Ma(L)u Berpendapat?
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, June 01, 2011
Posted at : 4:24 AM
Gue jarang mengeluh, oke, belum lama gue jarang mengeluh, soalnya sebelumnya, gue itu fatal whiner. Komplain, ngga ada hasilnya, apalagi kalau sesuatu yang gue keluhkan itu menyangkut pihak lain, gue males juga ngebayangin pihak kedua ini harus repot-repot menanggapi keluhan gue. Contoh gampangnya, ketika gue menginginkan sebuah barang, gue menabung susah payah berbulan-bulan, lalu barang yang gue beli itu ternyata cacat produksi, apa yang akan gue lakuin? Yeah, gue nggak akan komplain, kasian si mas-mas penjualnya harus ngeretur. Kebiasaan aneh, tapi ngebuat gue seneng dengan cara yang aneh pula. Berapa kalori yang harus dikeluarkan ketika komplain coba? Capek sendiri, waktu kebuang, mending cengengesan aja ngetawain kelakuan sendiri karena kepengen barang aneh-aneh, konsumen pret.
Sejalan dengan itu, gue juga jarang bersyukur. Dan bukan lupa. Setiap gue mendapatkan sebuah hal baik, gue sadar. Apa yang gue dapet, fitrahnya ke gue, gue memiliki kesempatan untuk sekedar mengucap ‘alhamdulillah’ atau sesimpel ‘syukurlah’ tapi nggak pernah keluar dari tenggorokan. Kalau yang ini bingung juga, dibilang sombong juga gue nggak bisa ngelak. Tapi kayaknya, dicamkan dalam hati pun udah termasuk mensyukuri kan? Kurang di verbalnya aja.
Males komentar. Gampangnya sih itu kalau diliat dari dua paragraf diatas. Males? Haha. Nggak nemu padanan yang lebih halus sih. Gue hanya ngerasa dunia yang gue tempati ini, lingkungan dimana gue hidup udah terlalu banyak suara, banyak kepala yang udah terlalu pintar, banyak komentar, kritis (atau kriTAIs kalau kata ussi). Jadi, melakukan hal yang mainstream bukan gaya gue (halah), ngga.. ngga.. gue cuma berpikir, kalau suara yang udah sebegitu banyaknya kalau ditambah lagi mau jadi apa coba? Gue nggak pernah berbicara banyak dalam sebuah kelompok, mereka udah mengeluarkan pendapatnya masing-masing, nggak jarang ada yang berbeda, tabrakan, berisik. Lagipula, beberapa pendapat mereka ada yang sama dengan persepsi gue toh, buat apa gue ngomong hal yang sama diulang-ulang? Lain cerita kalau kondisinya perbincangan antar dua orang, kalau gue nggak ngomong, rekan ngobrol gue mau ngomong sama siapa? Asep? Nggak jarang dicap pendiem dan nggak ramah, padahal sebenernya ramah, ramah menghindari pemborosan pendapat. Teot.
Tiga orang termasuk gue, itu udah cukup untuk menstaples mulut gue sempurna. Contohnya aja, paling gampang nih. Kalau gue, Luthfi, sama Sonny udah jalan bareng, yang ada cuma itu anak dua cuap-cuap ngadu pendapat sampe mulut kering, gue paling nyengir doang sambil ngerokok dan garuk-garuk pala yang nggak gatel.
Sekarang zamannya kritis, penampilan mungkin udah dinomorduakan, semua orang berlomba memberikan komentar, berusaha menonjolkan diri dengan otak, yang sayangnya kopong blas. Inget zaman SMA dimana kita masih pada polos? Begitu guru bilang “keaktifan jadi nilai penting” dan semua anak berlomba mengangkat keteknya, apa yang diomongin bisa disusun belakangan, jelas atau nggak juntrungannya itu nomor sekian, yang penting nilai. Terlihat pinter dimata guru. Ngomongin PPKN, Psikologi, dan logi-logi lainnya selalu dengan solusi “kembali ke pribadi masing-masing” atau “tergantung pemerintahnya sih”. Duar.
Yah, namanya juga era konsumeris, yang penting itu presentasi, kenampakan. Coba pikir, kenapa dua produk dengan spesifikasi yang sama tapi harga beda jauh, orang masih pilih yang lebih mahal? Yang brandnya terkenal? Itulah presentasi. Car free day tiga tahun lalu sepinya kayak kuburan, sekarang kayak kuburan malem jumat kliwon, rame sama lelembut. Karena apa? Tren, sepeda fix. Lah ngelantur. Gue nggak menyerang para diskutor, kalau senang berdiskusi, berdebat, silahkan. Tapi mbok ya pendapat yang dikeluarin itu ada isinya. Tujuan dari berbagi pikiran itu kan menemukan hal yang nggak bisa ditemukan sendiri, bukan adu gede suara untuk menyampaikan hal yang umum, semua orang juga tau. Apalagi sampe menyerang orang yang pendapatnya berbeda, ini diskusi atau lomba masuk neraka?
‘Tren’ berpendapat udah bergeser kearah itu, gue pun semakin melakban mulut serapatnya. Berbicara kalau emang merasa kredibel untuk menyampaikan apa yang dimaksud. Buat apa menyampaikan pendapat yang hanya bikin orang lain ngangguk-ngangguk ‘itu dia maksud gue!’. Gue pengen pendapat yang gue keluarin itu mindfucking, orang lain nggak kepikiran, dan membuat orang lain juga terstimuli memberikan pendapat yang nggak biasa pula. Tapi sayangnya gue nggak sekompeten itu dalam berpendapat, pengetahuan juga cetek. Jadi ya, lebih baik tutup mulut. Menikmati para kusir saling berdebat lempar ludah. Gue merokok dengan khidmat. Adieu.
Sejalan dengan itu, gue juga jarang bersyukur. Dan bukan lupa. Setiap gue mendapatkan sebuah hal baik, gue sadar. Apa yang gue dapet, fitrahnya ke gue, gue memiliki kesempatan untuk sekedar mengucap ‘alhamdulillah’ atau sesimpel ‘syukurlah’ tapi nggak pernah keluar dari tenggorokan. Kalau yang ini bingung juga, dibilang sombong juga gue nggak bisa ngelak. Tapi kayaknya, dicamkan dalam hati pun udah termasuk mensyukuri kan? Kurang di verbalnya aja.
Males komentar. Gampangnya sih itu kalau diliat dari dua paragraf diatas. Males? Haha. Nggak nemu padanan yang lebih halus sih. Gue hanya ngerasa dunia yang gue tempati ini, lingkungan dimana gue hidup udah terlalu banyak suara, banyak kepala yang udah terlalu pintar, banyak komentar, kritis (atau kriTAIs kalau kata ussi). Jadi, melakukan hal yang mainstream bukan gaya gue (halah), ngga.. ngga.. gue cuma berpikir, kalau suara yang udah sebegitu banyaknya kalau ditambah lagi mau jadi apa coba? Gue nggak pernah berbicara banyak dalam sebuah kelompok, mereka udah mengeluarkan pendapatnya masing-masing, nggak jarang ada yang berbeda, tabrakan, berisik. Lagipula, beberapa pendapat mereka ada yang sama dengan persepsi gue toh, buat apa gue ngomong hal yang sama diulang-ulang? Lain cerita kalau kondisinya perbincangan antar dua orang, kalau gue nggak ngomong, rekan ngobrol gue mau ngomong sama siapa? Asep? Nggak jarang dicap pendiem dan nggak ramah, padahal sebenernya ramah, ramah menghindari pemborosan pendapat. Teot.
Tiga orang termasuk gue, itu udah cukup untuk menstaples mulut gue sempurna. Contohnya aja, paling gampang nih. Kalau gue, Luthfi, sama Sonny udah jalan bareng, yang ada cuma itu anak dua cuap-cuap ngadu pendapat sampe mulut kering, gue paling nyengir doang sambil ngerokok dan garuk-garuk pala yang nggak gatel.
Sekarang zamannya kritis, penampilan mungkin udah dinomorduakan, semua orang berlomba memberikan komentar, berusaha menonjolkan diri dengan otak, yang sayangnya kopong blas. Inget zaman SMA dimana kita masih pada polos? Begitu guru bilang “keaktifan jadi nilai penting” dan semua anak berlomba mengangkat keteknya, apa yang diomongin bisa disusun belakangan, jelas atau nggak juntrungannya itu nomor sekian, yang penting nilai. Terlihat pinter dimata guru. Ngomongin PPKN, Psikologi, dan logi-logi lainnya selalu dengan solusi “kembali ke pribadi masing-masing” atau “tergantung pemerintahnya sih”. Duar.
Yah, namanya juga era konsumeris, yang penting itu presentasi, kenampakan. Coba pikir, kenapa dua produk dengan spesifikasi yang sama tapi harga beda jauh, orang masih pilih yang lebih mahal? Yang brandnya terkenal? Itulah presentasi. Car free day tiga tahun lalu sepinya kayak kuburan, sekarang kayak kuburan malem jumat kliwon, rame sama lelembut. Karena apa? Tren, sepeda fix. Lah ngelantur. Gue nggak menyerang para diskutor, kalau senang berdiskusi, berdebat, silahkan. Tapi mbok ya pendapat yang dikeluarin itu ada isinya. Tujuan dari berbagi pikiran itu kan menemukan hal yang nggak bisa ditemukan sendiri, bukan adu gede suara untuk menyampaikan hal yang umum, semua orang juga tau. Apalagi sampe menyerang orang yang pendapatnya berbeda, ini diskusi atau lomba masuk neraka?
‘Tren’ berpendapat udah bergeser kearah itu, gue pun semakin melakban mulut serapatnya. Berbicara kalau emang merasa kredibel untuk menyampaikan apa yang dimaksud. Buat apa menyampaikan pendapat yang hanya bikin orang lain ngangguk-ngangguk ‘itu dia maksud gue!’. Gue pengen pendapat yang gue keluarin itu mindfucking, orang lain nggak kepikiran, dan membuat orang lain juga terstimuli memberikan pendapat yang nggak biasa pula. Tapi sayangnya gue nggak sekompeten itu dalam berpendapat, pengetahuan juga cetek. Jadi ya, lebih baik tutup mulut. Menikmati para kusir saling berdebat lempar ludah. Gue merokok dengan khidmat. Adieu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Hidup orang bisu!
Post a Comment