Skinpress Demo Rss

Ahaha.. what in the world i live in, huh?

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Tuesday, October 28, 2008

Posted at : 6:25 PM

Mahasiswa, kalo dipandang dengan mata masyarakat Indonesia yang masih sangat mencengkram norma, dan nilai (eneg) dalam kehidupan sehari-harinya, pastilah dipandang sebagai sosok manusia yang mengedepankan cara pikir cerdas, dan punya pembawaan intelek. Bahkan, kata beberapa orang, saat-saat seorang manusia menjadi mahasiswa, itulah puncak dalam kehidupan pikirannya. Katakanlah, Matang. Jadi, seperti apa sih seharusnya seonggok daging bernyawa yang dinamakan mahasiswa ini bersikap? Pastinya, selalu berkepala dingin dalam segala urusan, cool dalam menghadapi setiap masalah, kritis membangun dalam setiap keadaan, tidak terpengaruh pada satu pandangan, dan.. selalu berpikir. Itulah mahasiswa dalam pandangan masyarakat Indonesia, ada yang kurang? Tambahin ndiri deh..

Dan apa yang terjadi kalo makhluk yang bertitel mahasiswa ini keluar dari jalannya yang lurus? I mean, tidak seperti yang norma dan nilai katakan? Apakah mereka-mereka yang melanggar ini bukan mahasiswa? Well, it’s retorical, gue ngga akan menjawab pertanyaan kosong yang hanya gue tulis sebagai pemenuh paragaf ini aja, anda-anda yang membacanya inilah yang harus menjawabnya, khu..khu.. sekarang bayangkan, imagine, there’s no heaven.. ups.. sorry, abis denger imagine-nya John Lennon.. Maksud gue, bayangkan, seorang mahasiswa, dengan segala titel inteleknya itu masih berbicara dengan kata-kata yang.. ‘eew’, understand what I mean? No? in easy word, zoo language. Kaga ngerti juga? Whatever. Mahasiswa, kalo ngga salah, dalam pedagogika (ilmu pendidikan anak-anak *lols*), disebutkan bahwa usia mahasiswa yang mempunyai range 18-22 tahun itu bisa dikatakan sebagai dewasa muda. Dan walaupun masih ada kata ‘muda’nya, tapi paling ngga udah bisa disebut dewasa kan? Dan apakah mahasiswa yang bisa dengan mudah mengucapkan sumpah serapah, dirty word, bisa dikatakan dewasa (muda)? Atau bahkan, apa mereka bisa disebut mahasiswa yang menjunjung tinggi intelektualitas?

Demi Setan yang rajin puasa *credit to Raine*. Entah udah berapa orang yang nanya tentang ‘gimana sih orang udah bisa disebut dewasa?’ Or ‘gw udah bisa dibilang dewasa blom?’, don’t get me wrong, jangan salah, banyak yang nanya bukan berarti gue banyak temen yeh *grin*. Dan biasanya gue akan menjawab dengan jawaban-jawaban klise nan basi yang udah kelewat sering didenger orang. Umur yang cukup, pengalaman hidup yang banyak, pola pikir yang tenang, dan tentunya bise membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sesimpel itu gue menjawab. Tapi.. apakah memang sesimpel itu? kalau yang dinamakan kedewasaan itu bisa dipatok dalam suatu ukuran, bukannya aneh? “Dewasa”, jelas ngga bisa diukur dengan statistik dan angka-angka, patokannya buram, ngga jelas sama sekali, lalu? Kenapa orang-orang bertanya? Dan andaikan bertanya, tanyakan pada diri sendiri, jangan ke orang lain, orang yang menyadari dirinya telah benar-benar dewasa itulah yang bisa disebut dengan dewasa. I mean, bukan sekedar mikir sebentar, lalu menentukan kalo dirinya telah dewasa, tapi.. semacam.. err.. kesadaran pikiran, termanualkannya cara berpikir dirinya sendiri, kesadaran akan ada dunia luas diluar sana selain dirinya. Ngga ngerti? Pasti, karena hal yang disebut dewasa ini.. seperti yang udah gue bilang, Me-ta-fi-si-ka.

