Skinpress Demo Rss

Ini Soal RW

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Wednesday, January 21, 2009

Posted at : 8:07 PM

Berita baik rekananku sekalian, komputer gue kena virus! Yeah, salah gue emang yang dengan sengaja ngga masang antivirus dari awal. Karena gue ngga pernah berspekulasi untuk nyentuh tempat biadab perkembangbiakan yang subur bagi virus yang dinamakan warnet. Yah, ada net dikosan, ngapain gue nyolok flashdisk gue diwarnet buat nyari bahan? Tapi ternyata, karena peristiwa kemalingan seminggu yang lalu, gue jadi sering bertandang kewarnet dan.. disana flashdisk gue kena virus. Greaaat! Mana bukan virus ece-ece pula, sistem gue kena serang, kalo gue sendiri yang ngurus, bakalan item doang ntar layar kompinya. Beh.

Yah, gue pasrah deh, ngga berani macem-macem ngutak-ngatik ini kompi dengan tangan penghancur gue. Mungkin beberapa hari kedepan akan gue bawa ketempat servis, heu, dan gue minta antivirus ke mereka, tentu.

Beberapa hari ini agak aneh, bagi gue tentu. Minggu yang diwarnai puasa total beberapa hari ini cukup rumit untuk diverbakan, andai-andai ngga dimengerti, mohon dimaafkan. Awalnya hari rabu, gue ngga begitu inget ada apa di hari itu, namun malemnya, kebiasaan yang entah mulai mengakar sejak kapan di gue itu nongol lagi. Yeah, terhitung dari rabu malam sampai sabtu pagi, gue ngga makan apa-apa. Makan—seinget gue cuma satu roti, dan segelas Sundae. Alasannya? Ngga tau. Sejauh otak gue bisa mengingat, puasa total macem itu gue jalanin kalau-kalau ada hal aneh yang mengganggu pikiran. Tapi minggu ini? Ada? Ngga? Ah, ada kayanya.

Secara kronologis, sebenernya rabu malam itu gue emang ngga niat makan, biasa, ngga ada dorongan apapun yang membuat gue ngga makan, hanya males. But i guess, semuanya mulai di hari kamis. Ada suatu event yang sebenernya cukup normal untuk orang kebanyakan tapi cukup heboh buat gue. Perayaan ulang tahun? Apakah sebegitu menariknya buat gue? Oh, sangat, gue ngga pernah tuh yang namanya ambil bagian dalam perayaan ulang tahun seseorang. Apalagi ampe pake plonco-ploncoan tepung terigu. Well, menarik. Dan kalau ditanya, kenapa hal menarik begitu bisa membuat gue kepikiran, dan ngga bernafsu makan? Bukannya kontradiksi? Hal yang menyenangkan malah berefek negatif. Entah yaa.

Kamis sore, rombongan kelompok yang pernah gue tulis di post sebelumnya berniat pergi nonton. Dan tentunya, mereka ngajak gue. Dan sekedar penyegar ingatan. Gue bukan orang yang suka pergi atau jalan-jalan ke tempat what-so-called mall, itu satu. Gue bukan orang yang terlalu suka nonton film, itu dua. Dan gue adalah orang yang akan berjengit kepada setiap film dalam negri, itu tiga. Dan yeapp! Saat itu gue diajak pergi, ke BIP pula, nonton pula, dan film Indonesia pula. Lengkap. Dan kenapa gue mengamini ajakan mereka? Ingin membaur adalah jawaban yang tepat.

Gue ngga punya kehidupan RW, ada, dan hanya satu, dijakarta pula, dan bisa dibilang.. Kecil pula. Well yeah, gue memang adalah orang yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, tapi kalau mengingat jaraknya, gue dibandung dan mereka dijakarta? Kehidupan RW gue satu-satunya itu sama sekali ngga bisa gue nikmatin, kan? Dan.. Di Bandung, yang memang gue ngga puas dengan kehidupan kampus disini, membuat gue memutuskan untuk bergerumul dengan kehidupan NW gue selama empat tahun kedepan. Itu rencananya. Tapi kenyataan kan ngga selalu mulus, toh? Plus insiden modem kemalingan. Gue jadi ngga punya kehidupan di Bandung. Itulah alasan gue membaur. Tapi sekedar pengingat, gue membaur bukanlah pelarian sementara dari NW gue. Gue ingin ambil bagian dalam kelompok ini, sangat. Untuk sekarang gue memang ngga bisa menikmati gaya pergaulan mereka yang notebene adalah ABG abis. Tapi gue berusaha.

Berusaha? Beratkah? Oh, temanku, sangat berat. Gue adalah orang yang kesederhanaannya berada di garis kemelaratan masyarakat. Sebisa mungkin ngga akan mengeluarkan uang untuk hal-hal yang ngga penting atau ada subtitusinya. Gaya berbaju gue adalah ‘yang penting bisa dipake, dan nyaman’, dan nyamannya gue.. jangan ditanya deh. Mengutip salah satu analisis menarik di suatu forum, “Hidup itu murah, yang mahal adalah gaya hidup,”. Sepakat dengan anda. Untuk hidup, makan kenyang itu bisa dengan uang lima ribu di warteg. Tapi gaya hidup, makan di resto-resto bonafit ngga akan selesai dengan lima puluh-seratus ribu. Dan banyak hal-hal lainnya. Dan gue yang begitu sederhana sekarang harus berciuman dengan hal-hal yang bisa dibilang.. cukup mewah. Sejujurnya ngga enak, setiap menitnya ada di tempat-tempat macem itu membuat gue teringat kehidupan simpel gue yang sangat gue rindukan. Sepeda, nikmatin udara berbau sampah dari atas KRL ekonomi, mengais jalan menggunakan mata gue saat numpang di metromini, dan tidur di tengah lapangan ngeliat purnama yang lagi sempurna-sempurnanya hanya ditemenin susu. Kegiatan-kegiatan itu begitu murah, nyaris gratis, tapi menimbulkan kepuasan luar biasa buat gue.

Apakah otak gue rusak? Sense of life gue sebegitu tidak berkelasnya? Mungkin. Tapi ini gue, roman gue adalah dengan hal-hal rendah macem itu. Seberapa banyakpun gue mengeluarkan uang dan bermewah-mewah ria, gue ngga pernah bisa menemukan kepuasan seperti yang gue temukan di kegiatan-kegiatan barusan. Dan soal kelompok itu, man, bukanlah gue namanya andaikata tidak ada kata pesimistis dan negative thinking yang membuntuti dibelakang nama gue. Apa maksudnya? Oke, kita permudah dengan satu kalimat simpel yang bahkan bisa dimengerti oleh anak kelas dua SD yang baru lancar membaca.

Siapa sih gue?

Non, non, ini bukan soal rendah merendahkan diri yah, ini bicara soal kenyataan dan realita yang ada. Secara fakta, gue menyampaikan dari sumber langsung yang terpercaya. Gue adalah orang yang ngga pandai bertutur kata, kemampuan verbal gue dibawah rata-rata manusia lengkap dengan ketidakjelasan artikulasi gue saat bicara (terjemahan: ngomongnya kaga jelas). Kekurangan itu dilengkapi dengan dogolnya pemilihan diksi atau kata yang tepat untuk diucapkan, ketus, dan ngga jarang memang langsung ditujukan untuk menyerang lawan bicara.

Yah, dengan sekian premis yang sudah disebutkan diatas. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gue adalah orang yang ‘klop’ untuk susah bergaul. Dan dengan segala variabel diatas, apakah gue dapat diterima di kelompok tersebut? Mungkin tidak, tapi mungkin juga iya, expanding possibilities. Hei, gue ngga tegaan juga sama diri gue sendiri dengan memasukkan kemungkinan yang negatif melulu, kan? Tapi yah, gue cukup.. Optimis, optimis bahwa gue mungkin tidak akan terlalu berkesan untuk mereka. Mengingat bahwa gue dikelompok itu bener-bener jarang bersuara. Beberapa hal yang gue verbalkan disana hanya tanggapan-tanggapan kecil, satu-dua tawa, dan sisanya? Diam. Ada dan ngga adanya gue ga akan terlalu berpengaruh pastinya. Ah, agak menyedihkan juga mengakui fakta macem ini.

***

Butuh afeksi lebih, cari pacar? Beh..