Skinpress Demo Rss

Sempurna

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, April 16, 2011

Posted at : 4:23 AM

Aku bercermin pada cermin, cermin yang juga bercermin kepadaku. Kulihat bayangan seorang perempuan di balik sana. Cantik. Usianya awal duapuluhan, berambut panjang sepundak, sedang tersenyum menatap kembali padaku di sisi satunya. Itu aku. Diriku sendiri yang sedang berdiri tanpa busana, memandangi diriku yang lain di sisi yang lain. Aku berkedip, dia pun berkedip. Hidungku kukembangkan, dia pun melakukan yang sama. Aku meletetkan lidahkan padanya, dan kurang ajar, dia juga meniruku. Huh. Ngomong-ngomong, kalau kau tak tahu. Aku ini sempurna.

Lihatlah bentuk wajahku. Oval imut, yang seolah Tuhan sendiri yang turun tangan membuatnya sehari-semalam, diukur dengan presisi tinggi agar menghasilkan sebuah fondasi paling indah untuk menempatkan bahan lain diatasnya. Tidak jarang ada orang yang meminta izin padaku untuk menyentuhnya, merasakan kesempurnaan kontur wajahku yang tanpa cacat. Hei. Sudahkah aku menyebutkan lesung pipiku yang dalam menggoda? Dalam mencekung, menambah kecantikanku limapuluh poin, tidak ada pria yang tidak terpana ketika lubang temporer itu menampakkan wujudnya. Iya, wajahku sempurna. Aku sempurna.

Lihatlah mataku. Begitu bulat besar, simetris sempurna tanpa cacat, melekuk indah di sudut dan melengkung cantik di sisinya. Kelopak mataku yang putih merona dihiasi bulu-bulu lentik mempesona, tanpa tambahan apapun, aku bisa pergi ke sebuah pesta dan banyak yang memuji tampilan mataku. Tanpa cela, tanpa cacat, bahkan tida segaris kantung matapun tampak menodai kesempurnaannya. Alisku tebal cantik, terpisah dalam jarak yang pas dengan presisi luar biasa. Praktiknya di lapangan? Jangan tanya. Tidak ada satupun lelaki yang bisa memalingkan wajahnya begitu aku melirik. Tidak jarang mereka sampai membuntutiku, hanya karena dilirik! Aneh kan? Tidak. Karena mataku sempurna. Aku ini sempurna.

Lihatlah hidungku. Tidak besar, tidak kecil. Menekuk indah bagaikan pahatan seniman patung legendaris. Kuping hidung yang mungil melengkapi pahatan itu, tentu saja tanpa cela, tanpa noda, tanpa efek-efek buruk rupa semacam komedo ataupun jerawat. Orang-orang yang berfokus pada hidungku saat melihat, pastilah menganggap sirkulasi yang dihasilkannya hanyalah menghisap oksigen, dan mengeluarkan oksigen. Ya, tentu saja. Karena hidungku sempurna. Aku ini sempurna.

Bibirku? Inilah yang dinamakan kesempurnaan. Merah merekah walau tanpa pewarna bibir. Orang-orang menyebutnya sensual, terbentuk indah dari dua daging pilihan yang menyatu ketika mulutku terkatup. Tidak tipis, tidak tebal, pas. Ditambah lagi dengan ketidaksempurnaan yang sempurna, gigiku gingsul menambah manis citraku sebagai wanita. Senyumku? Jangan ditanya. Kalau dijumlahkan dengan lesung pipit dan gingsul yang kumiliki, lelaki mana sih yang tidak bertekuk lutut dihadapanku? Lelaki mana yang tidak mengabulkan permintaanku ketika au tersenyum? Tidak ada, sayang, tidak ada. Tidak. Karena bibirku sempurna. Aku sempurna.

Ya. Sempurna.

Setiap mili dari wajahku adalah karya terbesar yang pernah Tuhan ciptakan, dengan segala detail dan kejelasan yang bahkan nalar manusia pun tidak mampu bayangkan. Aku tersenyum lagi, kepadaku di sisi lain sana, yang juga membalas senyumku dengan sama manisnya. Ah, cantik sekali kamu. Tidak akan ada satupun lelaki yang akan menolakku, tidak satupun. Tidak. Semua kalangan, semua orang, dari yang di atas sampai yang di bawah. Dari bukan siapa-siapa sampai publik figur. Dan yang paling miskin sampai yang paling kaya semua akan meletetkan lidahnya kepadaku seperti anjing kelaparan. Ya. Semuanya.

Semuanya.

Termasuk temanku sendiri, baru-baru ini. Ia mencoba menjamah tubuhku ketika kami sedang mengerjakan tugas kuliah di kamar kontrakanku, tentu saja aku menolak. Tapi? Dia menahan kedua tanganku, berontak? Percuma. Apa daya seorang perempuan dengan fisik terbatas melawan laki-laki? Mungkin bisa lebih buruk, tangannya bisa saja melayang ke wajahku, dan itu artinya kesempurnaanku berkurang, dan aku tak mau itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis, memejamkan mataku seerat mungkin, menunggu waktu-waktu ini terlewat dengan cepat sementara ia menikmati kesempurnaanku, tiap sentinya. Apa boleh buat. Ini karena aku sempurna.

Sahabatku? Sama saja. Lima tahun kami berteman baik, berbagi suka duka dan tawa tangis, menghabiskan waktu-waktu menyenangkan dan juga menyedihkan bersamanya. Tapi apa? Dia tetap laki-laki yang tak mampu menahan godaan dari sebuah kesempurnaan. Aku tak heran. Belum lagi teman-teman perempuanku yang satu persatu menjauhiku, katanya iri padaku. Itu masih mending, menjauh lebih baik, tak berbuat apa-apa, tapi bagaimana mereka yang terang-terangan memusuhiku? Kau tahu? Aku pernah hampir disiram air keras oleh salah seorang senior, waktu itu di Lab, kalau saja tidak ada dosen yang datang waktu itu, dijamin, sempurnaku hilang sudah.

Aku memang sempurna. Tidak ada laki-laki yang tidak tergoda olehku. Tidak ada satupun. Ya. Tidak satupun, termasuk paman-pamanku. Semuanya. Aku hafal gerakan mereka, yang seminggu sekali menginap di rumahku. Kedoknya tali silaturahmi, padahal ketika semua orang sudah tidur, mereka mengendap-endap ke kamarku, membisikanku iming-iming kadang mengancam dan mulai menggerayangi tubuhku. Aku takut? Tentu saja, aku takut ancaman mereka menjadi nyata dan kesempurnaanku hilang. Aku tak heran. Mereka tergoda itu wajar. Karena aku sempurna.

Ya. Aku sempurna. Dan kesempurnaan itu menggoda semua lelaki. Semua, kubilang, semua! Termasuk ayahku sendiri. Jangan tanyakan jumlah, aku tak mampu menghitungnya lagi. Jangan tanya seberapa hebat, badanku tak sanggup menjawab. Sekali lagi aku mengatakan, aku tak heran. Karena aku sempurna.

Apa yang kupikirkan hanya satu. Apakah aku rela berbagi kesempurnaanku ini dengan orang lain? Tidak adalah jawabannya. Mutlak. Tuhan menciptaku dengan kekhususan, sebuah mahakarya, spesial, tiada bandingan dan saingan. Apa aku rela, apa aku tega membiarkan sesuatu yang menjadi jerih payah Tuhan dinikmati atau bahkan suatu saat dirampas oleh orang lain? Tidak adalah jawabannya. Mutlak. Untuk itu aku berusaha mencegahnya, dengan jalan satu-satunya dimana mereka tak mungkin bisa menyentuhku lagi.

Aku masih bercermin pada cermin, cermin yang juga bercermin kepadaku. Kulihat bayangan seorang perempuan di balik sana. Cantik. Aku tersenyum, senyum bahagia. Kulihat pergelangan tanganku yang merah. Darah masih mengalir perlahan tapi pasti sejak tigapuluh menit lalu. Aku tak sadar, lantai kamar sudah banjir dengan darahku sendiri. Pandanganku mulai mengabur, lemas, kepalaku pening. Sakit. Tapi tak apa, sebentar lagi semua akan selesai. Semua akan berakhir dengan baik. Aku telah melakukan usaha terbaikku untuk menjaga karya Tuhan paling sempurna untuk tidak ternoda. Sebuah kehampaan. Tak ada lagi yang bisa merusaknya. Dan kamu, jangan heran. Ini karena aku sempurna.

1 comment:

Rere said...

This is really2 good! I love it! <3 Gw suka gaya penceritaannya yang gampang dicerna dan ga biasa. Pokoknya bagussssssssssss!!!