Malam Lagi Hujan
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Wednesday, May 25, 2011
Posted at : 2:20 AM
Jakarta hujan dini hari, gue girang setengah mati. Biarlah dikata melankoli, toh rasanya lega bisa menyalurkan sepenuhnya yang ada di hati. Gue selalu suka malam hari, gue pun suka hujan, jadi ya kalau digabung rasanya sempurna. Nggak ada alasan khusus, bukan karena pengalaman di masa lampau, hanya suasana yang dijual membuat semuanya tanpa cela. Sadisnya cihuy.
Gue nggak bisa melihat jelas hujan di Jakarta, terutama di rumah. Terlalu banyak bangunan tinggi menutupi pandangan jendela, apalagi lantai satu. Titik-titik air menjadi bening tak tampak, hanya suara gemercik yang membasahi telinga. Sekilas mereka terlihat menetes dari tepi pagar sesaat, lalu jatuh ke tanah berbaur dengan kawan lama mereka yang lama tak dicumbu. Jangan harapkan jangkrik ataupun kodok, tikus pun enggan mencicit, mungkin sedang menikmati malam di peraduan mereka. Secangkir teh, dan obrolan ringan antara bapak-ibu tikus tentang pendidikan anak-anak mereka soal curi mencolong. Siapa tahu?
Samar terdengar anak tanggung berteriak girang di tengah malam. Jalanan ramai oleh suara mereka, aneh? Mereka tidak di kasur kapuk berdebu seperti seharusnya, tapi jangan heran. Ini kemayoran, tempat macan Jakarta bernaung, Hooligan dari klub sepakbola beringas di Indonesia, ricuh itu hal biasa, ramai itu kudapan pengisi hara. Pastilah menyenangkan, tanpa harus memikirkan hal-hal yang normatif dan prinsipil, mereka bisa berkeliaran pagi buta di tengah hujan. Rasanya ingin sesekali mencoba, tidak ada salahnya, lain kali pasti.
Tanpa kenangan? Bisa saja iya, tapi mungkin juga tidak. Hampa yang total. Kosong yang sempurna. Dengan pembiasaan yang terlalu lama menjadikan hal yang buruk terasa indah. Mungkin itu. Mungkin saat-saat seperti ini, dimana tidak ada hal lain selain denting panah air menghantam paving blok, bau tawar yang menusuk hidung sampai sakit, hening namun ramai. Hanya ada gue dan kesempatan untuk tertawa pada diri sendiri. Hujan dan malam mengingatkan dengan baik bagaimana hal-hal itu pernah dilalui. Eh. Mungkin bukan pernah, tapi sedang dan akan dilalui. Sekarang mungkin teringat, entah kapan akan menjadi, atau bahkan sebuah nostalgi.
Hampa yang itu. Yang seakan semua orang adalah musuh, tanpa teman dan bahkan bayangan entah berlari kemana. Anggapan bahwa kaki ini hanyalah dua tanpa sandaran, tidak perlu dan tidak akan pernah mau. Gue pun heran, bagaimana caranya menganggap tatapan orang lain adalah intimidasi yang harus diatasi, sedikit gerakan adalah proses menembus pertahanan diri, hoeh, kalau diingat rasanya capek sendiri. Untungnya sudah terlewat, dan harapan di kepala tentunya ingin tidak terulang, apalagi sedang diulang. Amit-amit.
Sekarang gue merokok, seperti biasanya. Dengan badan menempel di teralis jendela, menajamkan kuping akan tiap tetes air yang turun, sedikit percikan menghampiri, gue senyum, yang kata Nanda aneh. Biarlah aneh, toh senyum ini buat kamu kok.
Gue nggak bisa melihat jelas hujan di Jakarta, terutama di rumah. Terlalu banyak bangunan tinggi menutupi pandangan jendela, apalagi lantai satu. Titik-titik air menjadi bening tak tampak, hanya suara gemercik yang membasahi telinga. Sekilas mereka terlihat menetes dari tepi pagar sesaat, lalu jatuh ke tanah berbaur dengan kawan lama mereka yang lama tak dicumbu. Jangan harapkan jangkrik ataupun kodok, tikus pun enggan mencicit, mungkin sedang menikmati malam di peraduan mereka. Secangkir teh, dan obrolan ringan antara bapak-ibu tikus tentang pendidikan anak-anak mereka soal curi mencolong. Siapa tahu?
Samar terdengar anak tanggung berteriak girang di tengah malam. Jalanan ramai oleh suara mereka, aneh? Mereka tidak di kasur kapuk berdebu seperti seharusnya, tapi jangan heran. Ini kemayoran, tempat macan Jakarta bernaung, Hooligan dari klub sepakbola beringas di Indonesia, ricuh itu hal biasa, ramai itu kudapan pengisi hara. Pastilah menyenangkan, tanpa harus memikirkan hal-hal yang normatif dan prinsipil, mereka bisa berkeliaran pagi buta di tengah hujan. Rasanya ingin sesekali mencoba, tidak ada salahnya, lain kali pasti.
Tanpa kenangan? Bisa saja iya, tapi mungkin juga tidak. Hampa yang total. Kosong yang sempurna. Dengan pembiasaan yang terlalu lama menjadikan hal yang buruk terasa indah. Mungkin itu. Mungkin saat-saat seperti ini, dimana tidak ada hal lain selain denting panah air menghantam paving blok, bau tawar yang menusuk hidung sampai sakit, hening namun ramai. Hanya ada gue dan kesempatan untuk tertawa pada diri sendiri. Hujan dan malam mengingatkan dengan baik bagaimana hal-hal itu pernah dilalui. Eh. Mungkin bukan pernah, tapi sedang dan akan dilalui. Sekarang mungkin teringat, entah kapan akan menjadi, atau bahkan sebuah nostalgi.
Hampa yang itu. Yang seakan semua orang adalah musuh, tanpa teman dan bahkan bayangan entah berlari kemana. Anggapan bahwa kaki ini hanyalah dua tanpa sandaran, tidak perlu dan tidak akan pernah mau. Gue pun heran, bagaimana caranya menganggap tatapan orang lain adalah intimidasi yang harus diatasi, sedikit gerakan adalah proses menembus pertahanan diri, hoeh, kalau diingat rasanya capek sendiri. Untungnya sudah terlewat, dan harapan di kepala tentunya ingin tidak terulang, apalagi sedang diulang. Amit-amit.
Sekarang gue merokok, seperti biasanya. Dengan badan menempel di teralis jendela, menajamkan kuping akan tiap tetes air yang turun, sedikit percikan menghampiri, gue senyum, yang kata Nanda aneh. Biarlah aneh, toh senyum ini buat kamu kok.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Melankolia. Tapi syahdu, rasanya hujan sampai ke bahu, tak basah tapi mendayu, kemayu. I love you.
Post a Comment