A Nadir Part Stupid
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Wednesday, February 04, 2009
Posted at : 1:50 AM
Gue senang, astaga. Lama, entah sejak kapan—setelah masa ekuilibrium tenang yang ga bisa dikatakan singkat, akhirnya ada sedikit pergeseran kurva, ke kanan tepatnya. Oh ya,. Gue dan hidup gue masih berlangsung sama-sama aja kaya ngga ada perubahan sama sekali, yang berubah hanya.. Ini.. *mengetuk-ngetuk tempurung kepala sendiri*, pemikiran, sudut pandang, atau dengan gaya yang lebih kerennya, point of view. Begitulah. Mungkin orang-orang yang ke-skeptisannya ngga berbeda jauh sama gue akan bilang, “Ilusi,”. Mungkin. Mungkin gue Cuma berkhayal kelewat liar, atau mengalami degradasi fungsi otak tingkat akut yang mengarah ke down syndrome, atau-atau, sekarang gue hanya mimpi kelewat bagus dan tanpa sadar sekarang gue sedang mengetik untuk mempost entri blog dalam mimpi, aih, siapa tau.
Tapi gue bangun, melek, dan cukup sadar untuk menyadari bahwa baru aja paru-paru perawan gue ternodai kehormatannya oleh nikotin yang bejat, ah, skip dulu. Bukan hal istimewa, bukan hal yang khusus, apalagi luar biasa toh? Cuma kurva yang telah lama stagnan itu kini geser dikiit ke kanan, seolah ada yang mengisi salah satu kolom ‘target’ dalam lembaran formulir kehidupan yang gue pegang. Menyenangkan, tulang gue begetar sampe ke sum-sum, dan kepala gue terasa enteng (hal yang jarang kejadian). Gue merasa paham perasaan Kimbley yang kegirangan mendengar suara bom, dan Susumu Nakoshi yang menyadari bahwa mobilnya baik-baik aja setelah dikira ditilang.
Sesuatu ini.. Ah, man. Sangat tidak mungkin gue taro di blog ini. Yang bersangkutan masih punya akses yang cukup luas untuk membuka, membaca, mengetahui, dan akhirnya menggantung gue di tugu Monas sebagai manifestasi tanggapan akan tulisan gue. Oleh karena itu, gue yang masih pengen hidup beberapa taun lagi ini memutuskan ngga naro disini, secara lugas, maupun ngga. Ah, secara implisist sih, ada bebeapa orang yang gue kasih beban informasi ini, tapi secara nyata, ngga ada yang tau.
Penting? Oh, bagi gue sih sangat, bagi orang lain? Nein, ga ada nilainya, dan andai-andai tau pun, palingan hanya dahi berkerut dalam yang gue terima sebagai reaksi, beh, dan daripada begitu, gue lebih baik bungkam? Iya kan pak?
***
Banyak waktu, banyak hal, banyak kejadian, sebagian bermakna, sepermpatnya biasa, setengah dari seperempatnya ngga berkesan, dan sisanya amaze. Ngga ada yang menyangka apa yang akan kita temukan, bahkan didepan rumah. Yaa, siapa sih yang nyangka bahwa hubungan keluarga yang telah lama kering bisa agak melunak dengan seporsi kerak telor? Atau siapa juga yang menyangka bahwa seorang neenk-nenek tua renta murah senyum bisa memalak seribu rupiah dari kantong gue? Atau.. Anak pengamen yang disaluti akan niat baik dan kerja kerasnya (didepan kami), berubah menjadi ular mendesis dibelakang. Siapa yang tau? Satu langkah, satu makna, eh? Atau satu langkah banyak makna?
Aduh. Haruskah semuanya itu mempunyai nilai? Tuhan itu satu, ya kan ya? Tapi kenapa harus satu? Satu itu terbatas, seperti yang gue terima di Bilangan Fu, sementara, nol tidak. Satu dan nol, mana yang mendekati kemisteriusan? Kebesaran? Yang maha tinggi dan tidak dapat diukur? Nol. Benar katanya, gue setuju. Tapi gue ngga seliberal itu untuk menerima, dan tidak se-konvensional itu untuk menampik. Abu-abu? Itu istilah yang paling ngga pengen gue pake mengingat ambiguitasnya yang tinggi (gue lebih suka kata netra). Apapun deh. Sekarang semuanya, mungkin, terlihat menarik. Tapi tunggu beberapa tahun kedepan, apakah semuanya masih sama? Sekarang damai, besok bisa ribut. Sekarang tenang, besok bergejolak. Sekarang gue tertawa, tapi dua detik kemudian gue bisa termenung mengamini nasib. Sialan.
Gue menengkupkan tangan ke wajah. Bau tembakau khas kretek masih kuat tercium dari lima jari kanan gue yang punya satu cacat—dislokasi urat yang males gue sembuhin (bekas nonjok, untuk pengingat). Ah, lewat lagi untuk yang kesekian kalinya, bayangan itu, beberapa hari yang ditempuh dengan euphoria menyenangkan ini bisa aja lenyap di udara pada detik berikut. Dan itu mungkin terjadi, mungkin tidak. Ilusi kan katanya? Itu katanya, bukan kata gue. Nikotin, dengan pesonanya mungkin menarik hati gue (atau paru-paru?) untuk merayakan ilusi itu. Dan sambil satu-dua kali menyesap, gue bertanya, kepada pohon, manusia, alam. Mana yang baik? Yang benar-benar baik sampai-sampai mengganggu otak, atukah yang biasa saja? Manapun oke, mau yang baik, mau yang ngga, semua sama, sama baik. Dan mereka mendengar, hati melesak, katanya pilihlah yang paling baik buat gue. Ah. Yang terbaik? Gila. Gue bisa gila untuk dapat yang terbaik. Tau soal batu mulia? Yang terbaik itu Cuma bisa didapatkan dari ekspedisi gila-gilaan manjat karang terjal dengan kemiringan 45 derajat itu cuma makanan pagi, itu kalo mau yang terbaik.
Dan gue harus melakukan itu? Bertubuh pejal pemanjat gunung dahulu baru bisa mendapatkan yang terbaik? Oke, diusahakan. Katanya sih, saat mendapatkan yang terbaik, kepuasan lebih berasa daripada yang standar-standar aja, betul, ngga salah, setuju. Tapi apa gue bisa? Inferioritas gue ngga main-main, pesimistis bukan cuma nama, skeptis bukan hanya sapaan, itu nyata.
Menghantui gue sampe kiamat.
Gue ngga menyalahkan dua orang yang udah mau susah-susah sampe membuat gue bisa berjalan di bumi ini untuk kepuasan dan sarana pelampiasan. Gue ngga akan menunjukkan jari penuduhan kepadan lingkungan yang membantu membentuk prbadi macem ini. Udah cukup ah, sampai gue kena radang lambung pun, mereka ngga bisa memberi pertanggungjawaban. Menyebalkan? Tidak? Sesuka-sukanya lah.
Gue ngga akan pernah mengerti pikiran orang lain, tidak barang seujung jaripun, ngga akan, never. Gue ngga setinggi itu, berminat Psikologi karena tertarik pikiran orang, bukan untuk memanipulasinya, menjadikannya objek dan tetek bengek lainnya yang membuat gue bergidik jijik. Makanya gue bilang ngga akan pernah bisa mengerti pikiran orang lain—atau lebih tepatnya, ngga mau mengerti, yeap, gue ngga mau mengerti. Seperti kebalikannya, gue ngga mau orang mengerti apa yang gue pikirin, itu menakutkan. Lebih seram daripada oom-oom paruh-baya-homo-yang-nyolek-nyolek-gue-di-terminal (sebenernya sih sereman si oom). Banyak hal yang gue ngga pengen orang lain tau dengan mencari tau. Sebisa mungkin, semua gue informasikan secara langsung, dari gue. Dengan begitu gue bisa membatasi mana yang akan gue bagi dan mana yang tidak. Ah, blog ini pun salah satu display yang menampilkan bagaimana gue sebenernya (atau katakanlah, bagaimana gue mau terlihat). Kadang secara implisit, tapi ngga jarang juga secara eksplisit. Tidak penting, tapi mungkin dapat menghancurkan gue suatu saat nanti. Ha..
Dan sekarang? Gue terlihat seperti apa?
NB : dan soal judul entri ini? Jangan diambil pusing, gue cuma memasukan dua kata (yang cukup berkaitan dengan entri ini) ke mesin anagram, dan ngambil salah satunya buat judul.. hahaks..
Tapi gue bangun, melek, dan cukup sadar untuk menyadari bahwa baru aja paru-paru perawan gue ternodai kehormatannya oleh nikotin yang bejat, ah, skip dulu. Bukan hal istimewa, bukan hal yang khusus, apalagi luar biasa toh? Cuma kurva yang telah lama stagnan itu kini geser dikiit ke kanan, seolah ada yang mengisi salah satu kolom ‘target’ dalam lembaran formulir kehidupan yang gue pegang. Menyenangkan, tulang gue begetar sampe ke sum-sum, dan kepala gue terasa enteng (hal yang jarang kejadian). Gue merasa paham perasaan Kimbley yang kegirangan mendengar suara bom, dan Susumu Nakoshi yang menyadari bahwa mobilnya baik-baik aja setelah dikira ditilang.
Sesuatu ini.. Ah, man. Sangat tidak mungkin gue taro di blog ini. Yang bersangkutan masih punya akses yang cukup luas untuk membuka, membaca, mengetahui, dan akhirnya menggantung gue di tugu Monas sebagai manifestasi tanggapan akan tulisan gue. Oleh karena itu, gue yang masih pengen hidup beberapa taun lagi ini memutuskan ngga naro disini, secara lugas, maupun ngga. Ah, secara implisist sih, ada bebeapa orang yang gue kasih beban informasi ini, tapi secara nyata, ngga ada yang tau.
Penting? Oh, bagi gue sih sangat, bagi orang lain? Nein, ga ada nilainya, dan andai-andai tau pun, palingan hanya dahi berkerut dalam yang gue terima sebagai reaksi, beh, dan daripada begitu, gue lebih baik bungkam? Iya kan pak?
***
Banyak waktu, banyak hal, banyak kejadian, sebagian bermakna, sepermpatnya biasa, setengah dari seperempatnya ngga berkesan, dan sisanya amaze. Ngga ada yang menyangka apa yang akan kita temukan, bahkan didepan rumah. Yaa, siapa sih yang nyangka bahwa hubungan keluarga yang telah lama kering bisa agak melunak dengan seporsi kerak telor? Atau siapa juga yang menyangka bahwa seorang neenk-nenek tua renta murah senyum bisa memalak seribu rupiah dari kantong gue? Atau.. Anak pengamen yang disaluti akan niat baik dan kerja kerasnya (didepan kami), berubah menjadi ular mendesis dibelakang. Siapa yang tau? Satu langkah, satu makna, eh? Atau satu langkah banyak makna?
Aduh. Haruskah semuanya itu mempunyai nilai? Tuhan itu satu, ya kan ya? Tapi kenapa harus satu? Satu itu terbatas, seperti yang gue terima di Bilangan Fu, sementara, nol tidak. Satu dan nol, mana yang mendekati kemisteriusan? Kebesaran? Yang maha tinggi dan tidak dapat diukur? Nol. Benar katanya, gue setuju. Tapi gue ngga seliberal itu untuk menerima, dan tidak se-konvensional itu untuk menampik. Abu-abu? Itu istilah yang paling ngga pengen gue pake mengingat ambiguitasnya yang tinggi (gue lebih suka kata netra). Apapun deh. Sekarang semuanya, mungkin, terlihat menarik. Tapi tunggu beberapa tahun kedepan, apakah semuanya masih sama? Sekarang damai, besok bisa ribut. Sekarang tenang, besok bergejolak. Sekarang gue tertawa, tapi dua detik kemudian gue bisa termenung mengamini nasib. Sialan.
Gue menengkupkan tangan ke wajah. Bau tembakau khas kretek masih kuat tercium dari lima jari kanan gue yang punya satu cacat—dislokasi urat yang males gue sembuhin (bekas nonjok, untuk pengingat). Ah, lewat lagi untuk yang kesekian kalinya, bayangan itu, beberapa hari yang ditempuh dengan euphoria menyenangkan ini bisa aja lenyap di udara pada detik berikut. Dan itu mungkin terjadi, mungkin tidak. Ilusi kan katanya? Itu katanya, bukan kata gue. Nikotin, dengan pesonanya mungkin menarik hati gue (atau paru-paru?) untuk merayakan ilusi itu. Dan sambil satu-dua kali menyesap, gue bertanya, kepada pohon, manusia, alam. Mana yang baik? Yang benar-benar baik sampai-sampai mengganggu otak, atukah yang biasa saja? Manapun oke, mau yang baik, mau yang ngga, semua sama, sama baik. Dan mereka mendengar, hati melesak, katanya pilihlah yang paling baik buat gue. Ah. Yang terbaik? Gila. Gue bisa gila untuk dapat yang terbaik. Tau soal batu mulia? Yang terbaik itu Cuma bisa didapatkan dari ekspedisi gila-gilaan manjat karang terjal dengan kemiringan 45 derajat itu cuma makanan pagi, itu kalo mau yang terbaik.
Dan gue harus melakukan itu? Bertubuh pejal pemanjat gunung dahulu baru bisa mendapatkan yang terbaik? Oke, diusahakan. Katanya sih, saat mendapatkan yang terbaik, kepuasan lebih berasa daripada yang standar-standar aja, betul, ngga salah, setuju. Tapi apa gue bisa? Inferioritas gue ngga main-main, pesimistis bukan cuma nama, skeptis bukan hanya sapaan, itu nyata.
Menghantui gue sampe kiamat.
Gue ngga menyalahkan dua orang yang udah mau susah-susah sampe membuat gue bisa berjalan di bumi ini untuk kepuasan dan sarana pelampiasan. Gue ngga akan menunjukkan jari penuduhan kepadan lingkungan yang membantu membentuk prbadi macem ini. Udah cukup ah, sampai gue kena radang lambung pun, mereka ngga bisa memberi pertanggungjawaban. Menyebalkan? Tidak? Sesuka-sukanya lah.
Gue ngga akan pernah mengerti pikiran orang lain, tidak barang seujung jaripun, ngga akan, never. Gue ngga setinggi itu, berminat Psikologi karena tertarik pikiran orang, bukan untuk memanipulasinya, menjadikannya objek dan tetek bengek lainnya yang membuat gue bergidik jijik. Makanya gue bilang ngga akan pernah bisa mengerti pikiran orang lain—atau lebih tepatnya, ngga mau mengerti, yeap, gue ngga mau mengerti. Seperti kebalikannya, gue ngga mau orang mengerti apa yang gue pikirin, itu menakutkan. Lebih seram daripada oom-oom paruh-baya-homo-yang-nyolek-nyolek-gue-di-terminal (sebenernya sih sereman si oom). Banyak hal yang gue ngga pengen orang lain tau dengan mencari tau. Sebisa mungkin, semua gue informasikan secara langsung, dari gue. Dengan begitu gue bisa membatasi mana yang akan gue bagi dan mana yang tidak. Ah, blog ini pun salah satu display yang menampilkan bagaimana gue sebenernya (atau katakanlah, bagaimana gue mau terlihat). Kadang secara implisit, tapi ngga jarang juga secara eksplisit. Tidak penting, tapi mungkin dapat menghancurkan gue suatu saat nanti. Ha..
Dan sekarang? Gue terlihat seperti apa?
NB : dan soal judul entri ini? Jangan diambil pusing, gue cuma memasukan dua kata (yang cukup berkaitan dengan entri ini) ke mesin anagram, dan ngambil salah satunya buat judul.. hahaks..