Skinpress Demo Rss

Ngapel Ekstrim

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Tuesday, May 24, 2011

Posted at : 4:25 AM

Seperti apa rasanya menyaksikan suatu perubahan? Buat gue rasanya itu luar biasa, membuat darah muda gue bergejolak sadis begitu manis. Tapi sayang. Perubahan kadang datang begitu lambat, yang saking lambatnya, kita nggak merasakan sesuatu yang kita raba itu udah berubah. Kemarin, gue diberikan kesempatan untuk melihat perubahan itu, tiap detiknya, tiap menitnya, tiap jamnya. Gue mengamati dengan mata dan indra peraba gue sendiri, langsung. Gue ketawa girang.

Ini berkenaan dengan perjalanan gue ke Surabaya kemarin, naik motor. Dalam rangka tujuan ngapelin pacar tersayang, Nanda (tjieh). Gue udah di wanti-wanti sih, baik sama orang rumah, ataupun dari pihak keluarga yang ada di Surabaya sana, kalau jangan naik kuda besi roda dua itu, capek, jauh, panas, nanti di tempat tujuan kerjanya tepar doang lah. Tapi bukan gue dong kalau nggak kepala batu, tetep ngotot, dan akhirnya memutuskan untuk tetap pada rencana awal. Motor kesayangan udah diajak bicara empat mata, udah dielus-elus sedemikian rupa untuk ngebujuk, mesin udah dikelitikin supaya makin manja, minuman juga dikasih spesial—oli baru. Diable pun siap berangkat.

Nggak, disini gue nggak akan bicara road report kok.

Tapi apa ya?

Bayangin aja, gue berangkat dari Bandung jam setengah satu pagi, nunggu Nanda tidur dulu baru berangkat. Oh yeah, gue berangkat nggak pake bilang soalnya, gue nggak pengen my Brown Sugar khawatir nungguin gue di jalan, nggak enak di guenya juga karena bisa kepikiran, jadilah, rencana dadakan tanpa bilang ini diambil. Kurang baik apa coba pacar yang satu ini #jeger. Jalur yang gue ambil tentu jalur utara, masih agak ngeri lewat selatan, selain legenda yang bilang banyak begar sepanjang jalan, jalurnya yang terlalu banyak potongan dan persimpangan juga gue jadiin pertimbangan, mengingat gue masih awam dalam touring jarak jauh, mending cari jalur gampangan.

Pagi masih buta, malam pun belum habis tersapa, mesin menggerung perlahan, rokok dinyalakan sebagai tanda pelatuk sudah ditarik, sepi, saking heningnya bahkan jangkrik pun malas berbisik, mungkin meninabobokan anaknya yang terlalu berisik. Gelap. Satu dua kendaraan bertegur sapa dengan lampu jauhnya. Sesekali memaki kalau disorot dengan lampu tinggi kelewat silau, pelepasan emosi namun hanya sekedar persaudaraan jalanan. Halah.. perjalanan malam hari itu nggak ada yang bisa ngalahin, walau horor dan banyak yang bergelantungan di atas pohon, ketenangan yang gue dapat nggak sebanding dengan mereka yang melayang-layang teror.

Malam tersapu di ufuk timur, perubahan pertama yang gue lihat. Awalnya biru tua, perlahan biru muda, lalu tersapu oleh pendar jingga setipis kapas, berganti oranye muda memeluk mata, dan akhirnya pagi membuka. Mungkin ini waktu-waktu dimana gue nggak membenci pagi, gue melihat langsung dari nol pertambahan cahaya yang dibiaskan dalam rentang warna, gimana caranya gue membenci apa yang gue pupuk dari hampa? Hitam menjadi cahaya. Gue nyengir sambil ngopi di pinggir pantura. Rokok mengepul di sela jari siap menyuap muka.

Jalan terlalu panjang telah terlewati, ingin kembali pun percuma, terlalu jauh untuk memutar arah. Lelah, capek itu pasti, tapi terobati. Semarang, Kendal, Demak, semuanya serasa di rumah. Entah tautan apa, mungkin karena ada darah Solo mengalir di nadi. Gaya bangunan dan daerah yang begitu mirip kampung halaman seolah menyapu keringat tanpa perlu di seka, senyum kembali muncul di wajah yang menghitam, tersapu asap truk besar mengandung oli. Kota-kota itu seolah memberi tenaga pecut di otot yang mulai terisi asam susu, semangat memuncak, 500 kilometer yang telah dijamah seolah tanpa arti.

Setengahnya berkat pak Yuda, kawan lama yang baru bertemu. Tiga jam kami beriringan di jalan, tanpa kenal dan bermodal klakson serta sorotan lampu, kami menjadi sahabat. Bekerja sama menghindari lubang ranjau pantura, berkelit ketika ada bahaya, dan akhirnya duduk bersama di kedai es kelapa. Mengobrol tidak banyak, hanya tertawa dan berbagi ilmu seputar mesin, seputar keluarga, dan sedikit berbohong pada bapak satu ini tentang siapa yang gue begitu bela sampai menempuh jarak Bandung – Surabaya (huahaha). Di Tuban kami berpisah, anak istrinya menunggu di rumah, sementara sang calon masih tak tahu apa-apa haha-hihi di Surabaya.

Eh? Sudahkah gue bercerita tentang Rembang? Ini kota yang luar biasa apik, kawan. Di kanan ada dusun, di kiri ada apa? Tau? Laut. Laut yang begkitu hijau, begitu biru sampai dasarnya pun terlihat dari atas motor yang gue tunggang. Terpana, sampai hampir nabrak saking terpesona. Lupakan Ancol yang bayar 20 rebu sekali masuk. Disini nggak bayar, tapi indahnya seperti Ancol dilipat tigapuluh. Ingin berhenti, menghisap rokok di tengah pantai berpasir putih, siapa yang tidak tergoda? Tapi sayang, waktu berkata lain, mepet, dan tidak ingin membuang waktu banyak di jalan. Aspal pun terus digerus sampai keringat terakhir.

(telepon bunyi cuk!)

“Hani lagi dimana?”

“Mana ya.. nggak tau nih, lagi nyasar nyari Mesjid Akbar.”

“Hah? Hahahah.. serius ah, lagi dimana?”

“Beneran.. nggak percaya?”

“Nggak.. hahaha.. serius Hani.”

“Dih, nggak percaya… bentar, tanya mas-mas tukang rujak nih kalau nggak percaya.”

(Setengah tereak nanya orang)

“Mas, nanya dong, ini daerah mana ya?”

“Ketabang Ali mas!”

“Nah tuh.. percaya nggak?”

“HAH? SERIUS?!”

*duer*

Yah.. nasib nggak dipercaya pacar sendiri.. #toet

Surabaya masih sama, banyak motor, panas (bukan pengap), logat Njancuk’I terdengar di mana-mana, sesekali Madura berbicara. Rasis yang sama. Suasana yang sama. Gue pun berputar-putar mencari alamat dengan patokan tempat ibadat. Ketemu? Jelas. Gue memarkir motor di salah satu pelataran masjid terbesar Surabaya itu, dan duduk, menyalakan rokok tanda kemenangan. 750kilometer habis dilahap, tanpa masalah, tanpa hal yang mengganggu, hanya rasa girang yang kelewatan, ketagihan, dan secepatnya ingin mengulang. Nggak perlu ditanya, capek? Pasti, lelah? Apalagi, pegal? Alamak. Tapi tau nggak? Begitu ada cewek cakep naik Supra Fit dateng dan parkir di depan gue, dengan senyum manisnya yang sama dengan beberapa waktu lalu diberikan untuk gue. Rasanya capek gue rontok semua.

0 comment: