Skinpress Demo Rss

Dongeng Yukeli dan Keluarga Tikus

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 20, 2011

Posted at : 5:44 PM

Di hutan nun jauh di sana, hiduplah sebuah keluarga tikus kecil yang tentram. Keluarga itu terdiri dari seekor Ibu Tikus dan kedua anaknya, Sulung dan Biyung. Hidup mereka sederhana tapi bahagia, tidak kekurangan suatu apapun dan penuh tawa. Keluarga tikus kecil hidup bertetangga dengan seekor babi hutan tua, babi hutan itu bernama Yukeli. Ia sudah terlalu tua untuk bisa berburu mencari makanannya sendiri, mengetahui itu, Ibu Tikus yang baik hati selalu memberinya bagian dari hasil mengumpulkan makanan di hutan. Yukeli senang, dan Ibu Tikus pun juga turut senang karena bisa membantu tetangganya.

Musim dingin pun tiba, makanan di hutan mulai menipis dan sulit didapat. Ibu Tikus harus berpergian jauh ke selatan agar dapat mengumpulkan makanan yang cukup untuk Sulung, Biyung dan Yukeli. Tapi Ibu Tikus kebingungan, bagaimana dengan kedua anaknya yang masih kecil? Mereka belum dapat menjaga dirinya sendiri. Lalu Ibu Tikus mendapat sebuah ide, ia meminta Yukeli untuk menjaga kedua anaknya. Yukeli mengiyakan, ia berkata akan menjaga Sulung dan Biyung sampai Ibu Tikus kembali nanti. Ibu Tikus pun lega, ia bisa berangkat dengan tenang untuk mengumpulkan makanan.

Tapi mengumpulkan makanan di musim dingin ternyata tidak mudah. Perjalanan yang di tempuh Ibu Tikus sangatlah jauh, jalur yang sulit dilalui dan banyaknya pemangsa-pemangsa ganas di tengah jalan. Hal itu membuat Ibu Tikus berpergian sangat lama, cukup lama. Sekembalinya Ibu Tikus ke hutan dengan keranjangnya yang penuh makanan, ia menemukan sarangnya kosong, tidak ada kedua anaknya, Sulung dan Biyung. Ibu Tikus lalu pergi ke rumah Yukeli, berharap kedua anaknya sedang bermain bersama babi hutan tua itu dengan gembira. Tapi tidak. Yukeli bertampang murung, ia berkata.

“Anak-anakmu sudah besar, bu. Mereka sudah menikah dan pergi keluar hutan.”

Mendengar itu, Ibu Tikus sedih. Ia kembali ke sarangnya, terduduk di kursi kayu dan memandangi ranjang tempat kedua anaknya biasa tertidur. “Mengapa?” Ibu Tikus bertanya. Padahal ia sudah bersusah payah mengumpulkan makanan, untuk kedua anaknya. Tapi kenapa mereka justru pergi tanpa pamit? Ibu Tikus semakin sedih. Kesedihannya membuat ia tak bernafsu makan, berhari-hari, berbulan-bulan sampai tubuhnya kurus kecil tak bertenaga.

Suatu ketika, musim hujan yang hebat turun di hutan itu, Ibu Tikus harus menggali parit agar sarangnya tidak terendam air. Ibu Tikus menggali dan terus menggali, belum selesai setengah pekerjaannya, ia menemukan sebuah benda aneh terkubur di dalam tanah dekat rumahnya. Sebuah potongan kaki mungil, mirip kaki si Biyung pada saat Ibu Tikus pergi mencari makanan dulu. Ibu Tikus mengambil potongan kaki tersebut, matanya berkaca-kaca lalu menuju ke rumah Yukeli. Ibu Tikus membuka pintu rumah Yukeli dengan terburu, ia berkata.

“Yukeli.. Ini kok seperti kaki anakku, si Biyung..”

Yukeli diam sesaat, ia lalu menjawab pertanyaan Ibu Tikus.

“Bukan bu.. itu kaki seekor marmut.” Katanya perlahan dengan suara yang berat parau.

Ibu Tikus tak percaya, ia mendekati Yukeli, memegangi tangannya, ia meratap kepada babi hutan tua itu. Ibu Tikus lalu mengulangi perkataannya lagi.

“Yukeli.. Ini kok seperti kaki anakku, si Biyung..”

Yukeli kebingungan harus berkelit apa lagi. Betul, itu adalah kaki si Biyung, anak tikus bungsu dari Ibu Tikus. Yukeli lalu membalas perkataan Ibu Tikus.

“Iya bu, itu kaki anakmu, si Biyung. Kedua anakmu bermain terlalu jauh ke hutan, mereka dimakan oleh kucing hutan.”

Tangisan Ibu Tikus pecah, selama ini ia tidak mengetahui, bahwa anaknya tidak hidup bahagia dengan pasangannya di luar sana, tapi berada di perut kucing hutan, dimangsa hidup-hidup. Ibu Tikus putus asa, apa arti hidupnya kalau bukan untuk anak-anaknya? Apalah guna Ibu Tikus mengumpulkan makanan kalau bukan untuk mereka, melihat mereka besar nanti dan dapat mengurusi dirinya di hari tuanya. Apalah gunanya?

“Yukeli.. antarkan aku ke tempat kucing hutan itu. Setidaknya tubuhku yang kurus kering ini bisa menjadi makan malamnya, setidaknya aku bisa berkumpul lagi dengan anak-anakku di perut kucing hutan itu.”

Yukeli ikut menjadi sedih, ia menghela nafas panjang. Bibirnya yang tebal bergemetar, Yukeli menatap Ibu Tikus yang putus asa. Kasihan.

“Ibu, sebenarnya aku yang memakan kedua anakmu, Sulung dan Biyung, aku kelaparan. Tapi mereka tidak menolak kumakan, mereka bilang ‘apa gunanya kami hidup jika tanpa ibu kami, Yukeli’ mereka menganggap kamu telah mati, bu, karena kamu tidak kunjung pulang kembali kemari.”

Yukeli selesai bercerita, Sulung dan Biyung ada di dalam perutnya. Ibu Tikus menangis semakin keras. Yukeli hanya bisa terdiam. Lama, sangat lama. Sampai akhirnya Ibu Tikus mengusap air matanya, menatap Yukeli yang murung dengan tegas.

“Makan aku, Yukeli.”


________

(c) Imaniar Permana yang mendongengkan ini buat gue, dan Bapaknya yang mendongengkan ini buat Nanda.

0 comment: