Skinpress Demo Rss

Klana Graha Budaya

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Sunday, March 01, 2009

Posted at : 1:14 AM

Gue. Nista.

Anjir. Entri yang kemaren? Ngeluh-ngeluh setengah mampus, misuh-misuh ngga jelas cuma karena jatah makan dua ribu perak sehari? Nista. Sangat nista. Apa sih? Dua ribu itu juga duit, masih bisa dipake makan macem-macem, makan enak, sehat, cukup. Tapi kok gue malah ngeluh yang sebenernya ngga penting? Aww. Nista. Ya ngga? Seharusnya sih ngga andaikan bahan pembanding gue itu adalah orang-orang kebanyakan yang kehidupannya berada di atas garis kemapanan, tapi sayangnya kali ini ngga. Yeap, kemaren, gue pulang ke jakarta dan itu bener-bener disaat yang tepat. Trans7 di malam kepulangan gue itu memutar sebuah acara yang.. menarik. Tentang seniman ketoprak. Dan apa yang disampaikan disana itu, whoa.

Grup ketoprak yang menargetkan keliling pulau jawa dalam lima tahun, beranggotakan sekitar empat puluh orang keseluruhan. Hidup mereka? Jangan ditanya. Melarat. Penghasilan empat puluh orang sehari itu totalnya 75ribu, phew. Minus solar untuk diesel, bersihnya tiga puluh lima ribu, dan itu dibagi ke empat puluh orang, bayangin. Seorang hanya dapat sekitar 700 perak sehari. Untungnya pemilik grup ketoprak itu mau menutup gaji grup itu agar bisa mendapat seenggaknya dua ribu rupiah sehari. Dan jika ditotal, bapak pemilik grup ketoprak itu udah merugi sekitar Rp. 2 milyar. Wow. Lalu? Alasan mereka menggeluti pekerjaan yang bahkan penghasilannya ngga lebih baik dari pemulung ini apa? Dua ribu? Bahkan pemulung pun bisa mendapatkan lebih dari itu, kan?

Seni. Seni. Seni. Semuanya demi melestarikan seni masyarakat jawa terdahulu yang dinamakan ketoprak. Watdehel? Semuanya, semua penderitaan itu, menghina sistem pencernaan dengan makan mie tiap hari itu semua demi seni? Dua ribu perak sehari itu demi seni? Man, gue nista. Mereka mempunyai tujuan yang mulia, kan? Bahkan sampai ada yang harus kehilangan kedua tangannya saat melakukan pekerjaan tersebut, tapi mereka ngga mundur. Lima tahun yang ditargetkan pun baru berjalan di angka tiga. Sisa dua tahun lagi misi pelestarian ini mereka janjikan untuk selesai. Gue yang saat itu menonton hanya bisa berdecak kagum, melongo, dan berusaha menampik segala informasi yang bikin miris jauh-jauh dari daya nalar. Terlalu gila. Saat itu gue langsung teringat masa-masa yang gue anggep “susah” beberapa hari yang lewat. Dan yah, tepat di detik itu gue merasa ‘penderitaan’ yang gue alami itu bener-bener nista. Katakanlah setara, dua ribu untuk gue, dan dua ribu untuk mereka, gue mengeluh, dan mereka ngga, nista? Pasti?

Sekarang apa? Akankah muncul ekspetasi-ekspetasi yang biasa muncul di film kelas teri untuk melengkapi kenistaan gue? Dengan bunyi, “aiih, ngga lagi deh akyu ngeluh-ngeluh.. blalala”. Gitu? Well, maunya, tapi karena alur seperti itu udah bisa ketebak, jadi sebaiknya hal macam itu dihapus sajalah. Gantinya, mungkin gue harus bersyukur ngga dilahirkan di keluarga yang bebal terhadap rasa-rasa yang tadi gue rasakan, semacam miris saat melihat ada orang yang susah, dan tentu selalu meminimalisir taraf hidup agar setara dengan lingkungan sekitar, yah, itulah keluarga menyebalkan dimana gue lahir. Baguslah, gue ngga akan berjengit naik KRL ekonomi, ga akan ribut saat baju gue kena lumpur, dan tetap berusaha menghadapi kakek-kakek yang narikin celana gue berharap 1000 perak tanpa perasaan merendahkan.

***

Oh ya, saat gue pulang dari Bandung ke Jakarta kemaren, ada hal yang ngga biasa yang gue temukan di perjalanan. Yeap, gue sebangku sama cewe. Padahal seumur-umur gue dapet bangku tuh sama bapak-bapak atau oom-oom dan pasti, kalau baunya ngga minyak nyong-nyong yang bikin kepala berdenyut hebat, pasti bau gosong-kecut yang menguar, kali ini lain, bau shampoo yang khas. Whew, tadinya udah salting duluan, siap-siap dengan posisi terbaik biar ngga keliatan konyol dan segala macemnya. Karena siapa tau list di phonebook gue bisa nambah (ASLI! Ini cuman becandaan). Dan disaat gue mau menyapa dia, sekedar berkenalan mungkin, Hpnya bunyi, dan diapun mengangkat—dengan anggun.

“EH GOBLOK BANGET SIH, KEMANA, WOI, UDAH MAU BERANGKAT! CEPETAN!”

*pats*

Dan gue pun memalingkan muka ke jendela, membatin, “well, kayanya ini akan menjadi sesepi perjalanan yang lain.”

***


Ah engga, ternyata dua jam kemudian gue terbangun dengan kepala bersandar di pundak itu cewe. Untungnya ngga ditampar, tapi malah dicengirin *ge er*. Walau alay, tapi baek juga, kacamata gue yang jatoh pun diambilin dan ditaroin di kantong gue. Aha.

0 comment: