A Very End Just for A Prologue
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Saturday, April 03, 2010
Posted at : 3:17 PM
Limit. Mungkin kata itu pas banget buat gue sekarang. Segala-gala ada batasannya, dan kayaknya gue pun udah melewati batasan, entah itu kesabaran, entah itu emosi, entah itu psikis, atau apapun, gue udah di batas. Kalau beberapa waktu lalu gue mencapai limit dan dianugrahi tipes dan DBD, sekarang gue berkata limit maka gue dianugrahi psikolog, motivator dan tetek bengek lainnya yang ada hubungannya dengan kondisi kejiwaan.
Pada satu titik, gue bahkan berpikir kalau gue udah mencapai akhir, akhir dari semua, semua yang pernah gue lewati, gue jalani. Pada titik lain, gue merasa kewarasan gue udah dikeprok total sama yang namanya batu dunia. Gue sampai bener-bener mengira kalau gue akan dibawa ke RSJ, atau berakhir tragis di meja UGD tanpa ada dokter yang sempet merawat gue. Tapi toh, gue masih hidup dan sekarang mengetik posting lain yang ga penting ini. Sekali lagi gue menjahili kematian, sekali lagi pula gue menulis paragraf lain dari buku nasib yang gue pegang.
Detik-detik awal semuanya terjadi, gue bingung, apakah gue harus bersyukur, atau malah merutuk karena apa yang terjadi tidak sesuai sama yang gue harapkan. Dia, bayangan yang selalu dateng di saat-saat macam ini udah ngga melarang gue lagi, dia memberikan jalan dan gue pun lempeng aja. Tapi ternyata semua berkebalikan.
Sekali lagi, gue bingung. Namun saat gue sadar, (seperti biasanya) gue menyadari segala kesalahan yang udah gue perbuat, ujungnya, ini semua cuma nambah noda hitam di buku catatan milik kedua malaikat yang ada di kanan-kiri gue. Dan seperti biasa pula, setiap lubang, harus dicari tanah lain untuk nutupin.
Karenanya gue mau berterima kasih. Pada dokter yang nolong gue, walaupun merelakan gue sebagai bahan percobaan suster-suster kampret dan dokter-dokter trainee gelo itu. Pada orang yang ngangkut gue pas pingsan. Pada kerabat gue di bandung yang mau merelakan waktu tidurnya untuk ngawasin gue. Emak gue juga, yang rela merogoh kocek lagi buat biaya a b c, dan usahanya yang, err.. lumayanlah untuk berdamai sama gue. Ibu, ayah juga yang mau susah-susah, padahal gue anaknya juga bukan, tapi mau repot sampai segitunya. Bude-bude Jakarta, yang walaupun bawelnya seamit-amit, tapi tetep ngebantu dengan cara mereka yang unik. Tante Prima dan Om Herki, dengan sikap yang friendly uabbiiies nganterin gue ke psikolog dan pengajian-pengajian (geje) itu. Khususnya om Herki si motivator yang mendoktrin gue dengan teori serta konsepnya yang menarik, yang memberikan gue pandangan baru lagi dalam memandang hidup
Dan tentunya, teteh yang.. entah ya, begitulah, bingung mau mendeskripsikan pertolongan yang dia kasih tapi sampai bingung sendiri mau menyebut yang mana saking sama berarti dan sama pentingnya uhuk...
Gitu deh.. tinggal mantau si waktu aja yang akan ngebawa semuanya kearah lebih baik, amin gak? Amiin doong.
Pada satu titik, gue bahkan berpikir kalau gue udah mencapai akhir, akhir dari semua, semua yang pernah gue lewati, gue jalani. Pada titik lain, gue merasa kewarasan gue udah dikeprok total sama yang namanya batu dunia. Gue sampai bener-bener mengira kalau gue akan dibawa ke RSJ, atau berakhir tragis di meja UGD tanpa ada dokter yang sempet merawat gue. Tapi toh, gue masih hidup dan sekarang mengetik posting lain yang ga penting ini. Sekali lagi gue menjahili kematian, sekali lagi pula gue menulis paragraf lain dari buku nasib yang gue pegang.
Detik-detik awal semuanya terjadi, gue bingung, apakah gue harus bersyukur, atau malah merutuk karena apa yang terjadi tidak sesuai sama yang gue harapkan. Dia, bayangan yang selalu dateng di saat-saat macam ini udah ngga melarang gue lagi, dia memberikan jalan dan gue pun lempeng aja. Tapi ternyata semua berkebalikan.
Sekali lagi, gue bingung. Namun saat gue sadar, (seperti biasanya) gue menyadari segala kesalahan yang udah gue perbuat, ujungnya, ini semua cuma nambah noda hitam di buku catatan milik kedua malaikat yang ada di kanan-kiri gue. Dan seperti biasa pula, setiap lubang, harus dicari tanah lain untuk nutupin.
Karenanya gue mau berterima kasih. Pada dokter yang nolong gue, walaupun merelakan gue sebagai bahan percobaan suster-suster kampret dan dokter-dokter trainee gelo itu. Pada orang yang ngangkut gue pas pingsan. Pada kerabat gue di bandung yang mau merelakan waktu tidurnya untuk ngawasin gue. Emak gue juga, yang rela merogoh kocek lagi buat biaya a b c, dan usahanya yang, err.. lumayanlah untuk berdamai sama gue. Ibu, ayah juga yang mau susah-susah, padahal gue anaknya juga bukan, tapi mau repot sampai segitunya. Bude-bude Jakarta, yang walaupun bawelnya seamit-amit, tapi tetep ngebantu dengan cara mereka yang unik. Tante Prima dan Om Herki, dengan sikap yang friendly uabbiiies nganterin gue ke psikolog dan pengajian-pengajian (geje) itu. Khususnya om Herki si motivator yang mendoktrin gue dengan teori serta konsepnya yang menarik, yang memberikan gue pandangan baru lagi dalam memandang hidup
Dan tentunya, teteh yang.. entah ya, begitulah, bingung mau mendeskripsikan pertolongan yang dia kasih tapi sampai bingung sendiri mau menyebut yang mana saking sama berarti dan sama pentingnya uhuk...
Gitu deh.. tinggal mantau si waktu aja yang akan ngebawa semuanya kearah lebih baik, amin gak? Amiin doong.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment