Review Buku: Negeri 5 Menara
Filed Under (Review ) by Pitiful Kuro on Sunday, May 23, 2010
Posted at : 11:20 PM
Negeri 5 Menara
Buku ini adalah buku pertama yang gue selesaikan dalam waktu 7-8 bulan kebelakang, sungguh vakansi luarbiasa yang membuat gue sendiri takjub bukan main. Hari-hari sebelum periode 7 bulan kemarin itu padahal selalu gue isi dengan hal-hal yang berbau tulisan, baik gue mengkristalkan bahan tulisan yang ada di kepala sendiri, sampai membaca hasil kristalisasi bahan tulisan yang ada di kepala orang lain.
Kesan-kesan saat membaca buku ini? Yah, luar biasa, sensasi over the limit yang dulu gue rasakan kembali lagi gue kecap dengan badan ini, pembuktiannya, buku selevel 400 halaman bisa selesai kurang dari sehari.
Bukunya sendiri menceritakan Alif Fikri, remaja asal Maninjau, Sumatera Barat yang baru saja lulus Madrasah dan bercita-cita untuk masuk SMA bersama dengan sahabatnya, Randai. Namun keinginannya bertolak dengan putusan orang tuanya yang menginginkan ia untuk masuk kembali ke Madrasah, tujuannya mulia, agar anaknya menimba ilmu agama agar dapat turut membangun bangsa ini agar tercipta bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga beragama.
Alif yang begitu bertekad untuk masuk SMA dan bertolak ke perguruan tinggi nantinya kecewa. Hasil diskusi alot dengan orangtuanya menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidupnya, ia memutuskan untuk ‘menghukum’ orang tuanya untuk sekalian saja masuk ke sebuah Pondok (atau pesantren) di daerah Jawa Timur, Pondok Madani (yang dicatatan penulis, bernama asli Pondok Modern Gontor, pernah denger?).
Sesampainya disana, Alif dikejutkan dengan metode pembelajaran yang digunakan—ga akan gue sebutin detail, ga seru nantinya—salah satunya adalah metode komunikasi yang hanya memperbolehkan siswa-siswanya untuk menggunakan bahasa Arab dan Inggris, selain itu, pengembangan minat dan bakat siswanya juga sangat diperhatikan. Banyak kegiatan sampingan, dari yang sifatnya hiburan seperti vokal ataupun alat musik, sampai dengan olahraga, dari sepakbola sampai silat.
Alif bertemu dengan banyak teman baru di Pondok Madani, ada Baso, si pintar yang giat menghafidz Al-Quran, Raja dengan kemampuan bahasanya yang luar biasa, Dulmadjid dan Atang yang rajin, serta Said si penyuka olahraga. Mereka berenam, bersama-sama menjalani suka-duka selama mengikuti pendidikan di Pondok Madani, dari dihukum jewer kolektif oleh keamanan, berlibur sejenak tiap jumat ke Ponorogo, sampai bersaing dalam menarik perhatian lawan jenisnya yang memang jarang muncul di pondok.
“Man Jadda Wajadda”
Ini buku yang bagus, selain berisi banyak kalimat-kalimat pembangkit semangat dari para Kiai dan Ustadz, buku ini juga menceritakan bagaimana kehidupan di sebuah ‘kamp konsentrasi’ berlabelkan pondok yang sangat menarik. Selama ini kita mungkin diliputi dengan stereotipe bahwa jika seseorang belajar ke pondok, maka orang itu hanya akan belajar agama saja, mengaji, ceramah dan dikaderkan untuk menjadi seorang Ustadz. Buku ini menceritakan dari sudut pandang orang pertama, betapa salahnya pola pikir yang demikian.
Belajar bahasa asing, bahkan dua bahasa sekaligus, dan ditargetkan untuk fasih menggunakannya hanya dalam waktu yang singkat, 3 bulan. Betapa spartan metode yang diterapkan pondok yang identik dengan pengajaran agama doang. Sebuah metode yang sangat jarang ditemukan bahkan di sekolah Internasional sekalipun.
Kalau boleh jujur, membaca buku ini mengingatkan gue akan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata—siapa yang gak tau sih?—jika Laskar Pelangi menekankan 12 anak Belitong pedalaman menjalani kehidupan sehari-harinya, yang mungkin bagi kebanyakan rakyat Indonesia sulit percayai, Negeri 5 Menara menjabarkan kehidupan—yang telah gue jelaskan tadi—6 remaja dari seluruh pelosok Indonesia, belajar di sebuah pondok yang berbeda dengan pandangan orang-orang tentang bagaimanakah sebuah pondok itu?
Keduanya sama-sama memberikan kita pandangan baru, pengalaman segar yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan atau bahkan bayangkan. Dengan dasar yang sama kuat, Negeri 5 Menara mempunyai kekurangan dibandingkan dengan Laskar Pelangi. A. Fuadi nampaknya belum semahir Andrea dalam perumusan kata. Ada beberapa kalimat yang terasa janggal untuk ada didalam sebuah paragraf yang sama, lalu menurut gue pribadi, masih terlalu banyak cerita yang dikisahkan secara bertele-tele hingga akhirnya gue anggap sebagai halaman percuma.
Awalnya, gue enggan baca buku ini, karena di sinopsisnya gue membaca kata ‘Pondok’, gue pikir buku ini adalah buku sejenis karya-karyanya Habiburahma AL-Shirazy (sori kalo salah) yang tanpa alasan jelas gue gak suka, tapi setelah gue membaca 4-5 bab awal, gue baru tau kalau ini adalah buku yang bisa membuat gue ngegenjot mata untuk tahan belasan jam buat nyelesainnya. Gak ada unsur agama yang terlalu keras kok, unsur agama yang ada di dalam Novel ini gue kategorikan ringan, fun dan bisa dinikmatin tanpa lo perlu beragama sama seperti di bukunya.
Overall, gue suka buku ini, membacanya bikin otak fresh. Buku yang berusaha mengajari tanpa berusaha untuk menggurui, yang gue harap juga merupakan satu tolakan besar buat gue pribadi untuk memulai lagi running membaca kaya dulu.
Sekali lagi.. “Man Jadda Wajadda.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment