State and Memoar
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Tuesday, October 07, 2008
Posted at : 11:29 AM
Gue akan terus menulis, entah di blog ataupun tulisan tersebut akan masuk ke folder offline gue di Flashdisk satu-satunya atau mungkin akan gue letakkan dengan manis di folder pribadi yang terkunci rapat dan aman di bawah tempat tidur, gue akan terus menulis. Walaupun memang gue akui tulisan yang dibuat selama ini, entah yang memang dipublikasikan ataupun yang ngga, masih sama-sama berantakannya, masih sama-sama ngga menunjukkan hal apa yang gue sampein secara eksplisit dan jelas *lirik beberapa orang*, dan tentunya masih banyak—atau mungkin keseluruhannya masih berbau tidak enak, ehm.. maksudnya, masih membuat capek orang-orang yang membaca tulisan-tulisan tersebut.
“Buset dah tulisan lo iniih.. kasi tau gue tanggal bunuh diri lo ya!”
Please accept my gratitude, my dearest chairmate.. Ah.. seseorang yang mungkin sudah cukup dekat yang seharusnya sudah bertitel ‘teman’ berkata begitu setelah diizinkan membaca beberapa halaman awal folder yang emang sifatnya ‘Restricted’, terlarang, sensitif, dan memang dibuat bukan untuk konsumsi publik. Itu hanya sebuah percobaan untuk membiarkan orang lain mengelupas kulit-kulit gue yang sudah kelewat umur, sudah berkerak, dan ingin—dan memperkenankan seseorang mengelupasnya sedikit supaya dia bisa melihat seperti apa bagian dalam dari kulit yang sudah berkeropeng itu. Hasilnya, seperti yang bisa diliat diatas, apakah bunyinya bagus? Ah.. penyesalan selalu datang di akhir, sangat menyesal mungkin, tapi kulit tebal nan keras itu sudah ditarik dengan kasar, dengan muka yang menunjukkan ekspresi tidak percaya, takjub, jijik akan apa yang ia lihat dibalik kulit itu, dia berkata demikian.
Ironis memang, setiap saat gue selalu mengharapkan jawaban yang jujur, dari dalam hati, yang pertama kali dirasakan, selalu berkata “apapun yang akan lo ucapkan, akan gue terima dengan lapang dada”, tapi, disaat jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan harapan, hati rasanya terinjak, kepala benar-benar terasa ingin dipendam serata mungkin dengan tanah. Sumur, andaikan ada sumur, ingin rasanya meloncat kedalamnya.. ah.. serasa menjilat ludah sendiri bukan? Seperti mengeluarkan jantung sendiri lalu menginjaknya kuat-kuat.
Bukan salahnya berkata demikian, mungkin itu adalah pandangan paling objektif yang bisa dia berikan setelah melihat sesuatu yang mungkin diluar pikirannya, dua tahun kenal secara tidak langsung, sama sekali tidak memberikan gambaran buram akan apa-apa saja yang mungkin akan dia lihat saat membuka lapisan kulit tersebut. Setelah kata-kata yang setengah ejekan—setengah serius itu ia lontarkan dengan entengnya, kata-kata manis penghiburan mulai meluncur dari mulutnya. Aneh, dulu kata-kata kosong yang memang sayangnya sangat enak didengar itu selalu membuat kuping dan hati gue ini nyaman, belaian-belaian kata yang seolah mengelus pelipis gue dengan lembut penuh rasa peduli, walaupun gue emang tau kalau kata-kata itu ngga punya makna, ngga berisi, simpati sesaat yang diberikan seseorang karena rasa tidak enak hati mengetahui sesuatu yang berbau sangat busuk.. dalam artian lain, berusaha menutup kembali kulit yang sudah terbuka paksa dengan lem instan berbentuk kata-kata malaikat—yang kalo diingat-ingat lagi di masa sekarang, mungkin bakal gue sambut dengan menaikkan sebelah alis dan bekata “ngomong sana sama panci”. And mate, seberapa palsupun senyuman, kata-kata, dan keberadaan lo buat gue, gue sangat mengharapkan kehadiran lo, haha.. I think I must have been kissing aTroll fool (again)
Well.. two years have passed since that time, tidak mudah mencabut halaman-halaman yang seperti ini dari buku memori yang berada didalam kepala, banyak yang membekas, menggoda untuk meminta dibuka kembali dengan daya tariknya yang menakutkan, membayangi hari-hari yang seharusnya damai tenang dengan saripati-saripati ketakutan dan kenangan buruk akan masa lalu. Yah, tidak seharusnya terus diingat, tapi tidak sepatutnya dilupakan, karena sedikit banyak, kenangan-kenangan ini juga turut membentuk gue yang sekarang.
“Buset dah tulisan lo iniih.. kasi tau gue tanggal bunuh diri lo ya!”
Please accept my gratitude, my dearest chairmate.. Ah.. seseorang yang mungkin sudah cukup dekat yang seharusnya sudah bertitel ‘teman’ berkata begitu setelah diizinkan membaca beberapa halaman awal folder yang emang sifatnya ‘Restricted’, terlarang, sensitif, dan memang dibuat bukan untuk konsumsi publik. Itu hanya sebuah percobaan untuk membiarkan orang lain mengelupas kulit-kulit gue yang sudah kelewat umur, sudah berkerak, dan ingin—dan memperkenankan seseorang mengelupasnya sedikit supaya dia bisa melihat seperti apa bagian dalam dari kulit yang sudah berkeropeng itu. Hasilnya, seperti yang bisa diliat diatas, apakah bunyinya bagus? Ah.. penyesalan selalu datang di akhir, sangat menyesal mungkin, tapi kulit tebal nan keras itu sudah ditarik dengan kasar, dengan muka yang menunjukkan ekspresi tidak percaya, takjub, jijik akan apa yang ia lihat dibalik kulit itu, dia berkata demikian.
Ironis memang, setiap saat gue selalu mengharapkan jawaban yang jujur, dari dalam hati, yang pertama kali dirasakan, selalu berkata “apapun yang akan lo ucapkan, akan gue terima dengan lapang dada”, tapi, disaat jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan harapan, hati rasanya terinjak, kepala benar-benar terasa ingin dipendam serata mungkin dengan tanah. Sumur, andaikan ada sumur, ingin rasanya meloncat kedalamnya.. ah.. serasa menjilat ludah sendiri bukan? Seperti mengeluarkan jantung sendiri lalu menginjaknya kuat-kuat.
Bukan salahnya berkata demikian, mungkin itu adalah pandangan paling objektif yang bisa dia berikan setelah melihat sesuatu yang mungkin diluar pikirannya, dua tahun kenal secara tidak langsung, sama sekali tidak memberikan gambaran buram akan apa-apa saja yang mungkin akan dia lihat saat membuka lapisan kulit tersebut. Setelah kata-kata yang setengah ejekan—setengah serius itu ia lontarkan dengan entengnya, kata-kata manis penghiburan mulai meluncur dari mulutnya. Aneh, dulu kata-kata kosong yang memang sayangnya sangat enak didengar itu selalu membuat kuping dan hati gue ini nyaman, belaian-belaian kata yang seolah mengelus pelipis gue dengan lembut penuh rasa peduli, walaupun gue emang tau kalau kata-kata itu ngga punya makna, ngga berisi, simpati sesaat yang diberikan seseorang karena rasa tidak enak hati mengetahui sesuatu yang berbau sangat busuk.. dalam artian lain, berusaha menutup kembali kulit yang sudah terbuka paksa dengan lem instan berbentuk kata-kata malaikat—yang kalo diingat-ingat lagi di masa sekarang, mungkin bakal gue sambut dengan menaikkan sebelah alis dan bekata “ngomong sana sama panci”. And mate, seberapa palsupun senyuman, kata-kata, dan keberadaan lo buat gue, gue sangat mengharapkan kehadiran lo, haha.. I think I must have been kissing a
Well.. two years have passed since that time, tidak mudah mencabut halaman-halaman yang seperti ini dari buku memori yang berada didalam kepala, banyak yang membekas, menggoda untuk meminta dibuka kembali dengan daya tariknya yang menakutkan, membayangi hari-hari yang seharusnya damai tenang dengan saripati-saripati ketakutan dan kenangan buruk akan masa lalu. Yah, tidak seharusnya terus diingat, tapi tidak sepatutnya dilupakan, karena sedikit banyak, kenangan-kenangan ini juga turut membentuk gue yang sekarang.