Skinpress Demo Rss

Surat Cinta Buat Kawan Lama

Filed Under () by Pitiful Kuro on Tuesday, May 03, 2011

Posted at : 3:51 AM

Gue bingung harus menuliskan apaan.

Ah ya gue tau, soalnya tangan gue lagi nggak menjepit rokok sekarang.. bentar.

*Ckresh*

“Ssshh.. Fuuuh..”

Haleluyeah.

Lo terbangun di kampus, terbangun di jalanan, terbangun di kamar lo sendiri, terbangun di tempat kerja. Kehilangan jam, kehilangan waktu. Ini hidup lo yang bisa berakhir di menit berikutnya. Jika lo terbangun di tempat yang berbeda, waktu yang berbeda, bisakah lo terbangun sebagai orang yang berbeda?

Mulut gue hanya berasa asap, sampai gue merasa jenuh ngerokok. Tau nggak rasanya? Yeah, gue tercerahkan. Memotivasi diri sendiri itu hanya masturbasi, penghancuran diri? Katakanlah, itu hal yang lebih gue butuhkan. Karena buat gue, hanya setelah sebuah penghancuran, gue baru bisa terlahir kembali. Gue disini, di kamar paling depan, dimana gue masih bisa mendengar RX King menderu memecut telinga gue dengan desibelnya yang tinggi, di depan komputer, tersadar dari sebuah kekosongan yang dipaksakan. Gue tersenyum, melihat remah-remah tubuh yang sedang berusaha gue pungut, disatukan kembali ke tubuh. Sebagai proses reinkarnasi mini yang gue lakukan.

Gue baru aja berbicara dengan seorang teman, panjang lebar. Bukan teman lama, tapi juga bukan teman yang baru aja gue kenal. Bahkan gue hanya mendengar suaranya tanpa tau wujud fisiknya. Apa itu temen gue? Haha, bertanyalah, tapi yeah, gue berani bilang kalau dia itu teman gue. Blah. Gue bener-bener tercerahkan. Obrolan singkat namun panjang ini memberikan banyak sudut pandang baru, kayak, apa yang gue dapetin dari ngobrol dengan seorang asing, tapi bukan, gue kenal dia secara parsial walau tidak total.

Nada meninggi, kadang tertawa, kadang serius dilipat tiga, kadang mengais tanah untuk mencari sebuah jawaban atas pertanyaan entah darimana. Lo bayangin deh, lo ketemu sama seseorang yang udah lama nggak lo temui, lalu lo cerita hal-hal krusial fatal yang sedang lo alami, dan secara magis, dia bisa menanggapi satu frekuensi begitu aja dengan mudah. Apa yang lo rasain? Mungkin rasa heran luar biasa, mungkin juga rasa kaget nggak percaya, tapi yang gue alami adalah rasa senang nggak ketulung. Nyengir lebar nggak kekira. Karena fakta yang dia bawa, dia punyai, adalah hal yang minimal membuat gue mau nyekek leher sendiri supaya gue percaya. Kayak iblis ketemu nereka. And no, kalau lo mikir kayak penis ketemu vagina, nggak. Walau ide bagus sih.

Percaya nggak percaya, ini bungkus rokok ketiga gue dalam sembilan jam kebelakang tanpa makanan. Rasanya mau muntah. Uek. Gue bolak balik ke kamar mandi untuk memuntahkan cairan kuning yang berfungsi sebagai pencerna makanan. Rasanya pait, rasanya perih, capek muntah bolak-balik. Tapi apa gue terganggu dengan itu, boi? Enggak. Sama sekali nggak. Ini adalah proses yang gue jalanin, destruktivisme dimana gue berusaha mengumpulkan potongan-potongan tubuh gue lagi menjadi satu kesatuan yang utuh untuk mengembalikan gue ke alam sadar. Kembali menjadi baik, kembali menjadi gue yang sempurna tanpa kurang suatu apapun.

Dan siapa dia tadi? Gue nggak tau tuh. Tapi yang pasti, kalau bisa, gue mau meluk dia dengan dekapan erat, walau pasti gue bakal digampar, haha. Gue bilang gue nggak jatuh cinta, tapi apa iya dengan frekuensi bicara terlalu sama itu gue bisa nggak cinta? Ya nggak segitunya sih. Dan kalau ini dianggap sebagai cinta cowok ke perempuan, ya jelas bukan. Karena pada dasarnya gue nggak tau dia itu cowok atau cewek, binatang atau manusia. Metafisik. Please, jangan bilang bencong walau memang entitas yang satu itu juga metafisik. Dia datang di waktu yang tepat, yang pada awalnya gue menganggap dia adalah sebuah halangan, sebuah masalah baru, tapi enggak, dia memberikan sesuatu yang lebih yang bisa diberikan seseorang dalam bentuk fisik ke gue. Sebuah solusi konkrit? Nggak juga. Apalah namanya, yang jelas dia membantu gue dengan begitu sempurnanya.

Wisma, plesetan dari Wisnu versi feminim. Wisma, saduran kasar dari tempat seseorang bernaung sementara di belantara kota yang asing. Wis, dari Wisanggeni yang tegas dalam bersikap. Itu nama yang gue berikan karena dia nggak tau namanya sendiri. Jangan mikir yang aneh-aneh, panggilan sayang katakanlah begitu. Lagipula apa rasanya coba dalam perbincangan luar biasa asik, tapi nggak mengetahui nama masing-masing? Asik aja andaikan hanya ingin dikenal sebagai asing, tapi gue nggak mau. Makanya gue memberinya nama yang dia nggak mau berikan. Pelit.

Dia menyelamatkan gue, membantu proses penghancuran gue agar lebih sempurna, supaya proses reinkarnasi mini yang gue lakukan lebih cepat tercapai. Mungkin dia nggak sadar, toh dia pun menemui gue dengan tujuan lain, menolong temannya, yang jelas bukan gue. Tapi yeap, dia membantu gue secara nggak langsung. Gue tercerahkan. Hal yang gue hadapi belum beres, tapi seakan selesai karena dia. Kesadaran kewarasan kenyataan diberikan pada dia. Dia yang rasional, dia objektif, dia yang logis, dia yang itulah yang membentu gue. Betapa gue nggak bisa berenti nyengir coba waktu ngobrol panjang lebar sama dia via telpon? Dianya aja nggak liat.

Sayangnya, kesempatan gue bertemu dengan dia itu satu banding sejuta, atau mungkin lebih. Frustasi rasanya kalau penyusunan kata yang kita lakukan tadi itu hanya bisa dinikmati lagi dalam tempo waktu yang anomali. Toh juga, dia menghampiri gue ketika keadaan menjadi buruk doang, masa iya ketika gue kepengen ngobrol sama dia harus cari perkara dulu? Ya nggak lah. Intinya menyenangkan, mencerahkan, senang, nggak berenti nyengir. Tapi harus gue hentikan sebelum perbicangan gue dengannya itu akan menjadi adiktif. Hayah.

Diusahakan Wis, lebih baik lagi deh.

Eh? Kebaca orangnya nggak ya?

1 comment:

Anonymous said...

Thx...