Masalah Saat Mereview
Filed Under (From My Mind,Review ) by Pitiful Kuro on Friday, May 28, 2010
Posted at : 7:15 AM
Mengapa mereview itu sulit? Apa saja, bolehlah itu buku, film, makanan yang baru saja saya santap, ataupun sebuah tempat yang baru saja saya sambangi. Menuliskan sebuah ulasan dengan niatan mengupas tuntas itu lumayan sulit untuk saya. Mungkin bisa saja saya lakukan, tapi hasilnya tidak akan lepas dari ketidakpuasan saya akan.. yah.. hasilnya tadi.
Memikirkan hal tersebut saya mencoba untuk menelaah, apa-apa saja hambatan saya pribadi dalam mereview sesuatu, yang semoga saja bermanfaat bagi rekan-rekan tukang review sekalian diluar sana. Halah.
Masalah yang utama saya bisa katakan adalah jeda. Jeda antara kapan anda selesai melakukan sebuah kegiatan dan kapan anda akan meramunya kedalam sebuah tulisan yang bertujuan mengulas kegiatan tersebut. Semakin lama anda menuliskan ‘laporan’ tersebut, akan makin buram gambaran apa saja yang perlu anda laporkan. Tentu saja, semakin cepat anda menuliskannya, maka akan semakin baik. ‘Fresh from the oven’ semakin panas, semakin nikmat.
Kendala ini juga didukung dengan faktor-faktor seperti, yah.. malas, sebuah faktor yang tidak perlu diperpanjang lagi untuk diperjelas. Lalu juga ada faktor kelelahan fisik ataupun psikis. Jelas, membaca 600-700 halaman bukanlah perkara enteng bagi otak anda, ataupun kelelahan fisik yang mungkin saja dialami anda ketika pulang dari berpergian, yang membuat kasur serasa pulau kapuk yang nikmat untuk disetubuhi.
Masalah kedua yang saya temui ketika saya ingin mereview sesuatu adalah, keinginan untuk mencapai kesempurnaan akan review tersebut. Entah bagaimana caranya, saya ingin orang yang membaca review saya akan mempunyai gambaran jelas, sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan pertimbangan, apakah ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang saya lakukan di review tersebut? Misalkan saja anda membaca review sebuah film dari Roger Ebert, dan anda langsung ingin menonton film tersebut, atau bagaimana adhityarangga (reviewer film dari indonesia) membuat anda malas menonton film yang ia bilang tidak bagus. Efek yang demikian adalah efek yang ditimbulkan ketika anda membaca sebuah review.
Sayangnya, justru keinginan akan mencapai kesempurnaan tadi menghambat saya untuk menyelesaikan sebuah review, bahkan yang telah saya tulis setengah jalan. Perasaan aneh yang menganggap bahwa review saya tidak menarik untuk dibaca membuat saya berulang-ulang membetulkan kalimat, menambahkan yang perlu, mengurangi yang tidak, dan terus-menerus saya revisi. Akhirnya, saya lelah sendiri dan draft review saya berakhir di recycle bin (saking kesalnya).
Dua masalah diatas adalah masalah utama saya, tapi bisa saya tambahkan yang berikut ini. WB atau Writer’s Block, adalah saat dimana seorang penulis tidak mempunyai ide apapun lagi untuk dituangkan kedalam sebuah tulisan. Permasalahan yang satu ini cakupannya lebih lebar, karena bisa saja terjadi pada bentuk tulisan apapun, tapi ternyata saya juga mengalaminya ketika saya menuliskan sesuatu yang bahannya sudah jelas ada seperti review.
Yah.. semoga membantu membuka pikiran.
Memikirkan hal tersebut saya mencoba untuk menelaah, apa-apa saja hambatan saya pribadi dalam mereview sesuatu, yang semoga saja bermanfaat bagi rekan-rekan tukang review sekalian diluar sana. Halah.
Masalah yang utama saya bisa katakan adalah jeda. Jeda antara kapan anda selesai melakukan sebuah kegiatan dan kapan anda akan meramunya kedalam sebuah tulisan yang bertujuan mengulas kegiatan tersebut. Semakin lama anda menuliskan ‘laporan’ tersebut, akan makin buram gambaran apa saja yang perlu anda laporkan. Tentu saja, semakin cepat anda menuliskannya, maka akan semakin baik. ‘Fresh from the oven’ semakin panas, semakin nikmat.
Kendala ini juga didukung dengan faktor-faktor seperti, yah.. malas, sebuah faktor yang tidak perlu diperpanjang lagi untuk diperjelas. Lalu juga ada faktor kelelahan fisik ataupun psikis. Jelas, membaca 600-700 halaman bukanlah perkara enteng bagi otak anda, ataupun kelelahan fisik yang mungkin saja dialami anda ketika pulang dari berpergian, yang membuat kasur serasa pulau kapuk yang nikmat untuk disetubuhi.
Masalah kedua yang saya temui ketika saya ingin mereview sesuatu adalah, keinginan untuk mencapai kesempurnaan akan review tersebut. Entah bagaimana caranya, saya ingin orang yang membaca review saya akan mempunyai gambaran jelas, sejelas mungkin sehingga dapat dijadikan pertimbangan, apakah ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang saya lakukan di review tersebut? Misalkan saja anda membaca review sebuah film dari Roger Ebert, dan anda langsung ingin menonton film tersebut, atau bagaimana adhityarangga (reviewer film dari indonesia) membuat anda malas menonton film yang ia bilang tidak bagus. Efek yang demikian adalah efek yang ditimbulkan ketika anda membaca sebuah review.
Sayangnya, justru keinginan akan mencapai kesempurnaan tadi menghambat saya untuk menyelesaikan sebuah review, bahkan yang telah saya tulis setengah jalan. Perasaan aneh yang menganggap bahwa review saya tidak menarik untuk dibaca membuat saya berulang-ulang membetulkan kalimat, menambahkan yang perlu, mengurangi yang tidak, dan terus-menerus saya revisi. Akhirnya, saya lelah sendiri dan draft review saya berakhir di recycle bin (saking kesalnya).
Dua masalah diatas adalah masalah utama saya, tapi bisa saya tambahkan yang berikut ini. WB atau Writer’s Block, adalah saat dimana seorang penulis tidak mempunyai ide apapun lagi untuk dituangkan kedalam sebuah tulisan. Permasalahan yang satu ini cakupannya lebih lebar, karena bisa saja terjadi pada bentuk tulisan apapun, tapi ternyata saya juga mengalaminya ketika saya menuliskan sesuatu yang bahannya sudah jelas ada seperti review.
Yah.. semoga membantu membuka pikiran.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment