Ditunggu
Filed Under (Event,For Remember ) by Pitiful Kuro on Monday, May 18, 2009
Posted at : 10:44 PM
Hi..
Belakangan mood nulis turun drastis, mood baca juga berbanding lurus dengan mood menulis. Yeah, bahkan ada satu buku yang sedang gue baca belum kelar-kelar dari sebulan yang lalu. Entri blog pun, kalau ngga berbunyi racauan, keluhan, paling banter tulisan yang ngga bisa diurai. Menurun, degradasi? Atau adakah peningkatan di bidang lain? hm? Ada kali ya? Belakangan berasa enak aja ngejalanin kuliah, walaupun keliatannya beler-beler aja di kelas, tapi gue merasa mendapatkan materi (merasa loh). Hal baik lain juga ada, kawan lama nun jauh disana mau menyempatkan diri lagi untuk menyapa gue sekedar memberitahukan satu-dua hal. Katanya sih gue bukan pelariannya kalau ada masalah, nyatanya gimana say? Kidding, gue ngerti kok (insya Allah).
Minggu ini, berselang dua minggu yang lalu, gue pulang lagi ke Jakarta. Boros ya? Emang. Tapi gue selalu suka perjalanan kereta, ngga terlalu buruk lah. Jumat kemaren gue naik kereta Parahyangan yang jam 3 sore, biasanya kan gue naik yang 12.45 atau 17.05. ternyata sepi men! Gile, berasa raja deh, naro pantat di empat kursi, tiduran serasa di hotel berbintang empat, nyaman. Akibatnya yaa, gue jadi ngga ngobrol sama siapa-siapa di perjalanan ke Jakarta kemaren, padahal Stranger’s Talk adalah agenda yang selalu gue tunggu-tunggu dalam tiap perjalanan.
Ups, satu hal lagi tentang kereta, gue berangkat jam 3 sore, berarti, gue akan mengalami perjalanan sore hari kan? Yeaa, setengah perjalanan gue duduk di kursi berbintang tersebut, dan setengahnya lagi, gue nyengser di pintu kereta. Asoy men, sore hari + kereta dengan kecepatan 70-80km/jam + matahari tenggelam = Priceless.
Tujuan kali ini pulang ke Jakarta bukan untuk ngurus KTP yang kerendem di cucian, bukan pula ngurus barang yang ilang, apalagi ngabur dari tukang kredit. World Book Day, acara tahunan entah apa konsepnya yang diadakan di Museum Bank Mandiri, kota tua. IH masuk ke dalam susunan acara tersebut, dan untuk itu, ada permintaan untuk tampil dari mereka ke kelompok MP (Musikalisasi Puisi) kenalannya Tika. Yang kebetulan pula kesemuanya adalah temen SMA gue (bahkan dua diantaranya adalah temen TK gue). Wow, berhubung gue pun belum pernah melihat penampilan mereka secara langsung (selama ini lewat rekaman), dan ada oknum yang mau repot-repot manas-manasin gue untuk dateng, jadilah, gue balik ke Jakarta demi melihat MP mereka.
Jum’at 15 mei 2009
Rencana awal : Langsung ke Saskri, ngga pake mampir dirumah.
Ah sayang, rencana tetap rencana dan untuk mewajibkan suatu rencana pun haram hukumnya *halah*. Rencana batal, gue mendapat persuasi dari seseorang untuk pulang kerumah, baiknya begitu, katanya. Allrite, gue pun menurut. Hei hei, dasarnya gue adalah orang yang penurut kan? Hanya aja, harus ada beberapa faktor yang terpenuhi untuk bisa membuat gue menurut. Siapa orangnya, pantaskah gue turuti? (1), apa bentuk sarannya, andaikata memang bener dan masuk akal, kenapa ngga gue turuti? (2), timing (3). Simpel kan?
Yaudin, gue pulang kerumah, ganti baju, mandi, dan langsung berangkat ke Saskri naik sepeda. Sampe disana, gue yang inginmelihat para pekerja seni itu bekerja merajam gitar, termenung bersama pianika, ataupun berjoget bersama jinbe itu rada kaget, kenapa? Karena aransemennya sama sekali belom jadi, sementara saat itu adalah H-1! Kereen. Ah ya, profesional gue rasa, mengaransemen satu lagu pendek itu cuma kudapan enteng sebelum kopi. Lol. Agak maleman, api mulai dinyalain, rencananya mau bakar Ubi.
Disini (Saskri), gue dibawa ke masa lalu. Maksudnya? Yah, gue berasa kaya masa-masa SMA—liburan sebelum kuliah lagi. Gaya bahasa mereka, becandaan-becandaan yang melampaui taraf sarkasme, dan tawa-tawa yang tidak garing, yang kekuatannya bisa membuat rahang lepas (lebay). Asli, becandaan macem yang mereka bawain itu ngga ada di Bandung, andaikata dikeluarkan becandaan macem itu, pasti langsung pada mendelik sinis karena memang kasar. Tapi, dimanapun, di kelompok yang orangnya berjumlah lebih dari dua, gue selalu memilih untuk pasif, gue pun hanya ketawa-ketawa aja, ngasih tanggepan satu dua kali, diem. Jam setengah 12, gue pulang.
Sabtu 16 mei 2009.
The Day.
Lutfi ngejemput gue jam 11 siang. Ke Saskri dulu untuk latihan puisi yang akan dibawain malemnya.. yeah, latihan bener-benernya, aransemen tambahannya baru dikerjain kurang dari enam jam sebelum pementasan. Katanya sih, kalau tampil di acara semacem itu santai, kalau ikut kompetisi beda lagi tekanannya. Oke, dimaklumi deh. Beberapa jam sebelum berangkat gue habiskan dengan ngobrol bareng mereka lagi, kebanyakan sama Lutfi sih, sedangkan Tika udah pergi duluan ke tempat acara—beda dia mah, sibuk. Mendengarkan mereka latihan itu lumayan seru, salah nada tinggal dibenerin, intonasi ngga pas tinggal diganti, mew, kayanya gampang banget ya? Padahal kalau gue disuruh megang alat musik, yang ada gue kejang spontan.
Jam 4 kesemuanya berangkat, mendatangkan motor tambahan dari temen SMA lain (makasih men). Sampe disana, mampir dulu ke stand IH, ketemu beberapa wajah lama, dan beberapa wajah baru yang gue engga kenali sama sekali (hadah). Maklum aja, pensiunan, udah pikun. Pentasnya malem, dan akhirnya yang MP pun latihan lagi sekali-dua kali, biar pas, karena sebelumnya ngga pernah latihan bareng Tika. Done. Hal lain, Sigi si tante senang ditarik untuk main ‘angin’, well, alatnya ngga punya nama, yang pasti, itu alat untuk menimbulkan efek suara angin mendesau (tsah).
Pentasnya ada beberapa kesalahan, maklum aja, latihan minim, anak-anaknya pun kelewat santai. Tapi keren lah, padahal sebelumnya ada juga sekelompok orang yang ngebawain performance serupa, MP, namun jauh lebih niat, tapi entah kenapa gue lebih memilih kelompok sendiri (haha, primordialis nih gue). Biarpun slow, simpel, dan banyak salahnya, gue tetep suka.
**
Minggunya, sebelum gue balik, gue menyempatkan diri untuk mampir lagi ke WBD untuk bertemu beberapa orang. Err yah, begitulah, lancar gue kira. Setengah satu, gue melepaskan diri dari jepitan-jepitan yang melarang gue untuk pulang cepet, langsung ke stasiun gambir naek busway. Phew, ngepas banget lah, gue sampe di gambir 13.20, sedangkan kereta berangkan 13.30. untungnya sih keburu, tapi ngga lagi dah, thriller rasanya. Soalnya gue ogah untuk nunggu tiga jam untuk naek kereta berikutnya.
Perjalanannya? Biasa aja, duduk di bordes, ngelamun liatin bukit-bukit yang seolah ngga punya ujung, dan melakukan hal-hal yang seharusnya terlarang *ehem*..
