Temen lo Mana?
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, March 15, 2010
Posted at : 2:56 AM
Gue termasuk orang yang telat daftar ke friendster, sekitar kelas 3 SMA kalau ngga salah inget. Padahal yang namanya FS itu udah tenar dari jaman gue masih SD, dan tambahan pula, gue udah cukup melek internet dari kelas 3 SD. Dan andaikan salah satu temen baik gue ngga nyuruh gue bikin sambil gelendotan seharian di badan gue, kayanya sih gue ngga akan bikin tuh akun. Pembelaan abadi gue ketika ditanya, kenapa ngga bikin bung? Selalu dijawab dengan: buat apa? Yeah, biasanya juga akan dibales dengan gampang: “nyari temen/nambah temen/cari kenalan/whatsoever”. Waktu itu gue bingung sendiri sama temen baik gue itu, apa sebegitu gampangnya ya yang namanya cari temen? Gampang, katanya sih. Buat gue mah susah.
Ide-ide gue soal pertemanan selalu berubah, atau kalau mau optimis dikit sih, berkembang (atau malah degradasi?) suatu waktu gue berpendapat bahwa mencari teman itu adalah hal yang krusial, pikiran anak smp yang udah terlalu lompat jauh ke dunia kerja: nyari relasi. Pernah juga, gue memandang pertemanan itu hubungan timbal balik yang setimpal, ketika kita ngga mendapat apa yang seharusnhya kita terima, maka pertemanan itu ga pantes untuk dipertahankan. Trus juga, gue pernah sebodo amat sama yang namanya temen, dengan keyakinan gue bisa berdiri sendiri tanpa sosialisasi intim dengan orang-orang tertentu, masih bisa hidup toh. Dan mungkin masih banyak lagi.
Nah, susahnya, niatan tiap orang yan g berbeda dalam membangun pertemanan itu membuat yang namanya pertemanan itu sendiri susah dibangun. Ketika sejumlah orang mempunyai visi yang sama dalam pertemanan mereka, maka akan terbetuklah sebuah kelompok, ketika visi itu mulai berbeda atau bahkan berganti, ya bubar. Bubar gitu aja kayak tinja disiram masuk kloset. Tentunya, ngga semua pertemanan bubar cuma karena beda visi toh, ada juga kan yang langgeng-langgeng lempeng, sedikit penyesuaian maka semuanya akan kembali normal sepeti sedia kala.
Unik, ketika yang dinamakan pertemanan mengusung tema intimacy tingkat tinggi, kenapa bisa ya bubar begitu aja tanpa jejak dan tanpa variabel eksternal semacam jarak ataupun waktu? Sebagai contoh kecil, seorang rekan SMA gue, cewe, punya geng, entah namanya losya, lumpia, atau kecapi—apalah, gue lupa, salah seorang anggotanya ‘dikeluarkan’ (dalam bentuk pengucilan, cibiran dan dijauhi) hanya karena si cewe ini ngga bisa dateng pada waktu acara maen bareng kelompok ini. Aneh? Belum, sampai gue tulis mereka jambak-jambakan (tadinya temen baik looh) di kelas dan tereak-tereak sampe kedengeran dalam jarak 3 kelas. Seru bener.
Get my point?
Kalau yang namanya pertemanan diusung tinggi-tinggi, kedekatan ekstrem, kebersamaan yang nempel kayak pake power glue dst itu, kenapa bisa dengan mudah ngejauhin, dan bahkan ngancurin abis-abisan? Katanya temen, katanya selalu bareng, tapi kenapa yang namanya toleransi kok dikangkangi seakan sekedar bullshit yang bikin nengok leher pun kagak minat? Widih, pusing gue.
Apakah, ketika seseorang yang berada dalam kelompok, melenceng sedikit dari visi misi kelompok tersebut sudah masuk kedalam kriteria yang pantas bagi dia untuk dikeluarkan—baik langsung maupun tidak? Ngga kan yak? Kalau iya, yang namanya temenan itu kampret dong? Nyebelin, abis muter-muter melulu. Ribet kan? Makanya gue males tuh punya temen banyak-banyak. Bukan. Lebih tepatnya, gue ogah untuk terlibat secara personal plus emosional terlalu jauh dengan orang/kelompok yang sekiranya belum gue tahu seperti apa visi-misinya. Pernah sih, hasilnya kaga enak dan ujungnya malah gue yang repot sendiri karena jadi terlalu sentimen dan nendang logika, hueh.
Satu hal yang gue percaya soal pertemanan, yang namanya temen itu bukan hanya untuk seneng-seneng. Gue ngga akan bisa ngeliat temen gue susah. Ketika temen gue masuk tol pake motor, ya gue kasih tau, kalo dia salah jalan, kalau dia kehilangan kunci motor, gue akan kasih tau kalau kuncinya itu nyangkut di topinya. Yah, gitulah.
Ide-ide gue soal pertemanan selalu berubah, atau kalau mau optimis dikit sih, berkembang (atau malah degradasi?) suatu waktu gue berpendapat bahwa mencari teman itu adalah hal yang krusial, pikiran anak smp yang udah terlalu lompat jauh ke dunia kerja: nyari relasi. Pernah juga, gue memandang pertemanan itu hubungan timbal balik yang setimpal, ketika kita ngga mendapat apa yang seharusnhya kita terima, maka pertemanan itu ga pantes untuk dipertahankan. Trus juga, gue pernah sebodo amat sama yang namanya temen, dengan keyakinan gue bisa berdiri sendiri tanpa sosialisasi intim dengan orang-orang tertentu, masih bisa hidup toh. Dan mungkin masih banyak lagi.
Nah, susahnya, niatan tiap orang yan g berbeda dalam membangun pertemanan itu membuat yang namanya pertemanan itu sendiri susah dibangun. Ketika sejumlah orang mempunyai visi yang sama dalam pertemanan mereka, maka akan terbetuklah sebuah kelompok, ketika visi itu mulai berbeda atau bahkan berganti, ya bubar. Bubar gitu aja kayak tinja disiram masuk kloset. Tentunya, ngga semua pertemanan bubar cuma karena beda visi toh, ada juga kan yang langgeng-langgeng lempeng, sedikit penyesuaian maka semuanya akan kembali normal sepeti sedia kala.
Unik, ketika yang dinamakan pertemanan mengusung tema intimacy tingkat tinggi, kenapa bisa ya bubar begitu aja tanpa jejak dan tanpa variabel eksternal semacam jarak ataupun waktu? Sebagai contoh kecil, seorang rekan SMA gue, cewe, punya geng, entah namanya losya, lumpia, atau kecapi—apalah, gue lupa, salah seorang anggotanya ‘dikeluarkan’ (dalam bentuk pengucilan, cibiran dan dijauhi) hanya karena si cewe ini ngga bisa dateng pada waktu acara maen bareng kelompok ini. Aneh? Belum, sampai gue tulis mereka jambak-jambakan (tadinya temen baik looh) di kelas dan tereak-tereak sampe kedengeran dalam jarak 3 kelas. Seru bener.
Get my point?
Kalau yang namanya pertemanan diusung tinggi-tinggi, kedekatan ekstrem, kebersamaan yang nempel kayak pake power glue dst itu, kenapa bisa dengan mudah ngejauhin, dan bahkan ngancurin abis-abisan? Katanya temen, katanya selalu bareng, tapi kenapa yang namanya toleransi kok dikangkangi seakan sekedar bullshit yang bikin nengok leher pun kagak minat? Widih, pusing gue.
Apakah, ketika seseorang yang berada dalam kelompok, melenceng sedikit dari visi misi kelompok tersebut sudah masuk kedalam kriteria yang pantas bagi dia untuk dikeluarkan—baik langsung maupun tidak? Ngga kan yak? Kalau iya, yang namanya temenan itu kampret dong? Nyebelin, abis muter-muter melulu. Ribet kan? Makanya gue males tuh punya temen banyak-banyak. Bukan. Lebih tepatnya, gue ogah untuk terlibat secara personal plus emosional terlalu jauh dengan orang/kelompok yang sekiranya belum gue tahu seperti apa visi-misinya. Pernah sih, hasilnya kaga enak dan ujungnya malah gue yang repot sendiri karena jadi terlalu sentimen dan nendang logika, hueh.
Satu hal yang gue percaya soal pertemanan, yang namanya temen itu bukan hanya untuk seneng-seneng. Gue ngga akan bisa ngeliat temen gue susah. Ketika temen gue masuk tol pake motor, ya gue kasih tau, kalo dia salah jalan, kalau dia kehilangan kunci motor, gue akan kasih tau kalau kuncinya itu nyangkut di topinya. Yah, gitulah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment