Skinpress Demo Rss

Permisi..

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, February 11, 2009

Posted at : 12:17 AM

Lelaki itu berbelok ke kiri tepat di sebuah persimpangan, daerah mana, tidak tahu, karena esensi fragmen ini tidak menekankan kepada sebuah kejelasan geografis. Ah nona, ah tuan, mari. Lelaki itu berjalan tanpa melihat segala yang ada disekitarnya, fokusnya terpatri kepada buku yang ia pegang setinggi dada. Berbahaya memang. Matanya minus, sehingga buku itu didekatkan sedemikian rupa sampai-sampai nyaris ia cium. Sayang, padahal cuaca pagi ini begitu indahnya. Tirai-tirai kabut kabut tipis menyelimuti hari yang seolah enggan beranjak siang, udara dingin menggelitik tengkuk siapapun yang berada di luar selimut, menggelitiki syaraf-syarafnya manusia dengan jahil tanpa pandang mata.


Tapi ia tak tergoda.


Trotoar bersemen bagus, menandakan lingkungan perumahan yang cukup prestisius. Pepohonan lebat yang beranjak kuning musim gugur memenuhi kanan kiri jalan tak bernama pagi ini. Ah. Kasihan si lelaki, ia bahkan tak menengok sedikitpun saat ada kucing kecil lucu mengeong lembut di sudut trotoar. Kehilangan induk sungguh malang. Langkah bisunya bergesek perlahan dengan semen, membaca dengan lekat buku tak berjudul di tangannya yang kaku, desau angin dingin ia hiraukan, suara sayup dedaunan ia tampik, bau rumput bertanah pagi ia campakkan. Ia ada, dalam dunianya.

Deru mesin satu dua kali terdengar, cahaya suram lampu kabut menyinari jalan yang tak tampak mempunyai ujung. Bayang-bayang besar mobil melewati si lelaki acuh, sama acuhnya seperti si lelaki terhadap dunia yang ia pijak.

Ia menyentuh dadanya sesekali, memeriksa apakah jantungnya masih berdetak sampai detik ia menyeentuhnya. Masih. Ia baru saja ditinggalkan kelompoknya karena suatu urusan, kekurangan tempat menjadi alasan. Ia enggan mengingatnya saking bosan. Acuh, memegangi dada kirinya yang berdetak konstan, ia masih berjalan membaca bukunya tenang. Tapi aneh, semakin jauh ia berjalan, semakin ia sadari, bahwa irama nada jantungnya makin naik. Degupnya makin cepat. Dan disaat ia mengalihkan perhatian dari bukunya, bersamaan pula saat ia menemukan bahwa dirinya tengah berada di deretan pohon berbatang menjulang minim daun. Pohon bambu. Ia baru tersadar setelah entah berapa kilometer ia berjalan, ia sudah pergi begitu jauh meninggalkan tempat perpisahan dengan kelompoknya. Dan dimana dia sekarang? Tidak tahu, fragmen ini tidak menceritakan kejelasan geografis, bukan?


Pohon bambu—banyak pohon bambu.


Pagar-pagar besar setinggi dua meter memenuhi daya tampung retinanya.


Dan dibalik semua itu, bangunan.


Bangunan besar bergaya renaisance-hampir-belanda. Dinding-dindingnya bercat putih kusam mengelupas sana-sini. Dua ting—tidak, tidak—tiga tingkat, menjulang tinggi angkuh di tanah yang entah berapa meter kubik luasnya. Lelaki itu terpana melihat bangunan tersebut, tak bergerak, tak mampu, diam.

Desau angin berhembus tega, menggoyang rimbunnya dedaunan bambu di pekarangan rumah itu. Baunya, hmmh, kau tentu tahu sendiri. Dan bunyinya,


‘Srsssshhh.. Srsssshhh.. Wurrssshh’


Instrumen murni dari alam, dengan sentuhan modern geraman mesin pesawat dari kejauhan. Ia menatap takjub akan semua yang ia rasakan sekarang, buku yang ia baca sudah entah tergeletak dimana, ia kosong seketika. Pandangannya tertuju ke setiap lekuk bangunan tua di hadapannya sekarang, tiap tikungan tangganya, gagangnya yang berkarat megah, pintunya yang besar dan berkelas, lalu jendelanya yang—


Apa?


Sesuatu, siluet kasar nampak buram dari mata minus si lelaki. Berdiri di dekat salah satu jendela rumah tua yang mistis mutlak. Detik itu pula, si lelaki ingin pergi meninggalkan tempat ia berdiri, berlari, sensasi tak nyaman entah apa menggantikan pesona alam yang ia rasakan beberapa saat lalu. Tapi ia tak bisa. Sesuatu aneh mengetuk pelan hatinya yang kaku, menariknya perlahan, memaku kakinya yang enggan namun ingin beranjak. Siluet itu bergerak perlahan menyambut angin dengan anggun dan lembut. Perempuan?

Si lelaki mengerjapkan matanya maksimal, akomodasi matanya yang payah ia paksakan sampai batas terujung. Dan ya, itu kuntilanak? Dengan suasana yang demikian, besar kemungkinan, tapi bukan! Bidadari? Juga bukan.


Kuntilanak-nyaris-bidadari. Pastilah itu.


Rasa enggan dan rasa tertarik sekaligus, apalagi kalau bukan entitas yang demikian absurdnya? Yang jelas satu, ia perempuan. Benar kan, non? Mau kuntilanak, mau bidadari, asalnya tetap perempuan. Entitas asing itu tak menggubris keberadaan si lelaki, sama sepertinya, ia terkungkung dalam dunianya yang sempit, berbatas tegas kaku, percaya bahwa tidak ada yang ingin menembus batas tersebut. Ah. Kata siapa? Sekarang si lelaki terpesona, akan suasana mencekam, akan getaran menyenangkan, absurd, tapi kau tahu rasanya? Ya, asik.

Si lelaki melangkah ke depan gerbang, memandangi sebuah ketukan bermotif singa menggigit cincin, tanpa ragu, ia meraihnya dan membenturkanya tiga kali ke pagar.

“Knock, Knock, Knock,”

“Boleh aku masuk?”