Skinpress Demo Rss

Mungkin Bukan Aku.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, April 04, 2011

Posted at : 1:20 PM

“…”

“…”

“…”

“…”

“….kita putus aja ya,”

“…”

“—bye, baik-baik.”

“—Mel, tungg—“

Pett..

Bangsat.

Brengsek.

Lonte!


Sundal!

Habis sudah kata-kataku, habis sudah hidupku. Mataku terbatu pada aspal jalanan, handphone masih dikupingku berbunyi ‘tut tut tut’, tak percaya. Aku diputus pacarku, alasannya? Tak jelas. Dugaanku Roni keparat itu yang mengambil alih hatinya, pesan-pesan di BBM Meila yang berhubungan dengannya selalu dihapus, dan hanya dia yang dihapus, pasti ada apa-apanya kan? Goblok, sialan! Hatiku terbakar amuk, rasanya aku ingin menendang tiang halte ini sekuatnya sampai puas. Tapi tidak, ada beberapa orang disini, nanti aku dianggap gila beneran. Percakapanku dengan Meila di telpon tadi saja sudah cukup menarik perhatian mereka.

Hoh..

Kukantongkan handphoneku, sebagai gantinya, satu pak rokok ada di tanganku sekarang. Kunyalakan tentu saja. Dan apa aku sudah bilang kalau disini hujan? Ya, hujan badai melanda daerah Cempaka Putih sekarang, dan yang kumaksud badai disini adalah badai yang membuat ranting-ranting pohon berjatuhan saking kencang anginnya. Dahsyat, aku pun sampai sangsi kalau halte ini cukup kuat menahan terpaan angin yang begitu kerasnya.

Aku duduk, tak jauh dari seorang bapak-bapak yang sedari tadi melihatku dengan senyum, umurnya sekitar 50an dan mungkin baru saja pulang dari pekerjaannya. Mana kutahu? Sementara diujung satunya seorang wanita berpakaian khas sekretaris duduk terdiam memandangi handphonenya, asik dengan dunianya sendiri. Pukul 10. Mungkin kami, mereka dan aku adalah rombongan terkahir yang menggunakan halte ini sebagai tempat transit. Commuter paling ujung yang berharap sebuah bis menuju peraduan kami segera datang. Tapi tidak.

Tidak.

Entah kemana sopir dan kenek itu.

Aku menghisap rokokku dalam, sampai ke paru-paru paling ujung, tak ada yang tak terjamah. Dan wuush.. asap tebal mengepul hebat dari mulutku. Sama seperti uangku yang habis ludes. Masih ada sangkutannya dengan Meila, belum lagi ratusan juta hutangku pada bank. Jumlah yang tak mungkin kubayar dengan hitungan gaji 20-30 tahun dari sekarang. Mati. Rasanya aku mau mati saja. Aku tertunduk lesu, wajahku menatap lantai, aku menggaruk-usap kepalaku yang tidak ada gatalnya sama sekali.

Haaaahhh…

Hujan masih deras. Kapan bisa pulang? Entahlah.

Lewat. Pulang?

Kata siapa?

Aku bangun. Bis kota itu akhirnya nampak diujung jalan untuk mampir ke halte ini untuk mengangkut kami para penumpang terakhirnya. Raut senyum sekilas nampak dari bibir bapak itu tadi. Tapi aku punya rencana lain. Aku mau mati saja. Mati terlindas! Sampai otakku berceceran di tengah jalan dan tidak ada yang dapat mengenali wajahku lagi, ha! Mei akan menyesal memutuskanku hanya karena masalah materi, nyawaku hilang karenamu sekarang! Menangislah besok, menangislah meraung melihat berita di koran merah tentang bodohnya seorang pemuda yang bunuh diri ditinggal kekasihnya. Mampus!

Aku berdiri, rokokku masih di mulut. Sebentar lagi bis itu akan sampai di halte ini, aku akan meloncat dan satu tiket ke neraka akan berada di tanganku. Mantap. Tak perlu hutang, tak perlu sedih, tak perlu bekerja lagi.

30 meter.

Bersenang-senanglah kalian di kasur yang pernah kutiduri, dengan Mei! Kau terima bekasan saja, ha-ha! Ogah aku melihatnya, mendengar kabarnya, apalagi sampai menerima undangan pernikahan kalian nantinya. Najis, amit-amit.

10 meter.

Keluarga? Yah, maaf buk, anakmu ini tak bisa meneruskan keinginan-keinginan ibu, aku cinta ibu, aku sayang ibu, tapi aku tak sanggup menanggung beban ini lagi bu. Bapak, maafin aku ya pak, bapak bilang bangga sama aku yang sekarang udah bisa mencari duitku sendiri, tapi sekarang aku tak bisa lagi menghasilkan sesuatu untuk menyenangkan hati bapak, jadi maafin aku ya pak sekali lagi. Dik, kamu jaga ibu sama bapak ya, nafkahi mereka sebaiknya, urus mereka sampai mereka tua nanti, maafin aku ya dik harus melimpahi kamu dengan tanggung jawab sebesar ini ke kamu, maafin kakak. Maafin aku ya semuanya.

5 meter.

Dan aku pun siap melomp—

“Kami duluan ya dek..”

Lho? Bapak-bapak dan perempuan tadi sudah ada disampingku? Sejak kapan? Mereka bergandengan tangan dan—

Melompat.

Dan daging-daging pun terlempar kesana-kemari, darahnya membanjiri tubuhku, aku ternganga, rokok yang terselip di bibirku terlepas. Mereka mati. Seketika. Tersenyum dan berpelukan dalam bentuk potongan daging tak jelas. Bahagia.

Aku—?

Ngomong-ngomong, masih hujan.

0 comment: