Skinpress Demo Rss

Bling outside, Gloom Inside

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Sunday, February 22, 2009

Posted at : 4:16 AM

20 Febuari, Persiapan Acara Inaugurasi Psikologi UPI.

Inaugurasi, acara intern angkatan. Diadakan dengan alasan untuk syarat kelulusan angkatan kami, angkatan 2008, yang disebabkan minimnya niatan kami dalam mengikuti masa bimbingan satu smester silam. Bertajuk Psychology Diaries, isinya sebagian besar adalah pengenangan angkatan-angkatan terdahulu serta apresiasi seni yang dibawakan oleh angkatan 2008nya sendiri dan beberapa guest star dari luar. Bisa dibilang, ini adalah acara pertama dimana gue ngga menempatkan diri didalamnya. Gue ngga berminat sama sekali untuk terjun didalam acara ini sekedar menyibukkan diri dengan jobdesk-jobdesk yang ada di project ini, dan nama gue dalam seksi logistik pun bisa dibilang hanya pajangan kalau-kalau kelompok dimana gue berkumpul bukan menjadi salah satu motor penggerak acara ini. Alasannya? ya, gue ngga tertarik untuk aktif dan bergabung dengan BEM. Satu lagi? Keseluruhan panitia dalam acara ini itu mencapai delapan puluh anak, yah, ngga semua sih, tapi tetep aja banyak. Sementara di SMA, gue terbiasa dengan kepanitiaan kecil dengan jumlah anggota yang jumlahnya ngga mencapai 15 orang bahkan untuk acara dengan anggaran puluhan juta. Jadi kalau 15 orang cukup, 80 orang? Wew. Pemborosan energi, kan? Jadi berkurang satu atau dua orang bukan masalah kayanya.

Pokoknya, gue baru bener-bener dipake tenaganya itu H-1. sebagai kuli, tentunya. Sorenya dateng, dan ternyata tempat pelaksanaan acaranya masih dipake sama jurusan lain, jadinya harus nunggu lagi sampai jam 7an sebelum bisa mulai kerja. Kerjaannya sih standar aja, bikin dekorasi, bantu nyusun bangku dan angkut-angkut barang. Yang cukup ‘berkesan’nya itu bagian ngangkut barangnya. Sound system yang notebene adalah box berisi magnet dalam jumlah besar itu mimpi buruk. Tenaga sih ada, tangannya yang ga mumpuni, mengingat kejadian sendi geser yang sepaket dengan tendon sobek itu juga ngga bisa pulih normal. Sendi pergelangan gue yang kegeser itu susah balik normal, udah sampe tiga tukang pijit dicoba, masih ga bisa juga. Saat ngangkat itu box sih ngga masalah, nah, pas kelarnya baru kerasa ini tangan kaya mau lepas.

Hal menarik soal sound system. Kami mendapatkan sepaket sound ini dengan harga yang naujubilah-bin-omaigat-dahsyat-banget-dah harganya. Bayangin, dengan spesifikasi sound system seharga 1.5 juta rupiah bisa kami dapatkan dengan harga 300rb aja? Whoaw. Faktor pendukungnya cuma satu, koneksi. Bapaknya Alita ternyata punya kerjaan sampingan jadi pengelola sound untuk acara-acara, dan jadilah itu negosiasi berjalan encer tanpa tawar menawar dulu, mantap.

Ada yang ngajak ngopi, gue ngopi. Ada yang ngajak untuk bantuin kerja, gue bantu, ada yang ngajak makan, gue pun makan (dengan bujukan yang susah payah). Belakangan mood makan nurun drastis. Gue mencetak rekor dengan hanya makan mie 6 hari berturut-turut, itupun cuman makan sekali sehari. Phew. Entah ada berapa orang yang mewanti-wanti usus gue bisa mbledug kalau gue makan mie terus. Soal makan, gue dijebak. Gue dibeliin makanan bukan atas kemauan gue sendiri sama Alita, nasi goreng. Nice way to provide me, sigh. Dan itu mengakhiri rekor gue makan mie yang mana seharusnya bisa diperbaharui lagi pada waktu-waktu berikutnya. Kita pun makan, dengan ancaman “masa Ita makan sendiri?” sukses membuat hati gue ternyuh, padahal ini anak ada yang ngincer, kan kalo diliat makan bedua ngga enak :p. Untuk meluruskan niat, gue pun mengajukan pertanyaan yang bersangkutan sama si pengincarnya ini. Dan jawaban klise-malu-malu-ah-masa-iya pun mengalir lancar, “masa sih..”, atau “abisnya..”, dan “dia mah..”. gitu tuh, ribet. Weits, mas pengincar, kalau anda baca, silahkan klarifikasi ke saya, hahaks.

Dekor selesai kira-kira pukul 1. sisa waktu dimanfaatin untuk yang performance besoknya latihan. Yang dekor ya jelas nganggur, harusnya sih tidur untuk persiapan beberesnya besok, tapi ya mana ngantuk kalo lagi ada acara macem ini sih? Dan lagi, orang-orang juga udah pada kecapean dan kehilangan minat untuk ngobrol setelah kerja. Ah, bosen. Gue keluar gedung acara, duduk di berandanya, ngga mikirin apa-apa, kosong. Senyum ngga bisa, pundung juga ngga bisa. Statis lagi untuk saat-saat ini. Lima-sepuluh menit gue duduk, akhirnya gue bangun dan beride sableng untuk keliling kampus pada jam dua pagi. Keren. FYI, UPI itu bukan kampus yang gede-gede amat, masih lebih gedean UNJ sih kayanya. Suasananya sepi *iyalah*, ngga ada orang satupun membuat gue tergoda untuk berkaraoke solo di tengah jalanan. Takut? Iya, tapi hanya sebatas pada suasananya aja, beruntunglah gue yang sama sekali ngga memiliki indra perasa soal alam gaib yang peka, jadi kalau hanya tempat gelap pekat, pohon yang gedenya amit-amit, atau suara-suara aneh sih ngga akan membuat bulu kuduk gue merinding—ralat. Percaya atau ngga, saat gue lagi asik-asiknya bersiul (Patience – Gun’s N Roses, intronya kan siulan) didepan perpustakaan kampus, ada yang berbaik hati membalas siulan gue, whoa, baiknya. Ngga tahu apaan, yang jelas itu membuat kecepataan gue bertambah 200%.

Destinasi dari jalan malam itu sebenernya mau ke taman kampus, dulu pas jalan-jalan malam gue yang pertama gue kesana, cuman, sekarang setelah dikasih tau bahwa bangunan yang ada di taman kampus itu peninggalan jaman belanda, gue jadi mengurungkan niat, haha. Destinasi B, lapangan berdebu. Bukan tempat yang bagus, hanya lapangan kosong tanpa fungsi yang terletak di bumi siliwangi, kampus UPI. Yang istimewa disana (menurut gue), kita bisa ngeliat bintang dengan lumayan jelas. Tempatnya gelap, minim cahaya, jadi bintang yang makin pelit nongol itu pun berbaik hati mau berbagi satu-dua kerlip sinarnya ke gue malam ini. Kisaran 10menit gue disana mendongak ampe pegel. Gue pun balik, melewati Fakultas MIPA yang terkenal gedungnya paling oke se-UPI, tapi anehnya gue malah paling ngga enak pas lewat situ, kesannya horor.

Yap, jalan-jalan sukses bikin capek, pengen tidur tapi ngga ada lapak yang enak. Ah sori, lapak yang enak buat gue itu bukan tempat yang berkasur, berguling, berselimut. Tapi cukup tempat dimana gue bisa menempatkan badan gue dalam posisi tidur. tau dengan kata lain, tempat yang rata, datar. Yaudah, gue ke lantai dua gedung, padahal udah diwanti-wanti sama Herlina—temen 1 kelompok yang punya kepekaan diatas normal—bahwa di lantai dua bangunan ini banyak yang ‘nunggu’nya. Yoh, tidur yang nyaman Vs ketakutan pada entitas asing yang bahkan belum tentu bisa gue liat. Tentu tidur nyaman yang gue pilih yah.

21 Febuari, The Day.

Sejujurnya, gue ngga ikut acaranya *digorok*

Pas bangun dari tidur gue di lantai dua tadi, waktu menunjuk ke pukul lima lewat dikit. Gue harus pulang untuk mengambil baju khusu panitia (berwarna terong! Astaga!) yang ngga gue bawa pas persiapan semalem. Ngantuk, dengan lunglai dan menggigil akibat ganasnya udara subuh Bandung, gue pulang ke kosan. baju diambil, dan tiba-tiba dorongan untuk membaringkan badan di kasur tidak-empuk jadi meningkat, gue pun berbaring. Lalu setelah berbaring, godaan mata untuk terpejam jadi sama kuat, gue pun memejamkan mata dengan niatan istirahat bentar. Setelah mata tertutup, gue digoda lagi untuk tidur 10menit, optimalisasi waktu, gue pun menyetel weker gue untuk bunyi 10 menit kemudia. Dan ternyata, mata baru terbuka lagi jam 10. yeah, sama sih angkanya, 10, tapi beda makna.

Acara dimulai jam 9, gue merasa cukup telat. Gue pun ngga merasa dibutuhkan dalam teknis acara, kuli, kan? Jadinya, mumpung gue sangat ngantuk, waktupun gue manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tidur.

Baru dateng ke tempat acaranya pas selesai, gue cengar-cengir inosen mandangan panitia yang jaga gerbang depan. Dan oh, gue masih kebagian 1 performance dari dosen yang apresiasi puisi. Tanggepan gue, ngga ada kata selain ‘marvelous’. Walaupun dibilangnya puisi, lebih pas dikatakan pembacaan prosa, karena ngga memakai majas, dan hanya membacakan suatu kondisi-situasi, yang mana ternyata sangat menarik apabila dibawain dengan penuh emosi. Tepok tangan dah. Acara pun selesai, ketua BEM memberitahukan peresmian kelulusan kita sebagai angkatan, gue menjauh, hahaks. Toh emang ngga minat.

***

“Dia itu siapa?”
“Dia yang mana?”
“Yang lo tulis di blog lo,”

Gimana kalau ditanya begitu? Apa gue harus menjawab begini, “Ooh, dia, itu kelinci gue, gue lagi kangen lebay sama itu makhluk, makanya gue pake kata ganti ‘dia’,” masuk akal ga tuh?