Paradoks Primordialis
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, April 20, 2011
Posted at : 1:38 PM
Gue benci yang namanya primordial. Sangat nggak rasional kalau gue bilang, mengagung-agungkan apa yang mereka punya, dan menganggap sebelah mata yang orang lain miliki. Apa nama kerennya? Chauvinis? Blah. Gue nggak bermasalah kalau emang pengen mengagung-agungkan, silahkan, tapi kalau udah menyangkut ngejongkokin adat lain itu kan konyol namanya.
Sering terjadi, sering gue alami, baik dari orang yang gue kenal baik, maupun stranger yang gue temui di perjalanan. Maksud gue, apa sih untungnya? Apa sih gunanya? Ketika jelas-jelas sebuah adat itu dipakai, maka ada fungsinya, pergaulan yang tercipta di suatu daerah ya memang itulah yang terjadi, buat apa dibandingkan kalau memang tata cara pakai dan pandangnya aja udah berbeda? Di satu daerah misal, makian itu hampir nggak ada maknanya dalam pergaulan, justru diucapkan dengan maksud penghargaan, ‘kita udah bertemen cukup deket sampai kata-kata kasar ini nggak ada artinya’, tapi kenapa ada orang dengan adat lain melihat itu sebagai sebuah dekadensi moral? Kan goblok, udah jelas beda kultur.
Lebih lucu lagi kalau sampai nyuruh menyesuaikan setiap detail. Kenapa? Karena lagi ada di tanah orang? Tanah bapak lo! Oke, gue fine, gue akan menyesuaikan mana yang perlu disesuaikan, mana yang ofensif di daerah tertentu tentu gue nggak akan pake, ya tentu nggak semuanya. Tapi, ironisnya, yang sedikit ini lah yang justru jadi permasalahan, sedikitnya itu masalah. Dan gue rasa yang namanya kepala manusia itu nggak pernah lepas dari yang namanya stereotipe, jadilah, yang sedikit ini dijadikan sampel—bahwa orang tersebut nggak menghargai adat di daerah tersebut. Grok. Bukan nggak mau ubah, tapi memang udah pembawaannya demikian, apa itu nggak bisa diterima? Man, lo tinggal di negara multikultur tapi chauvinis lo udah nyaingin Hitler. Come on.
I’m better than you.
^
^
Ini sangat brengsek sekali. Aspek primordial yang paling sucks itu, berusaha untuk lebih baik dalam segala aspek, konyolnya, aspek manapun. Yang baik dan yang buruk. “Makian di tempat gue lebih kasar daripada tempat lo.” “Cuaca di tempat gue lebih gak enak di tempat lo.” “Makanan di tempat gue lebih enak di tempat lo.” “Kok tempat lo begitu amat? Tempat gue doong.” “Kok orang-orang lo begitu sih? Orang gue dong begini.” Dan seterusnya. Blah. Konyol nggak? Buat gue, konyol. Apa poinnya? Apa benefitnya? Oh jelas, ‘adat gue lebih seksi daripada adat lo.’ Tapi apa gunanyaaaaa? Goblok.
Gue? Gue udah kenyang. Udah males nanggepin, udah ngerasa nggak ada gunanya ngebela adat gue sendiri, buat apa? Karena gue ngerasa itu adalah hal percuma yang nggak ada untung buat gue, ngapain gue susah-susah? Tapi man, ngedengerin orang ngagung-agungin bangsanya sendiri itu bikin kuping panas, bilangnya well educated, tapi chauvinis kayak primitif. Gue paling naikin alis, senyum segetir mungkin, dan dalem hati bilang, ‘ya-ya-ya, go fuck yourself laaa..’ nggak ngebales, nggak nanggepin, turn off.
Gue bersyukur lahir dan besar di Jakarta yang plural, udah terbiasa ngeliat suku-suku yang berbeda membaur jadi satu di dalam satu ruangan. Makan dengan nampan yang sama dan ketawa sama-sama tanpa ngomongin adat masing-masing. Tenang. Nggak ada bacot-bacot pembelaan nggak penting. Yang ada hanya senyum kolektif tanda damai, obrolan-obrolan panjang lebar, dan berbagi cangkir kopi untuk diseruput bareng.
Dan apa kalian sadar? Bahwa dengan gue memproklamirkan diri sebagai proud multiculturism Jakartans, itu adalah bentuk primordialis gue? *facepalm*
Tag @fauziegarib, gue nagih tulisan lo nih, manaaa?
Sering terjadi, sering gue alami, baik dari orang yang gue kenal baik, maupun stranger yang gue temui di perjalanan. Maksud gue, apa sih untungnya? Apa sih gunanya? Ketika jelas-jelas sebuah adat itu dipakai, maka ada fungsinya, pergaulan yang tercipta di suatu daerah ya memang itulah yang terjadi, buat apa dibandingkan kalau memang tata cara pakai dan pandangnya aja udah berbeda? Di satu daerah misal, makian itu hampir nggak ada maknanya dalam pergaulan, justru diucapkan dengan maksud penghargaan, ‘kita udah bertemen cukup deket sampai kata-kata kasar ini nggak ada artinya’, tapi kenapa ada orang dengan adat lain melihat itu sebagai sebuah dekadensi moral? Kan goblok, udah jelas beda kultur.
Lebih lucu lagi kalau sampai nyuruh menyesuaikan setiap detail. Kenapa? Karena lagi ada di tanah orang? Tanah bapak lo! Oke, gue fine, gue akan menyesuaikan mana yang perlu disesuaikan, mana yang ofensif di daerah tertentu tentu gue nggak akan pake, ya tentu nggak semuanya. Tapi, ironisnya, yang sedikit ini lah yang justru jadi permasalahan, sedikitnya itu masalah. Dan gue rasa yang namanya kepala manusia itu nggak pernah lepas dari yang namanya stereotipe, jadilah, yang sedikit ini dijadikan sampel—bahwa orang tersebut nggak menghargai adat di daerah tersebut. Grok. Bukan nggak mau ubah, tapi memang udah pembawaannya demikian, apa itu nggak bisa diterima? Man, lo tinggal di negara multikultur tapi chauvinis lo udah nyaingin Hitler. Come on.
I’m better than you.
^
^
Ini sangat brengsek sekali. Aspek primordial yang paling sucks itu, berusaha untuk lebih baik dalam segala aspek, konyolnya, aspek manapun. Yang baik dan yang buruk. “Makian di tempat gue lebih kasar daripada tempat lo.” “Cuaca di tempat gue lebih gak enak di tempat lo.” “Makanan di tempat gue lebih enak di tempat lo.” “Kok tempat lo begitu amat? Tempat gue doong.” “Kok orang-orang lo begitu sih? Orang gue dong begini.” Dan seterusnya. Blah. Konyol nggak? Buat gue, konyol. Apa poinnya? Apa benefitnya? Oh jelas, ‘adat gue lebih seksi daripada adat lo.’ Tapi apa gunanyaaaaa? Goblok.
Gue? Gue udah kenyang. Udah males nanggepin, udah ngerasa nggak ada gunanya ngebela adat gue sendiri, buat apa? Karena gue ngerasa itu adalah hal percuma yang nggak ada untung buat gue, ngapain gue susah-susah? Tapi man, ngedengerin orang ngagung-agungin bangsanya sendiri itu bikin kuping panas, bilangnya well educated, tapi chauvinis kayak primitif. Gue paling naikin alis, senyum segetir mungkin, dan dalem hati bilang, ‘ya-ya-ya, go fuck yourself laaa..’ nggak ngebales, nggak nanggepin, turn off.
Gue bersyukur lahir dan besar di Jakarta yang plural, udah terbiasa ngeliat suku-suku yang berbeda membaur jadi satu di dalam satu ruangan. Makan dengan nampan yang sama dan ketawa sama-sama tanpa ngomongin adat masing-masing. Tenang. Nggak ada bacot-bacot pembelaan nggak penting. Yang ada hanya senyum kolektif tanda damai, obrolan-obrolan panjang lebar, dan berbagi cangkir kopi untuk diseruput bareng.
Dan apa kalian sadar? Bahwa dengan gue memproklamirkan diri sebagai proud multiculturism Jakartans, itu adalah bentuk primordialis gue? *facepalm*
Tag @fauziegarib, gue nagih tulisan lo nih, manaaa?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment