19th Down, dan lain-lain.
Filed Under (Event,For Remember,From My Mind ) by Pitiful Kuro on Tuesday, March 24, 2009
Posted at : 7:06 PM
Tidak dalam mood untuk menulis sebenarnya. Tapi demi menghargai beberapa orang, gue akan mencoba sedikit menyisihkan tenaga untuk menistakan satu fokus yang sedang nista ini untuk menggores keyboard (bukan pena).
Gue inget setahun lalu, tepat 23 maret ada acara Jejepangan di margo city depok. Namanya lupa. Pokoknya pulang dari sana udah sekitar jam sepuluh malam, dan gue bukannya langsung pulang kerumah, cuci kaki, cuci muka, minum susu terus tidur, tapi malah kewarnet. Menuliskan postingan semacam ulasan apa aja yang terjadi setahun belakangan, rasanya menyenangkan. Mana waktu itu juga kaya orang norak pake ngetes webcam warnet pula, dan tepat disebelah gue ada orang nyetel bokep tanpa pakai headset. Uuh yeah. Bagusnya yang nonton ga sampe ngos-ngosan deh. Selamet.
Ternyata banyak yang terjadi setahun belakangan ini. Terlalu banyak malah. Memori pun sepertinya udah ga cukup menampung semuanya, sebagian besar terlupakan, sebagian kecil menjadi kenangan, dan sisanya mimpi buruk. Ini bukan tahun terbaik dalam hidup gue, namun bukan juga menjadi tahun yang terburuk. Biasa, plain. Tapi ga dipungkiri ditahun ini gue menemukan banyak hal, yea, kalau dari dalam diri itu standar-standar aja, tidak berarti sama dengan yang dari luar kan? Gue mengenal dunia baru yang menyenangkan, sebuah bentuk yang awalnya ga pernah gue sadari sebelumnya. Mungkin dulu terlalu sibuk sama empat dinding hitam yang mengurung dengan erat, yang eratnya itu bahkan bisa membuat harimau bengal pun mati sesak nafas. Sibuk dengan dunia sendiri, dan tidak ada yang bisa gue lihat selain tanah dibawah (well, gue sering nemu duit loh pada masa ini).
Katakanlah, di tahun ini gue mengenal Tika dan Luthfi dan embel-embel Bersepeda Lintas Jakarta (BLJ) di belakang nama mereka.. Dua orang yang menjadi kebanggan terbesar yang bisa gue miliki sekarang. Walau ga sedikit konflik yang terjadi sama mereka (inget insiden Pizza hut tik?), untungnya semua bisa diatasi dengan baik. Yah, semuanya ga lebih dari salah paham sih. Yang penting itu komunikasi ya kan. Pembentukannya ga sebentar, tiga tahun berjalan dan gue masih sungkan untuk meminta bantuan mereka, haha. Tiga tahun. Jalan-jalan konyol bersama mereka yang engga ada habisnya keliling Jakarta, makan bakmi menteng yang menjadi surga dunia setelah menggoes sepeda jauh-jauh, ataupun ke kota tua gila-gilaan naik kereta (yang mana itu sepeda ikut berpartisipasi meramaikan desakan penumpang KA). Dan yang paling berkesan tentu saat datang ke monas yang entah ada angin apa lagi bersih-bersihnya. Jadinya itu pemandangan kaya di central park dah. Hi.
Oh iya, engga lupa juga saat gue nonton pementasan teater berdua bareng Luthfi. Rashomon judulnya (walaupun judul aslinya in a groove). Itu termasuk momen yang ga bisa gue lupain. Mencari dengan ganas menelusuri jadwal pementasan TIM—nyari yang mana yang gratisan, dan akhirnya menemukan yang satu itu, walaupun harus bela-belain dateng jam delapan malem dan beresiko kehabisan angkot untuk pulang, haha. Yah, saat liburan menunggu pengumuman Universitas itu adalah saat-saat paling menyenangkan sama mereka. Bertandang di rumah Tika, minum kopi, masak nasi goreng yang rasanya enuak (bo’ong sih), dan nonton DVD ngabisin waktu. Oh Tuhan, betapa bahagianya saat-saat nganggur itu, bisa dikembalikan? Haks-haks.
Plus, saat gue diikutkan dalam kepanitiaan POPA, acara sekolah. Gue ga berminat, sama sekali. Kalau bukan karena Tika, nama gue ngga akan masuk dalam daftar kepanitiaan saat itu. Menjalani kehidupan sebagai bayangan itu udah sangat nyaman sampai ke tulang sum-sum. Penonton, itu prinsip, tapi sekali itu aja gue langgar. Entah kenapa, selain dorongan dari Tika, ada rasa ingin meninggalkan jejak walau sedikit di SMA yang bisa dialihkan jadi kolam renang saat banjir ini. Dan sip-nya, walau apa yang kami semua (satu angkatan) lakukan dinilai tidak lolos oleh juri, gue pribadi mendapatkan banyak disini, di sebuah kepanitiaan non-religius.
Hal lain di umur gue yang 18. The Unreachable. Ah, sudahlah, sebut saja Erni, Erni Froida lengkapnya, haha. Kalau menyebut nama dia, bagi gue mungkin seperempat dari masa SMA kali ya? Kalau digambarkan secara mudah, dia ada seorang perempuan yang punya lirikan mata pembunuh, tajam, seperti silet *jiah*. Yang entah kenapa kok bisa ya gue suka sama ini orang? Andaikan alasannya ditanya, maka silahkan baca dialog di bawah ini,
Oknum: Kok bisa suka sama dia bung?
Gue: Engga tau, tiba-tiba ‘Blam!’, suka deh.
Oknum: ...
Well said. Seharusnya gue penggila Jejepangan saat itu, paling banter komik, atau buku novel populer—yang umum. Nah, mana sarana yang bisa ngebuat suka sama ini orang? Engga nyambung, absurd total. Masa-masa dimana kalau papasan yang ada gue malah buang muka, atau paling bagus mah nunduk. Berada lebih dekat dari lima meter maka keringet dingin mulai bocor dan kaki gemeteran. Man, saat itu gue bisa dibilang nerd, geek, setan sekolah, bayangan, ada ngga adanya gue mah sama aja. Kuper mampus dan anti-g401 abis-abisan. Ketenaran gue hanya pada pelajaran Ekonomi-Akutansi, sama agama Islam aja, sisanya? Wung. Hanya sebentuk debu hitam mengambang di udara. *Tsah*.
*Tentunya tidak seseram diatas*
Ujungnya tidak berakhir bagus. Tapi kalau boleh gue bilang, gue menyelesaikannya dengan baik *lah?*. Gampangnya, bagi orang lain yang melihat, itu adalah sebuah penyelesaian absurd tak berbentuk yang bahkan menyaingi ketidakjelasan fisiologis amoeba. Tapi buat gue pribadi, itu adalah saat dimana gue bisa melepaskan jangkar rese yang mengikat kepala di dasar samudra bernama—sensor—. Gue mengakhiri hari wisuda itu dengan baik (walau penampilannya seperti hasil rekayasa genetika manager dan tukang ojek).
Oh, sepertinya tulisan ini akan panjang saudara-saudaraku.
Satu lagi dunia yang gue masuki di tahun ini. Networld. Sebenernya, udah dari kapan tau gue kenal sama dunia ini. Forum game, forum Jejepangan, dan milis email pernah gue kecap dengan lidah perawan ini. Tapi hei, gue belum pernah terjun sedalam ini sebelumnya. Perkenalkan, IndoHogwarts. Jeng jeng. Apa itu? Hanya forum RPG, biasa aja, titik. Yang tidak biasa dari forum itu adalah, interaksinya, orang-orangnya. Man. Terima kasih sama siapa-itulah-namanya pendiri Yahoo karena telah mengimplementasikan Yahoo Messengger. Memang bukan sarana komunikasi satu-satunya, tapi itulah yang anak IH gunakan untuk berinteraksi.
Bukan hanya RPGnya yang membuat ketagihan—malah sebenarnya bukan itulah yang IndoHogwarts jual, tapi interaksi antar membernya justru yang jadi sajian utama. Disini gue banyak mengenal orang-orang baru yang jelas taraf menariknya diatas rata-rata. Deyna, Miru, Shinta, Deva, Inta, Aji, Mbak Yuni, Catherina, Shaula, Thiwy, Acid, Kunceh dan akan sangat panjang kalau gue sebut semua. Dan dari daftar nama yang panjang itu, ada beberapa nama yang memang terlalu ga biasa buat gue.
Manda dengan perasaan senasib seperjuangan, berusaha melawan tatapan-tatapan menghina dari lingkungan yang merendahkan tiap inchi harga diri kita bersama, iya kan Mand? *lebay mahadewa*. Staff IH yang sangat baik, ngga bosen-bosennya gue tanyain A, B, C. Sebenernya ingin ngobrol banyak sama yang satu ini, namun yah, waktu selalu jahat sama kita berdua Mand.
Rere, seorang ibu yang gagal mengurus anak-anaknya. Haha. Orang pertama dari garis sinis-sarkastis yang berinteraksi sama gue. Kaget luar biasa saat pertama kali YM sama orang yang ini. Well said. Gue selalu menjauhi tipe orang macem ini, males, dan pastinya hanya berbuah gondok. Namun diujungnya gue malah jatuh cinta sama dia, menarik, OCD kelas ringan, dan secara kasar bolehlah gue bilang dia itu pedagang sempurna, untung ruginya harus jelas (terutama hubungan sosial) haha.
Pradit dan Sigi, jadikan saja satu wacana, karena mereka punya daya tarik yang sama, apa itu? Liar. Rawr. Tentu bercanda sayang. Pola pikir mereka yang tentunya ngga biasa sukses mencuri hati gue. Engga sedikit dari mereka yang bisa gue pelajari. Gue seneng mengobrol panjang lebar sama mereka, sungguh. Ingin rasanya ngebuka semua, ngalirin apa yang gue pikir ke mereka dalam satu waktu, hanya ya, tau diri lah. Gue mau bercerita bukan berarti mereka harus mau mendengarkan, toh? Love them, tentu. :)
Ussi. Terlalu banyak yang bisa gue deskripsikan tentang dia. Seorang genius tersembunyi yang tertimbun rasa malas berkepanjangan. Sunggu sayang. Lucu, selera humornya diantara bagus dan jelek. Saat bagus, jangan heran gue cekikikan sendiri kalau baca blognya. Tapi kalau jelek, jangan heran juga kalau tiba-tiba gue cemberut. Haus pengetahuan, apapun yang asing bagi dia pasti akan dicari sampai ketemu, dan harus ketemu. Marah, sering gue marah sama dia, sejauh ini masih bisa gue tahan, tapi yah, bocor juga pada akhirnya. Tentu, gue juga sayang sama yang ini. Sangat.
Tahun ini terlalu banyak. Kejadian positif, kejadian negatif. Jangan lupa tendon gue yang sobek itu, ah ya, joint tangan kanan yang juga masih bermasalah sampai sekarang, bagus, gue ga bisa menikmati badminton dengan tenang *sigh*. Yang paling negatif pun malah bikin gue nyengir, oh tahun yang bagus sekali, kawan. Setahun gue hidup ini, adalah tahun dimana gue lulus SMA, dengan nilai yang standar khas gue. Mencoba ujian di berbagai kesempatan dan akhirnya terjebloslah ke sini. Psikologi UPI.
Oke. Hampir semuanya.
Ulang tahun, apa yang terlintas di benak anda saat kata itu disebut? Selebrasi? Bermain tepung? Lempar-lemparan telur? Atau kue dengan lilin menari diatasnya? Hm. Bagus kalau begitu. Fyi, itu semua engga pernah gue rasakan dalam hidup. Ulang tahun gue selama ini hanyalah berbentuk cium tangan kepada orang tua dan ucapan selamat sekedar selamat. Tidak ada hadiah, tidak ada kue. Oh ya, berharap apa? Gue cowo, dan memanglah muka gue yang gahar ini ga pantas disandingkan dengan kue tart dan kawan-kawannya, haha. Atau seenggaknya sebelum pertambahan umur gue yang ke-19 sekarang. Entah setan apa yang merasuki rekanan kampus untuk merayakan seseorang yang bahkan pernah menjadi hantu bernyawa ini (atau daging berjalan, ah, sama saja).
Dan perayaannya pun ngga main-main, well prepared. Dramatis, dan jelas membuat gue sebagai seorang melankolis sempurna ini sampai capek harus nutupin wajah saking malunya. Dari tas sampai buku, dari topi sampai perjalanan ke kawah putih. Gue sangat menghargai itu semua walau memang mungkin tidak nampak ya? Maafkanlah gue yang memang terlalu jaim ini. Memperlihatkan perasaan secara eksplisit itu haram hukumnya buat gue. Secara verbal dan gesture gue mungkin ngga bisa mengutarakannya dengan baik. Tapi lewat tulisan, gue bener-bener berterima kasih sama kalian yang mau repot-repot mempersiapkan itu semua. Seorang bijak pernah berkata, “Buatlah seseorang senang hari ini, maka kau akan membuatnya senang 20 tahun kemudian saat ia mengingat hari tersebut,” ya. 20 tahun lagi gue akan tersenyum lebar mengingat hari ini, yap.
Satu lagi, boleh kan?
Gue introvert murni, tidak bisa mengutarakan pendapat dengan baik, plus cara bicara gue yang ngambang bin burem ini. Banyak hal yang ngga bisa gue sampaikan dengan baik. Basicnya gue susah bergaul. Walaupun ngga setuju dengan Freud, tapi sepertinya kalau kepribadian itu tidak bisa dirubah benar juga, mungkin. Kalian tahu? Sulit sungguh susah memperjuangkan diri untuk meyakinkan bahwa seseorang itu sudah bisa disebut teman. Kenal dengan orang tentu banyak. Tapi yang bisa gue anggep teman, sedikit. Setiap kali gue menggunakan kata itu (teman), itu karena gue ngga bisa menemukan kata substitusi yang dapat mewakili kata tersebut. Pengalaman main teman-temanan gue sebagian besar buruk sih. Haha.
Sejauh inipun gue susah untuk merasa kalau gue bukan orang luar. Yah, outsider, sampai hari akhir tetap outsider. Bergerak dalam grup itu berat, terutama untuk orang dengan prinsip prepare for the worst macem gue. Pikir negatifnya dulu, positifnya ilang kemana tau. Menyenangkan kah cara hidup macam ini? Ngga. Terlalu banyak yang dipikir. Pastinya, gue ngga ada didalam lingkaran kalian, tapi juga ngga ada diluar. Bias. Oh ya, tertawalah, hal sepele macam ini aja pake dibahas. Mungkin besok, mungkin minggu depan, tahun depan, atau barangkali beberapa tahun lagi. Gua akan masuk :).
Akhirnya, selamat tinggal 18, satu tahun ini akan gue usahain simpen di memori, atau seenggaknya ada pensieve ini yang bersedia menampung. Dan 19.
Gue inget setahun lalu, tepat 23 maret ada acara Jejepangan di margo city depok. Namanya lupa. Pokoknya pulang dari sana udah sekitar jam sepuluh malam, dan gue bukannya langsung pulang kerumah, cuci kaki, cuci muka, minum susu terus tidur, tapi malah kewarnet. Menuliskan postingan semacam ulasan apa aja yang terjadi setahun belakangan, rasanya menyenangkan. Mana waktu itu juga kaya orang norak pake ngetes webcam warnet pula, dan tepat disebelah gue ada orang nyetel bokep tanpa pakai headset. Uuh yeah. Bagusnya yang nonton ga sampe ngos-ngosan deh. Selamet.
Ternyata banyak yang terjadi setahun belakangan ini. Terlalu banyak malah. Memori pun sepertinya udah ga cukup menampung semuanya, sebagian besar terlupakan, sebagian kecil menjadi kenangan, dan sisanya mimpi buruk. Ini bukan tahun terbaik dalam hidup gue, namun bukan juga menjadi tahun yang terburuk. Biasa, plain. Tapi ga dipungkiri ditahun ini gue menemukan banyak hal, yea, kalau dari dalam diri itu standar-standar aja, tidak berarti sama dengan yang dari luar kan? Gue mengenal dunia baru yang menyenangkan, sebuah bentuk yang awalnya ga pernah gue sadari sebelumnya. Mungkin dulu terlalu sibuk sama empat dinding hitam yang mengurung dengan erat, yang eratnya itu bahkan bisa membuat harimau bengal pun mati sesak nafas. Sibuk dengan dunia sendiri, dan tidak ada yang bisa gue lihat selain tanah dibawah (well, gue sering nemu duit loh pada masa ini).
Katakanlah, di tahun ini gue mengenal Tika dan Luthfi dan embel-embel Bersepeda Lintas Jakarta (BLJ) di belakang nama mereka.. Dua orang yang menjadi kebanggan terbesar yang bisa gue miliki sekarang. Walau ga sedikit konflik yang terjadi sama mereka (inget insiden Pizza hut tik?), untungnya semua bisa diatasi dengan baik. Yah, semuanya ga lebih dari salah paham sih. Yang penting itu komunikasi ya kan. Pembentukannya ga sebentar, tiga tahun berjalan dan gue masih sungkan untuk meminta bantuan mereka, haha. Tiga tahun. Jalan-jalan konyol bersama mereka yang engga ada habisnya keliling Jakarta, makan bakmi menteng yang menjadi surga dunia setelah menggoes sepeda jauh-jauh, ataupun ke kota tua gila-gilaan naik kereta (yang mana itu sepeda ikut berpartisipasi meramaikan desakan penumpang KA). Dan yang paling berkesan tentu saat datang ke monas yang entah ada angin apa lagi bersih-bersihnya. Jadinya itu pemandangan kaya di central park dah. Hi.
Oh iya, engga lupa juga saat gue nonton pementasan teater berdua bareng Luthfi. Rashomon judulnya (walaupun judul aslinya in a groove). Itu termasuk momen yang ga bisa gue lupain. Mencari dengan ganas menelusuri jadwal pementasan TIM—nyari yang mana yang gratisan, dan akhirnya menemukan yang satu itu, walaupun harus bela-belain dateng jam delapan malem dan beresiko kehabisan angkot untuk pulang, haha. Yah, saat liburan menunggu pengumuman Universitas itu adalah saat-saat paling menyenangkan sama mereka. Bertandang di rumah Tika, minum kopi, masak nasi goreng yang rasanya enuak (bo’ong sih), dan nonton DVD ngabisin waktu. Oh Tuhan, betapa bahagianya saat-saat nganggur itu, bisa dikembalikan? Haks-haks.
Plus, saat gue diikutkan dalam kepanitiaan POPA, acara sekolah. Gue ga berminat, sama sekali. Kalau bukan karena Tika, nama gue ngga akan masuk dalam daftar kepanitiaan saat itu. Menjalani kehidupan sebagai bayangan itu udah sangat nyaman sampai ke tulang sum-sum. Penonton, itu prinsip, tapi sekali itu aja gue langgar. Entah kenapa, selain dorongan dari Tika, ada rasa ingin meninggalkan jejak walau sedikit di SMA yang bisa dialihkan jadi kolam renang saat banjir ini. Dan sip-nya, walau apa yang kami semua (satu angkatan) lakukan dinilai tidak lolos oleh juri, gue pribadi mendapatkan banyak disini, di sebuah kepanitiaan non-religius.
Hal lain di umur gue yang 18. The Unreachable. Ah, sudahlah, sebut saja Erni, Erni Froida lengkapnya, haha. Kalau menyebut nama dia, bagi gue mungkin seperempat dari masa SMA kali ya? Kalau digambarkan secara mudah, dia ada seorang perempuan yang punya lirikan mata pembunuh, tajam, seperti silet *jiah*. Yang entah kenapa kok bisa ya gue suka sama ini orang? Andaikan alasannya ditanya, maka silahkan baca dialog di bawah ini,
Oknum: Kok bisa suka sama dia bung?
Gue: Engga tau, tiba-tiba ‘Blam!’, suka deh.
Oknum: ...
Well said. Seharusnya gue penggila Jejepangan saat itu, paling banter komik, atau buku novel populer—yang umum. Nah, mana sarana yang bisa ngebuat suka sama ini orang? Engga nyambung, absurd total. Masa-masa dimana kalau papasan yang ada gue malah buang muka, atau paling bagus mah nunduk. Berada lebih dekat dari lima meter maka keringet dingin mulai bocor dan kaki gemeteran. Man, saat itu gue bisa dibilang nerd, geek, setan sekolah, bayangan, ada ngga adanya gue mah sama aja. Kuper mampus dan anti-g401 abis-abisan. Ketenaran gue hanya pada pelajaran Ekonomi-Akutansi, sama agama Islam aja, sisanya? Wung. Hanya sebentuk debu hitam mengambang di udara. *Tsah*.
*Tentunya tidak seseram diatas*
Ujungnya tidak berakhir bagus. Tapi kalau boleh gue bilang, gue menyelesaikannya dengan baik *lah?*. Gampangnya, bagi orang lain yang melihat, itu adalah sebuah penyelesaian absurd tak berbentuk yang bahkan menyaingi ketidakjelasan fisiologis amoeba. Tapi buat gue pribadi, itu adalah saat dimana gue bisa melepaskan jangkar rese yang mengikat kepala di dasar samudra bernama—sensor—. Gue mengakhiri hari wisuda itu dengan baik (walau penampilannya seperti hasil rekayasa genetika manager dan tukang ojek).
Oh, sepertinya tulisan ini akan panjang saudara-saudaraku.
Satu lagi dunia yang gue masuki di tahun ini. Networld. Sebenernya, udah dari kapan tau gue kenal sama dunia ini. Forum game, forum Jejepangan, dan milis email pernah gue kecap dengan lidah perawan ini. Tapi hei, gue belum pernah terjun sedalam ini sebelumnya. Perkenalkan, IndoHogwarts. Jeng jeng. Apa itu? Hanya forum RPG, biasa aja, titik. Yang tidak biasa dari forum itu adalah, interaksinya, orang-orangnya. Man. Terima kasih sama siapa-itulah-namanya pendiri Yahoo karena telah mengimplementasikan Yahoo Messengger. Memang bukan sarana komunikasi satu-satunya, tapi itulah yang anak IH gunakan untuk berinteraksi.
Bukan hanya RPGnya yang membuat ketagihan—malah sebenarnya bukan itulah yang IndoHogwarts jual, tapi interaksi antar membernya justru yang jadi sajian utama. Disini gue banyak mengenal orang-orang baru yang jelas taraf menariknya diatas rata-rata. Deyna, Miru, Shinta, Deva, Inta, Aji, Mbak Yuni, Catherina, Shaula, Thiwy, Acid, Kunceh dan akan sangat panjang kalau gue sebut semua. Dan dari daftar nama yang panjang itu, ada beberapa nama yang memang terlalu ga biasa buat gue.
Manda dengan perasaan senasib seperjuangan, berusaha melawan tatapan-tatapan menghina dari lingkungan yang merendahkan tiap inchi harga diri kita bersama, iya kan Mand? *lebay mahadewa*. Staff IH yang sangat baik, ngga bosen-bosennya gue tanyain A, B, C. Sebenernya ingin ngobrol banyak sama yang satu ini, namun yah, waktu selalu jahat sama kita berdua Mand.
Rere, seorang ibu yang gagal mengurus anak-anaknya. Haha. Orang pertama dari garis sinis-sarkastis yang berinteraksi sama gue. Kaget luar biasa saat pertama kali YM sama orang yang ini. Well said. Gue selalu menjauhi tipe orang macem ini, males, dan pastinya hanya berbuah gondok. Namun diujungnya gue malah jatuh cinta sama dia, menarik, OCD kelas ringan, dan secara kasar bolehlah gue bilang dia itu pedagang sempurna, untung ruginya harus jelas (terutama hubungan sosial) haha.
Pradit dan Sigi, jadikan saja satu wacana, karena mereka punya daya tarik yang sama, apa itu? Liar. Rawr. Tentu bercanda sayang. Pola pikir mereka yang tentunya ngga biasa sukses mencuri hati gue. Engga sedikit dari mereka yang bisa gue pelajari. Gue seneng mengobrol panjang lebar sama mereka, sungguh. Ingin rasanya ngebuka semua, ngalirin apa yang gue pikir ke mereka dalam satu waktu, hanya ya, tau diri lah. Gue mau bercerita bukan berarti mereka harus mau mendengarkan, toh? Love them, tentu. :)
Ussi. Terlalu banyak yang bisa gue deskripsikan tentang dia. Seorang genius tersembunyi yang tertimbun rasa malas berkepanjangan. Sunggu sayang. Lucu, selera humornya diantara bagus dan jelek. Saat bagus, jangan heran gue cekikikan sendiri kalau baca blognya. Tapi kalau jelek, jangan heran juga kalau tiba-tiba gue cemberut. Haus pengetahuan, apapun yang asing bagi dia pasti akan dicari sampai ketemu, dan harus ketemu. Marah, sering gue marah sama dia, sejauh ini masih bisa gue tahan, tapi yah, bocor juga pada akhirnya. Tentu, gue juga sayang sama yang ini. Sangat.
Tahun ini terlalu banyak. Kejadian positif, kejadian negatif. Jangan lupa tendon gue yang sobek itu, ah ya, joint tangan kanan yang juga masih bermasalah sampai sekarang, bagus, gue ga bisa menikmati badminton dengan tenang *sigh*. Yang paling negatif pun malah bikin gue nyengir, oh tahun yang bagus sekali, kawan. Setahun gue hidup ini, adalah tahun dimana gue lulus SMA, dengan nilai yang standar khas gue. Mencoba ujian di berbagai kesempatan dan akhirnya terjebloslah ke sini. Psikologi UPI.
Oke. Hampir semuanya.
Ulang tahun, apa yang terlintas di benak anda saat kata itu disebut? Selebrasi? Bermain tepung? Lempar-lemparan telur? Atau kue dengan lilin menari diatasnya? Hm. Bagus kalau begitu. Fyi, itu semua engga pernah gue rasakan dalam hidup. Ulang tahun gue selama ini hanyalah berbentuk cium tangan kepada orang tua dan ucapan selamat sekedar selamat. Tidak ada hadiah, tidak ada kue. Oh ya, berharap apa? Gue cowo, dan memanglah muka gue yang gahar ini ga pantas disandingkan dengan kue tart dan kawan-kawannya, haha. Atau seenggaknya sebelum pertambahan umur gue yang ke-19 sekarang. Entah setan apa yang merasuki rekanan kampus untuk merayakan seseorang yang bahkan pernah menjadi hantu bernyawa ini (atau daging berjalan, ah, sama saja).
Dan perayaannya pun ngga main-main, well prepared. Dramatis, dan jelas membuat gue sebagai seorang melankolis sempurna ini sampai capek harus nutupin wajah saking malunya. Dari tas sampai buku, dari topi sampai perjalanan ke kawah putih. Gue sangat menghargai itu semua walau memang mungkin tidak nampak ya? Maafkanlah gue yang memang terlalu jaim ini. Memperlihatkan perasaan secara eksplisit itu haram hukumnya buat gue. Secara verbal dan gesture gue mungkin ngga bisa mengutarakannya dengan baik. Tapi lewat tulisan, gue bener-bener berterima kasih sama kalian yang mau repot-repot mempersiapkan itu semua. Seorang bijak pernah berkata, “Buatlah seseorang senang hari ini, maka kau akan membuatnya senang 20 tahun kemudian saat ia mengingat hari tersebut,” ya. 20 tahun lagi gue akan tersenyum lebar mengingat hari ini, yap.
Satu lagi, boleh kan?
Gue introvert murni, tidak bisa mengutarakan pendapat dengan baik, plus cara bicara gue yang ngambang bin burem ini. Banyak hal yang ngga bisa gue sampaikan dengan baik. Basicnya gue susah bergaul. Walaupun ngga setuju dengan Freud, tapi sepertinya kalau kepribadian itu tidak bisa dirubah benar juga, mungkin. Kalian tahu? Sulit sungguh susah memperjuangkan diri untuk meyakinkan bahwa seseorang itu sudah bisa disebut teman. Kenal dengan orang tentu banyak. Tapi yang bisa gue anggep teman, sedikit. Setiap kali gue menggunakan kata itu (teman), itu karena gue ngga bisa menemukan kata substitusi yang dapat mewakili kata tersebut. Pengalaman main teman-temanan gue sebagian besar buruk sih. Haha.
Sejauh inipun gue susah untuk merasa kalau gue bukan orang luar. Yah, outsider, sampai hari akhir tetap outsider. Bergerak dalam grup itu berat, terutama untuk orang dengan prinsip prepare for the worst macem gue. Pikir negatifnya dulu, positifnya ilang kemana tau. Menyenangkan kah cara hidup macam ini? Ngga. Terlalu banyak yang dipikir. Pastinya, gue ngga ada didalam lingkaran kalian, tapi juga ngga ada diluar. Bias. Oh ya, tertawalah, hal sepele macam ini aja pake dibahas. Mungkin besok, mungkin minggu depan, tahun depan, atau barangkali beberapa tahun lagi. Gua akan masuk :).
Akhirnya, selamat tinggal 18, satu tahun ini akan gue usahain simpen di memori, atau seenggaknya ada pensieve ini yang bersedia menampung. Dan 19.
Selamat Datang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment