Apa gue selamat? Atau justru sebaliknya? Apa beberapa jam yang gue habiskan entah untuk apa ini ada artinya? Apa gue bener-bener berbicara dengannya? Apa gue membuat keputusan yang tepat dan sesuai? Yakin ini yang terbaik tanpa membuat siapapun terkena imbasnya?
Empat jam. Empat puluh delapan batang rokok.
Di pelataran waralaba dua puluh empat jam, sendiri, sesekali disapa oleh mereka yang mabuk, ditawari segelas minuman persahabatan yang gue tolak dengan sopan. Tanpa alat komunikasi, hanya uang secukupnya, tanpa kendaraan, hanya bermodal kaki yang lesu melangkah. Untuk apa? Lari? Bukan. Menenangkan diri? Terlalu tenang malah. Apa? Mungkin hanya lamunan kosong, mungkin terselip satu dua titik pikir di sana, mungkin ini adalah pemikiran panjang tanpa jeda dan cela. Semua mungkin. Karena mungkin, gue bukan mencari itu.
…ternyata susah nulis dengan keadaan tangan begini.
Gue pergi dengan konsekuensi. Ada yang gue tinggal, dan ada yang gue kejar. Gue meninggalkan kontak, meninggalkan tali yang penting dalam sebuah hubungan. Gue mengejar sebuah pencerahan instan, yang cepat dan nggak sulit. Gue merasa cukup, gue merasa capek dengan temper yang sebegini tingginya. Nggak normal. Dan tentu gue nggak mau terulang keadaan yang sama seperti satu tahun lalu, nggak. Mirip. Makanya gue pergi, dengan konsekuensi, karena gue tersadar dan gue perlu untuk tidak disini, karena jika terjadi lagi, belum tentu gue seberuntung tahun lalu. Dan andaikan selamat, belum tentu gue masih seutuh sekarang.
Takut? Justru sebaliknya.
Dan itulah yang gue takutkan. Perasaan takut yang muncul karena menganggap kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ngeri membayangkan apa yang bisa dilakukan dengan tangan-tangan ini, apa yang pikiran ini bisa rumuskan dengan beberapa benda dan hal dan apa yang terjadi setelahnya. Dan terima kasih, siapapun yang membimbing, ini cukup, cukup satu kali.
Cukup satu kali menjadi martyr untuk diri sendiri.
Itu pun terlalu banyak.
Sekarang? Dengan keadaan yang lebih tenang, berhasil melewati pemikiran seperti itu dan kembali ke rumah. Apa siap? Menerima segala konsekuensinya? Mungkin enggak, mungkin ini ketenangan temporer. Tapi yang jelas, gue bernegosiasi banyak dengan diri gue sendiri.
Cukup? Nggak. Hidup dipertanggungjawabkan, bukan dijanjikan. Bukan dikatakan, tapi tindakan.
Tidur? Mana bisa.
Empat jam. Empat puluh delapan batang rokok.
Di pelataran waralaba dua puluh empat jam, sendiri, sesekali disapa oleh mereka yang mabuk, ditawari segelas minuman persahabatan yang gue tolak dengan sopan. Tanpa alat komunikasi, hanya uang secukupnya, tanpa kendaraan, hanya bermodal kaki yang lesu melangkah. Untuk apa? Lari? Bukan. Menenangkan diri? Terlalu tenang malah. Apa? Mungkin hanya lamunan kosong, mungkin terselip satu dua titik pikir di sana, mungkin ini adalah pemikiran panjang tanpa jeda dan cela. Semua mungkin. Karena mungkin, gue bukan mencari itu.
…ternyata susah nulis dengan keadaan tangan begini.
Gue pergi dengan konsekuensi. Ada yang gue tinggal, dan ada yang gue kejar. Gue meninggalkan kontak, meninggalkan tali yang penting dalam sebuah hubungan. Gue mengejar sebuah pencerahan instan, yang cepat dan nggak sulit. Gue merasa cukup, gue merasa capek dengan temper yang sebegini tingginya. Nggak normal. Dan tentu gue nggak mau terulang keadaan yang sama seperti satu tahun lalu, nggak. Mirip. Makanya gue pergi, dengan konsekuensi, karena gue tersadar dan gue perlu untuk tidak disini, karena jika terjadi lagi, belum tentu gue seberuntung tahun lalu. Dan andaikan selamat, belum tentu gue masih seutuh sekarang.
Takut? Justru sebaliknya.
Dan itulah yang gue takutkan. Perasaan takut yang muncul karena menganggap kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ngeri membayangkan apa yang bisa dilakukan dengan tangan-tangan ini, apa yang pikiran ini bisa rumuskan dengan beberapa benda dan hal dan apa yang terjadi setelahnya. Dan terima kasih, siapapun yang membimbing, ini cukup, cukup satu kali.
Cukup satu kali menjadi martyr untuk diri sendiri.
Itu pun terlalu banyak.
Sekarang? Dengan keadaan yang lebih tenang, berhasil melewati pemikiran seperti itu dan kembali ke rumah. Apa siap? Menerima segala konsekuensinya? Mungkin enggak, mungkin ini ketenangan temporer. Tapi yang jelas, gue bernegosiasi banyak dengan diri gue sendiri.
Cukup? Nggak. Hidup dipertanggungjawabkan, bukan dijanjikan. Bukan dikatakan, tapi tindakan.
Tidur? Mana bisa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment