Ketika Takdir Berjoget
Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, August 10, 2010
Posted at : 2:18 AM
Kalau gue menyebut kata adil, keadilan, nggak akan pernah lepas dari subjektivitas, bahkan senetral apapun orang memandang. Ketika seseorang merasakan ketidakadilan pada suatu hal yang menimpanya, jauh di suatu tempat mungkin ada saja toh orang yang akan mengatakan itu adalah hal yang wajar. Karena gue berpikir demikian, dan enggan untuk menerima perkataan ‘wajar’ dari seseorang nun jauh disana, gue lebih memilih untuk nggak menceritakannya disini.
Mungkin akan ada orang yang bilang itu udah kodrat Tuhan, mungkin juga akan ada yang bilang gue nggak bersyukur, mungkin juga bakal ada yang bilang gue terlalu dramatis, atau mungkin juga ada yang bilang masih banyak orang yang nggak seberuntung gue. Ini toh (katanya) negara demokrasi, semua orang punya pendapat dan hak bersuara, dan sayangnya mungkin gue nggak ingin mendengar kata-kata tersebut. Mungkin orang lain harus bertamasya dulu ke alam pikiran gue untuk tidak mengeluarkan beberapa kalimat diatas.
Kadang lucu, untuk apa kita sharing masalah? Ketika yang ingin kita dengar hanya pembenaran dan bukan masukan, pencegahan sakit hati nampaknya juga perlu dimasukan dalam etika sharing/bercerita, karena rasa nggak enak yang lagi nyantol di hati bisa saja nambah bengkak karena orang yang kita ajak bicara. Kadang kita nggak ingin ada intervensi dari lawan bicara, kadang pula kita hanya ingin didengar, kadang kita ingin hanya dibenarkan, kadang kita juga nggak mau di judge, kadang kita ingin orang lain mengerti tanpa harus bertanya.
Sepertinya perlu untuk disampaikan di awal pada lawan bercerita kita:
“Tolong, kamu diam aja, saya hanya mau cerita.”
Atau
“Lo jangan ngasih solusi atau pendapat, cukup iyakan apa yang gue bilang.”
Atau mungkin
“Kayaknya aku nggak perlu ngomong deh, kamu ngerti kan?”
Pernah kan? Rasanya ingin curhat sama dukun, sehingga kita nggak perlu susah-susah cerita tapi dapat dimengerti, tanpa pendapat tapi mau merangkul kita sepenuh hati, tanpa menjudge tapi bisa kita jadikan tempat bersandar tanpa mengeluh. Ketika kita menemukan orang seperti itu rasanya dunia pun bersama kita, tenang, damai, dan hati rasanya dipenuhi dengan kebun bunga aneka warna, wuih.
Tapi sayang, dukun hanya menangani santet dan pelet, bukan curhat.
Kita nggak bisa mengharapkan hal-hal diatas terjadi begitu aja dengan orang yang kita ajak bicara. Profesi yang dianggap paling keren untuk menangani masalah, Psikolog, bahkan harus mendengar detil cerita yang kita miliki untuk tahu bagaimana cara mengerti si klien. Psikolog bukan dukun, apalagi teman-teman kalian, ataupun gue, bukan. Lain cerita kalau dia memang beneran dukun, hehe.
…
Hoh..
Rasanya ingin mengeluh—eh? Sudah ya? Cek aja timeline twitter gue. Rasanya ingin mengeluarkan semua isi perut gue—eh? Udah juga? Cek aja WC gue, dari atas sama bawah lengkap disana.
Mungkin gue termasuk orang yang beruntung karena nggak mendapat kalimat-kalimat seperti diatas, maksudnya, yang kodrat lah, gak bersyukur lah, dst. Karena gue udah sadar duluan akan probabilitas kata-kata tersebut meluncur dari pemikiran anda-anda sekalian pembaca blog ini (eh? Ada ya?)
Gue berpikir, gue nggak bisa menyalahi kodrat gue lahir dimana dan sama siapa, udah terjadi dan toh gue nggak bisa masuk lagi, satu yang gue temukan adalah, bagaimana cara memperbaiki takdir yang udah ditunjukkin sama gue ini? Yang jelas, sama seperti kesepian. Kesepian nggak bisa diusir pake sapu, tapi carilah teman, takdir pun nggak bisa diperbaiki pakai palu dan paku, tapi.. well.. jawaban sementara sih: jalani aja hidup sebaik mungkin.
*hela nafas dulu ah.
Mungkin akan ada orang yang bilang itu udah kodrat Tuhan, mungkin juga akan ada yang bilang gue nggak bersyukur, mungkin juga bakal ada yang bilang gue terlalu dramatis, atau mungkin juga ada yang bilang masih banyak orang yang nggak seberuntung gue. Ini toh (katanya) negara demokrasi, semua orang punya pendapat dan hak bersuara, dan sayangnya mungkin gue nggak ingin mendengar kata-kata tersebut. Mungkin orang lain harus bertamasya dulu ke alam pikiran gue untuk tidak mengeluarkan beberapa kalimat diatas.
Kadang lucu, untuk apa kita sharing masalah? Ketika yang ingin kita dengar hanya pembenaran dan bukan masukan, pencegahan sakit hati nampaknya juga perlu dimasukan dalam etika sharing/bercerita, karena rasa nggak enak yang lagi nyantol di hati bisa saja nambah bengkak karena orang yang kita ajak bicara. Kadang kita nggak ingin ada intervensi dari lawan bicara, kadang pula kita hanya ingin didengar, kadang kita ingin hanya dibenarkan, kadang kita juga nggak mau di judge, kadang kita ingin orang lain mengerti tanpa harus bertanya.
Sepertinya perlu untuk disampaikan di awal pada lawan bercerita kita:
“Tolong, kamu diam aja, saya hanya mau cerita.”
Atau
“Lo jangan ngasih solusi atau pendapat, cukup iyakan apa yang gue bilang.”
Atau mungkin
“Kayaknya aku nggak perlu ngomong deh, kamu ngerti kan?”
Pernah kan? Rasanya ingin curhat sama dukun, sehingga kita nggak perlu susah-susah cerita tapi dapat dimengerti, tanpa pendapat tapi mau merangkul kita sepenuh hati, tanpa menjudge tapi bisa kita jadikan tempat bersandar tanpa mengeluh. Ketika kita menemukan orang seperti itu rasanya dunia pun bersama kita, tenang, damai, dan hati rasanya dipenuhi dengan kebun bunga aneka warna, wuih.
Tapi sayang, dukun hanya menangani santet dan pelet, bukan curhat.
Kita nggak bisa mengharapkan hal-hal diatas terjadi begitu aja dengan orang yang kita ajak bicara. Profesi yang dianggap paling keren untuk menangani masalah, Psikolog, bahkan harus mendengar detil cerita yang kita miliki untuk tahu bagaimana cara mengerti si klien. Psikolog bukan dukun, apalagi teman-teman kalian, ataupun gue, bukan. Lain cerita kalau dia memang beneran dukun, hehe.
…
Hoh..
Rasanya ingin mengeluh—eh? Sudah ya? Cek aja timeline twitter gue. Rasanya ingin mengeluarkan semua isi perut gue—eh? Udah juga? Cek aja WC gue, dari atas sama bawah lengkap disana.
Mungkin gue termasuk orang yang beruntung karena nggak mendapat kalimat-kalimat seperti diatas, maksudnya, yang kodrat lah, gak bersyukur lah, dst. Karena gue udah sadar duluan akan probabilitas kata-kata tersebut meluncur dari pemikiran anda-anda sekalian pembaca blog ini (eh? Ada ya?)
Gue berpikir, gue nggak bisa menyalahi kodrat gue lahir dimana dan sama siapa, udah terjadi dan toh gue nggak bisa masuk lagi, satu yang gue temukan adalah, bagaimana cara memperbaiki takdir yang udah ditunjukkin sama gue ini? Yang jelas, sama seperti kesepian. Kesepian nggak bisa diusir pake sapu, tapi carilah teman, takdir pun nggak bisa diperbaiki pakai palu dan paku, tapi.. well.. jawaban sementara sih: jalani aja hidup sebaik mungkin.
*hela nafas dulu ah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment