Skinpress Demo Rss

Paham, Tapi Lupa.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Monday, June 22, 2009

Posted at : 11:41 PM

This day is not a bad day, but neither a good day. Ngga ada yang berbeda dari hari sebelumnya kok, mengurung diri di kamar, kadang tiduran, kadang baca buku, kadang browsing, yeap. Nyaris pengangguran, UAS harusnya udah dimulai sekarang, namun belum ada kabar pasti yang bisa dipertanggungjawabkan kepastiannya soal jadwal, ha. Ngga ada pilihan lain kan selain duduk diam manis bak putri raja zaman medieval?

Entah berapa gelas teh yang gue minum hari ini, mungkin lima? Atau tujuh? Gue lupa, tangan gue bergerak tanpa sadar menuangkan air kedalam pemanas bolak-balik setiap kali gue ngerasa lemes. Yeaa, namanya juga pasca tipes, stamina disedot di usus sih. Yang pasti, udah ada orang yang berdecak kagum dengan konsumsi gula gue, ganti dengan gula jagung, katanya—atau gue akan sibuk ngabisin duit gue sendiri untuk beli insulin beberapa tahun lagi. Say, siapa yang tau? Mungkin gue udah pesta pora sama cacing tanah sebelum gue divonis diabetes kan? Tentunya, saran lo selalu gue denger kok, ngecek harga pasar dulu tapi, ihi.

Lihat kan? Ini gue nyeduh air lagi.

“Are you mad? Take a walk, dear. You’ll feel better.“

And i am. Bukan, gue ngga marah. Hanya sedikit gangguan pikiran yang negatif. Seseorang pernah memberitahu gue begitu, disaat pikiran kita ngga enak, berjalanlah, dan saat berikutnya kita akan merasa lebih baik. Don’t think about direction, just take a step forward, and said: “just walk in the park.”. Filosofisnya, dia berpendapat begini, biasanya setiap ada orang lagi jatuh, orang lain akan menyemangatinya dengan kata-kata demikian, ‘terus melangkah kedepan’. Dia memanifestasikan kata-kata itu secara literal, tanpa ada makna dibaliknya dan lakukanlah seperti yang kata-kata itu bilang: berjalan. Hehe, dia lucu, dan dia mengatakan bahwa hal itu benar-benar membantunya merasa lebih baik.

Ya, gue juga melakukannya sering kali. Disaat pikiran sedang suntuk, terlalu negatif untuk gue pikul sendiri tanpa ada orang lain yang bisa gue bagi, gue akan berjalan, tanpa arah, hanya berjalan (dengan tambahan embel-embel nikotin di tangan biasanya, ehe). Sangat berlaku dalam keadaan gue yang sekarang, mengurung diri di kamar, yap, untuk mempertahankan kewarasan disaat pikiran-pikiran negatif muncul, gue berjalan. Tanpa interaksi, tanpa sosialisasi, dengan mental yang sama sekali ngga siap, itu patologis, lihat matahari sekilas, ada dunia lain selain di ruangan kecil ini, maka kamu akan merasa lebih baik.

Yap, lo bener, gue merasa lebih baik. Mungkin apa yang gue pikir ngga akan berubah, hanya tenggelam sesaat kedalam kesadaran yang lebih bawah lagi. Tapi seenggaknya, gue akan punya waktu lebih untuk mengembalikan kondisi mental gue supaya lebih baik, lebih siap untuk menghadapi pikiran itu di lain waktu. Itu kan maksud lo? Yah, makanya gue cinta sama elo say.

Hmm? Hari ini cukup panas, bzt, wrong, panas banget malah. Gue rindu masa-masa awal kuliah, masa-masa awal gue mulai ngekos. Koreksi kalau salah, tapi waktu itu udara lagi dingin-dinginnya kan? Gila, gue ngga bisa ngelupain malem pertama gue. Malem pertama tidur di kosan maksudnya. Tidur di karpet supertipis, tanpa selimut, tanpa bantal—hanya pake sajadah yang dilipat supaya tebel, dan bam! Nyaris ngga bisa tidur karena kedinginan, beneran menggigil abis-abisan. Paginya, saat pertama kali mandi di kosan, JAH. Aer es.. sorenya gue langsung sakit. Belum ada galon air waktu itu, gue mengandalkan pemanas air yang gue beli untuk ngebuat air minum, hihi, penderitaan luar dalam pokoknya. Gue hidup dengan garis kesengsaraan begitu lebih dari sebulan sebelum akhirnya bala bantuan dateng—kasur, bantal, galon, etc. Sekarang gue malah bosen dengan fasilitas yang lebih dari cukup ini. Bukannya ngga bersyukur, kecenderungan untuk hidup susah? Bisa jadi.

Rindu masa lalu, sering terjadi, apalagi disaat kita nganggur, sedang stagnan. Bersyukurlah gue punya blog, dan seperti apa yang gue bilang, fungsi blog buat gue adalah sebagai memori, pensieve untuk menampung kejadian-kejadian yang kesemuanya ngga bisa gue masukan kedalam ingatan. Gue senyam-senyum bacanya, dulu juga pernah gue tulis, gue baru mempunyai (semacam) diari dari 5 tahun lalu aja udah suka ketawa baca tulisan sendiri, apalagi orang-orang yang punya diari dari SD? Dislokasi syaraf mungkin. Gue mulai nulis personal journal (semacam) diari dari 2005, atau tepatnya sekitar 3 SMP—dari masih berbentuk buku (yang naudzubillah jelek tulisannya), sampai berbentuk digital macem blog ini. Sayangnya yang berbentuk buku itu ILANG! Shit abis, saat pindahan dari rumah kontrakan ke rumah keluarga mungkin kebuang, entahlah, itu sangat gue sesalkan. Sisanya cuma beberapa lembar baru yang gue tulis di kertas binder, cuma 2 lembar. Huek. Nestapa.

“You may say take a step forward, dear. But, i’m sure that you don’t mind if i take a look to the past for a second.”

“Go on.”


Gue membaca entri-entri lama, dan bener, gue senyum sendiri. Mengenang apa yang memori tidak bisa kenang, itulah gunanya blog untuk gue pribadi. Walaupun kadang gue salah artikan sebagai media katarsis, yang mana itu cukup bodoh, mengingat blog itu bukan hanya gue pribadi yang baca, tapi orang lain juga. Sesuatu yang privasi memang sebaiknya tidak diumbar ke umum, tapi seringkali gue kebablasan, hidup tanpa katarsis itu setengah gila, dan hasilnya? Lihat aja sendiri. Banyak entri lama gue yang begitu parah menelanjangi diri sendiri habis-habisan, rasanya pengen diapus, tapi gue urungkan. Bagaimanapun, itu tetep gue. Tulisan gue.

Banyak hal yang mengganggu pikiran gue saat ini—kebanyakan asalnya dari orang lain, mana lagi? Heh. Tau sendiri, rasanya ingin mengkonversi fakta kedalam fiksi andaikata faktanya tidak seindah bayangan. Tentu, hidup tidak melulu diatas, roda pedati katanya, dan mungkin sekarang gue sedang berada di bawah. And there i found it. The answer of my ‘fact-oh-please-bacame-a-fict-i-beg-you’ thingy. Di salah satu entri terdahulu ternyata jawabannya, gue tulis dengan kedua tangan gue sendiri. Jawaban apa yang gue cari sekarang ada di masa lalu, gue pernah menuliskannya secara gamblang terang-terangan, gue mengakuinya, valid, nyata, sadar. Lihat? Betapa pensieve semacam blog begitu membantu seseorang dengan pikun akut macem gue dalam mengingat? Atau sebaliknya? Justru gue yang terlalu banyak mengeluarkan aturan? Terlalu perfeksionis sampai-sampai lupa dengan apa yang ia camkan pada dirinya sendiri saking banyaknya? Kompulsif katakanlah demikian.

Di salah satu entri pada bulan febuari 2009. disini.

Itu menjelaskan semuanya. Kenapa pada saat itu gue bisa menuliskannya tanpa beban? Samar gue ingat, gue menuliskan itu dengan enteng, asik, tanpa ada rasa sesal sama sekali. Dugaan gue. Gue belum tenggelam terlalu jauh kedalam kebutuhan adiktif yang gue sebut sebagai relasi disini. Pada saat itu, gue udah cukup sempurna sebagai makhluk yang individualis, tidak berarti gue ngga butuh orang lain, butuh, namun hanya pada taraf yang ringan. Terhitung sekitar lima bulan gue menyesuaikan diri sebagai seorang individualis, dalam Jurnal Volker Grassmuck tentang kaum asosial, gue memenuhi kriterianya. Dan jangan salah, pada awal penyesuaian diri itu (sekitar september – oktober 2008), yang merupakan masa individual dimulai, gue merasakan kekosongan yang luar biasa. Grassmuck mengatakan dalam Jurnalnya, bahwa sebelum seseorang memasuki tahap asosial, tahap dimana individu sudah tidak terlalu mementingkan individu lainnya dalam menjalani hidup, mereka akan merasa sangat membutuhkan orang lain dalam taraf tidak wajar.

Jadi, kenapa sekarang sebuah hal yang sudah gue tau sebelumnya, sudah gue manualkan dengan sempurna sebelumnya, dan bahkan udah gue buat post khusus tentang hal itu bisa mengganggu gue? Hanya karena disampaikan orang lain? Atau gue udah terlalu sosial sampai-sampai ngga ada satu pun perkataan orang lain yang ngga gue peduliin? Siapa tahu.

Yang pasti, semua hal ngga akan ada artinya tanpa ada hal konkrit yang bisa dipertanggungjawabkan, tanpa bukti autentik, itu semua hanya omong kosong.

Iya, gue skeptis.

0 comment: