapi mau merangkul kita sepenuh hati, tanpa menjudge tapi bisa kita jadikan tempat bersandar tanpa mengeluh. Ketika kita menemukan orang seperti itu rasanya dunia pun bersama kita, tenang, damai, dan hati rasanya dipenuhi dengan kebun bunga aneka warna, wuih.
Tapi sayang, dukun hanya menangani santet dan pelet, bukan curhat.
Kita nggak bisa mengharapkan hal-hal diatas terjadi begitu aja dengan orang yang kita ajak bicara. Profesi yang dianggap paling keren untuk menangani masalah, Psikolog, bahkan harus mendengar detil cerita yang kita miliki untuk tahu bagaimana cara mengerti si klien. Psikolog bukan dukun, apalagi teman-teman kalian, ataupun gue, bukan. Lain cerita kalau dia memang beneran dukun, hehe.
…
Hoh..
Rasanya ingin mengeluh—eh? Sudah ya? Cek aja timeline twitter gue. Rasanya ingin mengeluarkan semua isi perut gue—eh? Udah juga? Cek aja WC gue, dari atas sama bawah lengkap disana.
Mungkin gue termasuk orang yang beruntung karena nggak mendapat kalimat-kalimat seperti diatas, maksudnya, yang kodrat lah, gak bersyukur lah, dst. Karena gue udah sadar duluan akan probabilitas kata-kata tersebut meluncur dari pemikiran anda-anda sekalian pembaca blog ini (eh? Ada ya?)
Gue berpikir, gue nggak bisa menyalahi kodrat gue lahir dimana dan sama siapa, udah terjadi dan toh gue nggak bisa masuk lagi, satu yang gue temukan adalah, bagaimana cara memperbaiki takdir yang udah ditunjukkin sama gue ini? Yang jelas, sama seperti kesepian. Kesepian nggak bisa diusir pake sapu, tapi carilah teman, takdir pun nggak bisa diperbaiki pakai palu dan paku, tapi.. well.. jawaban sementara sih: jalani aja hidup sebaik mungkin.
*hela nafas dulu ah.
Mungkin akan ada orang yang bilang itu udah kodrat Tuhan, mungkin juga akan ada yang bilang gue nggak bersyukur, mungkin juga bakal ada yang bilang gue terlalu dramatis, atau mungkin juga ada yang bilang masih banyak orang yang nggak seberuntung gue. Ini toh (katanya) negara demokrasi, semua orang punya pendapat dan hak bersuara, dan sayangnya mungkin gue nggak ingin mendengar kata-kata tersebut. Mungkin orang lain harus bertamasya dulu ke alam pikiran gue untuk tidak mengeluarkan beberapa kalimat diatas.
Kadang lucu, untuk apa kita sharing masalah? Ketika yang ingin kita dengar hanya pembenaran dan bukan masukan, pencegahan sakit hati nampaknya juga perlu dimasukan dalam etika sharing/bercerita, karena rasa nggak enak yang lagi nyantol di hati bisa saja nambah bengkak karena orang yang kita ajak bicara. Kadang kita nggak ingin ada intervensi dari lawan bicara, kadang pula kita hanya ingin didengar, kadang kita ingin hanya dibenarkan, kadang kita juga nggak mau di judge, kadang kita ingin orang lain mengerti tanpa harus bertanya.
Sepertinya perlu untuk disampaikan di awal pada lawan bercerita kita:
“Tolong, kamu diam aja, saya hanya mau cerita.”
Atau
“Lo jangan ngasih solusi atau pendapat, cukup iyakan apa yang gue bilang.”
Atau mungkin
“Kayaknya aku nggak perlu ngomong deh, kamu ngerti kan?”
Pernah kan? Rasanya ingin curhat sama dukun, sehingga kita nggak perlu susah-susah cerita tapi dapat dimengerti, tanpa pendapat tapi mau merangkul kita sepenuh hati, tanpa menjudge tapi bisa kita jadikan tempat bersandar tanpa mengeluh. Ketika kita menemukan orang seperti itu rasanya dunia pun bersama kita, tenang, damai, dan hati rasanya dipenuhi dengan kebun bunga aneka warna, wuih.
Tapi sayang, dukun hanya menangani santet dan pelet, bukan curhat.
Kita nggak bisa mengharapkan hal-hal diatas terjadi begitu aja dengan orang yang kita ajak bicara. Profesi yang dianggap paling keren untuk menangani masalah, Psikolog, bahkan harus mendengar detil cerita yang kita miliki untuk tahu bagaimana cara mengerti si klien. Psikolog bukan dukun, apalagi teman-teman kalian, ataupun gue, bukan. Lain cerita kalau dia memang beneran dukun, hehe.
…
Hoh..
Rasanya ingin mengeluh—eh? Sudah ya? Cek aja timeline twitter gue. Rasanya ingin mengeluarkan semua isi perut gue—eh? Udah juga? Cek aja WC gue, dari atas sama bawah lengkap disana.
Mungkin gue termasuk orang yang beruntung karena nggak mendapat kalimat-kalimat seperti diatas, maksudnya, yang kodrat lah, gak bersyukur lah, dst. Karena gue udah sadar duluan akan probabilitas kata-kata tersebut meluncur dari pemikiran anda-anda sekalian pembaca blog ini (eh? Ada ya?)
Gue berpikir, gue nggak bisa menyalahi kodrat gue lahir dimana dan sama siapa, udah terjadi dan toh gue nggak bisa masuk lagi, satu yang gue temukan adalah, bagaimana cara memperbaiki takdir yang udah ditunjukkin sama gue ini? Yang jelas, sama seperti kesepian. Kesepian nggak bisa diusir pake sapu, tapi carilah teman, takdir pun nggak bisa diperbaiki pakai palu dan paku, tapi.. well.. jawaban sementara sih: jalani aja hidup sebaik mungkin.
*hela nafas dulu ah.
Please allow me to Introduce something, dude!
Filed Under () by Pitiful Kuro on Wednesday, July 21, 2010
Posted at : 1:37 AM
Coming soon-but-not-that-close!
The Bandlith Project
Maybe august, septembre? Hope so--just wait, okay?
*plak
Make up?
Apa itu make up? Entah ya, gue bukan penggunanya, tapi gue rasa, itu adalah sebuah lapisan yang menyelimuti permukaan wajah, ketebalannya bervariasi, antara sekian mili sampai sekian senti (kata komik). Digunakan oleh perempuan, tentunya, tapi di jaman yang mendekati kiamat ini, tidak tertutup kemungkinan makhluk bertestikel juga mulai menggunakannya.
Apa gunanya make up? Gue gak tau pasti, yang jelas, menurut pengamatan gue sebagai cowo—yang tentunya tidak pernah menyentuh alat-alat demikian, katanya sih, biar muka nggak keliatan pucat, lesu, kusutnya tersamarkan dan seterusnya entah apa. Yang jelas, keseluruhan analisa cetek gue tadi itu mengacu kepada sebuah kalimat konklusif mengapa make up dipakai oleh kaum hawa: untuk mempercantik diri.
Buat apa mempercantik diri? (yeah, pertanyaan lagi) Jawabannya bisa beragam, ada yang mungkin karena ia memang ingin bersolek, tuntutan, sekedar kepuasan pribadi, usaha kerasnya untuk meningkatkan PD, atau mungkin.. sekedar menaikkan harga jual di dunia yang makin mendekati pasar persaingan sempurna untuk soal jodoh.
Setiap orang punya opini masing-masing soal penggunaan make up, dan tentunya gue juga dong? Buat gue, buat apa sih make up? Ketika suatu saat nanti gue ditanya, dimintai saran: “baiknya gue pake lipstick warna apa, gas?” gue mungkin bakalan menjawab: “ga usah pake”. Entah, gue selalu menganggap perempuan ber-make-up kalah memesona daripada mereka yang tidak. Dan tidak disini adalah tidak sama sekali. Tidak untuk bedak setipis sirotol mustakim, maskara selembut bulu, atau lipstik senatural apapun. Ti-dak.
Gue ga punya alasan soal ini, gue hanya merasa demikian, gue merasa dengan memakai make up, justru pressure (cieh) akan kecantikan seorang perempuan tertahan di selapis topeng yang ia poles sedemikian rupa. Kadang gue merasa agak sedikit ironis, padahal, usaha yang para kaum venus ini lakukan dengan sedemikian rupa adalah salah satu bentuk untuk menarik gue—yang mana adalah salah satu penduduk planet mars, tapi gue sama sekali nggak bisa mengapresiasi pakem yang telah tertanam di mentalitas nyaris sebagian penduduk dunia ini. Grok.
Dan belakangan, oknum berinisial A. S. M. P. (ketauan banget) nampak menggunakan make up, walau masih dalam taraf wajar dan sangat minim. Hik. Kecewa? Buat apa? Terima sajalah. Gue pikir, jika udah tiba pada waktunya, cewek se-horor Sarah Connor pun bakalan belajar pake make-up. (*plak)
Apa itu make up? Entah ya, gue bukan penggunanya, tapi gue rasa, itu adalah sebuah lapisan yang menyelimuti permukaan wajah, ketebalannya bervariasi, antara sekian mili sampai sekian senti (kata komik). Digunakan oleh perempuan, tentunya, tapi di jaman yang mendekati kiamat ini, tidak tertutup kemungkinan makhluk bertestikel juga mulai menggunakannya.
Apa gunanya make up? Gue gak tau pasti, yang jelas, menurut pengamatan gue sebagai cowo—yang tentunya tidak pernah menyentuh alat-alat demikian, katanya sih, biar muka nggak keliatan pucat, lesu, kusutnya tersamarkan dan seterusnya entah apa. Yang jelas, keseluruhan analisa cetek gue tadi itu mengacu kepada sebuah kalimat konklusif mengapa make up dipakai oleh kaum hawa: untuk mempercantik diri.
Buat apa mempercantik diri? (yeah, pertanyaan lagi) Jawabannya bisa beragam, ada yang mungkin karena ia memang ingin bersolek, tuntutan, sekedar kepuasan pribadi, usaha kerasnya untuk meningkatkan PD, atau mungkin.. sekedar menaikkan harga jual di dunia yang makin mendekati pasar persaingan sempurna untuk soal jodoh.
Setiap orang punya opini masing-masing soal penggunaan make up, dan tentunya gue juga dong? Buat gue, buat apa sih make up? Ketika suatu saat nanti gue ditanya, dimintai saran: “baiknya gue pake lipstick warna apa, gas?” gue mungkin bakalan menjawab: “ga usah pake”. Entah, gue selalu menganggap perempuan ber-make-up kalah memesona daripada mereka yang tidak. Dan tidak disini adalah tidak sama sekali. Tidak untuk bedak setipis sirotol mustakim, maskara selembut bulu, atau lipstik senatural apapun. Ti-dak.
Gue ga punya alasan soal ini, gue hanya merasa demikian, gue merasa dengan memakai make up, justru pressure (cieh) akan kecantikan seorang perempuan tertahan di selapis topeng yang ia poles sedemikian rupa. Kadang gue merasa agak sedikit ironis, padahal, usaha yang para kaum venus ini lakukan dengan sedemikian rupa adalah salah satu bentuk untuk menarik gue—yang mana adalah salah satu penduduk planet mars, tapi gue sama sekali nggak bisa mengapresiasi pakem yang telah tertanam di mentalitas nyaris sebagian penduduk dunia ini. Grok.
Dan belakangan, oknum berinisial A. S. M. P. (ketauan banget) nampak menggunakan make up, walau masih dalam taraf wajar dan sangat minim. Hik. Kecewa? Buat apa? Terima sajalah. Gue pikir, jika udah tiba pada waktunya, cewek se-horor Sarah Connor pun bakalan belajar pake make-up. (*plak)
Nilai itu cuma angka mati yang saling bersaing, tapi wawasan terus hidup dan berkawan ;).
Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, June 28, 2010
Posted at : 3:13 PM
--Yusrina Pradipta
Bicara gampang, tapi ngontrol bicara yang kadang susah. Nulis gampang, tapi menulis yang penuh pertanggungjawbaan yang kadang sulit. Berpikir itu cetek, tapi berpikir tanpa menduga-duga tanpa bukti itu yang rumit.
Bebas, mau bicara kek, menulis kek, berpikir kek, seperti apapun juga ya silahkan, kalau anda ingin berpikir ingin membunuh seseorang, ya silahkan, ingin mencuri, terserah, ingin memperkosa anak pak RT? Bebaas. Itu semua bebas, free, ngga pake tiket, asalkan! Yeah, tentu ada syarat dan ketentuannya, asalkan satu hal penting dan krusial ini tidak dilanggar: pastikan subjek yang menjadi sumber derita anda, yang mau dibunuh, dicolong, diperkosa, digebukin dan macem-macemnya itu nggak tau.
Dapet poinnya?
Tau azas praduga tak bersalah gak? Tau kan? Mau sebrengsek apapun tampilan luarnya, anda-anda sekalian belum bisa menghakimi dia sebagai seorang bromocorah dan mengadili dengan cara membunuhnya toh? Bisa aja dirumahnya dia itu penyanyang binatang yang menampung 50 kucing? Mau berpenampilan seperti pecun begundal binal toket bleber pantat semok bodi semlohai juga, anda gak bisa memberikan penilaian, “yang begini nih bisa gue pake.” Karena bisa aja, dia pake baju begitu karena baju-bajunya pada basah.
Oh oke, anda keras kepala? Ngotot tarik urat ingin semua orang tau apa yang anda tulis-pikir-lakukan? Ingin semua perbuatan itu dibolehkan? Okee! Karena ini promosi, saya memberikan kesempatan bagi 3juta pembaca pertama, semua itu boleh aja deh, halal, asalkan ada satuuuu lagi hal yang sudah anda penuhi sebelum melakukan perbuatan-pemikiran-penulisan yang ingin anda deklarasikan ke khalayak ramai.
BUKTI! Iye, bukti, bego. Anying, brengsek, bedebah, kampret, sompret, bengek, bekicot, kalong, lonte, intestin, otak, segala jeroan, babat, urap, tempe goreng, testikel kambing, bangsat, dodol garut, pepesan kosong, perkedel bondon, emping solo, tongseng kambing, nangka bunting, kelapa-dago, ngehe, jurig nyasar, pocong kesandung, kuntilanak nyinden, genderuwo disko, trotoar busway, curut cepirit, usus ayam, bubur orok, kentang jamuran, babi keseleo, rokok basah, emaknye wiro sableng, tai kotok, tai kebo, tai burung, tai kucing, tai chi, tai pin san, celengan bagong, leak kejedot, empal gentong, dudukan pantat, komputer ngadat, jelek adat, panas pantat, pret.
Bebas, mau bicara kek, menulis kek, berpikir kek, seperti apapun juga ya silahkan, kalau anda ingin berpikir ingin membunuh seseorang, ya silahkan, ingin mencuri, terserah, ingin memperkosa anak pak RT? Bebaas. Itu semua bebas, free, ngga pake tiket, asalkan! Yeah, tentu ada syarat dan ketentuannya, asalkan satu hal penting dan krusial ini tidak dilanggar: pastikan subjek yang menjadi sumber derita anda, yang mau dibunuh, dicolong, diperkosa, digebukin dan macem-macemnya itu nggak tau.
Dapet poinnya?
Tau azas praduga tak bersalah gak? Tau kan? Mau sebrengsek apapun tampilan luarnya, anda-anda sekalian belum bisa menghakimi dia sebagai seorang bromocorah dan mengadili dengan cara membunuhnya toh? Bisa aja dirumahnya dia itu penyanyang binatang yang menampung 50 kucing? Mau berpenampilan seperti pecun begundal binal toket bleber pantat semok bodi semlohai juga, anda gak bisa memberikan penilaian, “yang begini nih bisa gue pake.” Karena bisa aja, dia pake baju begitu karena baju-bajunya pada basah.
Oh oke, anda keras kepala? Ngotot tarik urat ingin semua orang tau apa yang anda tulis-pikir-lakukan? Ingin semua perbuatan itu dibolehkan? Okee! Karena ini promosi, saya memberikan kesempatan bagi 3juta pembaca pertama, semua itu boleh aja deh, halal, asalkan ada satuuuu lagi hal yang sudah anda penuhi sebelum melakukan perbuatan-pemikiran-penulisan yang ingin anda deklarasikan ke khalayak ramai.
BUKTI! Iye, bukti, bego. Anying, brengsek, bedebah, kampret, sompret, bengek, bekicot, kalong, lonte, intestin, otak, segala jeroan, babat, urap, tempe goreng, testikel kambing, bangsat, dodol garut, pepesan kosong, perkedel bondon, emping solo, tongseng kambing, nangka bunting, kelapa-dago, ngehe, jurig nyasar, pocong kesandung, kuntilanak nyinden, genderuwo disko, trotoar busway, curut cepirit, usus ayam, bubur orok, kentang jamuran, babi keseleo, rokok basah, emaknye wiro sableng, tai kotok, tai kebo, tai burung, tai kucing, tai chi, tai pin san, celengan bagong, leak kejedot, empal gentong, dudukan pantat, komputer ngadat, jelek adat, panas pantat, pret.
Badan gue masih kerasa pegelnya, asumsi gue sih, akumulasi dari 2 minggu perjalanan keliling jawa kemarin. Padahal waktu dijalin sama sekali ga ada masalah, kemana-mana ayo aja dan ngga pernah ngerasa capek, sekarang? Udah kaya kakek-kakek.
Yah, menyenangkan kok, banget malah. Perjalanan gue kemarin dari Jakarta, Bandung, Malang, Yogya, Solo sampai akhirnya balik lagi ke Jakarta. Banyak orang-orang yang udah lama pengen gue temuin baru kesampaian kemarin itu. Dan ekspektasi gue ketika bertemu dengan mereka pun terlewati, lebih daripada yang gue harapkan ternyata, hehe.
Salah satu cita-cita gue terkabul, naik KA Ekonomi jarak jauh Bandung-Malang, harusnya sih dari Jakarta, tapi ada perubahan rencana. Rasanya? Yah, pegel, tapi rame, lo bisa ngobrol sama banyak orang disana, kaya biasa, itu adalah salah satu kesenangan di perjalanan buat gue. Hampir ¾ waktu perjalanan bahkan gue gunakan untuk mengobrol dengan orang yang entah disebelah gue, atau bahkan yang cuma lewat. Biarpun harus berkorban kaki jadi rada bengkak karena kelamaan berdiri, gue mendapatkan pemandangan sosial yang begitu indah.
Bayangin deh, penumpang pada merutuk karena pedagang bolak-balik lewat, padahal kadang mereka pada beli juga, dan para pedagang menggerutu karena gak dikasih jalan lewat sama penumpang yang berdiri, walaupun mereka bakalan jadi konsumen nantinya. Itulah, paradoks perkeretaapian Indonesia.
Paling menyenangkan tentu di Malang, gue ketemu banyak orang-orang yang menyenangkan lagi menarik disini. Gue diberikan tempat berteduh di kos temennya Ussi. Di tempat ini gue bener-bener diberikan gambaran kos-kosan cowo yang sering ditampilkan di cerita-cerita, yang 1 komputer rame-rame lah, yang punya konsol game wajib berbagi lah, traktir-mentraktir makanan, kalau malem kumpul di 1 kamar.. wueh.. Bandung kalah telak kalo soal ini.
Buat gue, kesan perjalanan gue di Malang bukan dari tempat-tempat wisata yang gue datangi, tapi justru dari orang-orang yang gue temui disana. Pesona yang diberikan candi ronggo ga sebanding dengan kebersamaan yang gue dapetin disana. Dinginnya Batu kalah dengan sesi obrolan singkat gue sama rekan yang bener-bener bikin gue semangat itu. Ngopi di warteg (euh, oke, kayungyun), ngobrol sama supir angkot dan banyak lagi. Gue bahkan berpikir, agak rugi juga gue gak berusaha lebih keras untuk masuk Brawijaya dulu pas SMA.
Malang itu kecil, seuprit dibandingkan Jakarta, cuma setengahnya Bandung tapi pesonanya luar biasa. Kota suram kalo kata gue. Kota dimana gue ga akan mau keluar di sore hari, kenapa? Karena pasti aura suram sepi bakal turun menggelayut memenuhi udara dan mengisi paru-paru lo dengan angin sendu. Cocok buat gue kali ya?
Gue ga begitu suka Jogja, yang pasti bukan kota wisata yang bisa dinikmati jika lo pergi sendirian, kota ini udah terinfeksi sama virus wisata, dimana segala-gala dijadikan komoditas, sulit bagi gue untuk menemukan sebuah obrolan murni sosialisasi disini. Entah gue yang nggak menemukan atau memang begitu adanya, nggak betah.
Dan Solo? Hey.. ini kampung gue, mau mengharap apa? Ketemu Mbah, Oom, anaknya, tante-tante dan segala hal yang ada disana, gue gak bisa ngeluh. Hek.
Lalu, apa gue akan menuliskan jurnal perjalanan gue? Haha, gue rasa nggak ya, kepanjangan dan kepala gue serasa penuh, lagipula, bukan hal yang bisa dinikmati saat menulisnya.
Yah, menyenangkan kok, banget malah. Perjalanan gue kemarin dari Jakarta, Bandung, Malang, Yogya, Solo sampai akhirnya balik lagi ke Jakarta. Banyak orang-orang yang udah lama pengen gue temuin baru kesampaian kemarin itu. Dan ekspektasi gue ketika bertemu dengan mereka pun terlewati, lebih daripada yang gue harapkan ternyata, hehe.
Salah satu cita-cita gue terkabul, naik KA Ekonomi jarak jauh Bandung-Malang, harusnya sih dari Jakarta, tapi ada perubahan rencana. Rasanya? Yah, pegel, tapi rame, lo bisa ngobrol sama banyak orang disana, kaya biasa, itu adalah salah satu kesenangan di perjalanan buat gue. Hampir ¾ waktu perjalanan bahkan gue gunakan untuk mengobrol dengan orang yang entah disebelah gue, atau bahkan yang cuma lewat. Biarpun harus berkorban kaki jadi rada bengkak karena kelamaan berdiri, gue mendapatkan pemandangan sosial yang begitu indah.
Bayangin deh, penumpang pada merutuk karena pedagang bolak-balik lewat, padahal kadang mereka pada beli juga, dan para pedagang menggerutu karena gak dikasih jalan lewat sama penumpang yang berdiri, walaupun mereka bakalan jadi konsumen nantinya. Itulah, paradoks perkeretaapian Indonesia.
Paling menyenangkan tentu di Malang, gue ketemu banyak orang-orang yang menyenangkan lagi menarik disini. Gue diberikan tempat berteduh di kos temennya Ussi. Di tempat ini gue bener-bener diberikan gambaran kos-kosan cowo yang sering ditampilkan di cerita-cerita, yang 1 komputer rame-rame lah, yang punya konsol game wajib berbagi lah, traktir-mentraktir makanan, kalau malem kumpul di 1 kamar.. wueh.. Bandung kalah telak kalo soal ini.
Buat gue, kesan perjalanan gue di Malang bukan dari tempat-tempat wisata yang gue datangi, tapi justru dari orang-orang yang gue temui disana. Pesona yang diberikan candi ronggo ga sebanding dengan kebersamaan yang gue dapetin disana. Dinginnya Batu kalah dengan sesi obrolan singkat gue sama rekan yang bener-bener bikin gue semangat itu. Ngopi di warteg (euh, oke, kayungyun), ngobrol sama supir angkot dan banyak lagi. Gue bahkan berpikir, agak rugi juga gue gak berusaha lebih keras untuk masuk Brawijaya dulu pas SMA.
Malang itu kecil, seuprit dibandingkan Jakarta, cuma setengahnya Bandung tapi pesonanya luar biasa. Kota suram kalo kata gue. Kota dimana gue ga akan mau keluar di sore hari, kenapa? Karena pasti aura suram sepi bakal turun menggelayut memenuhi udara dan mengisi paru-paru lo dengan angin sendu. Cocok buat gue kali ya?
Gue ga begitu suka Jogja, yang pasti bukan kota wisata yang bisa dinikmati jika lo pergi sendirian, kota ini udah terinfeksi sama virus wisata, dimana segala-gala dijadikan komoditas, sulit bagi gue untuk menemukan sebuah obrolan murni sosialisasi disini. Entah gue yang nggak menemukan atau memang begitu adanya, nggak betah.
Dan Solo? Hey.. ini kampung gue, mau mengharap apa? Ketemu Mbah, Oom, anaknya, tante-tante dan segala hal yang ada disana, gue gak bisa ngeluh. Hek.
Lalu, apa gue akan menuliskan jurnal perjalanan gue? Haha, gue rasa nggak ya, kepanjangan dan kepala gue serasa penuh, lagipula, bukan hal yang bisa dinikmati saat menulisnya.
you prodded me.you poked
me.you stroked me.you teased
me. you flirted me. you sucked
me in. YOU ARE ALWAYS
PASTRONISING ME! I'm so gonna
shuriken-ing you and do the
aveda kedavra for billion times
then cracking ur neck and let
Sumanto do the rest with your
body and cultivating ur brain for
my daily herbal tea. Ohyeah
darlo, ur brain's nutrition will
dongkrak-ing my 10 years old-
brother's vitality! -- Yusrina Pradipta
Dan ini epik.
me.you stroked me.you teased
me. you flirted me. you sucked
me in. YOU ARE ALWAYS
PASTRONISING ME! I'm so gonna
shuriken-ing you and do the
aveda kedavra for billion times
then cracking ur neck and let
Sumanto do the rest with your
body and cultivating ur brain for
my daily herbal tea. Ohyeah
darlo, ur brain's nutrition will
dongkrak-ing my 10 years old-
brother's vitality! -- Yusrina Pradipta
Dan ini epik.
Seumur-umur ada banyak karakter atau tokoh, baik fiksi maupun nyata yang bener-bener bisa bikin gue bergeter seneng. Berikut ini beberapa diantaranya.
Jean Reno
Aktor, buat orang Endonesa mungkin jarang keliatan, karena jarang juga sih dia dapet peran utama. Tapi kalo lagi hoki, biasanya filmnya yang berjudul Wasabi suka diputer di SCTV jam 2 pagi.
Alasan: Lo gak bisa liat pesona paruh bayanya? Jenggotnya? Kantung matanya? So seksi gituh..
Revolver Ocelot
Salah satu karakter game favorit gue dari Metal Gear series. Nama aliasnya Shalasaska, ADAM, ADAMSKA atau Ocelot simpelnya. Karakternya diadaptasi dari Lee Van Cleef, aktor western tahun 50an. Ahli senjata, khususnya Revolver SAA (Single Action Army) kaliber 45. Juga ahli penyiksaan dan interogasi.
Alasan: Kemampuan revolvernya nomer satu, dikenal juga sebagai Ricochet genius, kemampuan untuk mengenai sasaran dengan mantulin peluru lebih dulu. Masa mudanya adorable, rasa persaingannya tinggi, waktu tua figurnya bener-bener bikin segen. Salut buat Hideo Kojima yang bisa membuat karakter macem ini deh.
Ito Ittosai
Dikenal juga sebagai Ito Yagoro. Ronin (samurai tanpa tuan) misterius yang hidup di era 1600an, ngga ada kejelasan kapan dia lahir dan meninggal. Dari Manga Vagabond sendiri, Inoue Takehiko si pengarang menggambarkan Ittosai sebagai samurai tanpa tanding yang sempat berguru pada Kanemaki Jisai. Perangainya kasar khas kampung, tapi justru disitu gue bisa jatuh hati sama tokoh yang satu ini.
Alasan: Kuat, sangar, garang.
Masih banyak.. tapi segichu dulu deh
Jean Reno
Aktor, buat orang Endonesa mungkin jarang keliatan, karena jarang juga sih dia dapet peran utama. Tapi kalo lagi hoki, biasanya filmnya yang berjudul Wasabi suka diputer di SCTV jam 2 pagi.
Alasan: Lo gak bisa liat pesona paruh bayanya? Jenggotnya? Kantung matanya? So seksi gituh..
Revolver Ocelot
Salah satu karakter game favorit gue dari Metal Gear series. Nama aliasnya Shalasaska, ADAM, ADAMSKA atau Ocelot simpelnya. Karakternya diadaptasi dari Lee Van Cleef, aktor western tahun 50an. Ahli senjata, khususnya Revolver SAA (Single Action Army) kaliber 45. Juga ahli penyiksaan dan interogasi.
Alasan: Kemampuan revolvernya nomer satu, dikenal juga sebagai Ricochet genius, kemampuan untuk mengenai sasaran dengan mantulin peluru lebih dulu. Masa mudanya adorable, rasa persaingannya tinggi, waktu tua figurnya bener-bener bikin segen. Salut buat Hideo Kojima yang bisa membuat karakter macem ini deh.
Ito Ittosai
Dikenal juga sebagai Ito Yagoro. Ronin (samurai tanpa tuan) misterius yang hidup di era 1600an, ngga ada kejelasan kapan dia lahir dan meninggal. Dari Manga Vagabond sendiri, Inoue Takehiko si pengarang menggambarkan Ittosai sebagai samurai tanpa tanding yang sempat berguru pada Kanemaki Jisai. Perangainya kasar khas kampung, tapi justru disitu gue bisa jatuh hati sama tokoh yang satu ini.
Alasan: Kuat, sangar, garang.
Masih banyak.. tapi segichu dulu deh
Karena gue nggak ada kerjaan, maka gue mencoba melakukan hal baru nih.. idenya sendiri gue tiru dari blog thinkpokari.blogspot.com, mereka punya sesi postingan dimana mereka mentranslate sebuah lagu dengan asal, tapi jadinya lucu mampus. Dan entah kenapa mereka sekarang hiatus, lama banget gak ada postingan lagi, jadi mungkin ga ada salahnya gue nyoba-nyoba apa yang mereka lakuin.. enjoy it.
Muke Poker by Lady Gaga
Mum mum mum mah
Mum mum mum mah
Gw mau pegang mereka kayak yang mereka lakuin di permainan texas
Lipet mereka biarkan mereka mukul gue besarin bayi itu bareng sama gue (gue suka itu)
Permainan cinta dan intuisi mainkan kartu dimulai dengan sekop
Dan setelah dia udah nyandu gue akan mainkan yang ada di jantungnya (heart tuh jantung kan? Hihi)
Oh, oh, oh, oh, ohhhh, ohh-oh-e-ohh-oh-oh (?)
Gue mendapatkan dia panas, nunjukkin dia apa yang gue punya
Oh, oh, oh, oh, ohhhh, ohh-oh-e-ohh-oh-oh,
Gue mendapatkan dia panas, nunjukkin dia apa yang gue punya
Gak bisa baca,
Gak bisa baca (baca paan?)
Nggak, dia gak bisa baca muke poker gue
(Dia gak cinta sapa-sapa)
Gak bisa baca
Gak bisa ba Nggak, dia gak bisa baca muke poker gue
Mu-mu-mu-muke poker, mu-mu-muke poker
(Mum mum mum mah) (gak bisa napas?)
Mu-mu-mu-muke poker, mu-mu-muke poker
(Mum mum mum mah)
Gue mau berguling sama dia, pasangan keras kita akan menjadi
Sedikit judi itu nyenengin kalo lu bareng sama gue (gue suka itu)
Rolet rusia ga akan sama tanpa pestol
Dan beibi, ketika cinta itu nggak kasar nggak asik, asik (masochist?)
Balik ke reff.
Gue gak akan bilang ke elu kalo gue cinta elu (ciee)
Cium atau peluk elu
Karena gue menggertak dengan kue serabi gue (SUMPAH! Google translate yang bilang)
Gue gak boong gue Cuma takjub dengan lem cinta perburuan bersenjata (zzz)
Kayak cewek di kasino
Ambil bank lo sebelom gue bayar elu
Gue janji ini, janji ini (janji naon?)
Cek tangan ini karena gue menakjubkan
Mu-mu-mu-muke poker.
*Ditranslate dengan sedikit bantuan oleh gugel translate.. phew..
Muke Poker by Lady Gaga
Mum mum mum mah
Mum mum mum mah
Gw mau pegang mereka kayak yang mereka lakuin di permainan texas
Lipet mereka biarkan mereka mukul gue besarin bayi itu bareng sama gue (gue suka itu)
Permainan cinta dan intuisi mainkan kartu dimulai dengan sekop
Dan setelah dia udah nyandu gue akan mainkan yang ada di jantungnya (heart tuh jantung kan? Hihi)
Oh, oh, oh, oh, ohhhh, ohh-oh-e-ohh-oh-oh (?)
Gue mendapatkan dia panas, nunjukkin dia apa yang gue punya
Oh, oh, oh, oh, ohhhh, ohh-oh-e-ohh-oh-oh,
Gue mendapatkan dia panas, nunjukkin dia apa yang gue punya
Gak bisa baca,
Gak bisa baca (baca paan?)
Nggak, dia gak bisa baca muke poker gue
(Dia gak cinta sapa-sapa)
Gak bisa baca
Gak bisa ba Nggak, dia gak bisa baca muke poker gue
Mu-mu-mu-muke poker, mu-mu-muke poker
(Mum mum mum mah) (gak bisa napas?)
Mu-mu-mu-muke poker, mu-mu-muke poker
(Mum mum mum mah)
Gue mau berguling sama dia, pasangan keras kita akan menjadi
Sedikit judi itu nyenengin kalo lu bareng sama gue (gue suka itu)
Rolet rusia ga akan sama tanpa pestol
Dan beibi, ketika cinta itu nggak kasar nggak asik, asik (masochist?)
Balik ke reff.
Gue gak akan bilang ke elu kalo gue cinta elu (ciee)
Cium atau peluk elu
Karena gue menggertak dengan kue serabi gue (SUMPAH! Google translate yang bilang)
Gue gak boong gue Cuma takjub dengan lem cinta perburuan bersenjata (zzz)
Kayak cewek di kasino
Ambil bank lo sebelom gue bayar elu
Gue janji ini, janji ini (janji naon?)
Cek tangan ini karena gue menakjubkan
Mu-mu-mu-muke poker.
*Ditranslate dengan sedikit bantuan oleh gugel translate.. phew..
Masalah Saat Mereview
Filed Under (From My Mind,Review ) by Pitiful Kuro on Friday, May 28, 2010
Posted at : 7:15 AM
Mengapa mereview itu sulit? Apa saja, bolehlah itu buku, film, makanan yang baru saja saya santap, ataupun sebuah tempat yang baru saja saya sambangi. Menuliskan sebuah ulasan dengan niatan mengupas tuntas itu lumayan sulit untuk saya. Mungkin bisa saja saya lakukan, tapi hasilnya tidak akan lepas dari ketidakpuasan saya akan.. yah.. hasilnya tadi.
Memikirkan hal tersebut saya mencoba untuk menelaah, apa-apa saja hambatan saya pribadi dalam mereview sesuatu, yang semoga saja bermanfaat bagi rekan-rekan tukang review sekalian diluar sana. Halah.
Masalah yang utama saya bisa katakan adalah jeda. Jeda antara kapan anda selesai melakukan sebuah kegiatan dan kapan anda akan meramunya kedalam sebuah tulisan yang bertujuan mengulas kegiatan tersebut. Semakin lama anda menuliskan ‘laporan’ tersebut, akan makin buram gambaran apa saja yang perlu anda laporkan. Tentu saja, semakin cepat anda menuliskannya, maka akan semakin baik. ‘Fresh from the oven’ semakin panas, semakin nikmat.
Kendala ini juga didukung dengan faktor-faktor seperti, yah.. malas, sebuah faktor yang tidak perlu diperpanjang lagi untuk diperjelas. Lalu juga ada faktor kelelahan fisik ataupun psikis. Jelas, membaca 600-700 halaman bukanlah perkara enteng bagi otak anda, ataupun kelelahan fisik yang mungkin saja dialami anda ketika pulang dari berpergian, yang membuat kasur serasa pulau kapuk yang nikmat untuk disetubuhi.
Masalah kedua yang saya temui ketika saya ingin mereview sesuatu adalah, keinginan untuk mencapai kesempurnaan akan review tersebut. Entah bagaimana caranya, saya ingin orang yang membaca review saya akan mempunyai gambaran jelas, sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan pertimbangan, apakah ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang saya lakukan di review tersebut? Misalkan saja anda membaca review sebuah film dari Roger Ebert, dan anda langsung ingin menonton film tersebut, atau bagaimana adhityarangga (reviewer film dari indonesia) membuat anda malas menonton film yang ia bilang tidak bagus. Efek yang demikian adalah efek yang ditimbulkan ketika anda membaca sebuah review.
Sayangnya, justru keinginan akan mencapai kesempurnaan tadi menghambat saya untuk menyelesaikan sebuah review, bahkan yang telah saya tulis setengah jalan. Perasaan aneh yang menganggap bahwa review saya tidak menarik untuk dibaca membuat saya berulang-ulang membetulkan kalimat, menambahkan yang perlu, mengurangi yang tidak, dan terus-menerus saya revisi. Akhirnya, saya lelah sendiri dan draft review saya berakhir di recycle bin (saking kesalnya).
Dua masalah diatas adalah masalah utama saya, tapi bisa saya tambahkan yang berikut ini. WB atau Writer’s Block, adalah saat dimana seorang penulis tidak mempunyai ide apapun lagi untuk dituangkan kedalam sebuah tulisan. Permasalahan yang satu ini cakupannya lebih lebar, karena bisa saja terjadi pada bentuk tulisan apapun, tapi ternyata saya juga mengalaminya ketika saya menuliskan sesuatu yang bahannya sudah jelas ada seperti review.
Yah.. semoga membantu membuka pikiran.
Memikirkan hal tersebut saya mencoba untuk menelaah, apa-apa saja hambatan saya pribadi dalam mereview sesuatu, yang semoga saja bermanfaat bagi rekan-rekan tukang review sekalian diluar sana. Halah.
Masalah yang utama saya bisa katakan adalah jeda. Jeda antara kapan anda selesai melakukan sebuah kegiatan dan kapan anda akan meramunya kedalam sebuah tulisan yang bertujuan mengulas kegiatan tersebut. Semakin lama anda menuliskan ‘laporan’ tersebut, akan makin buram gambaran apa saja yang perlu anda laporkan. Tentu saja, semakin cepat anda menuliskannya, maka akan semakin baik. ‘Fresh from the oven’ semakin panas, semakin nikmat.
Kendala ini juga didukung dengan faktor-faktor seperti, yah.. malas, sebuah faktor yang tidak perlu diperpanjang lagi untuk diperjelas. Lalu juga ada faktor kelelahan fisik ataupun psikis. Jelas, membaca 600-700 halaman bukanlah perkara enteng bagi otak anda, ataupun kelelahan fisik yang mungkin saja dialami anda ketika pulang dari berpergian, yang membuat kasur serasa pulau kapuk yang nikmat untuk disetubuhi.
Masalah kedua yang saya temui ketika saya ingin mereview sesuatu adalah, keinginan untuk mencapai kesempurnaan akan review tersebut. Entah bagaimana caranya, saya ingin orang yang membaca review saya akan mempunyai gambaran jelas, sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan pertimbangan, apakah ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang saya lakukan di review tersebut? Misalkan saja anda membaca review sebuah film dari Roger Ebert, dan anda langsung ingin menonton film tersebut, atau bagaimana adhityarangga (reviewer film dari indonesia) membuat anda malas menonton film yang ia bilang tidak bagus. Efek yang demikian adalah efek yang ditimbulkan ketika anda membaca sebuah review.
Sayangnya, justru keinginan akan mencapai kesempurnaan tadi menghambat saya untuk menyelesaikan sebuah review, bahkan yang telah saya tulis setengah jalan. Perasaan aneh yang menganggap bahwa review saya tidak menarik untuk dibaca membuat saya berulang-ulang membetulkan kalimat, menambahkan yang perlu, mengurangi yang tidak, dan terus-menerus saya revisi. Akhirnya, saya lelah sendiri dan draft review saya berakhir di recycle bin (saking kesalnya).
Dua masalah diatas adalah masalah utama saya, tapi bisa saya tambahkan yang berikut ini. WB atau Writer’s Block, adalah saat dimana seorang penulis tidak mempunyai ide apapun lagi untuk dituangkan kedalam sebuah tulisan. Permasalahan yang satu ini cakupannya lebih lebar, karena bisa saja terjadi pada bentuk tulisan apapun, tapi ternyata saya juga mengalaminya ketika saya menuliskan sesuatu yang bahannya sudah jelas ada seperti review.
Yah.. semoga membantu membuka pikiran.
Jam Enam Pagi
Filed Under (From My Mind,letter ) by Pitiful Kuro on Wednesday, May 26, 2010
Posted at : 6:05 AM
Jika kamu hanya melihat daun, pohon tak akan nampak, jika kamu hanya menatap pohon, hutan tak lagi telihat.
Lihatlah kesemuanya secara keseluruhan, satu bagian dapat menipu, tapi tidak jika kamu melihatnya lengkap. Pikiran bukanlah hal yang dapat ditafsirkan hanya dalam sebaris kata, seceloteh kalimat, dan sepotong tingkah laku. Hati bukanlah hal yang bisa kamu terjemahkan dalam 365 hari, 3 tahun, atau bahkan 3 dekade, Venus yang indah di ufuk timur-pun mempunyai sisi gelap yang enggan ia tunjukkan kepada Mars, sisi yang hanya akan Mars ketahui ketika periode 58 tahun telah tiba. Kata-kata bisa palsu, tindakan dapat menipu, tidak ada hal yang dapat menjamin satu gerakanpun seorang manusia selain satu hal, percaya.
Saya tidak menyalahkan pejuang Bakufu-Kamakura, yang melakukan Harakiri ketika mendengar kabar burung bahwa pimpinan mereka di Edo telah mati—yang pada akhirnya, itu hanya sebuah taktik sederhana yang dilakukan prajurit pemerintahan untuk menjatuhkan para pemberontak. Pemerintah tidak licik, mereka memanfaatkan kenyataan bahwa para Bakufu itu adalah prajurit yang sangat loyal kepada pimpinannya, matipun akan mereka ikuti apabila memang perlu.
Keputusan adalah kepahitan yang berbunyi mutlak, sebuah akhir dari suatu perundingan. Tapi ada yang harus kita ingat, sebuah keputusan mungkin hanyalah sebuah daun, bagian kecil dari sebuah pohon, dan bagaikan debu bagian sebuah hutan. Karenanya, janganlah hanya melihat daun, lihatlah pohon, dan pandangilah hutan. Resapi kesemuanya sehingga tidak ada beban di hati, bahwa hutan yang berawal dari sebuah daun atau keputusan tadi, adalah sebuah hutan pinus indah dimana para binatang belindung.
Semoga saja bukan. Dan jika memang bukan, menghapus jawaban yang salah dan membulatkan kembali kepada jawaban yang anda yakini benar bukanlah hal yang sia-sia.
*Saya rindu duduk di belakang Gymnasium bareng kamu.
Apa yang kamu lihat?
Apakah sebuah tulisan? Tanda tanya?
Ataukah sebuah halaman kosong berwarna hitam-abu-abu?
Ada sejuta jawaban untuk pertanyaan “apa yang kamu lihat” diatas. Dan semua jawaban tersebut bisa saja benar, tergantung siapa yang menjawabnya. Lalu sekarang, bisakah kamu mengatakan, apakah yang ada didalam kepala saya? Dalam sebuah penilaian instan tanpa informasi yang cukup, bisakah anda sekalian menjawab pertanyaan yang saya berikan?
Saya rasa sih, tidak.
Saat ini, banyak pertanyaan berkecamuk di kepala saya, semuanya lewat deras ketika saya duduk diam di beranda seorang kawan, menghisap karbondioksid jam 5 pagi sekedar ingin menenangkan diri. Namun sebaliknya, kepala yang diniatkan istirahat ini bahkan tidak sanggup menghabiskan sebatang rokok yang amat nikmat itu, semua hanya didasari keinginan luar biasa untuk menuangkan buah pikiran yang mungkin dangkal ini kedalam bentuk tulisan yang terpetakan, sepeti saya biasa katakan.
Lalu, apakah hidup itu? Bagimanakah saya melihat hidup?
Bayangkanlah, hidup ini bagaikan terowongan air raksaksa, begitu besarnya bahkan tidak dapat diukur dengan skala yang diciptakan manusia saat ini, mT, Lightspeed, Tera dan lainnya. Terowongan tersebut diisi oleh pipa-pipa yang begitu banyaknya, dan pipa-pipa tersebut adalah kita, manusia, dan makhluk-makhluk lainnya yang turut mengemban nyawa di dunia ini. Dan air yang mengalir didalamnya adalah alur hidup kita, sebuah proses berkembangnya sebuah individu, dari tempatnya berawal sampai akhir nanti pipa tersebut berakhir.
Kesemua pipa tersebut terbuat dari berbagai macam material, ada yang terbuat dari kayu, besi, kaca, kain, dan bahkan tanah. Begitupula air yang dilewatinya, bisa saja air itu adalah air biasa, atau air asin, susu, arak, kopi, teh dan banyak lagi. Kedua hal tadi dilambangkan sebagai kepribadian seseorang dan bagaimana seseorang tadi melewati hidupnya. Apakah keruh seperti air kubangan? Gelap-pahit sepeti kopi? Ataukah menyegarkan dan ringan seperti air kelapa?
Tidak mudah bagi satu pipa menembus pipa lainnya, atau berdampingan hingga masing-masing air dari kedua pipa tersebut becampur dan menuju kepada satu tujuan. Derajat kekerasan, jenis air yang berbeda, massa jenis air yang mungkin saja berbeda, dan memang arah berlainan yang mengarahkan kedua pipa tersebut ke tempat yang bebeda.
Siapa yang tidak ingin, memiliki pipa sekuat besi, sefleksibel karet, berestetika tinggi bagai kayu mahogani, dan tentunya memiliki air jernih yang mengalir lincah tanpa hambatan ke tempatnya berlabuh nanti? Yang jelas, saya ingin.
Analogi yang tidak relevan memang, tapi inilah yang bisa saya gambarkan.
Lalu, bagaimanakah dengan pipa dan air yang saya miliki? Wah.. tidak bisa dilukiskan saking cacatnya.
Apakah sebuah tulisan? Tanda tanya?
Ataukah sebuah halaman kosong berwarna hitam-abu-abu?
Ada sejuta jawaban untuk pertanyaan “apa yang kamu lihat” diatas. Dan semua jawaban tersebut bisa saja benar, tergantung siapa yang menjawabnya. Lalu sekarang, bisakah kamu mengatakan, apakah yang ada didalam kepala saya? Dalam sebuah penilaian instan tanpa informasi yang cukup, bisakah anda sekalian menjawab pertanyaan yang saya berikan?
Saya rasa sih, tidak.
Saat ini, banyak pertanyaan berkecamuk di kepala saya, semuanya lewat deras ketika saya duduk diam di beranda seorang kawan, menghisap karbondioksid jam 5 pagi sekedar ingin menenangkan diri. Namun sebaliknya, kepala yang diniatkan istirahat ini bahkan tidak sanggup menghabiskan sebatang rokok yang amat nikmat itu, semua hanya didasari keinginan luar biasa untuk menuangkan buah pikiran yang mungkin dangkal ini kedalam bentuk tulisan yang terpetakan, sepeti saya biasa katakan.
Lalu, apakah hidup itu? Bagimanakah saya melihat hidup?
Bayangkanlah, hidup ini bagaikan terowongan air raksaksa, begitu besarnya bahkan tidak dapat diukur dengan skala yang diciptakan manusia saat ini, mT, Lightspeed, Tera dan lainnya. Terowongan tersebut diisi oleh pipa-pipa yang begitu banyaknya, dan pipa-pipa tersebut adalah kita, manusia, dan makhluk-makhluk lainnya yang turut mengemban nyawa di dunia ini. Dan air yang mengalir didalamnya adalah alur hidup kita, sebuah proses berkembangnya sebuah individu, dari tempatnya berawal sampai akhir nanti pipa tersebut berakhir.
Kesemua pipa tersebut terbuat dari berbagai macam material, ada yang terbuat dari kayu, besi, kaca, kain, dan bahkan tanah. Begitupula air yang dilewatinya, bisa saja air itu adalah air biasa, atau air asin, susu, arak, kopi, teh dan banyak lagi. Kedua hal tadi dilambangkan sebagai kepribadian seseorang dan bagaimana seseorang tadi melewati hidupnya. Apakah keruh seperti air kubangan? Gelap-pahit sepeti kopi? Ataukah menyegarkan dan ringan seperti air kelapa?
Tidak mudah bagi satu pipa menembus pipa lainnya, atau berdampingan hingga masing-masing air dari kedua pipa tersebut becampur dan menuju kepada satu tujuan. Derajat kekerasan, jenis air yang berbeda, massa jenis air yang mungkin saja berbeda, dan memang arah berlainan yang mengarahkan kedua pipa tersebut ke tempat yang bebeda.
Siapa yang tidak ingin, memiliki pipa sekuat besi, sefleksibel karet, berestetika tinggi bagai kayu mahogani, dan tentunya memiliki air jernih yang mengalir lincah tanpa hambatan ke tempatnya berlabuh nanti? Yang jelas, saya ingin.
Analogi yang tidak relevan memang, tapi inilah yang bisa saya gambarkan.
Lalu, bagaimanakah dengan pipa dan air yang saya miliki? Wah.. tidak bisa dilukiskan saking cacatnya.
Fakin Awesome Watercolour
Filed Under (Repost ) by Pitiful Kuro on Tuesday, May 25, 2010
Posted at : 9:36 PM
Siapa yang gak tau?
Siapa yang gak kenal?
INI JUGA PARAH!
1. Gue penggemar karya-karya Realis begini
2. Yang dijadikan model adalah orang-orang yang gw kagumin.
3. Yang bikinnya gw kenal. *plak*
Gak perlu basa-basi lagi, dua karya di atas dibuat oleh tangan dingin Sapu (nickname), anak IH. Udah terjun bebas lama ke dunia gambar-menggambar dan nampaknya sekarang lagi mencoba untuk melebarkan sayapnya ke dunia realis gini. Aaaah... kayanya gw mimisan nih liat dua cowo ganteng diatas.
Web aslinya bisa diliat di Tumblr-nya Sapu di sini
Review Buku: Negeri 5 Menara
Filed Under (Review ) by Pitiful Kuro on Sunday, May 23, 2010
Posted at : 11:20 PM
Negeri 5 Menara
Buku ini adalah buku pertama yang gue selesaikan dalam waktu 7-8 bulan kebelakang, sungguh vakansi luarbiasa yang membuat gue sendiri takjub bukan main. Hari-hari sebelum periode 7 bulan kemarin itu padahal selalu gue isi dengan hal-hal yang berbau tulisan, baik gue mengkristalkan bahan tulisan yang ada di kepala sendiri, sampai membaca hasil kristalisasi bahan tulisan yang ada di kepala orang lain.
Kesan-kesan saat membaca buku ini? Yah, luar biasa, sensasi over the limit yang dulu gue rasakan kembali lagi gue kecap dengan badan ini, pembuktiannya, buku selevel 400 halaman bisa selesai kurang dari sehari.
Bukunya sendiri menceritakan Alif Fikri, remaja asal Maninjau, Sumatera Barat yang baru saja lulus Madrasah dan bercita-cita untuk masuk SMA bersama dengan sahabatnya, Randai. Namun keinginannya bertolak dengan putusan orang tuanya yang menginginkan ia untuk masuk kembali ke Madrasah, tujuannya mulia, agar anaknya menimba ilmu agama agar dapat turut membangun bangsa ini agar tercipta bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga beragama.
Alif yang begitu bertekad untuk masuk SMA dan bertolak ke perguruan tinggi nantinya kecewa. Hasil diskusi alot dengan orangtuanya menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidupnya, ia memutuskan untuk ‘menghukum’ orang tuanya untuk sekalian saja masuk ke sebuah Pondok (atau pesantren) di daerah Jawa Timur, Pondok Madani (yang dicatatan penulis, bernama asli Pondok Modern Gontor, pernah denger?).
Sesampainya disana, Alif dikejutkan dengan metode pembelajaran yang digunakan—ga akan gue sebutin detail, ga seru nantinya—salah satunya adalah metode komunikasi yang hanya memperbolehkan siswa-siswanya untuk menggunakan bahasa Arab dan Inggris, selain itu, pengembangan minat dan bakat siswanya juga sangat diperhatikan. Banyak kegiatan sampingan, dari yang sifatnya hiburan seperti vokal ataupun alat musik, sampai dengan olahraga, dari sepakbola sampai silat.
Alif bertemu dengan banyak teman baru di Pondok Madani, ada Baso, si pintar yang giat menghafidz Al-Quran, Raja dengan kemampuan bahasanya yang luar biasa, Dulmadjid dan Atang yang rajin, serta Said si penyuka olahraga. Mereka berenam, bersama-sama menjalani suka-duka selama mengikuti pendidikan di Pondok Madani, dari dihukum jewer kolektif oleh keamanan, berlibur sejenak tiap jumat ke Ponorogo, sampai bersaing dalam menarik perhatian lawan jenisnya yang memang jarang muncul di pondok.
“Man Jadda Wajadda”
Ini buku yang bagus, selain berisi banyak kalimat-kalimat pembangkit semangat dari para Kiai dan Ustadz, buku ini juga menceritakan bagaimana kehidupan di sebuah ‘kamp konsentrasi’ berlabelkan pondok yang sangat menarik. Selama ini kita mungkin diliputi dengan stereotipe bahwa jika seseorang belajar ke pondok, maka orang itu hanya akan belajar agama saja, mengaji, ceramah dan dikaderkan untuk menjadi seorang Ustadz. Buku ini menceritakan dari sudut pandang orang pertama, betapa salahnya pola pikir yang demikian.
Belajar bahasa asing, bahkan dua bahasa sekaligus, dan ditargetkan untuk fasih menggunakannya hanya dalam waktu yang singkat, 3 bulan. Betapa spartan metode yang diterapkan pondok yang identik dengan pengajaran agama doang. Sebuah metode yang sangat jarang ditemukan bahkan di sekolah Internasional sekalipun.
Kalau boleh jujur, membaca buku ini mengingatkan gue akan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata—siapa yang gak tau sih?—jika Laskar Pelangi menekankan 12 anak Belitong pedalaman menjalani kehidupan sehari-harinya, yang mungkin bagi kebanyakan rakyat Indonesia sulit percayai, Negeri 5 Menara menjabarkan kehidupan—yang telah gue jelaskan tadi—6 remaja dari seluruh pelosok Indonesia, belajar di sebuah pondok yang berbeda dengan pandangan orang-orang tentang bagaimanakah sebuah pondok itu?
Keduanya sama-sama memberikan kita pandangan baru, pengalaman segar yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan atau bahkan bayangkan. Dengan dasar yang sama kuat, Negeri 5 Menara mempunyai kekurangan dibandingkan dengan Laskar Pelangi. A. Fuadi nampaknya belum semahir Andrea dalam perumusan kata. Ada beberapa kalimat yang terasa janggal untuk ada didalam sebuah paragraf yang sama, lalu menurut gue pribadi, masih terlalu banyak cerita yang dikisahkan secara bertele-tele hingga akhirnya gue anggap sebagai halaman percuma.
Awalnya, gue enggan baca buku ini, karena di sinopsisnya gue membaca kata ‘Pondok’, gue pikir buku ini adalah buku sejenis karya-karyanya Habiburahma AL-Shirazy (sori kalo salah) yang tanpa alasan jelas gue gak suka, tapi setelah gue membaca 4-5 bab awal, gue baru tau kalau ini adalah buku yang bisa membuat gue ngegenjot mata untuk tahan belasan jam buat nyelesainnya. Gak ada unsur agama yang terlalu keras kok, unsur agama yang ada di dalam Novel ini gue kategorikan ringan, fun dan bisa dinikmatin tanpa lo perlu beragama sama seperti di bukunya.
Overall, gue suka buku ini, membacanya bikin otak fresh. Buku yang berusaha mengajari tanpa berusaha untuk menggurui, yang gue harap juga merupakan satu tolakan besar buat gue pribadi untuk memulai lagi running membaca kaya dulu.
Sekali lagi.. “Man Jadda Wajadda.”
Untukku Jurusanku, dan Untukmu Jurusanmu
Filed Under (From My Mind,rant,Scupidicy,Sh*t ) by Pitiful Kuro on Tuesday, May 18, 2010
Posted at : 12:26 AM
Kadang gue suka panas kuping ketika ada seseorang mendiskreditkan, baik secara langsung maupun tidak jurusan-jurusan lain selain jurusan yang ia tekuni. Nggak jarang gue mendengar seseorang berkata, atau melihat tulisan yang ditulis, dengan tujuan secara nggak langsung untuk mengatakan “duh, jurusan gue kok susah amat yah, jurusan lo kok kagak?” atau mungkin dalam tahap yang lebih sakit lagi masuk ke hati “duuh, ngapain sih belajar gituan? Penting ya?” kasarnya sih begitu.
Oke, hal pertama, buat apa membandingkan jurusan yang lo punya dengan jurusan lain? Iri karena yang lain lebih lowong? Lebih “gampang”? Sekali lagi, buat apa? Jurusan beda, kebijakan juga beda, dan bodohnya lagi, dosennya juga pasti beda, dan dosen yang beda pasti akan mengarah kepada tata ajar dan kurikulum yang diterapkan pastinya juga berbeda (oke, cukup, gak dipanjangin lagi). Ketika elo udah memutuskan untuk mengambil satu jurusan, aturan nomor satunya itu: jangan ngeluh. Kalau elo udah ngeluh ngejalanin apa yang lo sendiri putusin, maka kontinuitas elo di jurusan yang lo ambil udah bisa dipertanyakan. Okeh, kita manusia dan manusia itu mortal, mortalitas manusia yang mengarah kepada saat-saat labil ini akan menimbulkan dampak capek, letih, lesu, lunglai dst dst—yang akan mengarah (lagi) ke aturan nomor dua ketika lo udah mutusin jurusan yang lo ambil: lo mau ngeluh, silahkan ngeluh ke orang yang satu jurusan sama lo, jangan ke orang yang beda jurusan. Kenapa?
Ya percuma. Lo mau jungkir balik bilang presentasi lo padet-det, praktek lo seabrek-brek, dan tugas lo segambreng-breng, dia kagak akan ngerti beban yang lo pikul. Bukannya simpati, yang ada malah dianggep angin lalu, karena tadi, dia nggak di jurusan yang sama dengan yang lo ambil.
Lo bersikeras demikian, bukan hal yang nggak mungkin ujungnya adalah debat kusir membandingkan jurusan mana yang lebih susah untuk dijalanin—apalagi dengan mentalitas bangsa Endonesa ini yang masih bangga punya sifat minus bernama primordialisme. Itu, perdebatan begitu adalah hal tergoblok yang bisa diomongin sama akademisi, manusia-manusia yang sedang dalam tahap pola pikir paling sempurna. Buat gue, itu sama aja kayak nilai D di mata kuliah yang gue sukain. Ya jelaslah beda, yang satu observasi orang, yang satu nyampurin bahan kimia-entah-apa-namanya. Sama aja kayak lo nanyain ke orang cina dan india, gantengan mana Jet Li sama Amir Khan? Subjektif kan? Nah.. makanya goblok.
Dan, kawan, gue belum kelar ngoceh nih. Jika ngeluh aja udah gue anggep haram, gimana yang mendiskreditkan jurusan? Disiplin ilmu? Rasanya gue kayak ngeliat keong racun menang balapan lari, nah loh? Percaya gak lo? Nah itu dia, gue juga gak percaya ada aja yang bisa mengatakan hal-hal begitu. Satu hal yang perlu gue tekankan dalam bahasan ini, mempertanyakan apa yang elo lakukan di jurusan lo itu beda sama mendiskreditkan, misalkan, “elo di ppkn belajar apaan aja emang?” dan “ngapain lo ngambil ppkn?” jelas kan?
Ketika sebuah disiplin ilmu nongol di Universitas, apa itu tanpa alasan? Cuma salah satu jalan bagi universitas untuk meraup dana tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa yang cukup goblok nyasar dan bayar duit buat para penguasa bisa makan gorengan dan ngopi-ngopi asik di warkop? (kepanjangan? Bodo) Ya kagak lah, ada permintaan, maka ada juga yang harus menawarkan. Ketika ada jurusan IPS di Universitas lo, maka percayalah, ada yang meminta universitas itu untuk menggojlok manusia dan membutuhkan banyak S.Pd atau S.Sos bidang IPS dalam waktu 4-5 tahun kedepan. Belip it.
“ngapain lo masuk FSRD? Emang penting ya gambar-gambar gitu doang?”
Percaya sama gue say, kalau jurusan ini kagak ada, mungkin baju Dagadu yang lo bangga-banggain itu kagak akan pernah nongol di pasaran. Mungkin distro-distro yang kerap lo datengin dan aburin duit disana ga akan pernah ada.
“Ngapain lo masuk IKJ? Cuma maen gitar doang sih gue bisa belajar sendiri.”
Nah, kalo Universitas itu kagak ada, gue yakin film-film horror bakal punya score musik dangdut, musik yang bisa bikin lo mengkeret ga akan bisa lo dapetin cuma dengan kunci E C G D-E C G D doang kali.
“Ngapain lo masuk Psikologi? Belajar tentang manusia mah bisa dari kehidupan sehari-hari.”
DUAR.. angin bertiup kencang, langit kelabu, petir pun menyambar bertalu-talu, dan suasana tiba-tiba hening dirundung bisu. Kaya gue bilang, bangsa Endonesa itu sifat primordialismenya tinggi, dan apa yang terjadi, kawan, ketika jurusan gue sendiri dibilang kaya begitu? Okelah, ambil napas, kembang-kempiskan hidung, ambil lewat diafragma dan hembuskan lewat mulut, sabar-sabar..
Andaikan gue bisa tau apa yang menyebabkan bystander effect tanpa harus kuliah Psikologi Umum, andaikan gue bisa tau pengaplikasian Classical Conditioning tanpa baca buku Pengantar Psikologi, andaikan gue bisa tau Defends Mechanism tanpa mendengar celotehan dosen gue yang begitu bersemangat, andaikan gue bisa tau apa penyebab gue merokok begitu masif tanpa gue mendengarkan ceramah kuliah Psikologi Kepribadian, andaikan gue bisa tau apa pengaruh posisi anak lahir pertama dalam sifatnya tanpa gue mengerti teori Alfred Adler, andaikan gue bisa tau bahwa nama ilmiah gila adalah schizophrenia—serta mengetahui kalau itu dapat disembuhkan—tanpa gue ikut kuliah, andaikan gue bisa tau kenapa ada anak yang begitu membangkang sama orang tuanya tanpa gue denger apa yang dikatakan ketua jurusan gue..
Ahh…
Gue nggak akan mau masuk Psikologi deh.. Langsung aja jadi Psikolog keliling. HA!
Oke, hal pertama, buat apa membandingkan jurusan yang lo punya dengan jurusan lain? Iri karena yang lain lebih lowong? Lebih “gampang”? Sekali lagi, buat apa? Jurusan beda, kebijakan juga beda, dan bodohnya lagi, dosennya juga pasti beda, dan dosen yang beda pasti akan mengarah kepada tata ajar dan kurikulum yang diterapkan pastinya juga berbeda (oke, cukup, gak dipanjangin lagi). Ketika elo udah memutuskan untuk mengambil satu jurusan, aturan nomor satunya itu: jangan ngeluh. Kalau elo udah ngeluh ngejalanin apa yang lo sendiri putusin, maka kontinuitas elo di jurusan yang lo ambil udah bisa dipertanyakan. Okeh, kita manusia dan manusia itu mortal, mortalitas manusia yang mengarah kepada saat-saat labil ini akan menimbulkan dampak capek, letih, lesu, lunglai dst dst—yang akan mengarah (lagi) ke aturan nomor dua ketika lo udah mutusin jurusan yang lo ambil: lo mau ngeluh, silahkan ngeluh ke orang yang satu jurusan sama lo, jangan ke orang yang beda jurusan. Kenapa?
Ya percuma. Lo mau jungkir balik bilang presentasi lo padet-det, praktek lo seabrek-brek, dan tugas lo segambreng-breng, dia kagak akan ngerti beban yang lo pikul. Bukannya simpati, yang ada malah dianggep angin lalu, karena tadi, dia nggak di jurusan yang sama dengan yang lo ambil.
Lo bersikeras demikian, bukan hal yang nggak mungkin ujungnya adalah debat kusir membandingkan jurusan mana yang lebih susah untuk dijalanin—apalagi dengan mentalitas bangsa Endonesa ini yang masih bangga punya sifat minus bernama primordialisme. Itu, perdebatan begitu adalah hal tergoblok yang bisa diomongin sama akademisi, manusia-manusia yang sedang dalam tahap pola pikir paling sempurna. Buat gue, itu sama aja kayak nilai D di mata kuliah yang gue sukain. Ya jelaslah beda, yang satu observasi orang, yang satu nyampurin bahan kimia-entah-apa-namanya. Sama aja kayak lo nanyain ke orang cina dan india, gantengan mana Jet Li sama Amir Khan? Subjektif kan? Nah.. makanya goblok.
Dan, kawan, gue belum kelar ngoceh nih. Jika ngeluh aja udah gue anggep haram, gimana yang mendiskreditkan jurusan? Disiplin ilmu? Rasanya gue kayak ngeliat keong racun menang balapan lari, nah loh? Percaya gak lo? Nah itu dia, gue juga gak percaya ada aja yang bisa mengatakan hal-hal begitu. Satu hal yang perlu gue tekankan dalam bahasan ini, mempertanyakan apa yang elo lakukan di jurusan lo itu beda sama mendiskreditkan, misalkan, “elo di ppkn belajar apaan aja emang?” dan “ngapain lo ngambil ppkn?” jelas kan?
Ketika sebuah disiplin ilmu nongol di Universitas, apa itu tanpa alasan? Cuma salah satu jalan bagi universitas untuk meraup dana tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa yang cukup goblok nyasar dan bayar duit buat para penguasa bisa makan gorengan dan ngopi-ngopi asik di warkop? (kepanjangan? Bodo) Ya kagak lah, ada permintaan, maka ada juga yang harus menawarkan. Ketika ada jurusan IPS di Universitas lo, maka percayalah, ada yang meminta universitas itu untuk menggojlok manusia dan membutuhkan banyak S.Pd atau S.Sos bidang IPS dalam waktu 4-5 tahun kedepan. Belip it.
“ngapain lo masuk FSRD? Emang penting ya gambar-gambar gitu doang?”
Percaya sama gue say, kalau jurusan ini kagak ada, mungkin baju Dagadu yang lo bangga-banggain itu kagak akan pernah nongol di pasaran. Mungkin distro-distro yang kerap lo datengin dan aburin duit disana ga akan pernah ada.
“Ngapain lo masuk IKJ? Cuma maen gitar doang sih gue bisa belajar sendiri.”
Nah, kalo Universitas itu kagak ada, gue yakin film-film horror bakal punya score musik dangdut, musik yang bisa bikin lo mengkeret ga akan bisa lo dapetin cuma dengan kunci E C G D-E C G D doang kali.
“Ngapain lo masuk Psikologi? Belajar tentang manusia mah bisa dari kehidupan sehari-hari.”
DUAR.. angin bertiup kencang, langit kelabu, petir pun menyambar bertalu-talu, dan suasana tiba-tiba hening dirundung bisu. Kaya gue bilang, bangsa Endonesa itu sifat primordialismenya tinggi, dan apa yang terjadi, kawan, ketika jurusan gue sendiri dibilang kaya begitu? Okelah, ambil napas, kembang-kempiskan hidung, ambil lewat diafragma dan hembuskan lewat mulut, sabar-sabar..
Andaikan gue bisa tau apa yang menyebabkan bystander effect tanpa harus kuliah Psikologi Umum, andaikan gue bisa tau pengaplikasian Classical Conditioning tanpa baca buku Pengantar Psikologi, andaikan gue bisa tau Defends Mechanism tanpa mendengar celotehan dosen gue yang begitu bersemangat, andaikan gue bisa tau apa penyebab gue merokok begitu masif tanpa gue mendengarkan ceramah kuliah Psikologi Kepribadian, andaikan gue bisa tau apa pengaruh posisi anak lahir pertama dalam sifatnya tanpa gue mengerti teori Alfred Adler, andaikan gue bisa tau bahwa nama ilmiah gila adalah schizophrenia—serta mengetahui kalau itu dapat disembuhkan—tanpa gue ikut kuliah, andaikan gue bisa tau kenapa ada anak yang begitu membangkang sama orang tuanya tanpa gue denger apa yang dikatakan ketua jurusan gue..
Ahh…
Gue nggak akan mau masuk Psikologi deh.. Langsung aja jadi Psikolog keliling. HA!
Gue selalu percaya bahwa televisi itu membodohi, menghipnotis penggemarnya untuk memfungsikan sebagian kecil saja fungsi otaknya. Nggak tau dengan orang lain, yang jelas benda itu sangat berpengaruh terhadap gue, entah itu mentalitas, verbalitas, aktivitas, dan mungkin tas-tas yang lain. Gue mengutuk benda persegi empat itu (belakangan ditemukan yang berbentuk persegi panjang) secara serius karena dampak yang dapat ditimbulkannya kepada diri gue sendiri, dan untungnya gue bukan keledai, sehingga sah-sah saja kalo gue jatoh ke lobang yang sama lebih dari dari dua kali.
Saat menonton, gue merasa dengan jelas bahwa gue sedang dibodohi, tapi hebatnya, gue tetep aja nonton. Menikmati tawa dengan lawakan-lawakan yang dijejalkan, menunggu-nunggu apa yang terjadi selanjutkan ketika mc keparat itu memotong acara dengan iklan, dan segudang aksi-aksi hipnotis lainnya yang dapat mempertahankan gue untuk duduk terus didepannya.
Salah satu film keluaran Turki pun, menggambarkan bagaimana awal-awal kemunculan televisi ini digambarkan sebagai benda iblis. Walau dengan dugaan lain, mereka menganggap kotak itu dapat memunculkan gambar dari tempat yang jauh, sekarang sih, membawa pikiran penontonnya ke tempat yang jauh.
Gue nggak munafik kok, gue mengakui bahwa apa yang disuguhkan didalam kotak tersebut memang ada yang menarik perhatian gue—walau tidak semua. Tapi sekali lagi, gue berkeras dengan pendirian gue bahwa benda tersebut adalah benda yang seharusnya dijauhi dari gue, mempertimbangkan apa dampak yang dapat ditimbulkannya. Mungkin media hiburan lain seperti internet, baik dalam bentuk berita, atau apapun isinya masih lebih cocok buat gue pribadi, seenggaknya ketika gue mencari hiburan di net, gue bisa menyimpan hiburan tersebut kedalam otak, lain halnya dengan televisi yang gambar-gambarnya nggak pernah gue inget baik.
Nah.. sekarang tipi gue mau dikemanain nih?
Saat menonton, gue merasa dengan jelas bahwa gue sedang dibodohi, tapi hebatnya, gue tetep aja nonton. Menikmati tawa dengan lawakan-lawakan yang dijejalkan, menunggu-nunggu apa yang terjadi selanjutkan ketika mc keparat itu memotong acara dengan iklan, dan segudang aksi-aksi hipnotis lainnya yang dapat mempertahankan gue untuk duduk terus didepannya.
Salah satu film keluaran Turki pun, menggambarkan bagaimana awal-awal kemunculan televisi ini digambarkan sebagai benda iblis. Walau dengan dugaan lain, mereka menganggap kotak itu dapat memunculkan gambar dari tempat yang jauh, sekarang sih, membawa pikiran penontonnya ke tempat yang jauh.
Gue nggak munafik kok, gue mengakui bahwa apa yang disuguhkan didalam kotak tersebut memang ada yang menarik perhatian gue—walau tidak semua. Tapi sekali lagi, gue berkeras dengan pendirian gue bahwa benda tersebut adalah benda yang seharusnya dijauhi dari gue, mempertimbangkan apa dampak yang dapat ditimbulkannya. Mungkin media hiburan lain seperti internet, baik dalam bentuk berita, atau apapun isinya masih lebih cocok buat gue pribadi, seenggaknya ketika gue mencari hiburan di net, gue bisa menyimpan hiburan tersebut kedalam otak, lain halnya dengan televisi yang gambar-gambarnya nggak pernah gue inget baik.
Nah.. sekarang tipi gue mau dikemanain nih?
Craving For DDDDIIIISSSS!!!!
Filed Under () by Pitiful Kuro on Saturday, May 08, 2010
Posted at : 5:56 PM
A Nightmare On Elm Street Teaser Poster
Barusan aja gue kegirangan luar biasa. Pasalnya gue menemukan bahwa salah satu film yang gue tunggu-tunggu banget udah masuk tayang di endonesa inih. A nightmare on elm street, remake dari film berjudul sama yangf dirilis pada tahun 1984. Tadinya gue udah was-was, semenjak Michael Bay si pecinta mobil-mobilan bermutasi ini mau bikin remake film cult terklasik ini, gue langsung ngecek jadwal rilisnya di IMDB, gue kecewa berat, kenapa? Masak gak tayang di Indo? Eh ternyata.. hari ini premiere, hahaha!
Film ini! Lo gak tau ini, berarti lo bukan fans dari genre absurd yang dinamakan horror-splatter. Mas Freddy dengan tangan pisaunya, mengejar-ngejar penghuni elm street saat mereka tertidur dalam mimpinya. Wuih, gak ada yang bisa menandingi adegan klasik dimana dia ngebelah tubuh korbannya dari dalem, dan gue gak mau gue gak mendapatkan itu di film remake ini. Mungkin itu juga salah satu kekhawatiran gue di tangan full action Michael Bay. Gue gak mau Freedy gue yang memiliki luka bakar tingkat empat berubah menjadi setengah cyborg yang bisa berubah jadi motor, ataupun punya senapan rifle jaman WW.
Oke-oke, memang berlebihan gue emang. Gak mungkin juga unsur-unsur yang ada di transformer dan pearl harbour masuk ke film ini, kalo sampe? Wah wah, bisa nangis jenggo kali gue. Gue pengen film ini nakut-nakutin gue, saking takutnya sampai gue pengen keluar dari bioskop sebelum waktunya, gue pengen perut gue dibuat mual dengan intestin berserakan dan darah yang ngucur kayak pancuran sampai gue kehilangan nafsu makan beberapa hari kedepan, dan gue pengen sampai gue ketakutan tidur karena takut Mas Freddy ini bakalan muncul di mimpi gue ngebawa-bawa sarung tangan pisonya, hiih..
Yang pasti, gue gak sabar menyambangi bioskop terdekat, beli tiket, dan menikmati ketakutan dari remake film yang menjadi franchise-franchise elm street selanjutnya. Berapa sih yang bisa ampe segitu banyak? Brr.. nonton sama siapa nih? Doski mana doyan nonton yang ginian :(
Betapa gw benci yang namanya bohong dan pura-pura, apapun alasannya, dan bahkan atas nama keparat kebaikan. Gw gak bisa mentolerir segala jenis apapun maksud dan alasan apalah itu omong-kosong-blah-blah-blah peralasan yang menopengi untuk menghalalkan bohong tadi.
Perlu ya? Bersikap manis, pretend there is nothing wrong, padahal dalam hati jijik luar biasa. Gak capek? Apa susahnya bilang gak suka, lo enak, gwnya juga lega tau kalo ditolak terang-terangan. Gak perlu deh gw berharap-harap dapet ceceran pertemanan yang nyisa barang seiprit.
Sekarang apa? Gw membuka apa yang tertutup, menemukan yang sembunyi, dan gw gak habis pikir. Muak sampe tenggorokan gw penuh.
Naif? Munafik? Whatfuckever
Perlu ya? Bersikap manis, pretend there is nothing wrong, padahal dalam hati jijik luar biasa. Gak capek? Apa susahnya bilang gak suka, lo enak, gwnya juga lega tau kalo ditolak terang-terangan. Gak perlu deh gw berharap-harap dapet ceceran pertemanan yang nyisa barang seiprit.
Sekarang apa? Gw membuka apa yang tertutup, menemukan yang sembunyi, dan gw gak habis pikir. Muak sampe tenggorokan gw penuh.
Naif? Munafik? Whatfuckever
Balada KA Parahyangan
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, May 03, 2010
Posted at : 2:19 PM
"EDDUUAN! GAK BERES INI!"
Itu adalah kalimat yang dilontarkan seorang bapak-bapak berusia 50an di stasiun Gambir, pasalnya pengumuman yang dipasang disebelah loket penjualan kereta api parahyangan membuatnya geram. Kereta api yang memfasilitasi hubungan antar Jakarta-Bandung PP itu akan diberhentikan mulai tanggal 27 april kemarin, hal ini menuai berbagai macam komentar dari beberapa kalangan, yang kebanyakan tentunya berupa protes dan ketidaksetujuan. Ya iya toh, kereta yang sudah mencapai tingkat ikonik tersebut tiba-tiba saja diberhentikan, tapi bukan tanpa alasan.
Minimnya jumlah penumpang yang menjadi permasalahan, bahkan dalam hari kerja, tidak sampai setengah dari jumlah tempat duduk kereta tersebut yang terisi, ini membuat PT. KA merugi hingga 6 Triliyun pada tahun lalu. Menjamurnya travel-travel yang melayani jalur Jakarta-Bandung adalah penyebab utamanya, dengan harga yang tidak jauh berbeda dari KA Parahyangan, para penumpang cukup menempuh hampir setengah waktu tempuh jika menggunakan KA Parahyangan. Jika dengan PArahyangan jarak tempuh bisa sekitar 3-4 jam, dengan travel yang melalui Tol Cipularang cukup menempuh sekitaran 2 jam saja.
Tapi bagi segelintir orang, travel yang menjamur tersebut masih bukanlah sebuah opsi, ada sebagian masyarakat yang masih lebih memilih untuk naik Parahyangan dibandingkan dengan naik travel. Sejauh yang saya tanya, alasan mereka pun tidak pernah berbau ekonomi, kebanyakan orang yang saya temui memilih naik kereta Parahyangan karena nyaman. Tidak hanya itu, bagi yang lainnya, KA Parahyangan punya nilai historisnya tersendiri bagi mereka-mereka, entah apa itu. Pihak-pihak inilah yang menyuarakan protes-protes atas pemberhentian jalur tersebut.
Pemberhentian ini bagi saya pribadi adalah sebuah dua buah ironi tersendiri. Setahu saya, KA Parahyangan adalah ikon pergerakan KA nasional, KA dengan lokomotif terbaik yang didatangkan dari Jepang serta gerbong-gerbongnya adalah KA Parahyangan yang pertama kali mempergunakannya, namun ketika sekarang justru sang ikon diberhentikan, bukankah menjadi ironi tersendiri bagi mereka yang mempunyai kenangan-kenangan dengan kereta tersebut?
Hal kedua yang membuat saya miris adalah, ketika negara-negara maju berlomba dalam teknologi transportasi massal, Indonesia justru malah kembali ke metode angkutan pribadi. Jepang dan sebagian besar negara di eropa mengandalkan kereta, baik subway ataupun yang biasa, sebagai mode transportasi utama di negaranya, tapi masyarakat Indonesia justru lebih menyukai travel yang jelas-jelas mengonsumsi bahan bakar fosil yang lebih banyak—jika dibandingkan dengan KA dan jumlah penumpang yang dapat diangkut.
Namun ada secercah harapan bagi mereka yang masih ngotot ingin bernostalgi memandangi pegunungan kapur padalarang, atapaun perbukitan indah purwakarta. PT KA memberikan solusi yang menurut saya cukup brilian mengenai minimnya jumlah penumpang serta rencana penutupan jalur tersebut. Kabar angin yang beredar seputar penghapusan KA Parahyangan dan hanya akan digantikan oleh KA Argo Gede tidak sepenuhnya benar, ternyata PT KA justru menggabungkan kedua kereta tersebut menjadi KA Argo Parahyangan. KA ini sendiri memiliki gerbong dari kedua kereta tadi, 2 gerbong bisnis parahyangan, 2 gerbong eksekutif parahyangan, dan terakhir ada 2 gerbong eksekutif argo gede.
Kesan saya saat menggunakan KA Argo Parahyangan kemarin tidak jauh berbeda ketika saya menggunakan KA Parahyangan dulu (saya naik kelas bisnis), saya masih dapat merokok di bordes sesuka saya, membuka pintu bila memungkinkan, dan mengobrol dengan orang asing sesuai dengan hobi saya. Hanya saja, jika PT KA tidak ingin merugi lebih banyak lagi, peremajaan jalur serta revitalisasi kereta agaknya cukup diperlukan. Pasalnya jalur yang amblas semenjak insiden Sukatani, Purwakarta masih belum pulih sepenuhnya. Kereta masih harus melaju dengan amat perlahan—dengan sensasi thrilling yang cukup menegangkan ketika melewati daerah tersebut.
Ketika PT. KA sudah dapat menyelesaikan PR tersebut, bukan tidak mungkin pelanggan-pelanggan lama yang telah pindah hati ke Travel kembali lagi untuk bernostalgi dengan KA dari Bumi Parahyangan ini.
My Name Is Khan
Filed Under (Review Film ) by Pitiful Kuro on Tuesday, April 20, 2010
Posted at : 1:50 PM
Bercerita tentang Rizwan Khan (Shahrukh Khan), penderita asperger syndrome, yaitu salah satu jenis autisme dimana penderitanya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan tidak mengerti kiasan, tapi dalam beberapa kasus penderitanya memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Film ini dimulai dengan Rizwan yang sedang berada di bandara Washington, ia dicurigai dan digeledah oleh petugas pemeriksaan, setelah tidak ditemukan suatu apapun yang mencurigakan dari dirinya, petugas bertanya padanya sedang apa di Washington. Jawaban yang diberikan Rizwan begitu ringkas dan mengejutkan, ia ingin bertemu dengan presiden dan mengatakan: “My name is Khan, and I am not a terrorist.”
Kenapa dia ingin menemui presiden dan menyampaikan hal tersebut? Pertanyaan ini akan terjawab seiring dengan berjalannya film yang memakai metode flashback dalam penyampaiannya ini. Rizwan kecil tinggal bersama ibu dan adiknya, ia tidak diterima oleh rekan-rekan sekolahnya karena keterbelakangan mental yang ia derita. Walaupun begitu, ibunya tidak kehabisan akal dan menyuruh Rizwan untuk belajar dengan seorang sarjana tua di daerah rumahnya.
Setelah ibunya meninggal, Rizwan diputuskan untuk tinggal di Amerika dengan adiknya yang telah lebih dulu berada disana. Sebagai penderita autisme, berada di lingkungan baru menjadi sebuah kesulitan tersendiri bagi Rizwan, ditambah dengan sang adik yang nampak apatis terhadapnya. Namun semua itu bukanlah halangan bagi seorang penderita asperger syndrome untuk jatuh cinta, Mandira (Kajol), seorang hairdresser yang Rizwan temui secara tidak sengaja membuatnya jatuh hati, dan memutuskan untuk menikahinya.
Kesempurnaan hidup Rizwan ternyata tidak bertahan lama, 11 September 2001, tanggal dimana gedung kembar WTC di bom oleh teroris turut berdampak pada Rizwan dan keluarganya yang memiliki nama muslim, diskriminasi dan pengucilan dialami oleh mereka.
==
Gw belum pernah nonton film india sampai abis sebelumnya, selain durasinya yang bisa bikin kuda beban ngantuk, score dan sinematografinya bikin leher gue meremang. Seinget gue sih, film india yang pernah gue tonton—paling nggak setengahnya—itu cuma Kuch-Kuch Hota Hai.
Bersyukur deh sama film ini, film yang masih tergolong bollywood ini memberikan format baru didalam sebuah genre. Ketika gue dibuat khawatir dengan acting berlebihan dan plotline ala indihe, gue diberikan sebuah storyline yang memang sangat sulit untuk diangkat kedalam sebuah film. Agama, ras, autisme, diskriminasi dan penyingkapan perbedaan. Tentunya menggabungkan hal-hal yang sensitif dan meramunya agar menjadi sesuatu yang tidak kontroversial, tapi memberikan sebuah pesan mendalam yang membuat orang yang menontonnya dapat memiliki sudut pandang baru bukanlah hal yang mudah. Karan Johar sebagai director nampaknya sangat terbuka dan tidak membatasi format film hanya dengan format bollywood yang sudah kita kenal selama ini, walaupun memang banyak adegan yang memang sangat bollywood sekali. Misalnya, Rizwan yang dibuat sangat heroik saat menyelamatkan korban katrina di gereja, kamera masih saja sempat menyorotnya ketika sedang mengibaskan rambut—dengan seksi, lengkap dengan senyum 5000 watt nya. =))
Film ini juga cukup berani memasukkan dialog-dialog yang cukup berbahaya, namun dengan cerdasnya, keberbahayaan dialog tersebut diubah menjadi hal yang membuat kita berkaca pada diri sendiri, terutama untuk mereka yang beragama Islam.
Akting pemainnya juga sangat oke, terutama tentunya Sharukh Khan yang berperan sebagai penderita autisme, gerak tubuh, pandangan mata dan logat bicaranya sangat sempurna. Melihat aktingnya, saya teringat dengan Tom Hanks dengan perannya dil film Forest Gump, yang juga sangat baik memerankan perannya. Untuk pemain lain, Kajol juga sangat oke, namun saya agak merasa janggal dengan perannya sebagai seorang ibu yang ditinggal anaknya. Oh iya, saya lupa, chemistry diantara Shahrukh dan Kajol memang sangat klop.
Walaupun katanya film ini menguras air mata, sayangnya saya nggak nangis tuh. Ah, kayanya bukan salah filmnya, emang sayanya aja yang bebal. Hehe.
Fyuh.. baru beberapa minggu nganggur aja bosennya gue ampun-ampunan. Padahal pas banyak task, maunya libur lama gak ngapa-ngapain kan? Makan nih. Menurut gue sih masih lebih enakan ambruk karena kebanyakan tugas dan kegiatan daripada ambruk karena kebanyakan istirahat, seenggaknya udah ngehasilin sebuah dua buah output yang bisa dinikmati sambil senyum puas.
Kerjaan gue baru bisa dimulai akhir april ini, terapi-terapi juga baru dimulai minggu ini. Sayangnya semua kegiatan itupun nggak menuntut waktu gue secara maksimal, aktif paling banyak ya 5 hari seminggu. Bener-bener kosong, mau nulis pun, yang fiksi ngga bisa maju, yang riil juga ngga ada bahan, mau (sok) berteori juga ngga ada sesuatu yang bikin gue gatel untuk nulis. Hwueh? Jadilah, 98 persen kemungkinan post ini berisi hal-hal random sampah gak penting yang bakalan bikin sakit mata mereka yang baca.. kalo ada :P
Sekarang gue di Bandung loh.. ada panggilan alam yang manggil gue untuk balik sekitar 3-4 harian, selain ngurus pindahan kosan ke DU, juga ada beberapa hal lain yang harus gue urus. Yeah, gue pindah kosan sekarang, ke daerah dipati ukur. Sejauh ini, gue ngerasa kosannya pewe abis, letaknya di lantai 3, kamar gue langsung ngehadep ke luar, pemandangannya juga oke, dan ada lantai atasnya lagi yang biasa dipake buat jemuran—yang tentunya bakalan gue pake buat ngerokok dan ngopi2 asik disana, duileh, asiiiik.. naon coba.
Kosannya terletak di perumahan warga, rame disana, teteh-teteh yang punya kosannya juga baek, murah senyum. Oh iya, dia juga punya rumah makan—yah, warung nasi lah—di lantai 1 kosan gue itu, mempermudah gue kalo laper nih. Katanya juga ada internet patungan disana, speedy, kurang lebih sekitar 75 rebu perbulan biayanya. Gue sih amin-amin aja, sukur-sukur kalo misal gue masih ada kesempetan buat ngikut patungan, jadi bisa lebih tenang kalo mau inetan.
Euh, nte ngenah awak..
(ealah, naon coba, sunda fail, haha)
Yeah, ada hal yang seru di kepulangan gue ke Bandung kemaren. Kaya biasa, gue naek motor dari Jakarta ke Bandung, entah emang badan gue udah ngga enak atau kepala gue mulai ringsek gara-gara overdosis yakult, masa gue nyasar ke pantura dong.. harusnya gue belok kanan kearah cikampek, ini gue malah ngambil kiri dan masuk ke jalan paling legendaris se-pulau jawa itu. Nyadarnya juga pas udah lewat lebih 20 kilo mungkin, soalnya selain gue merasa nggak familiar sama jalannya, gue juga heran.. kok itu truk-truk kontainer dan bis-bis badak-badak teuing ngebutnya ngalahin motor gue (+/- 80-90km/jam), huahahaha.. horor. Akibatnya—karena gue ngerasa mubazir harus muter balik dan nempuh 20 kilo lagi, gue mutusin buat lempeng lewat pantura sampe ke Subang! Yahu, yang berarti adalah tambahan jarak buat gue sekitar 70 kiloan.. setan abis.
Nah, yang menarik lainnya, karena gue lewat Subang, otomatis gue juga akan ngelewatin Ciater dong, disini nih mantepnya.. kurang lebih sekitar setengah jam perjalanan, daerah Ciater – Tangkuban, kabut turun dengan amat sangat parah sodara-sodara, penglihatan ngga tembus sampe jarak 5 meteran. Yah, berada didalam kabut tebel sih gue sering, ngga heran, tapi kawan, bagemane kalo lo ada di dalam kabut tersebut saat ngendarain Motor? Dalam keadaan gelap gulita? Di jalanan yang nanjak 30 drajat? Di jalur yang hobi dilalui sama truk-truk pengangkut barang? Wuih, cuma satu kata yang pas buat ngegambarin keadaan itu: Thrilling abis! (eh, dua itu mah).
Sepanjang kabut itu gue bukannya berkata ‘astagfirullah atau subhanallah’ atau minta keselamatan apa kek gitu, tapi kata-kata yang otomatis keluar adalah, “anjing! Anjing! Keren mampus, gillaaa.. anjing.. anjing.” Tapi emang, keren abis lah momen yang gue laluin waktu itu.. saking ngerinya, gue ampe nggak berani untuk berenti karena takut diserempet dari belakang ama truk. Jadilah gue ngekorin satu motor didepan gue, jaga jarak 3 meteran supaya seenggaknya gue punya patokan didepan harus belok kemana aja. Ah.. keren lah pokoknya..
Gue harus balik besok kayanya nih.. ketemu psikolognya jum’at.. muales tenan rek..
Hahahasampah abis nih post
Kerjaan gue baru bisa dimulai akhir april ini, terapi-terapi juga baru dimulai minggu ini. Sayangnya semua kegiatan itupun nggak menuntut waktu gue secara maksimal, aktif paling banyak ya 5 hari seminggu. Bener-bener kosong, mau nulis pun, yang fiksi ngga bisa maju, yang riil juga ngga ada bahan, mau (sok) berteori juga ngga ada sesuatu yang bikin gue gatel untuk nulis. Hwueh? Jadilah, 98 persen kemungkinan post ini berisi hal-hal random sampah gak penting yang bakalan bikin sakit mata mereka yang baca.. kalo ada :P
Sekarang gue di Bandung loh.. ada panggilan alam yang manggil gue untuk balik sekitar 3-4 harian, selain ngurus pindahan kosan ke DU, juga ada beberapa hal lain yang harus gue urus. Yeah, gue pindah kosan sekarang, ke daerah dipati ukur. Sejauh ini, gue ngerasa kosannya pewe abis, letaknya di lantai 3, kamar gue langsung ngehadep ke luar, pemandangannya juga oke, dan ada lantai atasnya lagi yang biasa dipake buat jemuran—yang tentunya bakalan gue pake buat ngerokok dan ngopi2 asik disana, duileh, asiiiik.. naon coba.
Kosannya terletak di perumahan warga, rame disana, teteh-teteh yang punya kosannya juga baek, murah senyum. Oh iya, dia juga punya rumah makan—yah, warung nasi lah—di lantai 1 kosan gue itu, mempermudah gue kalo laper nih. Katanya juga ada internet patungan disana, speedy, kurang lebih sekitar 75 rebu perbulan biayanya. Gue sih amin-amin aja, sukur-sukur kalo misal gue masih ada kesempetan buat ngikut patungan, jadi bisa lebih tenang kalo mau inetan.
Euh, nte ngenah awak..
(ealah, naon coba, sunda fail, haha)
Yeah, ada hal yang seru di kepulangan gue ke Bandung kemaren. Kaya biasa, gue naek motor dari Jakarta ke Bandung, entah emang badan gue udah ngga enak atau kepala gue mulai ringsek gara-gara overdosis yakult, masa gue nyasar ke pantura dong.. harusnya gue belok kanan kearah cikampek, ini gue malah ngambil kiri dan masuk ke jalan paling legendaris se-pulau jawa itu. Nyadarnya juga pas udah lewat lebih 20 kilo mungkin, soalnya selain gue merasa nggak familiar sama jalannya, gue juga heran.. kok itu truk-truk kontainer dan bis-bis badak-badak teuing ngebutnya ngalahin motor gue (+/- 80-90km/jam), huahahaha.. horor. Akibatnya—karena gue ngerasa mubazir harus muter balik dan nempuh 20 kilo lagi, gue mutusin buat lempeng lewat pantura sampe ke Subang! Yahu, yang berarti adalah tambahan jarak buat gue sekitar 70 kiloan.. setan abis.
Nah, yang menarik lainnya, karena gue lewat Subang, otomatis gue juga akan ngelewatin Ciater dong, disini nih mantepnya.. kurang lebih sekitar setengah jam perjalanan, daerah Ciater – Tangkuban, kabut turun dengan amat sangat parah sodara-sodara, penglihatan ngga tembus sampe jarak 5 meteran. Yah, berada didalam kabut tebel sih gue sering, ngga heran, tapi kawan, bagemane kalo lo ada di dalam kabut tersebut saat ngendarain Motor? Dalam keadaan gelap gulita? Di jalanan yang nanjak 30 drajat? Di jalur yang hobi dilalui sama truk-truk pengangkut barang? Wuih, cuma satu kata yang pas buat ngegambarin keadaan itu: Thrilling abis! (eh, dua itu mah).
Sepanjang kabut itu gue bukannya berkata ‘astagfirullah atau subhanallah’ atau minta keselamatan apa kek gitu, tapi kata-kata yang otomatis keluar adalah, “anjing! Anjing! Keren mampus, gillaaa.. anjing.. anjing.” Tapi emang, keren abis lah momen yang gue laluin waktu itu.. saking ngerinya, gue ampe nggak berani untuk berenti karena takut diserempet dari belakang ama truk. Jadilah gue ngekorin satu motor didepan gue, jaga jarak 3 meteran supaya seenggaknya gue punya patokan didepan harus belok kemana aja. Ah.. keren lah pokoknya..
Gue harus balik besok kayanya nih.. ketemu psikolognya jum’at.. muales tenan rek..
Hahahasampah abis nih post
Lha? Kan gw gak minta tolong?
Filed Under (rant ) by Pitiful Kuro on Monday, April 05, 2010
Posted at : 11:05 PM
--gw, kepada rere yang tiba-tiba nelpon dan ujug-ujug ngomel
A Very End Just for A Prologue
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Saturday, April 03, 2010
Posted at : 3:17 PM
Limit. Mungkin kata itu pas banget buat gue sekarang. Segala-gala ada batasannya, dan kayaknya gue pun udah melewati batasan, entah itu kesabaran, entah itu emosi, entah itu psikis, atau apapun, gue udah di batas. Kalau beberapa waktu lalu gue mencapai limit dan dianugrahi tipes dan DBD, sekarang gue berkata limit maka gue dianugrahi psikolog, motivator dan tetek bengek lainnya yang ada hubungannya dengan kondisi kejiwaan.
Pada satu titik, gue bahkan berpikir kalau gue udah mencapai akhir, akhir dari semua, semua yang pernah gue lewati, gue jalani. Pada titik lain, gue merasa kewarasan gue udah dikeprok total sama yang namanya batu dunia. Gue sampai bener-bener mengira kalau gue akan dibawa ke RSJ, atau berakhir tragis di meja UGD tanpa ada dokter yang sempet merawat gue. Tapi toh, gue masih hidup dan sekarang mengetik posting lain yang ga penting ini. Sekali lagi gue menjahili kematian, sekali lagi pula gue menulis paragraf lain dari buku nasib yang gue pegang.
Detik-detik awal semuanya terjadi, gue bingung, apakah gue harus bersyukur, atau malah merutuk karena apa yang terjadi tidak sesuai sama yang gue harapkan. Dia, bayangan yang selalu dateng di saat-saat macam ini udah ngga melarang gue lagi, dia memberikan jalan dan gue pun lempeng aja. Tapi ternyata semua berkebalikan.
Sekali lagi, gue bingung. Namun saat gue sadar, (seperti biasanya) gue menyadari segala kesalahan yang udah gue perbuat, ujungnya, ini semua cuma nambah noda hitam di buku catatan milik kedua malaikat yang ada di kanan-kiri gue. Dan seperti biasa pula, setiap lubang, harus dicari tanah lain untuk nutupin.
Karenanya gue mau berterima kasih. Pada dokter yang nolong gue, walaupun merelakan gue sebagai bahan percobaan suster-suster kampret dan dokter-dokter trainee gelo itu. Pada orang yang ngangkut gue pas pingsan. Pada kerabat gue di bandung yang mau merelakan waktu tidurnya untuk ngawasin gue. Emak gue juga, yang rela merogoh kocek lagi buat biaya a b c, dan usahanya yang, err.. lumayanlah untuk berdamai sama gue. Ibu, ayah juga yang mau susah-susah, padahal gue anaknya juga bukan, tapi mau repot sampai segitunya. Bude-bude Jakarta, yang walaupun bawelnya seamit-amit, tapi tetep ngebantu dengan cara mereka yang unik. Tante Prima dan Om Herki, dengan sikap yang friendly uabbiiies nganterin gue ke psikolog dan pengajian-pengajian (geje) itu. Khususnya om Herki si motivator yang mendoktrin gue dengan teori serta konsepnya yang menarik, yang memberikan gue pandangan baru lagi dalam memandang hidup
Dan tentunya, teteh yang.. entah ya, begitulah, bingung mau mendeskripsikan pertolongan yang dia kasih tapi sampai bingung sendiri mau menyebut yang mana saking sama berarti dan sama pentingnya uhuk...
Gitu deh.. tinggal mantau si waktu aja yang akan ngebawa semuanya kearah lebih baik, amin gak? Amiin doong.
Pada satu titik, gue bahkan berpikir kalau gue udah mencapai akhir, akhir dari semua, semua yang pernah gue lewati, gue jalani. Pada titik lain, gue merasa kewarasan gue udah dikeprok total sama yang namanya batu dunia. Gue sampai bener-bener mengira kalau gue akan dibawa ke RSJ, atau berakhir tragis di meja UGD tanpa ada dokter yang sempet merawat gue. Tapi toh, gue masih hidup dan sekarang mengetik posting lain yang ga penting ini. Sekali lagi gue menjahili kematian, sekali lagi pula gue menulis paragraf lain dari buku nasib yang gue pegang.
Detik-detik awal semuanya terjadi, gue bingung, apakah gue harus bersyukur, atau malah merutuk karena apa yang terjadi tidak sesuai sama yang gue harapkan. Dia, bayangan yang selalu dateng di saat-saat macam ini udah ngga melarang gue lagi, dia memberikan jalan dan gue pun lempeng aja. Tapi ternyata semua berkebalikan.
Sekali lagi, gue bingung. Namun saat gue sadar, (seperti biasanya) gue menyadari segala kesalahan yang udah gue perbuat, ujungnya, ini semua cuma nambah noda hitam di buku catatan milik kedua malaikat yang ada di kanan-kiri gue. Dan seperti biasa pula, setiap lubang, harus dicari tanah lain untuk nutupin.
Karenanya gue mau berterima kasih. Pada dokter yang nolong gue, walaupun merelakan gue sebagai bahan percobaan suster-suster kampret dan dokter-dokter trainee gelo itu. Pada orang yang ngangkut gue pas pingsan. Pada kerabat gue di bandung yang mau merelakan waktu tidurnya untuk ngawasin gue. Emak gue juga, yang rela merogoh kocek lagi buat biaya a b c, dan usahanya yang, err.. lumayanlah untuk berdamai sama gue. Ibu, ayah juga yang mau susah-susah, padahal gue anaknya juga bukan, tapi mau repot sampai segitunya. Bude-bude Jakarta, yang walaupun bawelnya seamit-amit, tapi tetep ngebantu dengan cara mereka yang unik. Tante Prima dan Om Herki, dengan sikap yang friendly uabbiiies nganterin gue ke psikolog dan pengajian-pengajian (geje) itu. Khususnya om Herki si motivator yang mendoktrin gue dengan teori serta konsepnya yang menarik, yang memberikan gue pandangan baru lagi dalam memandang hidup
Dan tentunya, teteh yang.. entah ya, begitulah, bingung mau mendeskripsikan pertolongan yang dia kasih tapi sampai bingung sendiri mau menyebut yang mana saking sama berarti dan sama pentingnya uhuk...
Gitu deh.. tinggal mantau si waktu aja yang akan ngebawa semuanya kearah lebih baik, amin gak? Amiin doong.
Mungkin sebagian besar para moviegoers punya genre yang dijadikan favoritnya dalam menonton sebuah film, entah horror, komedi, thriller, atau suspense. Dan biasanya, film-film yang sesuai dengan genre favoritnya itu akan didahulukan melewati film-film lainnya. Contohnya aja, bude gue, dia fanatik ekstrim sama film-film yang berbau action, film-film action segala rupa dari jamannya Jean Claude Van-Damme, Steven Seagle sampai Matt Damon atau Channing Tatum di zaman sekarang selalu ia tonton. Dan film-film genre lain, mau seterkenal apapun, ga akan sanggup bikin lehernya nengok barang satu derajat. Duileh, yang namanya Avatar aja dia kaga ngeh (atau kaga mau ngeh?)
Menonton film buat gue itu gue pikir hanya kegiatan sampingan, hobi sekunder yang ngga penting-penting amat, karena fokus gue (dulu) lebih kepada apa yang bisa gue baca, daripada apa yang bisa gue nikmatin secara audio visual. Jadinya, gue selalu menerima aja setiap genre yang gue tonton, ngga pilih-pilih dan berusaha untuk selalu enjoy nikmatin. Lain dulu lain sekarang, semenjak pindah ke Bandung, gue jadi lumayan sering menyambangi bioskop, yah.. untuk seenggaknya menonton film-film yang box office lah, yang punya pamor publik, untuk sekedar membunuh waktu kosong gue yang emang lowong banget disini.
Kebiasaan yang mulai berubah ini membuat gue lebih selektif saat menyaring, mana-mana aja nih film yang sekiranya ngga hanya berakhir dengan gue tonton aja, tapi yang juga bisa memberikan cinematic orgasm. Kepuasan puncak saat menonton sebuah film. Awalnya sih berjalan dengan santai aja, mencari-cari dan coba menelaah mana nih, film yang bisa bikin gue merinding? Dan akhirnya gue menemukan genre yang mungkin akan menjadi genre favorit gue.
Ternyata.. film yang mengandung gore, violence, blood dan splatter tingkat sarap yang mampir di otak gue, menyindir-nyindir modula oblongata dan menyengat adrenalin untuk menenangkan diri gue yang kelewat kesenengan. Aneh, padahal gue kira, gue hanya akan tertarik dengan film-film dengan sinematografi sekelas lukisan, jajaran pemain papan atas yang bisa bikin gue ciut hanya dengan satu dialognya, atau grafis-grafis edan yang bisa bikin dunia khayalan jadi nyata. Tapi bukan tuh. Pernah denger Evil Dead? Nah, itu salah satunya yang menjadi kiblat gue sekarang.
Darah yang tumpah dalam jumlah riddikulus, potongan organ yang terbang kesana kemari, usus yang memburai, kepala yang pecah kaya semangka, dan tentunya, hero kelas B yang seakan Mary Sue (unbeatable) bawa-bawa gergaji untuk menghasilkan deskripsi-deskripsi diatas saat mencincang zombie-zombie tersebut. Urgh.. tempting. Daripada Batman atau Wolverine, gue lebih suka Ash (Evil Dead) yang menggergaji kepala pacarnya saat pacarnya udah kerasukan roh jahat di tiap seri Evil Dead. Atau Lionel (Braindead a.k.a Dead Alive) yang mencincang halus puluhan zombie hanya dengan pemangkas rumputnya.
Tapi jangan salah, genre yang (mungkin) menjadi favorit gue ini jangan disamakan dengan Twisted Thriller macam Saw atau Hostel. Horror dalam favorit gue adalah film-film ‘rendahan’ yang menjanjikan kesadisan frontal tanpa ba-bi-bu, tanpa mikir, tanpa make otak, dan yang gue butuhkan adalah beberapa batang rokok, kopi, dan popcorn yang bisa gue nikmatin sambil nyantai saat nonton.
Memang, baru beberapa film dalam genre ini yang gue tonton, tapi gue rasa, itu udah cukup untuk menstempel, bahwa gue memang jatuh cinta kepada genre yang satu ini. Sekedar referensi, film-film yang udah gue tonton itu, diantaranya:
Evil Dead
Evil Dead II: Dead by Dawn
Feast
Return of The Living Dead
Trailer Park of Terror
Braindead a.k.a Dead Alive
Toxic Avenger (ini mah cacat, sumpah)
Bad Taste
Sekedar informasi, dua film diatas, Bad Taste dan Braindead adalah film yang dibuat oleh Peter Jackson sebelum dia bikin Trilogi LOTR, yang panjangnya bisa bikin orang insomnia jadi ngantuk itu loh, dan sebelum badannya bengkak kayak panda seperti sekarang. Soal kualitas? Bad Taste itu seperti film yang scriptnya dibuat oleh anak kelas 6 SD dan di sutradarai oleh orang yang pernah menderita schizophrenia, belum sembuh total tapi sudah disuruh menyutradai sebuah film, hasilnya? Bad Taste. Tapi memang tujuan pembuatan film ini (katanya) memang mewakili selera murahan filmaker pada dekadenya. Entah ya..
Ah, lain kali gue mau review film-film diatas.
Menonton film buat gue itu gue pikir hanya kegiatan sampingan, hobi sekunder yang ngga penting-penting amat, karena fokus gue (dulu) lebih kepada apa yang bisa gue baca, daripada apa yang bisa gue nikmatin secara audio visual. Jadinya, gue selalu menerima aja setiap genre yang gue tonton, ngga pilih-pilih dan berusaha untuk selalu enjoy nikmatin. Lain dulu lain sekarang, semenjak pindah ke Bandung, gue jadi lumayan sering menyambangi bioskop, yah.. untuk seenggaknya menonton film-film yang box office lah, yang punya pamor publik, untuk sekedar membunuh waktu kosong gue yang emang lowong banget disini.
Kebiasaan yang mulai berubah ini membuat gue lebih selektif saat menyaring, mana-mana aja nih film yang sekiranya ngga hanya berakhir dengan gue tonton aja, tapi yang juga bisa memberikan cinematic orgasm. Kepuasan puncak saat menonton sebuah film. Awalnya sih berjalan dengan santai aja, mencari-cari dan coba menelaah mana nih, film yang bisa bikin gue merinding? Dan akhirnya gue menemukan genre yang mungkin akan menjadi genre favorit gue.
Ternyata.. film yang mengandung gore, violence, blood dan splatter tingkat sarap yang mampir di otak gue, menyindir-nyindir modula oblongata dan menyengat adrenalin untuk menenangkan diri gue yang kelewat kesenengan. Aneh, padahal gue kira, gue hanya akan tertarik dengan film-film dengan sinematografi sekelas lukisan, jajaran pemain papan atas yang bisa bikin gue ciut hanya dengan satu dialognya, atau grafis-grafis edan yang bisa bikin dunia khayalan jadi nyata. Tapi bukan tuh. Pernah denger Evil Dead? Nah, itu salah satunya yang menjadi kiblat gue sekarang.
Darah yang tumpah dalam jumlah riddikulus, potongan organ yang terbang kesana kemari, usus yang memburai, kepala yang pecah kaya semangka, dan tentunya, hero kelas B yang seakan Mary Sue (unbeatable) bawa-bawa gergaji untuk menghasilkan deskripsi-deskripsi diatas saat mencincang zombie-zombie tersebut. Urgh.. tempting. Daripada Batman atau Wolverine, gue lebih suka Ash (Evil Dead) yang menggergaji kepala pacarnya saat pacarnya udah kerasukan roh jahat di tiap seri Evil Dead. Atau Lionel (Braindead a.k.a Dead Alive) yang mencincang halus puluhan zombie hanya dengan pemangkas rumputnya.
Tapi jangan salah, genre yang (mungkin) menjadi favorit gue ini jangan disamakan dengan Twisted Thriller macam Saw atau Hostel. Horror dalam favorit gue adalah film-film ‘rendahan’ yang menjanjikan kesadisan frontal tanpa ba-bi-bu, tanpa mikir, tanpa make otak, dan yang gue butuhkan adalah beberapa batang rokok, kopi, dan popcorn yang bisa gue nikmatin sambil nyantai saat nonton.
Memang, baru beberapa film dalam genre ini yang gue tonton, tapi gue rasa, itu udah cukup untuk menstempel, bahwa gue memang jatuh cinta kepada genre yang satu ini. Sekedar referensi, film-film yang udah gue tonton itu, diantaranya:
Evil Dead
Evil Dead II: Dead by Dawn
Feast
Return of The Living Dead
Trailer Park of Terror
Braindead a.k.a Dead Alive
Toxic Avenger (ini mah cacat, sumpah)
Bad Taste
Sekedar informasi, dua film diatas, Bad Taste dan Braindead adalah film yang dibuat oleh Peter Jackson sebelum dia bikin Trilogi LOTR, yang panjangnya bisa bikin orang insomnia jadi ngantuk itu loh, dan sebelum badannya bengkak kayak panda seperti sekarang. Soal kualitas? Bad Taste itu seperti film yang scriptnya dibuat oleh anak kelas 6 SD dan di sutradarai oleh orang yang pernah menderita schizophrenia, belum sembuh total tapi sudah disuruh menyutradai sebuah film, hasilnya? Bad Taste. Tapi memang tujuan pembuatan film ini (katanya) memang mewakili selera murahan filmaker pada dekadenya. Entah ya..
Ah, lain kali gue mau review film-film diatas.
Temen lo Mana?
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, March 15, 2010
Posted at : 2:56 AM
Gue termasuk orang yang telat daftar ke friendster, sekitar kelas 3 SMA kalau ngga salah inget. Padahal yang namanya FS itu udah tenar dari jaman gue masih SD, dan tambahan pula, gue udah cukup melek internet dari kelas 3 SD. Dan andaikan salah satu temen baik gue ngga nyuruh gue bikin sambil gelendotan seharian di badan gue, kayanya sih gue ngga akan bikin tuh akun. Pembelaan abadi gue ketika ditanya, kenapa ngga bikin bung? Selalu dijawab dengan: buat apa? Yeah, biasanya juga akan dibales dengan gampang: “nyari temen/nambah temen/cari kenalan/whatsoever”. Waktu itu gue bingung sendiri sama temen baik gue itu, apa sebegitu gampangnya ya yang namanya cari temen? Gampang, katanya sih. Buat gue mah susah.
Ide-ide gue soal pertemanan selalu berubah, atau kalau mau optimis dikit sih, berkembang (atau malah degradasi?) suatu waktu gue berpendapat bahwa mencari teman itu adalah hal yang krusial, pikiran anak smp yang udah terlalu lompat jauh ke dunia kerja: nyari relasi. Pernah juga, gue memandang pertemanan itu hubungan timbal balik yang setimpal, ketika kita ngga mendapat apa yang seharusnhya kita terima, maka pertemanan itu ga pantes untuk dipertahankan. Trus juga, gue pernah sebodo amat sama yang namanya temen, dengan keyakinan gue bisa berdiri sendiri tanpa sosialisasi intim dengan orang-orang tertentu, masih bisa hidup toh. Dan mungkin masih banyak lagi.
Nah, susahnya, niatan tiap orang yan g berbeda dalam membangun pertemanan itu membuat yang namanya pertemanan itu sendiri susah dibangun. Ketika sejumlah orang mempunyai visi yang sama dalam pertemanan mereka, maka akan terbetuklah sebuah kelompok, ketika visi itu mulai berbeda atau bahkan berganti, ya bubar. Bubar gitu aja kayak tinja disiram masuk kloset. Tentunya, ngga semua pertemanan bubar cuma karena beda visi toh, ada juga kan yang langgeng-langgeng lempeng, sedikit penyesuaian maka semuanya akan kembali normal sepeti sedia kala.
Unik, ketika yang dinamakan pertemanan mengusung tema intimacy tingkat tinggi, kenapa bisa ya bubar begitu aja tanpa jejak dan tanpa variabel eksternal semacam jarak ataupun waktu? Sebagai contoh kecil, seorang rekan SMA gue, cewe, punya geng, entah namanya losya, lumpia, atau kecapi—apalah, gue lupa, salah seorang anggotanya ‘dikeluarkan’ (dalam bentuk pengucilan, cibiran dan dijauhi) hanya karena si cewe ini ngga bisa dateng pada waktu acara maen bareng kelompok ini. Aneh? Belum, sampai gue tulis mereka jambak-jambakan (tadinya temen baik looh) di kelas dan tereak-tereak sampe kedengeran dalam jarak 3 kelas. Seru bener.
Get my point?
Kalau yang namanya pertemanan diusung tinggi-tinggi, kedekatan ekstrem, kebersamaan yang nempel kayak pake power glue dst itu, kenapa bisa dengan mudah ngejauhin, dan bahkan ngancurin abis-abisan? Katanya temen, katanya selalu bareng, tapi kenapa yang namanya toleransi kok dikangkangi seakan sekedar bullshit yang bikin nengok leher pun kagak minat? Widih, pusing gue.
Apakah, ketika seseorang yang berada dalam kelompok, melenceng sedikit dari visi misi kelompok tersebut sudah masuk kedalam kriteria yang pantas bagi dia untuk dikeluarkan—baik langsung maupun tidak? Ngga kan yak? Kalau iya, yang namanya temenan itu kampret dong? Nyebelin, abis muter-muter melulu. Ribet kan? Makanya gue males tuh punya temen banyak-banyak. Bukan. Lebih tepatnya, gue ogah untuk terlibat secara personal plus emosional terlalu jauh dengan orang/kelompok yang sekiranya belum gue tahu seperti apa visi-misinya. Pernah sih, hasilnya kaga enak dan ujungnya malah gue yang repot sendiri karena jadi terlalu sentimen dan nendang logika, hueh.
Satu hal yang gue percaya soal pertemanan, yang namanya temen itu bukan hanya untuk seneng-seneng. Gue ngga akan bisa ngeliat temen gue susah. Ketika temen gue masuk tol pake motor, ya gue kasih tau, kalo dia salah jalan, kalau dia kehilangan kunci motor, gue akan kasih tau kalau kuncinya itu nyangkut di topinya. Yah, gitulah.
Ide-ide gue soal pertemanan selalu berubah, atau kalau mau optimis dikit sih, berkembang (atau malah degradasi?) suatu waktu gue berpendapat bahwa mencari teman itu adalah hal yang krusial, pikiran anak smp yang udah terlalu lompat jauh ke dunia kerja: nyari relasi. Pernah juga, gue memandang pertemanan itu hubungan timbal balik yang setimpal, ketika kita ngga mendapat apa yang seharusnhya kita terima, maka pertemanan itu ga pantes untuk dipertahankan. Trus juga, gue pernah sebodo amat sama yang namanya temen, dengan keyakinan gue bisa berdiri sendiri tanpa sosialisasi intim dengan orang-orang tertentu, masih bisa hidup toh. Dan mungkin masih banyak lagi.
Nah, susahnya, niatan tiap orang yan g berbeda dalam membangun pertemanan itu membuat yang namanya pertemanan itu sendiri susah dibangun. Ketika sejumlah orang mempunyai visi yang sama dalam pertemanan mereka, maka akan terbetuklah sebuah kelompok, ketika visi itu mulai berbeda atau bahkan berganti, ya bubar. Bubar gitu aja kayak tinja disiram masuk kloset. Tentunya, ngga semua pertemanan bubar cuma karena beda visi toh, ada juga kan yang langgeng-langgeng lempeng, sedikit penyesuaian maka semuanya akan kembali normal sepeti sedia kala.
Unik, ketika yang dinamakan pertemanan mengusung tema intimacy tingkat tinggi, kenapa bisa ya bubar begitu aja tanpa jejak dan tanpa variabel eksternal semacam jarak ataupun waktu? Sebagai contoh kecil, seorang rekan SMA gue, cewe, punya geng, entah namanya losya, lumpia, atau kecapi—apalah, gue lupa, salah seorang anggotanya ‘dikeluarkan’ (dalam bentuk pengucilan, cibiran dan dijauhi) hanya karena si cewe ini ngga bisa dateng pada waktu acara maen bareng kelompok ini. Aneh? Belum, sampai gue tulis mereka jambak-jambakan (tadinya temen baik looh) di kelas dan tereak-tereak sampe kedengeran dalam jarak 3 kelas. Seru bener.
Get my point?
Kalau yang namanya pertemanan diusung tinggi-tinggi, kedekatan ekstrem, kebersamaan yang nempel kayak pake power glue dst itu, kenapa bisa dengan mudah ngejauhin, dan bahkan ngancurin abis-abisan? Katanya temen, katanya selalu bareng, tapi kenapa yang namanya toleransi kok dikangkangi seakan sekedar bullshit yang bikin nengok leher pun kagak minat? Widih, pusing gue.
Apakah, ketika seseorang yang berada dalam kelompok, melenceng sedikit dari visi misi kelompok tersebut sudah masuk kedalam kriteria yang pantas bagi dia untuk dikeluarkan—baik langsung maupun tidak? Ngga kan yak? Kalau iya, yang namanya temenan itu kampret dong? Nyebelin, abis muter-muter melulu. Ribet kan? Makanya gue males tuh punya temen banyak-banyak. Bukan. Lebih tepatnya, gue ogah untuk terlibat secara personal plus emosional terlalu jauh dengan orang/kelompok yang sekiranya belum gue tahu seperti apa visi-misinya. Pernah sih, hasilnya kaga enak dan ujungnya malah gue yang repot sendiri karena jadi terlalu sentimen dan nendang logika, hueh.
Satu hal yang gue percaya soal pertemanan, yang namanya temen itu bukan hanya untuk seneng-seneng. Gue ngga akan bisa ngeliat temen gue susah. Ketika temen gue masuk tol pake motor, ya gue kasih tau, kalo dia salah jalan, kalau dia kehilangan kunci motor, gue akan kasih tau kalau kuncinya itu nyangkut di topinya. Yah, gitulah.
Subscribe to:
Posts (Atom)