On the heavier note.. well? Gue ngga sangka kalau bakalan kaya gini ya? Sepulang dari stasiun Bandung, gue menyempatkan diri untuk mampir kerumah orang, bertanya satu dua hal, menjelaskan tiga-empat hal. Setelah diberikan penjelasan lebih mendalam, gue mengerti bagaimana sulitnya, mengerti, Insya Allah. Memang kamu harus memilih, tapi tolong, jangan dijadikan beban.Dan.. Fakta bahwa gue pesimis memang terbukti, tapi itu hanya jika kamu juga pesimis juga. Apabila kamu optimis, maka akan dengan senang hati, gue pun akan turut optimis. Memang, bukan hal mudah mengingat skala prioritas yang kamu gunakan itu demikian adanya, bahwa membuat kecewa orang lain adalah hal yang tabu, dan gue pun bukan orang yang suka dibuat kecewa.
Tapi, gue pun harus ingat, gue berpijak di bumi ini tidak sendirian, bumi tidak berputar dengan gue sebagai porosnya. Milyaran hal terjadi dan tidak bersangkutan dengan gue pribadi, gue kecil, hanya setitik debu yang sama dengan jutaan debu lainnya di salah satu pesisir pantai. Dan apakah setitik debu pantas meninggikan dirinya terhadap debu lainnya? Bahwa pantaskah menempatkan diri sebagai hal yang utama? Non, sama sekali ngga. Kamu bebas memilih, yang manapun. Susah? Masih banyak waktu untuk berpikir, gunakan dengan baik, tentukan pilihan yang menurut kamu adalah yang terbaik. Gue tidak terkejar oleh waktu, dan memaksakan agar cepat pun mungkin akan menyisakan penyesalan di gue kedepannya.. jadi? Sekali lagi, pikirkan sematang mungkin. Dan saat kamu sudah yakin, kapanpun, gue siap mendengarkan.
Gue menyerah hanya jika kamu menyerah.
Dan akan berjuang jika kamu berjuang.
Tolong tersenyumlah terus, Kamelia.
Belakangan mood nulis turun drastis, mood baca juga berbanding lurus dengan mood menulis. Yeah, bahkan ada satu buku yang sedang gue baca belum kelar-kelar dari sebulan yang lalu. Entri blog pun, kalau ngga berbunyi racauan, keluhan, paling banter tulisan yang ngga bisa diurai. Menurun, degradasi? Atau adakah peningkatan di bidang lain? hm? Ada kali ya? Belakangan berasa enak aja ngejalanin kuliah, walaupun keliatannya beler-beler aja di kelas, tapi gue merasa mendapatkan materi (merasa loh). Hal baik lain juga ada, kawan lama nun jauh disana mau menyempatkan diri lagi untuk menyapa gue sekedar memberitahukan satu-dua hal. Katanya sih gue bukan pelariannya kalau ada masalah, nyatanya gimana say? Kidding, gue ngerti kok (insya Allah).
Minggu ini, berselang dua minggu yang lalu, gue pulang lagi ke Jakarta. Boros ya? Emang. Tapi gue selalu suka perjalanan kereta, ngga terlalu buruk lah. Jumat kemaren gue naik kereta Parahyangan yang jam 3 sore, biasanya kan gue naik yang 12.45 atau 17.05. ternyata sepi men! Gile, berasa raja deh, naro pantat di empat kursi, tiduran serasa di hotel berbintang empat, nyaman. Akibatnya yaa, gue jadi ngga ngobrol sama siapa-siapa di perjalanan ke Jakarta kemaren, padahal Stranger’s Talk adalah agenda yang selalu gue tunggu-tunggu dalam tiap perjalanan.
Ups, satu hal lagi tentang kereta, gue berangkat jam 3 sore, berarti, gue akan mengalami perjalanan sore hari kan? Yeaa, setengah perjalanan gue duduk di kursi berbintang tersebut, dan setengahnya lagi, gue nyengser di pintu kereta. Asoy men, sore hari + kereta dengan kecepatan 70-80km/jam + matahari tenggelam = Priceless.
Tujuan kali ini pulang ke Jakarta bukan untuk ngurus KTP yang kerendem di cucian, bukan pula ngurus barang yang ilang, apalagi ngabur dari tukang kredit. World Book Day, acara tahunan entah apa konsepnya yang diadakan di Museum Bank Mandiri, kota tua. IH masuk ke dalam susunan acara tersebut, dan untuk itu, ada permintaan untuk tampil dari mereka ke kelompok MP (Musikalisasi Puisi) kenalannya Tika. Yang kebetulan pula kesemuanya adalah temen SMA gue (bahkan dua diantaranya adalah temen TK gue). Wow, berhubung gue pun belum pernah melihat penampilan mereka secara langsung (selama ini lewat rekaman), dan ada oknum yang mau repot-repot manas-manasin gue untuk dateng, jadilah, gue balik ke Jakarta demi melihat MP mereka.
Jum’at 15 mei 2009
Rencana awal : Langsung ke Saskri, ngga pake mampir dirumah.
Ah sayang, rencana tetap rencana dan untuk mewajibkan suatu rencana pun haram hukumnya *halah*. Rencana batal, gue mendapat persuasi dari seseorang untuk pulang kerumah, baiknya begitu, katanya. Allrite, gue pun menurut. Hei hei, dasarnya gue adalah orang yang penurut kan? Hanya aja, harus ada beberapa faktor yang terpenuhi untuk bisa membuat gue menurut. Siapa orangnya, pantaskah gue turuti? (1), apa bentuk sarannya, andaikata memang bener dan masuk akal, kenapa ngga gue turuti? (2), timing (3). Simpel kan?
Yaudin, gue pulang kerumah, ganti baju, mandi, dan langsung berangkat ke Saskri naik sepeda. Sampe disana, gue yang inginmelihat para pekerja seni itu bekerja merajam gitar, termenung bersama pianika, ataupun berjoget bersama jinbe itu rada kaget, kenapa? Karena aransemennya sama sekali belom jadi, sementara saat itu adalah H-1! Kereen. Ah ya, profesional gue rasa, mengaransemen satu lagu pendek itu cuma kudapan enteng sebelum kopi. Lol. Agak maleman, api mulai dinyalain, rencananya mau bakar Ubi.
Disini (Saskri), gue dibawa ke masa lalu. Maksudnya? Yah, gue berasa kaya masa-masa SMA—liburan sebelum kuliah lagi. Gaya bahasa mereka, becandaan-becandaan yang melampaui taraf sarkasme, dan tawa-tawa yang tidak garing, yang kekuatannya bisa membuat rahang lepas (lebay). Asli, becandaan macem yang mereka bawain itu ngga ada di Bandung, andaikata dikeluarkan becandaan macem itu, pasti langsung pada mendelik sinis karena memang kasar. Tapi, dimanapun, di kelompok yang orangnya berjumlah lebih dari dua, gue selalu memilih untuk pasif, gue pun hanya ketawa-ketawa aja, ngasih tanggepan satu dua kali, diem. Jam setengah 12, gue pulang.
Sabtu 16 mei 2009.
The Day.
Lutfi ngejemput gue jam 11 siang. Ke Saskri dulu untuk latihan puisi yang akan dibawain malemnya.. yeah, latihan bener-benernya, aransemen tambahannya baru dikerjain kurang dari enam jam sebelum pementasan. Katanya sih, kalau tampil di acara semacem itu santai, kalau ikut kompetisi beda lagi tekanannya. Oke, dimaklumi deh. Beberapa jam sebelum berangkat gue habiskan dengan ngobrol bareng mereka lagi, kebanyakan sama Lutfi sih, sedangkan Tika udah pergi duluan ke tempat acara—beda dia mah, sibuk. Mendengarkan mereka latihan itu lumayan seru, salah nada tinggal dibenerin, intonasi ngga pas tinggal diganti, mew, kayanya gampang banget ya? Padahal kalau gue disuruh megang alat musik, yang ada gue kejang spontan.
Jam 4 kesemuanya berangkat, mendatangkan motor tambahan dari temen SMA lain (makasih men). Sampe disana, mampir dulu ke stand IH, ketemu beberapa wajah lama, dan beberapa wajah baru yang gue engga kenali sama sekali (hadah). Maklum aja, pensiunan, udah pikun. Pentasnya malem, dan akhirnya yang MP pun latihan lagi sekali-dua kali, biar pas, karena sebelumnya ngga pernah latihan bareng Tika. Done. Hal lain, Sigi si tante senang ditarik untuk main ‘angin’, well, alatnya ngga punya nama, yang pasti, itu alat untuk menimbulkan efek suara angin mendesau (tsah).
Pentasnya ada beberapa kesalahan, maklum aja, latihan minim, anak-anaknya pun kelewat santai. Tapi keren lah, padahal sebelumnya ada juga sekelompok orang yang ngebawain performance serupa, MP, namun jauh lebih niat, tapi entah kenapa gue lebih memilih kelompok sendiri (haha, primordialis nih gue). Biarpun slow, simpel, dan banyak salahnya, gue tetep suka.
**
Minggunya, sebelum gue balik, gue menyempatkan diri untuk mampir lagi ke WBD untuk bertemu beberapa orang. Err yah, begitulah, lancar gue kira. Setengah satu, gue melepaskan diri dari jepitan-jepitan yang melarang gue untuk pulang cepet, langsung ke stasiun gambir naek busway. Phew, ngepas banget lah, gue sampe di gambir 13.20, sedangkan kereta berangkan 13.30. untungnya sih keburu, tapi ngga lagi dah, thriller rasanya. Soalnya gue ogah untuk nunggu tiga jam untuk naek kereta berikutnya.
Perjalanannya? Biasa aja, duduk di bordes, ngelamun liatin bukit-bukit yang seolah ngga punya ujung, dan melakukan hal-hal yang seharusnya terlarang *ehem*..
On the heavier note.. well? Gue ngga sangka kalau bakalan kaya gini ya? Sepulang dari stasiun Bandung, gue menyempatkan diri untuk mampir kerumah orang, bertanya satu dua hal, menjelaskan tiga-empat hal. Setelah diberikan penjelasan lebih mendalam, gue mengerti bagaimana sulitnya, mengerti, Insya Allah. Memang kamu harus memilih, tapi tolong, jangan dijadikan beban.Dan.. Fakta bahwa gue pesimis memang terbukti, tapi itu hanya jika kamu juga pesimis juga. Apabila kamu optimis, maka akan dengan senang hati, gue pun akan turut optimis. Memang, bukan hal mudah mengingat skala prioritas yang kamu gunakan itu demikian adanya, bahwa membuat kecewa orang lain adalah hal yang tabu, dan gue pun bukan orang yang suka dibuat kecewa.
Tapi, gue pun harus ingat, gue berpijak di bumi ini tidak sendirian, bumi tidak berputar dengan gue sebagai porosnya. Milyaran hal terjadi dan tidak bersangkutan dengan gue pribadi, gue kecil, hanya setitik debu yang sama dengan jutaan debu lainnya di salah satu pesisir pantai. Dan apakah setitik debu pantas meninggikan dirinya terhadap debu lainnya? Bahwa pantaskah menempatkan diri sebagai hal yang utama? Non, sama sekali ngga. Kamu bebas memilih, yang manapun. Susah? Masih banyak waktu untuk berpikir, gunakan dengan baik, tentukan pilihan yang menurut kamu adalah yang terbaik. Gue tidak terkejar oleh waktu, dan memaksakan agar cepat pun mungkin akan menyisakan penyesalan di gue kedepannya.. jadi? Sekali lagi, pikirkan sematang mungkin. Dan saat kamu sudah yakin, kapanpun, gue siap mendengarkan.
Gue menyerah hanya jika kamu menyerah.
Dan akan berjuang jika kamu berjuang.
Tolong tersenyumlah terus, Kamelia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment