Pagi Hari
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Monday, February 09, 2009
Posted at : 4:23 AM
“Neeeee nonenonenot not noooot, niii ninuninunit nit nit nit niiiit, niii ninuninuniit nenonenoneet nenonenoneeet,”
Pukul setengah enam pagi, weker gue bunyi seperti biasa tanpa cela. Gue membuka mata, dan gue terbangun dengan posisi keyboard dikepala sebagai bantal. Euh, kepala gue sakit, gue terjaga sampai kira-kira pukul setengah empat pagi. Berbicara hal-hal ngelantur tanpa ujung pangkal dengan seseorang. Phew, entah berapa kali gue harus mengambil nafas semalam, yeap, mengambil nafas lantaran tegang ataupun mengendurkan rahang. Aduh.
“Neeeee nonenonenot not noooot, niii ninuninunit nit nit nit niiiit, niii ninuninuniit nenonenoneet nenonenoneeet,”
Iyaa iyaa, gue denger, si weker. Mungkin gue jadul. Padahal ada hape yang suaranya cempreng amat andai-andai gue jadikan alarm. Tapi ngga, menggunakan jam konvensional berbatere ini adalah roman tersendiri bagi gue, anehkah itu? Biar. “Tok,”, kepala weker gue tekan, pemicu agar suara nista naninut itu supaya diam. Auh, subuh? Gue ngantuk, sangat ngantuk, izinkan gue tidur, yah? 10, ngga deh, 5 menit lagi gue bangun, oke? Abis itu gue langsung ambil wudhu, gelar sejadah, dan langsung narik dua rokaat, beneran..
08.40
Shit.
Gue memandangi jam meja gue yang tadi pagi udah mewanti-wanti. “Nah lo, makan tuh, gue doain rejeki lo disontok uler dah,” dalam diam, jam itu seolah berkata demikian.. Ah.. Gue mengusap-usap mata, membersihkan diri dari kotoran mata yang akrab disapa belek, mengendap semalam suntuk, menguap, ngulet, dan masih memeluk bantal gue satu-satunya. Pada hati-hari normal, sekarang seharusnya gue udah panik, ambil wudhu kaya orang dikejar setan dan tukang kredit disaat bersamaan, (loh? Setan Kredit), dan solat dua rokaat dengan speed gila-gilaa. Bukan, bukan solat dhuha, tapi solat subuh yang ngaret mampus. Seharusnya begitu. Tapi pagi ini gue begitu malas, maa-laas.
Sampai ke ubung-ubun.
Besok udah hari senin lagi, oh yes, gue kembali kuliah. Di pagi yang tengah meloncat siang ini gue berestimasi akan ada kejadian apa besok. Wuih. Ngebayangin siapa yang akan menjadi Ketua Mahasiswa berikutnya, seperti apa dosen-dosen barunya, dan rekanan-rekanan kelas yang belum sempat sekelas. Ah, berspekulasi liar begini memang selalu asoy, apalagi ditambah dengan kondisi badan letoy sehabis sesi begadang YM gebay-geboy. Kita lihat ah besok. Akan kaya apa.
Fyi, selimut tebal masih terpasang. Udara Bandung yang fluktuatif belakangan ini membuat gue harus menyiapkan artikel selimut melapisi badan gue setiap malam. Iya, fluktuatif, kalo ngga dingin ya dingin banget. Tapi gue cinta dengan keadaan begini. Karena dingin masih bisa ditangkal dengan make lapisan tambahan. Nah kalo panas? Mau bugil pun kalo emang panas ya panas aja.
Gue meraba-raba di tempat seharusnya hape gue berada, kalo ga ada? Beh, ditumis halus ntar gue sama yang nyumbang lebih dari setengah buat beli ini barang. Kegiatan pagi yang biasa. OL YM, ngecek blog-blog langganan, dan mencari sesuatu yang lain, yang gue ngga temukan di hari sebelumnya. Terdengar simpel yah? Wah, gue berharap demikian. Gue meletakkan kembali barang penyambung gue dengan dunia net itu ke tempat asalnya. Gue meraba lagi, mencari sesuatu yang pasti bikin gue pusing nyari hampir setiap pagi: kacamata. Dan gerakan tangan gue pun semakin liar karena mata yang memang malas membuka, dan si kacamata yang ga kunjung disua. Dapat? Bukan, benda yang ngga asing terdeteksi di indra perasa, sangat kenal, sangat familiar. Pisau.
Ah.. Bukan, bukan.
Bukan pisau Butterfly, terlebih pisau militer. Cuma pisau buah biasa yang sering gue gunakan untuk—motong buah (berharap apa?), motong keju, dan gula jawa; dan sekaligus gue fungsikan sebagai sendok, tentu. Hasilnya? Ya paling ngga seminggu sekali mulut gue bakalan kegores sama itu pisau. Gue pegang, gue keluarin mata pisau itu dari selipan gagangnya. Gue acungkan ke arah atas (geje). Dan tiba-tiba perasaan menyenangkan itu kembali masuk ke kepala gue, menggoda habis-habisan dengan segala pesona yang dimiliki. Sang Adam di goda Iblis, aha.
Cukup ah.
Gue menyarungkan lagi mata pisau ke gagangnya. Meletakkan kembali ditempat gue meraihnya. Lalu secara magis, kacamata itu tiba-tiba muncul disamping bantal, whoa.
Biarpun pagi itu tenang, dan memang ngga semua roh gue sudah kembali ke badan, gue merasa pagi ini kacau. Okee, iya kacau, gue ga solat subuh, tapi mari kita kesampingkan dulu. 24 jam ini parah. Emosi gue dipermainkan sama entitas abstrak tapi teratur yang kita kenal dengan nama waktu. Hmh, gue keluar dari selimut, membelokkan leher ke kanan dan kiri, berusaha mencari apa yang hilang sejak semalaman. Ada, sesuatu, penting, ngga, iya, bukan. Kalutnya gue membuat tenggorokan ingin bergetar dengan vibrasi maksimal, gue mau teriak. Kayanya lega, semuanya bisa terselesaikan dengan meluapkan emosi yang menumpuk—sepertinya. Tapi Freud berkata lain, pikiran yang menggantung itu ngga akan pernah hilang, akan terus menumpuk dan menumpuk sampai akhirnya overload. Love. Maka gue urungkan niatan tadi.
Gue mengingat beberapa hari kebelakang, gue di judge..
“Lo ngga punya kehidupan, lo ngga hidup, bung!”
Masa sih? Gue bernafas, gue bergerak, gue makan. Apa yang kurang dari gue untuk dikatakan sebagai makhluk hidup? Ah, kurang kata reproduksi, iya ya? Tapi konteksnya ngga mengacu kesana. Sekarang beda. Sekarang gue ngga punya pembelaan apa-apa kalau ada yang mengatakan begitu. Tanpa ekspresi, tanpa gairah hidup, tanpa niat, tanpa keinginan. Gue sukses dipanggil zombie oleh anak kampus. Gue pasrah, tanpa pembelaan, palu pengadilan diketukan, dan gue dicap sebagai mayat hidup, keren banget. Eh, sori, dua tahun, izinkan gue kembali ke dua tahun yang lalu.
***
“Apa buktinya kalo lo hidup?”
“Ada,”
“Apa?”
“Lo ga mau tau, no,”
“Bilang aja, atau ini alasan lo lagi?”
“Pokoknya ada, dan lo ngga mau tau, pasti,”
“Sok lo, coba aja, apaan?”
“...”
“Apaan? Woi, Bung?”
“Yakin?”
“Hmhh”
“Janji lo ga akan benci gue?”
“Anjing! Serem amat kata-kata lo!” (tertawa)
“Eh? Anjrid, bener, serem!” (tertawa juga)
“Jadi, apa?” (cengengesan)
“Rasa sakit, no,” (cengengesan juga)
“Hah?”
“Iya, sakit itu kan bukti eksistensi,”
“A..apaan?” (mukanya serius)
“Iya, itu, kalo gue masih bisa ngerasain sakit, gue hidup, kan? Gue ada di dunia, no,”
“Apaan sih lo!” (teriak)
Nb: Kalau terdengar seperti pembicaraan Homo, maap-maap aja, saya normal, sekedar klarifikasi, *ehem*
***
Masih segar, dan ngga mungkin bisa gue lupain. Dialog gue dengan dia, pembukaan perdana cangkang keras yang menutupi benda berbau busuk dibawahnya. Gue seneng dia bisa menerima (walau dengan sulit). Walaupun sekarang dia entah dimana dan melakukan apa. Masa-masa yang gue lewatin dengan dia sebagai partner, muse, motor penggerak hidup, adalah saat-saat yang menyenangkan. Sangat. Walaupun berakhir tragis, tapi pernah ada masa-masa menyenangkan, seenggaknya.
Hari makin siang ternyata, matahari ngga maukah menunggu gue yang lagi malas ini untuk memperlambat naiknya? Euh. Gue bangun dan keluar kamar untuk ke kamar mandi, lalu kembali lagi ke kasur, meluk bantal yang mendingin dengan cepat karena gue tinggal lepas. Gue berusaha menyamankan posisi tidur gue. Dan ya, gue sekali lagi, menolak semua euforia itu kembali untuk kesekian kalinya dalam beberapa hari ini. Tidak dengan dia yang membenci gue, dia yang sedang bingung, ataupun dia yang sekarang ingin gue kenal. Iya, mereka. Tiga orang sialan itu. Aih.
Gue merangkak, mengelitiki komputer gue supaya mau berlari.
“Sekarang datang, besok pergi, ngga ada yang tau apa yang akan terjadi besok, kan? Bisa aja elo capek sama gue, bosen, kesel, atau apapun! Karena ini gue, gue memang menyebalkan! Aha! Dua minggu, kita liat siapa yang bertahan, oke? Elo, atau gue! Deal?”
Deal.
Itu perkataan yang gue lontarkan hampir ke setiap orang yang baru gue kenal, dan bisa diajak ngomong—itu dulu. Dan gue mengatakan kalimat sulap itu ke seseorang beberapa bulan lalu. Dan sekarang? Setelah semuanya, oho, jangan harap dia bisa lepas dari gue. Dia akan gue hantui sampe sangkakala dibunyikan, sampe kiamat, say, ngga akan gue lepas >:).
Banyak.
Dia yang menghabiskan waktunya untuk menangkap citra kehidupan.
Dia yang berdukun mencari inspirasi.
Dia yang takut perpisahan.
Dia yang unsensitif, kebas sampai ke hati terluar.
Dia yang bergulat dengan label.
Dia yang cantik, yang gue cintai, yang gue sayang meskipun minim interaksi
Dia yang disorientasi, yang menghilang, yang nyaris gue cium.
Dia yang tinggi, selalu gue kejar, selalu ingin ada didekatnya tapi mustahil.
Dia yang menyebalkan, tapi mau menengok ke gue.
Dia yang.. Ah.. Gue bisa menulis sampai puluhan. Tapi ngga, gue capek, gue takut. Semakin spesifik, rasa khawatir akan membuntuti gue. Gue ngga mau. Gue sayang anda, elo, mereka, semua. Semua bentuk yang ada selain diri gue. Gue hidup sekarang bukan karena rasa sakit. Bukan sama sekali bukan. Gue hidup karena kalian. dan gue tau, ngga mudah menjaga ikatan yang terlalu rentan ini, sulit. Semua butuh kontak, butuh perhatian, butuh kepala yang dingin, butuh maintenance, dan lainnya. Dan akan sulit andai hanya gue yang ingin, tapi kalian engga. Dan gue menghargai keputusan tersebut, mungkin wajar. Pokoknya, gue ingin.
Komputer sudah start-up. Hape gue colok ke kompi. Dan ya, gue siap mengarungi dunia (maya) hari ini. Rasa-rasanya, setelah sekian waktu lamanya, ini adalah pagi pertama yang bisa gue nikmati :)
Pukul setengah enam pagi, weker gue bunyi seperti biasa tanpa cela. Gue membuka mata, dan gue terbangun dengan posisi keyboard dikepala sebagai bantal. Euh, kepala gue sakit, gue terjaga sampai kira-kira pukul setengah empat pagi. Berbicara hal-hal ngelantur tanpa ujung pangkal dengan seseorang. Phew, entah berapa kali gue harus mengambil nafas semalam, yeap, mengambil nafas lantaran tegang ataupun mengendurkan rahang. Aduh.
“Neeeee nonenonenot not noooot, niii ninuninunit nit nit nit niiiit, niii ninuninuniit nenonenoneet nenonenoneeet,”
Iyaa iyaa, gue denger, si weker. Mungkin gue jadul. Padahal ada hape yang suaranya cempreng amat andai-andai gue jadikan alarm. Tapi ngga, menggunakan jam konvensional berbatere ini adalah roman tersendiri bagi gue, anehkah itu? Biar. “Tok,”, kepala weker gue tekan, pemicu agar suara nista naninut itu supaya diam. Auh, subuh? Gue ngantuk, sangat ngantuk, izinkan gue tidur, yah? 10, ngga deh, 5 menit lagi gue bangun, oke? Abis itu gue langsung ambil wudhu, gelar sejadah, dan langsung narik dua rokaat, beneran..
08.40
Shit.
Gue memandangi jam meja gue yang tadi pagi udah mewanti-wanti. “Nah lo, makan tuh, gue doain rejeki lo disontok uler dah,” dalam diam, jam itu seolah berkata demikian.. Ah.. Gue mengusap-usap mata, membersihkan diri dari kotoran mata yang akrab disapa belek, mengendap semalam suntuk, menguap, ngulet, dan masih memeluk bantal gue satu-satunya. Pada hati-hari normal, sekarang seharusnya gue udah panik, ambil wudhu kaya orang dikejar setan dan tukang kredit disaat bersamaan, (loh? Setan Kredit), dan solat dua rokaat dengan speed gila-gilaa. Bukan, bukan solat dhuha, tapi solat subuh yang ngaret mampus. Seharusnya begitu. Tapi pagi ini gue begitu malas, maa-laas.
Sampai ke ubung-ubun.
Besok udah hari senin lagi, oh yes, gue kembali kuliah. Di pagi yang tengah meloncat siang ini gue berestimasi akan ada kejadian apa besok. Wuih. Ngebayangin siapa yang akan menjadi Ketua Mahasiswa berikutnya, seperti apa dosen-dosen barunya, dan rekanan-rekanan kelas yang belum sempat sekelas. Ah, berspekulasi liar begini memang selalu asoy, apalagi ditambah dengan kondisi badan letoy sehabis sesi begadang YM gebay-geboy. Kita lihat ah besok. Akan kaya apa.
Fyi, selimut tebal masih terpasang. Udara Bandung yang fluktuatif belakangan ini membuat gue harus menyiapkan artikel selimut melapisi badan gue setiap malam. Iya, fluktuatif, kalo ngga dingin ya dingin banget. Tapi gue cinta dengan keadaan begini. Karena dingin masih bisa ditangkal dengan make lapisan tambahan. Nah kalo panas? Mau bugil pun kalo emang panas ya panas aja.
Gue meraba-raba di tempat seharusnya hape gue berada, kalo ga ada? Beh, ditumis halus ntar gue sama yang nyumbang lebih dari setengah buat beli ini barang. Kegiatan pagi yang biasa. OL YM, ngecek blog-blog langganan, dan mencari sesuatu yang lain, yang gue ngga temukan di hari sebelumnya. Terdengar simpel yah? Wah, gue berharap demikian. Gue meletakkan kembali barang penyambung gue dengan dunia net itu ke tempat asalnya. Gue meraba lagi, mencari sesuatu yang pasti bikin gue pusing nyari hampir setiap pagi: kacamata. Dan gerakan tangan gue pun semakin liar karena mata yang memang malas membuka, dan si kacamata yang ga kunjung disua. Dapat? Bukan, benda yang ngga asing terdeteksi di indra perasa, sangat kenal, sangat familiar. Pisau.
Ah.. Bukan, bukan.
Bukan pisau Butterfly, terlebih pisau militer. Cuma pisau buah biasa yang sering gue gunakan untuk—motong buah (berharap apa?), motong keju, dan gula jawa; dan sekaligus gue fungsikan sebagai sendok, tentu. Hasilnya? Ya paling ngga seminggu sekali mulut gue bakalan kegores sama itu pisau. Gue pegang, gue keluarin mata pisau itu dari selipan gagangnya. Gue acungkan ke arah atas (geje). Dan tiba-tiba perasaan menyenangkan itu kembali masuk ke kepala gue, menggoda habis-habisan dengan segala pesona yang dimiliki. Sang Adam di goda Iblis, aha.
Cukup ah.
Gue menyarungkan lagi mata pisau ke gagangnya. Meletakkan kembali ditempat gue meraihnya. Lalu secara magis, kacamata itu tiba-tiba muncul disamping bantal, whoa.
Biarpun pagi itu tenang, dan memang ngga semua roh gue sudah kembali ke badan, gue merasa pagi ini kacau. Okee, iya kacau, gue ga solat subuh, tapi mari kita kesampingkan dulu. 24 jam ini parah. Emosi gue dipermainkan sama entitas abstrak tapi teratur yang kita kenal dengan nama waktu. Hmh, gue keluar dari selimut, membelokkan leher ke kanan dan kiri, berusaha mencari apa yang hilang sejak semalaman. Ada, sesuatu, penting, ngga, iya, bukan. Kalutnya gue membuat tenggorokan ingin bergetar dengan vibrasi maksimal, gue mau teriak. Kayanya lega, semuanya bisa terselesaikan dengan meluapkan emosi yang menumpuk—sepertinya. Tapi Freud berkata lain, pikiran yang menggantung itu ngga akan pernah hilang, akan terus menumpuk dan menumpuk sampai akhirnya overload. Love. Maka gue urungkan niatan tadi.
Gue mengingat beberapa hari kebelakang, gue di judge..
“Lo ngga punya kehidupan, lo ngga hidup, bung!”
Masa sih? Gue bernafas, gue bergerak, gue makan. Apa yang kurang dari gue untuk dikatakan sebagai makhluk hidup? Ah, kurang kata reproduksi, iya ya? Tapi konteksnya ngga mengacu kesana. Sekarang beda. Sekarang gue ngga punya pembelaan apa-apa kalau ada yang mengatakan begitu. Tanpa ekspresi, tanpa gairah hidup, tanpa niat, tanpa keinginan. Gue sukses dipanggil zombie oleh anak kampus. Gue pasrah, tanpa pembelaan, palu pengadilan diketukan, dan gue dicap sebagai mayat hidup, keren banget. Eh, sori, dua tahun, izinkan gue kembali ke dua tahun yang lalu.
***
“Apa buktinya kalo lo hidup?”
“Ada,”
“Apa?”
“Lo ga mau tau, no,”
“Bilang aja, atau ini alasan lo lagi?”
“Pokoknya ada, dan lo ngga mau tau, pasti,”
“Sok lo, coba aja, apaan?”
“...”
“Apaan? Woi, Bung?”
“Yakin?”
“Hmhh”
“Janji lo ga akan benci gue?”
“Anjing! Serem amat kata-kata lo!” (tertawa)
“Eh? Anjrid, bener, serem!” (tertawa juga)
“Jadi, apa?” (cengengesan)
“Rasa sakit, no,” (cengengesan juga)
“Hah?”
“Iya, sakit itu kan bukti eksistensi,”
“A..apaan?” (mukanya serius)
“Iya, itu, kalo gue masih bisa ngerasain sakit, gue hidup, kan? Gue ada di dunia, no,”
“Apaan sih lo!” (teriak)
Nb: Kalau terdengar seperti pembicaraan Homo, maap-maap aja, saya normal, sekedar klarifikasi, *ehem*
***
Masih segar, dan ngga mungkin bisa gue lupain. Dialog gue dengan dia, pembukaan perdana cangkang keras yang menutupi benda berbau busuk dibawahnya. Gue seneng dia bisa menerima (walau dengan sulit). Walaupun sekarang dia entah dimana dan melakukan apa. Masa-masa yang gue lewatin dengan dia sebagai partner, muse, motor penggerak hidup, adalah saat-saat yang menyenangkan. Sangat. Walaupun berakhir tragis, tapi pernah ada masa-masa menyenangkan, seenggaknya.
Hari makin siang ternyata, matahari ngga maukah menunggu gue yang lagi malas ini untuk memperlambat naiknya? Euh. Gue bangun dan keluar kamar untuk ke kamar mandi, lalu kembali lagi ke kasur, meluk bantal yang mendingin dengan cepat karena gue tinggal lepas. Gue berusaha menyamankan posisi tidur gue. Dan ya, gue sekali lagi, menolak semua euforia itu kembali untuk kesekian kalinya dalam beberapa hari ini. Tidak dengan dia yang membenci gue, dia yang sedang bingung, ataupun dia yang sekarang ingin gue kenal. Iya, mereka. Tiga orang sialan itu. Aih.
Gue merangkak, mengelitiki komputer gue supaya mau berlari.
“Sekarang datang, besok pergi, ngga ada yang tau apa yang akan terjadi besok, kan? Bisa aja elo capek sama gue, bosen, kesel, atau apapun! Karena ini gue, gue memang menyebalkan! Aha! Dua minggu, kita liat siapa yang bertahan, oke? Elo, atau gue! Deal?”
Deal.
Itu perkataan yang gue lontarkan hampir ke setiap orang yang baru gue kenal, dan bisa diajak ngomong—itu dulu. Dan gue mengatakan kalimat sulap itu ke seseorang beberapa bulan lalu. Dan sekarang? Setelah semuanya, oho, jangan harap dia bisa lepas dari gue. Dia akan gue hantui sampe sangkakala dibunyikan, sampe kiamat, say, ngga akan gue lepas >:).
Banyak.
Dia yang menghabiskan waktunya untuk menangkap citra kehidupan.
Dia yang berdukun mencari inspirasi.
Dia yang takut perpisahan.
Dia yang unsensitif, kebas sampai ke hati terluar.
Dia yang bergulat dengan label.
Dia yang cantik, yang gue cintai, yang gue sayang meskipun minim interaksi
Dia yang disorientasi, yang menghilang, yang nyaris gue cium.
Dia yang tinggi, selalu gue kejar, selalu ingin ada didekatnya tapi mustahil.
Dia yang menyebalkan, tapi mau menengok ke gue.
Dia yang.. Ah.. Gue bisa menulis sampai puluhan. Tapi ngga, gue capek, gue takut. Semakin spesifik, rasa khawatir akan membuntuti gue. Gue ngga mau. Gue sayang anda, elo, mereka, semua. Semua bentuk yang ada selain diri gue. Gue hidup sekarang bukan karena rasa sakit. Bukan sama sekali bukan. Gue hidup karena kalian. dan gue tau, ngga mudah menjaga ikatan yang terlalu rentan ini, sulit. Semua butuh kontak, butuh perhatian, butuh kepala yang dingin, butuh maintenance, dan lainnya. Dan akan sulit andai hanya gue yang ingin, tapi kalian engga. Dan gue menghargai keputusan tersebut, mungkin wajar. Pokoknya, gue ingin.
Komputer sudah start-up. Hape gue colok ke kompi. Dan ya, gue siap mengarungi dunia (maya) hari ini. Rasa-rasanya, setelah sekian waktu lamanya, ini adalah pagi pertama yang bisa gue nikmati :)