Dan bagaimana dengan gue sendiri? Sejujurnya gue belum bisa mengatakan diri gue udah melewati patokan buram tersebut. Entah, but, I have a mind that achieve by visiting the dark, and the light (jangan protes soal grammar blarakan gw). Gue udah pernah merasakan bagaimana hidup berdekatan dengan neraka, yang mana manusia lain hanyalah sebuah objek pelampiasan hidup, mereka bisa gue pukul, injek, dan ludahin sesuka hati gue, yang mana kalo pulang tanpa memar di muka itu adalah sebuah anugrah, dan tanpa darah menetes itu adalah berkah. Gue udah pernah hidup berdekatan dengan—katakanlah kebaikan (abisnya kalo pake analogi surga kayanya aneh aja)—merasakan bagaimana khusyuknya shalat, tenangnya baca Al-Quran, merasa dekat dengan yang maha kuasa, dan menikmati hidup dengan orang-orang seagama yang selalu menjunjung tinggi persaudaraan. Dan dengan bekal hidup susah sekaligus tenang ini, pikiran gue yang sekarang terbentuk.

How lucky I am? Gue sangat beruntung memiliki pengalaman hidup yang seperti itu, bisa dibilang, hampir ngga ada hal yang bisa ngebikin gue sakit hati. Maksud gue, bener-bener sakit. Lecehan soal fisik? Ejekan-ejekan ngga bermutu? Tuduhan ngga berdasar? Say it. Hinaan verbal sama sekali ngga mempan buat gue. Ayolah, umur gue 18! Sedikit bersyukur gue memiliki kepribadian sinis self-sentris, sinis kepada diri sendiri, ada orang yang nyalahin gue, gue akan berpikir kalo emang gue salah, emang di gue salahnya itu. dan kalo salah, yaaa gue ngga akan malu-malu untuk minta maaf. Pernah baca di suatu Blog tentang hilangnya makna ‘maaf’ itu sendiri, katanya.. sekarang manusia meminta maaf sebagai formalitas.. dan itu bener-bener gue lakuin, gue salah, ya gue minta maaf, malu? Gengsi? Kata Sawamura di Harlem Beat, “dikasih kecap asin-pun gengsi itu ngga bisa dimakan”. Waktu lebaran kemarin pun, gue sama sekali ngga berucap ‘minal aidin’ ke orang lain sebelum orang itu ngucapin langsung ke gue. Buat apa minta maaf? Formalitas? Sebanyak apapun maaf, bisa gue ucapin andaikan gue salah, tapi apakah itu berpengaruh kedalam diri gue? Gue jawab ngga.. :D

Dengan pola pikir macem ini, yah.. jujur aja, gue emang ngga bisa diterima dimana-mana, SD, SMP, SMA, masa-masa yang gue habiskan untuk membentuk diri gue yang sekarang itu adalah masa-masa yang sama sekali ngga menyenangkan buat diinget, beberapa hal mungkin menyenangkan.. ah.. jadi inget, seseorang pernah bilang ke gue, “sebenernya masa bahagia manusia itu lebih banyak porsinya daripada masa sedihnya”, sebenernya, gue jelas-jelas menampik soal itu, dear.. :D. Gue lupa kapan terakhir kali gue ketawa sepenuh hati gue karena manusia lain, melepas endorphin keseluruh tubuh dan memperkaya oksigen dalam darah. Gue lupa. Dan.. seperti yang pernah gue tulis, gue akan berusaha berubah di dunia perkuliahan ini. Dunia baru, gue bilang. Dunia yang belum tau seberapa busuknya hal yang tersembunyi dibalik kulit keras yang menutupinya ini. gue berharap bisa melepas label anti-sosial gue disini, tapi.. ah, sebuah tamparan keras membangunkan gue dari mimpi kelewat muluk. Sebuah kejadian menyadarkan gue kalo emang gue ngga bisa diterima—seenggaknya—di Realworld. I was made for being Anti-socialism. Get real bung, jangan berlagak sok kenal orang lain di dunia nyata, dan mungkin emang gue harus membiasakan diri dengan keadaan ini, *buang semua mimpi muluk ke tempat sampah terdekat*. Well.. looks like I must tried to love this loneliness to slip out of this lonesome hole.. Welcome to The Jungle Networld..

EDIT TO ADD

Well.. sejam setengah setelah gue ngepost ini, sejam setengah setelah gue ngobrol dengan dua orang yang untungnya ada pada saat yang bersamaan, dan sejam setengah setelah gue mengingat seseorang yang tinggal di Malang sana :D, gue mau mengucapkan terima kasih banyak, gue ngga ngomong banyak sama lo berdua, bahkan ngalor ngidul, dan dengan tambahan titel 'gue bukan siapa-siapa' lo bedua, stranger, eh? tapi dengan ngobrol itu udah bisa nenangin kepala gue yang kelewat panas, :D, makasih yak. Dan buat Ussi, bahkan walaupun gue ngga kontak sama lo, kayanya dengan inget segala gaya posting lo dulu, gue bisa senyam-senyum sendiri, makasih us. Makasi buat lo betiga :D, NetWorld is the best lah pokoknya..