Ada yang terlewat
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Thursday, February 19, 2009
Posted at : 3:20 AM
“Penonton, atau pemain?”
“Penonton.”
“Kenapa?”
“Ga harus ada alasan khusus, kan?”
“Pasti ada alasannya, harus masuk akal, jadi?”
Apa? Anda, yang mungkin bisa saya katakan mempunyai rasa ingin tahu yang kelewatan, menanyakan hal-hal sampai detail terkecil, terdalam. Oh iya, mungkin wajar kalau-kalau anda menanyakan sampai sebegitunya ke orang yang memang menarik walaupun diliat dari kacamata kuda, tapi saya? Astaga, bahkan bayangan saya pun males ngikutin *haha*. Banyak, mungkin sebagian besar orang itu ingin menjadi pemain. Berada dibawah sorot lampu, berdiri di tengah orang banyak dan menjadi pusat perhatian, pastinya adalah hal yang diinginkan banyak orang. Tapi bukan berarti semua orang kan? Banyak juga yang memilih menjadi penonton—wow, bahkan di seminar-seminar dengan bunyi ‘ESQ’ sering dikatakan bahwa orang yang menjadi penonton itu lebih banyak porsinya. Ga bisa dipungkiri kan? Dan kalau gue berada di salah satu dari sekian banyak penonton, apakah itu hal yang aneh? Toh porsinya lebih banyak, umum, kan? Toh intinya, saya ngga tertarik, sama sekali.
...
Belakangan, gue bisa menyebutkan beberapa waktu belakangan yang gue alami ini menyenangkan, tapi juga bisa sebaliknya. IH sementara waktu gue tinggal, sama sekali ngga ada minatan untuk sekedar masuk satu-dua thread, ngepost, ber-RPG ria, ngga ada. Ym-pun begitu. OL sekedar OL, ngga menyapa, Invis, dan hanya beberapa anak IH yang gue sapa—daya tariknya ngga nahan. Sisanya adalah orang-orang non-IH, orang kampus, blog, yang nemu di tengah jalan dan lainnya. Gue mulai pewe sama RW, mungkin? Semoga. Semester baru, kelas baru, dan tentunya beberapa orang yang memang bisa ‘masuk’ ke area pergaulan gue pun banyak yang sekelas, hanya sedikit yang pisah. Yang berarti, waktu bersama mereka pun semakin banyak, dan semakin banyak waktu yang bisa dihabiskan sama mereka, NW gue mulai terbengkalai. Dulu yang setiap saat harus ngeliat ke hape, sekarang udah bisa gue simpen aman di kantong, sesekali gue keluarin saat mau cek entri-entri baru di blog langganan, hanya itu. Apakah ini berarti gue bukanlah seorang ansos lagi?
“Ngga, lo itu bukan Ansos, bung,”
Dan selanjutnya, dia memberitahu gue bahwa yang sebenarnya dinamakan ansos itu yaa, orang yang udah ngga peduli dengan lingkungan, total, masyarakat ngga bisa menerima dia, dan seperti dia yang ngga bisa menerima masyarakat.
“Nah, elo masih peduli sama lingkungan lo, kan?”
Peduli itu harus dengan tindakan yang riil kan? Perbuatan, atau seenggaknya ucapan yang bisa dipersepsikan dengan jelas oleh orang lain, itu yang dinamakan tindakan dengan artian sebenar-benarnya. Tapi gue skeptis, biarpun gue peduli setengah kiamat, tapi andaikan ngga dibuktikan secara riil, apakah itu bisa dibilang gue peduli? Ada orang kena masalah, berusaha menjabarkan-setengah-hati, butuh dukungan, tapi karena harga diri yang bikin jijik ini, gue malah berusaha ngebanyol, berusaha masa bodo dengan apa yang seseorang itu katakan, seseorang itu sampaikan. Bukannya belaian kata yang gue kasih, tapi malah sebuah tanggapan yang dia nilai sinis, wotdehek? Hal lain lagi? Orang punya masalah—atau seenggaknya gue tau dia lagi terjebak dalam sebuah persoalan yang katakanlah cukup pelik, gue tau, tapi gue ngga berusaha mempersuasi dia untuk maju, untuk bangkit, gue cuma menunggu di belakang garis yang gue nilai aman, dengan pertimbangan saat melewati garis itu, gue mungkin akan menyentuh bagian yang ngga ingin diketahui orang lain, lalu hal terburuknya, gue bisa dibenci. Oh ya, gue terlalu takut untuk bisa peduli. Jadi? Apakah gue masih bisa lo bilang peduli, pi?
Mungkin iya, mungkin engga.
Tabiat buruk orang indonesia, kesalahan definisi yang kebablasan. Kata Anti-Sosial pun mungkin sudah melalang-lenggang di otak banyak orang dengan pengertian yang keliru. Seperti gue salah mengartikan definisi sebenarnya otaku dulu. Yah, setelah gue telisik lebih dalem lagi sih, yeap, gue bukan seseorang yang anti sosial. Sekilas tadi gue sebutkan juga, anti sosial itu adalah orang-orang yang udah ngga peduli lagi sama lingkungan, dan terang-terangan menunjukkan hal itu, biasanya kekosongan dan perasaan hampa itu selalu ada di orang-orang macam ini. Naah, sedangkan kata asosial, berarti, ‘merasa’ dirinya ngga mempunyai kaitan dengan lingkungannya secara umum, atau bahkan, ‘merasa’ bahwa lingkungannya itulah yang ngga mau menrima dia. Berarti, gue bukan ansos, gue (mungkin) ngga bener-bener ditolak sama lingkungan, hanya soal persepsi yang over spekulatif soal pendapat orang lain tentang diri gue sendiri, yeap? Hu uh, dan walaupun gue udah memanualkan ide seperti ini, tetep aja ngga bisa dengan mudah mengubah sudut pandang yang udah gue pake sekian taun ini begitu aja, aiya, bahkan saat ada yang nanya, “mau sampe kapan lo kaya gini terus?”, jawaban mudah gue, “sampe kiamat.”
Kalau memang definisinya seperti itu, berarti ngga ada satupun orang yang gue kenal, atau bahkan gue sendiri yang bertitelkan anti sosial dong? Anak-anak IH pun, yang memang beberapa banyak orang mungkin menganggap dirinya ansos rasanya ngga tepat, lebih tepat kalau kita sebut sebagai asosial toh ya? Ansos mah hanya disandang oleh sekelumit orang yang memang total ngga bisa diterima masyarakat, ya misalkan pembunuh kali? Aha, lagian juga cuma sebutan, cuma kata, yang penting pemaknaannya sama, kan?
“Kita mau bikin film indie, lo pas banget sama salah satu tokohnya,”
“Hah? Yang kaya apa?”
“Pokoknya karakter orang yang ga bisa diterima masyarakat deh, anti sosial gitu,”
“...”
“Apa yah? Awalnya sih gue kira lo begitu, tapi lo ngga gitu kok”
“Haha..” *Cengengesan*
Yap, gue bukan, atau seenggaknya orang lain berpendapat gue itu bukan ansos, yes. Senang atau ngga, benci atau iya, kehidupan kampus gue mulai merangkak membaik—walaupun dibarengi dengan adanya penurunan di bidang lain, *ha-ha*.