...Di Pangkal Tenggorokan.
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 27, 2011
Posted at : 3:09 AM
Dengerin lagu SORE track Mata Berdebu selalu bikin gue trance, pengen nyalain rokok dan neguk segelas espresso. Oh salah, itu mah kata-katanya Luthfi. Lagu ini termasuk jenis lagu yang bakalan loop and loop terus-terusan sekalinya diputer di winamp komputer gue. Anjoy. Suram.
Setengah tiga pagi menunggu kantuk, perjalanan dua ratus kilometer baru aja beres gue runut, Jakarta Bandung, untuk yang kesekian kalinya. Tapi sialan, bait lagu Sore tiba-tiba mengalun di dalam kepala gue, menggelitik gue untuk turut melafalkan perlahan. Parah, sepi gila. Jalanan yang kosong, sesekali teman seperjalanan melintas atau dilintasi, kegelapan sempurna yang dilumpuhkan oleh cahaya motor gue, dan deru mesin ber-cc 180 yang menjadi crescendo orkestra perjalanan ini. Heuh. Rasanya gue pengen nabrak plang jalanan dan terjun aja ke jurang.
Nanda baru aja pulang pagi ini setelah kunjungan lima harinya yang jelas nggak akan membuat gue puas. Walaupun beriringan terus-menerus sepanjang waktu, tapi apa itu cukup? Ya enggak dong. Kebersamaan singkat ini berakhir, dan dengan cantiknya gue melakukan perjalanan jauh lagi, jelas kosong terasa, dunia milik berdua diokupasi oleh gue sendiri, lagi. Perjalanan yang biasanya gue isi obrolan dengan orang asing, persaudaraan jalanan dalam taraf 90kpj, sekarang gue tukar dengan muka datar rata tanpa nafsu memutar gas. Yang gue rasa hanya bayangan belitan tangan mungil yang melingkar seputar perut, atau sesekali gue menolehkan leher kebelakang, berharap ada mata berkeriput yang biasa gue lihat empat hari kebelakang. Tapi sayangnya nggak ada.
Yang bilang gue meratap, sini, gue tampar pake kolor.
Ini bukan ratapan, hanya kenangan yang terlalu manis sampai rasanya berbekas di pangkal tenggorokan bahkan beberapa waktu setelah makanan tertelan. Manis, enak. Rasa yang membuat gue kadang memejamkan mata, mengecap dengan lidah, berusaha merasakan lagi sensasi yang sama persis ketika gue lagi makan makanan itu. Tapi hanya berbayang, karena sudah tertelan mau bicara apa? Senyum lebar, menunduk sesaat lalu berikrar pada diri sendiri, bahwa suatu hari nanti gue akan makan makanan itu lagi agar rasa semu yang gue rasa di pangkal tenggorokan ini nggak hanya berakhir disana, tapi benar-benar terasa lagi, secara nyata.
Rasa manis yang saking gue sukanya, gue pengen berbagi dengan orang lain, coba deh, lo harus ngerasain apa yang gue rasain karena ini terlalu ‘wah’ untuk gue rasain sendiri. Gue nggak tau apa orang lain juga pernah merasa apa yang gue emut sekarang ini, tau rasanya seperti apa, persis? Secara egois, gue bilang nggak, hehe. Gue sendiri kaget menemukan tingkatan hubungan yang macam ini, yang bukan hanya mengurusi apa aja yang ada sekarang, tertawa ngakak pada saat ini doang, tapi juga merencanakan hal-hal yang sekiranya bisa membuat gue dan Nanda tertawa lebar pada masa yang akan datang. Sekali lagi, gue tersenyum mengecap rasa manis yang masih nyangkut di tenggorokan.
Belum genap dua puluh empat jam, tapi jemari dan tangan ini rasanya ingin berteriak rindu, jemari yang biasanya mengisi sela-sela tangan ini tidak lagi terasa. Mata rasanya kering, senyuman manis bergaris keriput sekitar mata tak lagi nampak. Telinga seolah tuli, karena suara lembut yang biasa gue denger tak kunjung merapal. Haum. Tapi gue tersenyum, rasa hilang ini terbayar dengan apa-apa aja yang gue alami beberapa hari kemarin, obrolan yang gue dapatkan, kata-kata yang masuk ke telinga, dan waktu yang terlalu berharga untuk gue lupakan sia-sia. Lidah gue mengecap, dan gue tersenyum, rasa manis itu masih ada di tenggorokan.
Setengah tiga pagi menunggu kantuk, perjalanan dua ratus kilometer baru aja beres gue runut, Jakarta Bandung, untuk yang kesekian kalinya. Tapi sialan, bait lagu Sore tiba-tiba mengalun di dalam kepala gue, menggelitik gue untuk turut melafalkan perlahan. Parah, sepi gila. Jalanan yang kosong, sesekali teman seperjalanan melintas atau dilintasi, kegelapan sempurna yang dilumpuhkan oleh cahaya motor gue, dan deru mesin ber-cc 180 yang menjadi crescendo orkestra perjalanan ini. Heuh. Rasanya gue pengen nabrak plang jalanan dan terjun aja ke jurang.
Nanda baru aja pulang pagi ini setelah kunjungan lima harinya yang jelas nggak akan membuat gue puas. Walaupun beriringan terus-menerus sepanjang waktu, tapi apa itu cukup? Ya enggak dong. Kebersamaan singkat ini berakhir, dan dengan cantiknya gue melakukan perjalanan jauh lagi, jelas kosong terasa, dunia milik berdua diokupasi oleh gue sendiri, lagi. Perjalanan yang biasanya gue isi obrolan dengan orang asing, persaudaraan jalanan dalam taraf 90kpj, sekarang gue tukar dengan muka datar rata tanpa nafsu memutar gas. Yang gue rasa hanya bayangan belitan tangan mungil yang melingkar seputar perut, atau sesekali gue menolehkan leher kebelakang, berharap ada mata berkeriput yang biasa gue lihat empat hari kebelakang. Tapi sayangnya nggak ada.
Dan aku tak bisa melangkah..
Yang bilang gue meratap, sini, gue tampar pake kolor.
Ini bukan ratapan, hanya kenangan yang terlalu manis sampai rasanya berbekas di pangkal tenggorokan bahkan beberapa waktu setelah makanan tertelan. Manis, enak. Rasa yang membuat gue kadang memejamkan mata, mengecap dengan lidah, berusaha merasakan lagi sensasi yang sama persis ketika gue lagi makan makanan itu. Tapi hanya berbayang, karena sudah tertelan mau bicara apa? Senyum lebar, menunduk sesaat lalu berikrar pada diri sendiri, bahwa suatu hari nanti gue akan makan makanan itu lagi agar rasa semu yang gue rasa di pangkal tenggorokan ini nggak hanya berakhir disana, tapi benar-benar terasa lagi, secara nyata.
Di antara musafirnya..
Rasa manis yang saking gue sukanya, gue pengen berbagi dengan orang lain, coba deh, lo harus ngerasain apa yang gue rasain karena ini terlalu ‘wah’ untuk gue rasain sendiri. Gue nggak tau apa orang lain juga pernah merasa apa yang gue emut sekarang ini, tau rasanya seperti apa, persis? Secara egois, gue bilang nggak, hehe. Gue sendiri kaget menemukan tingkatan hubungan yang macam ini, yang bukan hanya mengurusi apa aja yang ada sekarang, tertawa ngakak pada saat ini doang, tapi juga merencanakan hal-hal yang sekiranya bisa membuat gue dan Nanda tertawa lebar pada masa yang akan datang. Sekali lagi, gue tersenyum mengecap rasa manis yang masih nyangkut di tenggorokan.
Dan aku rindu melangkah di duniamu..
Belum genap dua puluh empat jam, tapi jemari dan tangan ini rasanya ingin berteriak rindu, jemari yang biasanya mengisi sela-sela tangan ini tidak lagi terasa. Mata rasanya kering, senyuman manis bergaris keriput sekitar mata tak lagi nampak. Telinga seolah tuli, karena suara lembut yang biasa gue denger tak kunjung merapal. Haum. Tapi gue tersenyum, rasa hilang ini terbayar dengan apa-apa aja yang gue alami beberapa hari kemarin, obrolan yang gue dapatkan, kata-kata yang masuk ke telinga, dan waktu yang terlalu berharga untuk gue lupakan sia-sia. Lidah gue mengecap, dan gue tersenyum, rasa manis itu masih ada di tenggorokan.
Diantaraku janjimu terlunta..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment