Prinsip dan Kebebasan (gabung ajalah).
Filed Under (For Remember ) by Pitiful Kuro on Wednesday, June 17, 2009
Posted at : 7:07 PM
Gue punya prinsip, dan gue kira kebanyakan orang yang masih bernyawa juga punya sesuatu yang dijadikan pegangan untuk berpijak yang biasa dinamakan prinsip. Bon, yang namanya prinsip itu sifatnya tersembunyi, hanya diketahui sama sang pemilik dan orang-orang yang pernah mendengar langsung konsep prinsip yang dijabarkan oleh si pemilik prinsip. Jadi, andaikan kita ngga mendengar langsung dari orangnya, menurut gue sih, kita ngga akan tau prinsip apa yang dipakai sama orang tersebut.
Prinsip, ideologi, cara berpikir or something hell similiar with it, sebut sajalah sesuka anda, bagi gue masih satu bunyi. Dari sekian banyak prinsip yang gue tanya atau gue denger dari orangnya langsung, tentulah beraneka ragam, karena jelas keluar dari kepala dan mental yang berbeda, lingkungan yang macem-macem pun juga turut ambil bagian dalam pembentukan prinsip ini. Ada beberapa prinsip yang menurut gue sangat menarik dari beberapa orang. Tentu, gue ngga paham secara total prinsip yang mereka jabarkan ke gue secara singkat, mereka sendiri yang paham, dengan tingkat daya tangkep gue yang lebih rendah dari kecebong (sodara guee?), apa sih yang bisa gue tangkep?
“Mata bayar mata, darah bales darah, mereka bilang anjing, maka gue juga bilang anjing!” –agak dilebay-in,-red.
Simpel, gue ngga bilang ini prinsip dari seorang pendendam yang ga bisa tidur sebelum membalas perlakuan orang lain ke dia. Nope. Ini prinsip paling fair yang pernah gue denger dari seseorang. Happy go round, tapi begitu ada hal yang bikin kita ngga enak karena perbuatan orang lain, jangan harap itu orang bisa tidur nyenyak sebelum kita bisa bales perbuatannya. Yeah, gue suka prinsip ini, dasarnya gue pendendam sih, Freud gue ludahin mentah-mentah, gue hidup bukan untuk mereduksi ketegangan, all hail Adler, gue hidup untuk mencari ketegangan setinggi-tingginnya, sayang. Yang merasa punya prinsip ini, gue sama sekali ngga menganggap prinsip ini remeh, gue suka, banget.
“Kenapa? Ada masalah? Lo mau akrobat didepan gue juga gue ngga akan peduli, you have your own way, and i have mine.”
Gue juga ngga bisa menilai kalau prinsip ini adalah prinsip yang keluar dari lidah seorang toleran tingkat akut. Gue mengenalnya sebagai pribadi yang asoy enjoy your life with geboy style *halah*. Gampang aja, semua hal jangan dibawa susah, semua ada jalannya, men. Untuk hubungan dengan orang lain, pandangan orang yang melihat prinsip ini hanya berbuah dua jalan, melihat si pemilik prinsip adalah seorang ignorance kelewat masa bodo dengan lingkungan—terutama sama hal yang dia ngga suka, atau, melihat dia sebagai pribadi yang sangat toleran dan memberikan kebebasan pada orang lain untuk berbuat seenak jidatnya (bukan del, gue ngga ngejek elo). Gue ngga tau yang mana, seperti yang gue bilang tadi, gue hanya seseorang dengan daya serap setara simpanse, jangan berharap gue bisa menjabarkan prinsip rumit yang hanya bisa dipahami empunya deh.
Gue agak susah menerima prinsip yang ini, relatif sih, kalau orang-orang yang gue akui (dalam tanda kutip) melakukan hal yang ngga berkenan di kepala, gue pasti akan kepikiran. Tapi gue setuju andaikan prinsip ini gue pake untuk menanggapi orang-orang yang statusnya hanya lewat doang di hidup gue, silakan, anda mau jumpalitan juga gue ngga akan peduli. Matipun gue mungkin hanya akan bilang “oh”, disusul dengan penghormatan dengan gaya gue sendiri, and done, nothing personal tho. Kejam ya?
“Mudah aja kok, apa yang orang lain lakukan ke gue, gue akan melakukan hal yang sama ke dia.”
Sekali lagi, dalam sudut pandang gue yang terbatas, orang ini menekankan hubungan berintinkan fungsi. Apa sih namanya? Law of attraction kalo ngga salah, orang yang menginginkan hubungan dua arah dengan lawan mainnya. Ngga akan pernah mau maju duluan untuk memulai sebuah hubungan, kecuali mungkin orang tertentu punya daya tarik yang membuat dia sangat ingin membangun hubungan. Akan baik ke orang kalau orang itu baik ke dia, tapi bakalan masa bodo dengan orang yang ngga ada feel dengan si pemilik prinsip. “It’s alright if you want to know me, but it’s ok if you wanna leave, like i care”. Gampangnya begitu, mungkin. Pragmatis, andaikan ngga ada untungnya berhubungan dengan seseorang, mungkin dia ngga akan minat bahkan untuk mengobrol basa-basi. Tipe sadis.
Menarik?
Itu tiga dari sekian banyak yang seenggaknya dapat gue pahami sedikit. Yang lainnya gue ngga berani jabarkan karena minimnya informasi—dan sekali lagi (boleh kan?), daya tangkep gue ter-ba-tas. Untuk prinsip gue? Hadah, kaya yang gue bilang di awal post ini, sebuah prinsip paling dimengerti sama yang punya. Dan apa jadinya kalau gue jabarkan sendiri prinsip gue? Oh no, ngga akan selesai walaupun tangan gue udah kram ngetik, sebaiknya jangan, kan? Lagipula menjabarkan prinsip sendiri panjang lebar apa menariknya buat orang lain? Yang ada malah jadi males baca.
**
Kita tinggal di negara demokrasi, rite? (atau ‘katanya’ demokrasi, manapun lah). Jadi pastilah ada satu ganjalan di kepala andaikan satu kata yang kita sebut dengan kebebasan ini agak dihalangi. Tidak secara langsung, mungkin? Menghalangi dengan memberikan teror-teror implisit juga cukup mengganggu kok.
Awalnya gue ngga terlalu perhatian dengan apa yang Ussi tulis di blognya mengenai satu hal. Blognya yang sekarang (nyaris) dibaca orang-orang satu fakultas (whoa, tenar amat). Apa rasanya saat apa yang lo tulis dibaca banyak orang dengan berbagai pikiran, berbagai sudut pandang? Gue pribadi ngeri. Ussi sendiri merasa kebebasannya dalam menulisnya diambil, temen-temennya bahkan melarang dia untuk tidak membahas hal-hal tertentu yang sensitif—menurut mereka. Secara umum malah, tulisannya pernah mengundang konflik dengan panitia Ospeknya, huah.
Ussi sendiri mah adalah orang dengan tingkat cuek yang melebihi Panda, selama jarinya bergerak, itulah yang akan dia posting, ngga kebayang orang dengan tipe macam itu dilarang-larang. Gue bilang tadi, awalnya masa bodo, tapi kalau itu juga gue alami gimana?
Kebebasan menulis gue diambil, gue yang biasa menulis dengan bahasa yang berlebihan, sensitif, drama king, menelanjangi diri habis-habisan diatas media bernamakan blog ini gimana? (liat satu kalimat dibelakang, drama king ngga?). Memang secara ngga langsung, tapi mengerikan, sangat, saat apa yang lo tulis dengan tingkat privasi diatas rata-rata dibaca oleh orang-orang yang kita temui di aktivitas keseharian kita, itu nyaris mimpi buruk. Gue ngga mengatakan bahwa kebebasan gue diambil secara terang-terangan, ada yang melarang gue menulis? Ngga. Tapi satu hal, gue hanya ngeri. Mungkin seperti yang Sigi bilang, “lo kenal gue lewat Blog, Raine Beau, gue ngga ngebayangin apa jadinya saat lo bertemu langsung dengan gue sebagai Tiyana Sigi.” (kurang lebih,-red).
Apa jadinya kalau orang-orang tau gue dari dua sisi? Gue sebagai apa yang gue sebut disini ‘Pitiful Weakling’, dikenal lewat blog, lewat NW. Dan orang-orang juga mengenal gue sebagai ‘Cubung Hanito’ sebagai apa gue sebenernya di dunia nyata. Gue ngga bisa paham dengan perkataan dia waktu itu, tanggapan gue hanya “lalu kenapa?”. Dan sekarang, gue merasakan ngerinya.
Alternatif A, gue mereduksi isi postingan sebatas garis aman yang gue tentukan. Tidak ada konflik, tidak ada pertanggungjawaban akan apa yang gue tulis, tidak perlu merasa ngeri dengan tulisan sendiri (itu konyol). Imbasnya? Ada yang tertahan di kepala, dan itu ngga baik buat orang macem gue.
Alternatif B, mencari tempat lain untuk menuangkan hal-hal yang bersifat sensitif, tempat gue secara halal mendramatisasi permasalahan dengan bahasa yang dilebih-lebihkan, oh ya, gue penjahat bahasa emang. Mungkin blog baru, mungkin tulisan yang bersifat offline yang gue simpen di harddisk gue semata, mungkin tulisan tangan yang gue simpan dibawah bantal (hil yang mustahal! Tulisan gue jelekk!).
Gue pilih B. So?
Bye drama king.
Prinsip, ideologi, cara berpikir or something hell similiar with it, sebut sajalah sesuka anda, bagi gue masih satu bunyi. Dari sekian banyak prinsip yang gue tanya atau gue denger dari orangnya langsung, tentulah beraneka ragam, karena jelas keluar dari kepala dan mental yang berbeda, lingkungan yang macem-macem pun juga turut ambil bagian dalam pembentukan prinsip ini. Ada beberapa prinsip yang menurut gue sangat menarik dari beberapa orang. Tentu, gue ngga paham secara total prinsip yang mereka jabarkan ke gue secara singkat, mereka sendiri yang paham, dengan tingkat daya tangkep gue yang lebih rendah dari kecebong (sodara guee?), apa sih yang bisa gue tangkep?
“Mata bayar mata, darah bales darah, mereka bilang anjing, maka gue juga bilang anjing!” –agak dilebay-in,-red.
Simpel, gue ngga bilang ini prinsip dari seorang pendendam yang ga bisa tidur sebelum membalas perlakuan orang lain ke dia. Nope. Ini prinsip paling fair yang pernah gue denger dari seseorang. Happy go round, tapi begitu ada hal yang bikin kita ngga enak karena perbuatan orang lain, jangan harap itu orang bisa tidur nyenyak sebelum kita bisa bales perbuatannya. Yeah, gue suka prinsip ini, dasarnya gue pendendam sih, Freud gue ludahin mentah-mentah, gue hidup bukan untuk mereduksi ketegangan, all hail Adler, gue hidup untuk mencari ketegangan setinggi-tingginnya, sayang. Yang merasa punya prinsip ini, gue sama sekali ngga menganggap prinsip ini remeh, gue suka, banget.
“Kenapa? Ada masalah? Lo mau akrobat didepan gue juga gue ngga akan peduli, you have your own way, and i have mine.”
Gue juga ngga bisa menilai kalau prinsip ini adalah prinsip yang keluar dari lidah seorang toleran tingkat akut. Gue mengenalnya sebagai pribadi yang asoy enjoy your life with geboy style *halah*. Gampang aja, semua hal jangan dibawa susah, semua ada jalannya, men. Untuk hubungan dengan orang lain, pandangan orang yang melihat prinsip ini hanya berbuah dua jalan, melihat si pemilik prinsip adalah seorang ignorance kelewat masa bodo dengan lingkungan—terutama sama hal yang dia ngga suka, atau, melihat dia sebagai pribadi yang sangat toleran dan memberikan kebebasan pada orang lain untuk berbuat seenak jidatnya (bukan del, gue ngga ngejek elo). Gue ngga tau yang mana, seperti yang gue bilang tadi, gue hanya seseorang dengan daya serap setara simpanse, jangan berharap gue bisa menjabarkan prinsip rumit yang hanya bisa dipahami empunya deh.
Gue agak susah menerima prinsip yang ini, relatif sih, kalau orang-orang yang gue akui (dalam tanda kutip) melakukan hal yang ngga berkenan di kepala, gue pasti akan kepikiran. Tapi gue setuju andaikan prinsip ini gue pake untuk menanggapi orang-orang yang statusnya hanya lewat doang di hidup gue, silakan, anda mau jumpalitan juga gue ngga akan peduli. Matipun gue mungkin hanya akan bilang “oh”, disusul dengan penghormatan dengan gaya gue sendiri, and done, nothing personal tho. Kejam ya?
“Mudah aja kok, apa yang orang lain lakukan ke gue, gue akan melakukan hal yang sama ke dia.”
Sekali lagi, dalam sudut pandang gue yang terbatas, orang ini menekankan hubungan berintinkan fungsi. Apa sih namanya? Law of attraction kalo ngga salah, orang yang menginginkan hubungan dua arah dengan lawan mainnya. Ngga akan pernah mau maju duluan untuk memulai sebuah hubungan, kecuali mungkin orang tertentu punya daya tarik yang membuat dia sangat ingin membangun hubungan. Akan baik ke orang kalau orang itu baik ke dia, tapi bakalan masa bodo dengan orang yang ngga ada feel dengan si pemilik prinsip. “It’s alright if you want to know me, but it’s ok if you wanna leave, like i care”. Gampangnya begitu, mungkin. Pragmatis, andaikan ngga ada untungnya berhubungan dengan seseorang, mungkin dia ngga akan minat bahkan untuk mengobrol basa-basi. Tipe sadis.
Menarik?
Itu tiga dari sekian banyak yang seenggaknya dapat gue pahami sedikit. Yang lainnya gue ngga berani jabarkan karena minimnya informasi—dan sekali lagi (boleh kan?), daya tangkep gue ter-ba-tas. Untuk prinsip gue? Hadah, kaya yang gue bilang di awal post ini, sebuah prinsip paling dimengerti sama yang punya. Dan apa jadinya kalau gue jabarkan sendiri prinsip gue? Oh no, ngga akan selesai walaupun tangan gue udah kram ngetik, sebaiknya jangan, kan? Lagipula menjabarkan prinsip sendiri panjang lebar apa menariknya buat orang lain? Yang ada malah jadi males baca.
**
Kita tinggal di negara demokrasi, rite? (atau ‘katanya’ demokrasi, manapun lah). Jadi pastilah ada satu ganjalan di kepala andaikan satu kata yang kita sebut dengan kebebasan ini agak dihalangi. Tidak secara langsung, mungkin? Menghalangi dengan memberikan teror-teror implisit juga cukup mengganggu kok.
Awalnya gue ngga terlalu perhatian dengan apa yang Ussi tulis di blognya mengenai satu hal. Blognya yang sekarang (nyaris) dibaca orang-orang satu fakultas (whoa, tenar amat). Apa rasanya saat apa yang lo tulis dibaca banyak orang dengan berbagai pikiran, berbagai sudut pandang? Gue pribadi ngeri. Ussi sendiri merasa kebebasannya dalam menulisnya diambil, temen-temennya bahkan melarang dia untuk tidak membahas hal-hal tertentu yang sensitif—menurut mereka. Secara umum malah, tulisannya pernah mengundang konflik dengan panitia Ospeknya, huah.
Ussi sendiri mah adalah orang dengan tingkat cuek yang melebihi Panda, selama jarinya bergerak, itulah yang akan dia posting, ngga kebayang orang dengan tipe macam itu dilarang-larang. Gue bilang tadi, awalnya masa bodo, tapi kalau itu juga gue alami gimana?
Kebebasan menulis gue diambil, gue yang biasa menulis dengan bahasa yang berlebihan, sensitif, drama king, menelanjangi diri habis-habisan diatas media bernamakan blog ini gimana? (liat satu kalimat dibelakang, drama king ngga?). Memang secara ngga langsung, tapi mengerikan, sangat, saat apa yang lo tulis dengan tingkat privasi diatas rata-rata dibaca oleh orang-orang yang kita temui di aktivitas keseharian kita, itu nyaris mimpi buruk. Gue ngga mengatakan bahwa kebebasan gue diambil secara terang-terangan, ada yang melarang gue menulis? Ngga. Tapi satu hal, gue hanya ngeri. Mungkin seperti yang Sigi bilang, “lo kenal gue lewat Blog, Raine Beau, gue ngga ngebayangin apa jadinya saat lo bertemu langsung dengan gue sebagai Tiyana Sigi.” (kurang lebih,-red).
Apa jadinya kalau orang-orang tau gue dari dua sisi? Gue sebagai apa yang gue sebut disini ‘Pitiful Weakling’, dikenal lewat blog, lewat NW. Dan orang-orang juga mengenal gue sebagai ‘Cubung Hanito’ sebagai apa gue sebenernya di dunia nyata. Gue ngga bisa paham dengan perkataan dia waktu itu, tanggapan gue hanya “lalu kenapa?”. Dan sekarang, gue merasakan ngerinya.
Alternatif A, gue mereduksi isi postingan sebatas garis aman yang gue tentukan. Tidak ada konflik, tidak ada pertanggungjawaban akan apa yang gue tulis, tidak perlu merasa ngeri dengan tulisan sendiri (itu konyol). Imbasnya? Ada yang tertahan di kepala, dan itu ngga baik buat orang macem gue.
Alternatif B, mencari tempat lain untuk menuangkan hal-hal yang bersifat sensitif, tempat gue secara halal mendramatisasi permasalahan dengan bahasa yang dilebih-lebihkan, oh ya, gue penjahat bahasa emang. Mungkin blog baru, mungkin tulisan yang bersifat offline yang gue simpen di harddisk gue semata, mungkin tulisan tangan yang gue simpan dibawah bantal (hil yang mustahal! Tulisan gue jelekk!).
Gue pilih B. So?
Bye drama king.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment