Tidak Bermaksud Lebay :))
Filed Under (For Remember,Que ) by Pitiful Kuro on Monday, June 01, 2009
Posted at : 8:14 PM
Jumat kemarin akhirnya hutang gue lunas. Hutang gue sebagai PM dari Anjiro Fuma kepada Pradit, PM dari The Morcerf. Fuma mempunyai plot dengan Kristobal, bahkan katanya jadi orang terdekatnya (aw, makasi prad). Namun gue tanpa pikir-pikir malah meninggalkan chara sendiri terbengkalai, dan bahkan term berikutnya, diapus. Nyah. Pertanggung jawaban dalam bentuk fanfic itu sudah lama gue buat, bahkan sebelum Fuma sendiri gue delete—dan bahkan saat gue sendiri masih aktif (= =a). Banyak kendala yang menghalangi gue menyelesaikan fanfic itu, dan maaf, bukan males alasannya. Mentok, tidak ada ide, minim konsep dan sangat ngaco. Sementara ‘lawan main’ gue adalah Praditta Pursadin, Don Juan, orang mengerikan yang setiap gue membaca tulisannya selalu membuat gue merinding tanggo. Dengan dia yang hebat seperti itu, gue merasa kerdil, tulisan gue kerdil, gue merasa fanfic itu tidak pantas sampai ke tangannya.
Entah kenapa, hari Jumat itu gue semangat, padahal kalau dari kondisi fisik, gue sangat kepayahan waktu itu. Kepala pusing parah, badan panas, muka ikut merah saking panasnya, namun gue membuka folder berjudul IH, mengklik dokumen word berjudul ‘fanfic’. Entahlah, yang pasti ide mengalir lancar, walau gue tidak yakin ide-ide itu berhasil dimanifestasikan kedalam tulisan yang berkualitas. Pada saat selesai pun demikian, gue ragu memberikan dokumen word dengan besar 3000 kata itu. Tapi toh gue sudah menyelesaikannya, gue udah berusaha, dan sekecil apapun tulisan gue terlihat, itu tetap tulisan gue dan harus gue hargai. Kira-kira jam satu malam, fanfic itu sampai ke tangannya.
Oh well, memang gue membuat fanfic itu khusus untuk Pradit seorang, maka gue memberikan otoritas penuh kepada Pradit, terserah fanfic itu mau diapain. Tapi, siapa yang sangka kalau fanfic semacam itu di post? Aww, gue ngga mau tau kelanjutannya. Untuk Pradit, gue berucap banyak terima kasih karena pernah menyempatkan diri menjadi partner RP gue, walau kayanya sekarang pun plotnya udah dibelokkan ya? Yah, apapun lah, makasih :D.
**
Dunia seperti itulah yang gue tinggalkan, dengan segala keterkungkungannya dengan dunia luar, NW memberikan banyak hal selain tatap muka. Dua orang bisa bertukar pikiran habis-habisan sampai urat mau putus, padahal gue ngga mengenal dia, dan dia pun ngga mengenal gue. Pembahasan dengan taraf horor sering terjadi, saling serang? Apalagi. Menyindir satu sama lain akan keluhan yang dijabarkan, merendahkan dengan bahasa halus dengan tujuan mengingatkan, gue suka itu semua. Gue ngga meninggalkan dunia itu secara total, namun gue juga ngga bisa membagi dua dunia itu sama rata, ilmu gue terlalu cetek. Maka gue harus pilih salah satu, dan gue pilih RW untuk saat ini.
Bagaimana perkembangan RW yang gue pilih? Entahlah, di entri sebelum-sebelum ini gue sudah menyebutkan berbagai sisi positifnya, sering kumpul sama manusia lain, udah ngga segrogi dulu ngomong sama cewe, dan oh ya! Gue udah bisa senyum dikit-dikit. Bahkan ada orang-orang tertentu yang bisa dikatakan udah bisa gue bagi cerita beberapa hal, untuk semuanya, belum. Tapi entah orang-orang itu memandang gue seperti apa, neurotik? Pesakitan? Ha, lucu.
Katanya, kalau gue ada masalah, gue bisa cerita dan ada banyak yang siap dan mau denger, jangan dipendem sendirian, nah nyatanya? Emm, punya kaca? Ngaca gih.. apakah hal yang diberitahukan ke gue—bahwa banyak orang yang siap dan mau denger itu berlaku juga? Bukannya malah susah ya ngajarin orang berenang, padahal sendirinya ngga bisa berenang?
Lalu? Mau protes? Hubungi gue dengan media biasa, ha-ha.
**
Beberapa hari lalu gue sempet berpikir, “is this worth?”. Apakah ini sepadan dengan NW yang gue korbankan? Dengan keadaan fisik kritis beberapa hari lalu, dan didukung dengan lingkungan yang makin sibuk, gue menanyakan hal itu ke diri gue sendiri. Gue mengandai, apakah yang gue lakukan sekarang kalau gue ngga off dari NW. Mungkin gue sedang ngerepp, mungkin gue sibuk ngepost di berbagai forum, mungkin gue sedang brainstorming dengan beberapa orang, mungkin. Tapi gue rasa itu konyol, kalau ditanya, apakah gue menyesal? Gue jawab, engga.
Mungkin kalian menganggap gue ngga berusaha, is that so? Kalau begitu, sah saja toh kalau gue menganggap usaha kalian ngga kerasa? No offense o, my bloody comrade, gue sadar dengan apa yang gue tulis satu paragraf kebelakang walau kepala gue ngawang sekarang. Gue hanya merasa begitu. Lalu? Dari sudut gue, mungkin usaha gue harus ditambah, gue yang hanya bisa bicara di kelompok-dua-orang mungkin harus bisa terbiasa dengan kelompok-tiga-orang, empat-orang, lima, dan pada akhirnya mungkin sembilan. Ah, siapa yang tau? Tanyalah pada oreo yang menganggur.
Entah kenapa, hari Jumat itu gue semangat, padahal kalau dari kondisi fisik, gue sangat kepayahan waktu itu. Kepala pusing parah, badan panas, muka ikut merah saking panasnya, namun gue membuka folder berjudul IH, mengklik dokumen word berjudul ‘fanfic’. Entahlah, yang pasti ide mengalir lancar, walau gue tidak yakin ide-ide itu berhasil dimanifestasikan kedalam tulisan yang berkualitas. Pada saat selesai pun demikian, gue ragu memberikan dokumen word dengan besar 3000 kata itu. Tapi toh gue sudah menyelesaikannya, gue udah berusaha, dan sekecil apapun tulisan gue terlihat, itu tetap tulisan gue dan harus gue hargai. Kira-kira jam satu malam, fanfic itu sampai ke tangannya.
Oh well, memang gue membuat fanfic itu khusus untuk Pradit seorang, maka gue memberikan otoritas penuh kepada Pradit, terserah fanfic itu mau diapain. Tapi, siapa yang sangka kalau fanfic semacam itu di post? Aww, gue ngga mau tau kelanjutannya. Untuk Pradit, gue berucap banyak terima kasih karena pernah menyempatkan diri menjadi partner RP gue, walau kayanya sekarang pun plotnya udah dibelokkan ya? Yah, apapun lah, makasih :D.
**
Dunia seperti itulah yang gue tinggalkan, dengan segala keterkungkungannya dengan dunia luar, NW memberikan banyak hal selain tatap muka. Dua orang bisa bertukar pikiran habis-habisan sampai urat mau putus, padahal gue ngga mengenal dia, dan dia pun ngga mengenal gue. Pembahasan dengan taraf horor sering terjadi, saling serang? Apalagi. Menyindir satu sama lain akan keluhan yang dijabarkan, merendahkan dengan bahasa halus dengan tujuan mengingatkan, gue suka itu semua. Gue ngga meninggalkan dunia itu secara total, namun gue juga ngga bisa membagi dua dunia itu sama rata, ilmu gue terlalu cetek. Maka gue harus pilih salah satu, dan gue pilih RW untuk saat ini.
Bagaimana perkembangan RW yang gue pilih? Entahlah, di entri sebelum-sebelum ini gue sudah menyebutkan berbagai sisi positifnya, sering kumpul sama manusia lain, udah ngga segrogi dulu ngomong sama cewe, dan oh ya! Gue udah bisa senyum dikit-dikit. Bahkan ada orang-orang tertentu yang bisa dikatakan udah bisa gue bagi cerita beberapa hal, untuk semuanya, belum. Tapi entah orang-orang itu memandang gue seperti apa, neurotik? Pesakitan? Ha, lucu.
Katanya, kalau gue ada masalah, gue bisa cerita dan ada banyak yang siap dan mau denger, jangan dipendem sendirian, nah nyatanya? Emm, punya kaca? Ngaca gih.. apakah hal yang diberitahukan ke gue—bahwa banyak orang yang siap dan mau denger itu berlaku juga? Bukannya malah susah ya ngajarin orang berenang, padahal sendirinya ngga bisa berenang?
Lalu? Mau protes? Hubungi gue dengan media biasa, ha-ha.
**
Beberapa hari lalu gue sempet berpikir, “is this worth?”. Apakah ini sepadan dengan NW yang gue korbankan? Dengan keadaan fisik kritis beberapa hari lalu, dan didukung dengan lingkungan yang makin sibuk, gue menanyakan hal itu ke diri gue sendiri. Gue mengandai, apakah yang gue lakukan sekarang kalau gue ngga off dari NW. Mungkin gue sedang ngerepp, mungkin gue sibuk ngepost di berbagai forum, mungkin gue sedang brainstorming dengan beberapa orang, mungkin. Tapi gue rasa itu konyol, kalau ditanya, apakah gue menyesal? Gue jawab, engga.
Mungkin kalian menganggap gue ngga berusaha, is that so? Kalau begitu, sah saja toh kalau gue menganggap usaha kalian ngga kerasa? No offense o, my bloody comrade, gue sadar dengan apa yang gue tulis satu paragraf kebelakang walau kepala gue ngawang sekarang. Gue hanya merasa begitu. Lalu? Dari sudut gue, mungkin usaha gue harus ditambah, gue yang hanya bisa bicara di kelompok-dua-orang mungkin harus bisa terbiasa dengan kelompok-tiga-orang, empat-orang, lima, dan pada akhirnya mungkin sembilan. Ah, siapa yang tau? Tanyalah pada oreo yang menganggur.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment