Pagi, lagi.
Pasti, pagi akan datang lagi setiap hari. Sebuah siklus yang engga akan bisa diubah oleh siapapun. Dan yang menjadi pertanyaannya, kenapa? Kenapa pagi harus datang lagi setelah malam yang begitu cantik menyelimuti badan ini dengan pesonanya yang terlalu irrasional? Gue benci pagi. Sangat benci. Satu tambahan untuk mengisi daftar panjang minus hal-hal yang membuat gue harus memalingkan muka ke kasur, dan berharap besar bahwa sang Kuasa mau berbaik hati mengembalikan waktu ini menjadi malam.
Nightmare. Mimpi buruk.
Mimpi yang tidak bagus, mimpi yang tidak menyenangkan. Itu terjadi pada malam hari, tapi sayang, efeknya akan terasa di pagi hari, itu poin tambahan yang bagus untuk mengatakan “Gue sangat benci pada pagi.” Mimpi, mimpi, kenapa gue harus mengalami yang namanya mimpi buruk? Yah, gue engga pernah punya pengalaman yang bagus soal mimpi. Setiap tidur, gue hanya diberi dua pilihan, tidak bermimpi, atau bermimpi buruk. Karena sejauh yang gue ingat—dan memang sulit untuk mengeluarkan kembali informasi tentang mimpi, gue engga pernah mimpi yang bagus. sweet.
Sekarang, disaat gue mengetik tulisan ini, masih terbayang dengan cukup jelas beberapa scene krusial yang hadir di mimpi buruk gue semalam. Tidak bisa diceritakan secara detail karena itu hanya akan menjatuhkan gue sendiri. Unconcious drive kalau kata Freud, mimpi adalah hasil interpretasi dari apa yang kita pikirkan di alam bawah sadar kita, yang kita tidak ketahui, namun kian hari, kian membesar dengan mengerikan. No wonder, alasan utama kenapa gue selalu bermimpi yang serba hitam, jelek, ada kematian, seram dan ngga mutu—kalau dalam alam sadar gue udah berpikiran selalu negatif, takut berlebihan yang tidak eksis, penuh kekhawatiran yang engga perlu.. Nah.. alam bawah sadar gue mau kaya apa?
Bukan salah gue mutlak. Siapa sih yang suka mimpi buruk? Siapa juga sih yang senang hidupnya selalu dipenuhi pikiran-pikiran yang ia buat sendiri, namun malah membuatnya ketakutan setengah mati. Senang? Enak? Sialan.
Banyak yang bilang hidup itu soal pilihan. Silahkan. Tapi gue engga pernah melihat pilihan ganda dalam hidup gue. Ada pilihan, namun jawabannya pasti, tentunya itu bukan pilihan. Engga pernah punya kesempatan untuk memilih, dan lagipula, gue takut untuk memilih, tidak untuk kesekian kalinya gue membuat orang lain pusing dengan pilihan yang gue ambil berdasarkan olah pikiran yang gue sendiri lakukan. Please, tolong, ingat. Gue yang sekarang, dengan embel-embel tulisan negatif yang terstempel mulus rapih di sekujur tubuh gue ini bukan hanya bentukan pribadi dari gue seorang, ada kalian, ada lingkungan yang mempengaruhi itu semua. Sampai vena gue pecahpun andaikan gue ingin melawan, itu percuma—terutama, itu bukan keinginan gue sendiri.
“Sesetan-setannya elo bung, lo masih manusia, itu wajar.”
Terima kasih.
Gue dicap overskeptis. Harusnya gue ngga peduli, harusnya gue meludahi matahari hitam tersebut dan berjalan berbalik badan tanpa menengok kembali ke belakang. Gue menafikkan prinsip yang susah payah gue bangun, cih. Capek.
Oh ya. Bayangan mimpi sialan itu balik lagi.
Kombinasi, paket percampuran antara beberapa hal yang paling gue takutin saat ini di kemas dalam mimpi yang kabur. Tidak jelas, namun membuat gue yang baru bangun tidur ini membelalakkan mata dan menyadari ada air tidak perlu yang terbuang. Gue hanya berharap, membungkuk sedalam-dalamnya, agar mimpi yang gue alami semalam bukanlah gambaran buram tentang masa depan, tapi berakhir di kepala gue, tumbuh di alam bawah sadar, dan tak akan pernah gue izinkan keluar mengecap sinar bulan yang sakral bagi gue.
Masih sama seperti dulu, gue takut untuk terbiasa sendirian.
Pasti, pagi akan datang lagi setiap hari. Sebuah siklus yang engga akan bisa diubah oleh siapapun. Dan yang menjadi pertanyaannya, kenapa? Kenapa pagi harus datang lagi setelah malam yang begitu cantik menyelimuti badan ini dengan pesonanya yang terlalu irrasional? Gue benci pagi. Sangat benci. Satu tambahan untuk mengisi daftar panjang minus hal-hal yang membuat gue harus memalingkan muka ke kasur, dan berharap besar bahwa sang Kuasa mau berbaik hati mengembalikan waktu ini menjadi malam.
Nightmare. Mimpi buruk.
Mimpi yang tidak bagus, mimpi yang tidak menyenangkan. Itu terjadi pada malam hari, tapi sayang, efeknya akan terasa di pagi hari, itu poin tambahan yang bagus untuk mengatakan “Gue sangat benci pada pagi.” Mimpi, mimpi, kenapa gue harus mengalami yang namanya mimpi buruk? Yah, gue engga pernah punya pengalaman yang bagus soal mimpi. Setiap tidur, gue hanya diberi dua pilihan, tidak bermimpi, atau bermimpi buruk. Karena sejauh yang gue ingat—dan memang sulit untuk mengeluarkan kembali informasi tentang mimpi, gue engga pernah mimpi yang bagus. sweet.
Sekarang, disaat gue mengetik tulisan ini, masih terbayang dengan cukup jelas beberapa scene krusial yang hadir di mimpi buruk gue semalam. Tidak bisa diceritakan secara detail karena itu hanya akan menjatuhkan gue sendiri. Unconcious drive kalau kata Freud, mimpi adalah hasil interpretasi dari apa yang kita pikirkan di alam bawah sadar kita, yang kita tidak ketahui, namun kian hari, kian membesar dengan mengerikan. No wonder, alasan utama kenapa gue selalu bermimpi yang serba hitam, jelek, ada kematian, seram dan ngga mutu—kalau dalam alam sadar gue udah berpikiran selalu negatif, takut berlebihan yang tidak eksis, penuh kekhawatiran yang engga perlu.. Nah.. alam bawah sadar gue mau kaya apa?
Bukan salah gue mutlak. Siapa sih yang suka mimpi buruk? Siapa juga sih yang senang hidupnya selalu dipenuhi pikiran-pikiran yang ia buat sendiri, namun malah membuatnya ketakutan setengah mati. Senang? Enak? Sialan.
Banyak yang bilang hidup itu soal pilihan. Silahkan. Tapi gue engga pernah melihat pilihan ganda dalam hidup gue. Ada pilihan, namun jawabannya pasti, tentunya itu bukan pilihan. Engga pernah punya kesempatan untuk memilih, dan lagipula, gue takut untuk memilih, tidak untuk kesekian kalinya gue membuat orang lain pusing dengan pilihan yang gue ambil berdasarkan olah pikiran yang gue sendiri lakukan. Please, tolong, ingat. Gue yang sekarang, dengan embel-embel tulisan negatif yang terstempel mulus rapih di sekujur tubuh gue ini bukan hanya bentukan pribadi dari gue seorang, ada kalian, ada lingkungan yang mempengaruhi itu semua. Sampai vena gue pecahpun andaikan gue ingin melawan, itu percuma—terutama, itu bukan keinginan gue sendiri.
“Sesetan-setannya elo bung, lo masih manusia, itu wajar.”
Terima kasih.
Gue dicap overskeptis. Harusnya gue ngga peduli, harusnya gue meludahi matahari hitam tersebut dan berjalan berbalik badan tanpa menengok kembali ke belakang. Gue menafikkan prinsip yang susah payah gue bangun, cih. Capek.
Oh ya. Bayangan mimpi sialan itu balik lagi.
Kombinasi, paket percampuran antara beberapa hal yang paling gue takutin saat ini di kemas dalam mimpi yang kabur. Tidak jelas, namun membuat gue yang baru bangun tidur ini membelalakkan mata dan menyadari ada air tidak perlu yang terbuang. Gue hanya berharap, membungkuk sedalam-dalamnya, agar mimpi yang gue alami semalam bukanlah gambaran buram tentang masa depan, tapi berakhir di kepala gue, tumbuh di alam bawah sadar, dan tak akan pernah gue izinkan keluar mengecap sinar bulan yang sakral bagi gue.
Masih sama seperti dulu, gue takut untuk terbiasa sendirian.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment