Harus mulai darimana nih? Bingung. Alrite, gue coba mulai dari garis besarnya ah. Kita, manusia, human being, umat manusia. Lahir ke dunia yang diawali dengan hubungan dua orang yang kita namakan orang tua. Kita, manusia, hidup, bernafas, makan, reproduksi dan berpikir. dalam hidupnya di dunia, manusia pastinya akan menemukan berbagai macam hal, kejadian. Yang senang, yang sedih, yang menggembirakan, bermuram durja, dan banyak lagi. Sering kali, manusia juga mendapatkan berbagai macam masalah yang tentunya beragam jenis dan tingkat kesulitannya. Tapi hei? Kita berpikir, kitalah yang menentukan seberapa besar tingkatan masalah tersebut, semuanya hanya tergantung dari bagaimana kita mempersepsikan masalah itu aja kan?
Ada beberapa macam orang dilihat dari segi penggunaan persepsi ini. Yang satu, menggunakan penyederhanaan dalam menghadapi masalahnya. Well, ini tipe orang yang gue suka. Mereka percaya kalau-kalau masalah yang datang kepada mereka itu bisa di handle asalkan pengoptimalan fungsi otak yang dinamakan berpikir itu dilakukan. Mereka ngga akan down hanya karena ditolak cewek, mereka ngga akan misuh-misuh kalau mereka ketimpa musibah, dan tentunya tipe orang macam ini ngga akan mudah untuk jatuh. Dalam beberapa hal, gue suka menggunakan tipe persepsi ini, yang dipikir udah kebanyakan, jadi penyederhanaan sesuatu macam ini sangat membantu deh. Misal aja, gue yang sekarang bener-bener masa bodo soal urusan orang tua. Mau mereka ngga kontak lagi, mau yang satu ngilang, mau yang satu nikah lagi, gue angkat tangan. Bukan hal besar, ah, toh gue seenggaknya pernah merasakan berada didalam keluarga yang lengkap, itu cukup.
Orang yang macam ini biasanya jago nutupin berbagai macam hal. Karena mereka menganggap bahwa menceritakan atau berkonsultasi akan persoalan remeh itu cuma buang waktu, “buat apa? Masalah kecil aja kok ampe ngadu-ngadu?” there. Tapi tentunya, seperti sifat manusia pada umumnya, limit pun ada pada diri mereka. Disaat sudah mencapai batas dimana mereka bisa menggunakan penyederhanaan persepsi ini, mereka akan bocor juga pada akhirnya. Weits? Bocor disini juga bukan dalam konteks negatif, kan? Toh pada dasarnya manusia itu memang makhluk sosial, hm? Anak kelas 1 SMA juga tau kalau manusia itu ngga akan bisa hidup tanpa manusia lainnya. Atau, yah, saat mereka menghantam suatu persoalan yang mereka tidak bisa anggap remeh lagi.
Yang kedua, dari beberapa paragraf diatas, pasti jelas, apa yang tipe kedua. Tepat! Andaikan anda menjawab mereka-mereka yang mempersepsikan persoalan secara gamblang, maka nilai 100 untuk anda. Jah. Berkebalikan dengan tipe sebelumnya, mereka akan secara eksplisit menunjukkan bahwa mereka sedang ada masalah. Kegagalan dalam memanagae persoalan tersebut, serta ketidakpuasan setelah pelampiasan dilakukan terhadap subjek katarsis, membuat seseorang yang sedang bermasalah mengeksposnya luas-luas. Tipe-tipe yang mudah dijadikan contoh yaa, status-status di Facebook atau Y!M. yang sering berkecimpung *halah* di kedua sarana interaksi tersebut pasti ngga jarang akan menemukan status yang bunyinya negatif dan pundungan, toh? Yeah, itulah mereka.
Gue juga ngga bisa bilang hal ini buruk, toh gue juga pasti pernah begitu kan? Tipe-tipe seperti ini muncul karena beberapa faktor yang mempengaruhi.
Pertama, minimnya limit managemen masalah serta persepsi yang digunakan dalam menanggapi masalah tersebut. Ini bergantung dari ketahanan mental dan sudut pandang yang digunakan saat masalah itu datang. Semakin tidak siapnya mental untuk menghadapi suatu persoalan, maka makin besar pula persoalan yang dirasakan oleh seseorang.
Kedua, setelah saringan pertama (kekuatan mental, dan persepsi) bocor, maka saringan keduanya adalah katarsis. Pelampiasan kedalam berbagai bentuk. Setelah managemen permasalahan yang gagal, sikap apa yang kita namakan pundung akan terlihat. Nah, disini katarsis akan berperan. Entah bercerita/curhat dengan orang yang sekiranya dekat atau dipercaya, atau pelampiasan ke suatu kegiatan. Kebanyakan orang akan memilih untuk bercerita, namun, ada pula sekelompok orang yang merasa tidak menemukan katarsis yang pas untuk melampiaskan apa yang dirasakan. Jadi, mereka akan cenderung mencari pelampiasan diluar bentuk bercerita, biasanya berbentuk kegiatan. Entah itu olahraga, mengkonsumsi barang tertentu (kopi, atau rokok misal), dan lain-lain.
Poin kedua tidak ada masalah, justru, apabila hal dalam poin pertama tidak terjadi, maka point kedua juga tidak akan terjadi, toh? Andaikata limit serta persepsi dapat dikendalikan dengan maksimal, maka tidak akan ada kata pundung terdengar. Jadi? Apa sih yang menyebabkan minimnya limit dalam menghadapi sebuah persoalan? Tolak ukur kedewasaan seseorang? Pengalaman? Minimnya trial and eror? Gue engga habis pikir, bagaimana bisa ada seorang perempuan yang jadi pundung level mahadewa saat mengetahui cowo incerannya jadian sama cewe lain. sampe sekarang pun gue masih engga mengerti kenapa bisa sampe begitu. Yeah, orang beda-beda, gue ngerti, cuman yaa, gue aja ngga sampe gitu-gitu amat kok pas cewe yang gue suka malah suka ke cowo laen *lah, curcol masa SMA*.
Kita, apalagi yang bisa membaca tulisan ini, pastinya sudah diberi akses yang luar biasa, kan? Kita bisa mengakses internet, seenggaknya punya komputer, dan mampu bayar listrik. Dengan segala kemapanan itu, baguskah andaikan kita masih berpundung-pundung ria lagi karena permasalahan yang katakanlah, sebenernya mudah tapi dipersulit. Banyak aja tuh orang yang mengklaim dirinya orang paling malang didunia, kalo istilah yang sering gue sebut tuh, “matahari ngga akan bersinar untuk dirinya seorang,”. Merasa tidak ada solusi yang baik bagi dirinya, merasa ngga punya siapa-siapa untuk berbagi *aw aw, tertohok*, dan selalu kesepian. Masih banyak orang semacem itu. Padahal, masih banyak orang yang kurang beruntung, yang makan pun hanya nasi basi, yang bertahan hidup hanya dengan modal belas kasih orang lain, masih ada. Dan mereka tetap menjalani hidup mereka sampai sekarang.
Yah, tulisan ini gue dedikasikan untuk seseorang, dan tentunya, sebagai manusia yang egois, gue dedikasikan ke diri gue sendiri juga. Banyak hal positif, banyak hal yang bagus kok dalam hidup ini. Kalau mau menyempatkan waktu, tengoklah ke langit di waktu siang, maka matahari masih ada disana dan siap menyiram kita dengan cahaya ultravioletnya. Keindahan bukan hanya milik malam, men, yah, gue masih berpendapat kalau langit itu hanya bisa dinikmati dalam waktu malam aja sih. Haha, sebuah pendapat yang harus diubah ya? Yup, bersama kita bisa..
Rokok bisa membuat lupa sejenak akan masalah
Kopi bisa membuat otak terpacu dalam memikirkan persoalan
Bir? Well, belum pernah nyoba. Mungkin membantu, eh?
Tapi, itu semua toh ngga lebih dari penguluran, kan? Lo pasti berpikir begitu, dan gue pun sama. Tunduk kepada waktu, beruntung kalau-kalau si waktu memberikan pencerahan berupa solusi berpikir akan apa yang kita persoalkan, kalau ngga? Mungkin akan terasa membaik seiring dengan berjalannya waktu, tapi engga,
time is a healer, but you can never get over the pain
Ada beberapa macam orang dilihat dari segi penggunaan persepsi ini. Yang satu, menggunakan penyederhanaan dalam menghadapi masalahnya. Well, ini tipe orang yang gue suka. Mereka percaya kalau-kalau masalah yang datang kepada mereka itu bisa di handle asalkan pengoptimalan fungsi otak yang dinamakan berpikir itu dilakukan. Mereka ngga akan down hanya karena ditolak cewek, mereka ngga akan misuh-misuh kalau mereka ketimpa musibah, dan tentunya tipe orang macam ini ngga akan mudah untuk jatuh. Dalam beberapa hal, gue suka menggunakan tipe persepsi ini, yang dipikir udah kebanyakan, jadi penyederhanaan sesuatu macam ini sangat membantu deh. Misal aja, gue yang sekarang bener-bener masa bodo soal urusan orang tua. Mau mereka ngga kontak lagi, mau yang satu ngilang, mau yang satu nikah lagi, gue angkat tangan. Bukan hal besar, ah, toh gue seenggaknya pernah merasakan berada didalam keluarga yang lengkap, itu cukup.
Orang yang macam ini biasanya jago nutupin berbagai macam hal. Karena mereka menganggap bahwa menceritakan atau berkonsultasi akan persoalan remeh itu cuma buang waktu, “buat apa? Masalah kecil aja kok ampe ngadu-ngadu?” there. Tapi tentunya, seperti sifat manusia pada umumnya, limit pun ada pada diri mereka. Disaat sudah mencapai batas dimana mereka bisa menggunakan penyederhanaan persepsi ini, mereka akan bocor juga pada akhirnya. Weits? Bocor disini juga bukan dalam konteks negatif, kan? Toh pada dasarnya manusia itu memang makhluk sosial, hm? Anak kelas 1 SMA juga tau kalau manusia itu ngga akan bisa hidup tanpa manusia lainnya. Atau, yah, saat mereka menghantam suatu persoalan yang mereka tidak bisa anggap remeh lagi.
Yang kedua, dari beberapa paragraf diatas, pasti jelas, apa yang tipe kedua. Tepat! Andaikan anda menjawab mereka-mereka yang mempersepsikan persoalan secara gamblang, maka nilai 100 untuk anda. Jah. Berkebalikan dengan tipe sebelumnya, mereka akan secara eksplisit menunjukkan bahwa mereka sedang ada masalah. Kegagalan dalam memanagae persoalan tersebut, serta ketidakpuasan setelah pelampiasan dilakukan terhadap subjek katarsis, membuat seseorang yang sedang bermasalah mengeksposnya luas-luas. Tipe-tipe yang mudah dijadikan contoh yaa, status-status di Facebook atau Y!M. yang sering berkecimpung *halah* di kedua sarana interaksi tersebut pasti ngga jarang akan menemukan status yang bunyinya negatif dan pundungan, toh? Yeah, itulah mereka.
Gue juga ngga bisa bilang hal ini buruk, toh gue juga pasti pernah begitu kan? Tipe-tipe seperti ini muncul karena beberapa faktor yang mempengaruhi.
Pertama, minimnya limit managemen masalah serta persepsi yang digunakan dalam menanggapi masalah tersebut. Ini bergantung dari ketahanan mental dan sudut pandang yang digunakan saat masalah itu datang. Semakin tidak siapnya mental untuk menghadapi suatu persoalan, maka makin besar pula persoalan yang dirasakan oleh seseorang.
Kedua, setelah saringan pertama (kekuatan mental, dan persepsi) bocor, maka saringan keduanya adalah katarsis. Pelampiasan kedalam berbagai bentuk. Setelah managemen permasalahan yang gagal, sikap apa yang kita namakan pundung akan terlihat. Nah, disini katarsis akan berperan. Entah bercerita/curhat dengan orang yang sekiranya dekat atau dipercaya, atau pelampiasan ke suatu kegiatan. Kebanyakan orang akan memilih untuk bercerita, namun, ada pula sekelompok orang yang merasa tidak menemukan katarsis yang pas untuk melampiaskan apa yang dirasakan. Jadi, mereka akan cenderung mencari pelampiasan diluar bentuk bercerita, biasanya berbentuk kegiatan. Entah itu olahraga, mengkonsumsi barang tertentu (kopi, atau rokok misal), dan lain-lain.
Poin kedua tidak ada masalah, justru, apabila hal dalam poin pertama tidak terjadi, maka point kedua juga tidak akan terjadi, toh? Andaikata limit serta persepsi dapat dikendalikan dengan maksimal, maka tidak akan ada kata pundung terdengar. Jadi? Apa sih yang menyebabkan minimnya limit dalam menghadapi sebuah persoalan? Tolak ukur kedewasaan seseorang? Pengalaman? Minimnya trial and eror? Gue engga habis pikir, bagaimana bisa ada seorang perempuan yang jadi pundung level mahadewa saat mengetahui cowo incerannya jadian sama cewe lain. sampe sekarang pun gue masih engga mengerti kenapa bisa sampe begitu. Yeah, orang beda-beda, gue ngerti, cuman yaa, gue aja ngga sampe gitu-gitu amat kok pas cewe yang gue suka malah suka ke cowo laen *lah, curcol masa SMA*.
Kita, apalagi yang bisa membaca tulisan ini, pastinya sudah diberi akses yang luar biasa, kan? Kita bisa mengakses internet, seenggaknya punya komputer, dan mampu bayar listrik. Dengan segala kemapanan itu, baguskah andaikan kita masih berpundung-pundung ria lagi karena permasalahan yang katakanlah, sebenernya mudah tapi dipersulit. Banyak aja tuh orang yang mengklaim dirinya orang paling malang didunia, kalo istilah yang sering gue sebut tuh, “matahari ngga akan bersinar untuk dirinya seorang,”. Merasa tidak ada solusi yang baik bagi dirinya, merasa ngga punya siapa-siapa untuk berbagi *aw aw, tertohok*, dan selalu kesepian. Masih banyak orang semacem itu. Padahal, masih banyak orang yang kurang beruntung, yang makan pun hanya nasi basi, yang bertahan hidup hanya dengan modal belas kasih orang lain, masih ada. Dan mereka tetap menjalani hidup mereka sampai sekarang.
Yah, tulisan ini gue dedikasikan untuk seseorang, dan tentunya, sebagai manusia yang egois, gue dedikasikan ke diri gue sendiri juga. Banyak hal positif, banyak hal yang bagus kok dalam hidup ini. Kalau mau menyempatkan waktu, tengoklah ke langit di waktu siang, maka matahari masih ada disana dan siap menyiram kita dengan cahaya ultravioletnya. Keindahan bukan hanya milik malam, men, yah, gue masih berpendapat kalau langit itu hanya bisa dinikmati dalam waktu malam aja sih. Haha, sebuah pendapat yang harus diubah ya? Yup, bersama kita bisa..
Rokok bisa membuat lupa sejenak akan masalah
Kopi bisa membuat otak terpacu dalam memikirkan persoalan
Bir? Well, belum pernah nyoba. Mungkin membantu, eh?
Tapi, itu semua toh ngga lebih dari penguluran, kan? Lo pasti berpikir begitu, dan gue pun sama. Tunduk kepada waktu, beruntung kalau-kalau si waktu memberikan pencerahan berupa solusi berpikir akan apa yang kita persoalkan, kalau ngga? Mungkin akan terasa membaik seiring dengan berjalannya waktu, tapi engga,
time is a healer, but you can never get over the pain
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment