Alone but not lonely
Filed Under (From My Mind ) by Pitiful Kuro on Wednesday, November 26, 2008
Posted at : 6:01 AM
Yap, seperti yang gue sampein di beberapa post lalu, gue membuat sebuah artikel demi memenuhi tugas bahasa indonesia gue dan berencana gue post disini, dan.. here it is.. enjoy..
Jepang, negara yang terkenal akan masyarakatnya yang statis, pekerja keras, dan mempunyai kebudayaan yang unik, maju dalam bidang teknologi dan memiliki kekayaan yang melimpah. Melalui kemajuan teknologi, dan kekayaannya, Jepang diterima dengan baik di mata masyarakat Internasional, bahkan dipuji. Selama puluhan tahun terakhir, masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang makmur, tepat saat perang dunia kedua usai. Namun, proses menuju kemakmuran selalu diiringi dengan perubahan dan gejolak yang radikal di dalam masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang tersebut, ekonomi dan teknologi, bukanlah fondasi yang baik untuk membentuk suatu identitas bangsa. Ketiadaan fondasi yang kuat untuk membangun identitas diri tersebut kemudian memunculkan perubahan sikap dan mental yang terlihat dengan jelas di kaum muda. Keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya ingin dilakukan kaum muda Jepang itulah yang membuat media dan kalangan akademisi di Jepang hampir setiap tahun memunculkan istilah ‘Generasi Baru’. Dan salah satu istilah yang muncul dari pengamatan para akademisi itu, 'Otaku' muncul. Istilah ‘Otaku’ tidak muncul begitu saja, tapi didahului oleh berbagai istilah lain yang pada intinya mencoba merujuk kepada ‘generasi baru’ yang lain di dalam masyarakat Jepang. Otaku, bisa diartikan juga sebagai sebutan bagi individu yang menarik diri dalam pergaulan dengan orang lain, mengkhususkan diri atau bisa dikatakan ‘jatuh cinta’ dengan hal-hal tertentu (dalam konteks ini, bisa berupa kartun jepang, komik, artis idola, mainan model, dll.). Mereka tidak membutuhkan komunikasi dengan manusia lain, mereka hanya membutuhkan informasi dari apa yang mereka sukai.
Istilah yang muncul lebih dulu sebelum Otaku dan beberapa saat digunakan adalah Moratorium Ningen (orang-orang yang bersifat moratorium). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Okonogi Keigo, profesor dari jurusan neuropsychiatric universitas Keio. Istilah moratorium dipinjam dari buku karya Erik Erickson, psychosocial moratorium, yang mengacu kepada periode dimana para generasi muda sekarang merasa tidak terikat untuk membuat suatu kemajuan, perubahan, tidak merasa bertanggung jawab dan memiliki kewajiban terhadap masyarakat (moratorium berarti kondisi tak bergerak, atau mati). Bagi Okonogi, karakteristik moratorium (lambat, beku, diam) telah menjadi 'karakter sosial' yang dominan dalam masyarakat sekarang, disebabkan karena keadaan dunia yang memang sudah mengarah ke bentuk yang ajeg setelah perang dunia yang dipenuhi masa-masa chaos, yang memang tidak mungkin untuk bersifat diam. Karakteristik dari mentalitas moratorium yang seperti inilah yang dapat dianggap sebagai latar belakang fenomena otaku, atau jenis jenis manusia generasi baru lainnya.
Jepang yang merupakan masyarakat konsumeris yang mempunyai kondisi ekonomi yang makmur, membuat setiap orang menjadi seperti anak-anak. Iklan dan media massa telah membangkitkan rasa kekanak-kanakan yang ada dalam diri setiap orang. Karena cepatnya perkembangan teknologi di Jepang, memaksa setiap orang untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan informasi yang ada agar tidak tertinggal. Mode-mode, kebudayaan dan trend keluar masuk dengan sangat cepat, dan ganas. Ini berakibat masyarakat yang hidup didalam dunia yang demikian harus mengadaptasi suatu gaya hidup dan eksistensi yang bersifat sementara. Dampaknya, setiap individu tidak merasa perlu untuk terjun dalam masyarakat, dan bahkan cenderung menjauhi satu sama lain. Masing-masing orang adalah konsumen yang tidak terikat dengan apa pun, mereka diibaratkan sebagai perusahaan yang tidak memiliki mitra kerja satupun. Dan karena pemikiran yang seperti itulah, moratorium ningen dapat mempertahankan isolasi diri mereka. Kehidupan orang-orang moratorium yang seperti ini menimbulkan 'sindrom kekaburan identitas' dan juga sebuah 'kekosongan diri' yang menjadi suatu hal yang biasa dan umum. Moratorium telah menjadi sebuah tujuan. Kondisi yang mengandung sebuah potensi kekuatan penghancur yang besar.
Bila ditelusuri lebih lanjut, bisa dibilang media massa lah yang dijadikan tersangka utama atas munculnya manusia-manusia jenis baru ini. Media massa telah memproduksi keberadaan yang maya, tidak jelas, dan tidak rasional. Karakteristik media massa yang seperti itulah yang telah diadopsi dan menjadi bagian dari struktur psikologi kaum muda saat ini menjadi sangat kuat, karena mereka telah terasimilasi ke dalam media massa yang memiliki kekuatan untuk menyihir masyarakat.
Kepesimisan budaya, itulah yang dapat ditangkap dari masyarakat Jepang di masa post-modern ini, dan sayangnya, sampai sekarangpun belum menunjukan tanda-tanda berakhirnya masa-masa tersebut, mengingat para ahli yang terus mengeluarkan istilah-istilah penyebutan generasi baru yang sejenis hampir setiap tahunnya. Ini merupakan gambaran yang muram tentang masyarakat yang terisolasi dan diam, dan tentang orang-orang yang tersesat dalam gelombang post-modern. Gelombang yang mengancam akan menenggalamkan 'masyarakat riil' - yaitu masyarakat produksi dan distribusi.
Dari pembahasan singkat Moratorium Ningen diatas kita dapat menangkap kondisi sosial masyarakat Jepang yang berlaku saat itu. Kondisi seperti itu yang kemudian melatar belakangi kemunculan para manusia-manusia jenis baru. Latar belakang yang sarat dengan penutupan diri sendiri dalam dunia hiper-reality. Kemudian setelah itu, istilah Moratoriumu Ningen, digantikan oleh kata Shinjinrui (manusia jenis baru). Namun, dalam istilah ini pun, kita lagi-lagi menemukan hal yang sama, yaitu tentang kekosongan hidup, walaupun kadang-kadang dalam nada yang sedikit lebih cerah.
Kata Shinjinrui, seperti otaku, memiliki variasi makna yang sangat besar. Sebagai kata non ilmiah dan tidak ada arti yang khusus, kata itu kadang bisa dipakai untuk merujuk pada semua generasi baru (apa pun jenisnya, pecinta anime, fashion, idol atau lainnya). Tapi kadang-kadang juga, kata tersebut digunakan untuk merujuk pada satu kelompok anak muda tertentu, mirip dengan penggunaan istilah Hippies—suatu kelompok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mempercayai adanya suatu tingkatan metafisik yanng tinggi dalam kehidupan nyata yang bisa dicapai dengan bermeditasi (berasal dari Amerika).
Para shinjinrui ini biasanya adalah anak muda yang masih kuliah dan atau yang berada di awal umur 20an. Berbeda dengan Otaku, Shinjinrui sangat menekankan pada penampilan luar yang berkilauan, dengan menghabiskan uang mereka. Mereka biasanya ingin mendapatkan pekerjaan sebagai model atau dalam bidang periklanan, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan cukup uang dan cukup waktu sehingga bisa melakukan hobi utama mereka: memamerkan barang-barang dan mobil-mobil mewah. Trend terakhir mereka adalah memiliki kulit kecoklatan di lengan kiri, karena itu adalah tanda bahwa dia mengendarai mobil import dengan setir di sebelah kiri (sehingga lengan kiri merekalah yang terkena dan terbakar oleh sinar matahari). Shinjinrui juga dipanggil dengan sebutan 'anak-anak kristal'. Sebuah dunia kehidupan tersendiri dimana setiap orang di dalamnya hidup dengan sungguh-sungguh mengagungkan keangkuhan dan kepura-puraan.
Shinjinrui, meskipun mempunyai gaya hidup yang cukup berbeda dengan Otaku, yang satu glamour, dan satunya adalah orang yang benar benar menjauhkan diri dari pergaulan, namun, Shinjinrui, seperti halnya para Otaku, mereka juga tipe orang yang terobsesi pada hal-hal kecil dan tidak jarang hal tersebut tidak bisa diterima dengan ideologi-ideologi umum. Seorang shinjinrui harus pergi kemana-mana dan berada dimana-mana sekaligus. Dia juga harus sudah membaca terbitan terakhir majalah-majalah yang berisikan informasi mode. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa mengetahui bahwa merek A sudah terbilang kuno karena digantikan oleh merek B? atau, bagaimana mereka bisa terlibat pembicaraan tentang mode di tempat Shinjinrui-shinjinrui lain berkumpul? Shinjinrui memang adalah orang-orang yang angkuh, namun mereka adalah sekaligus juga orang-orang yang terinformasikan dengan baik sekali, tentang apa yang mereka obsesikan tentunya. Saat ini, orang-orang yang seperti shinjinrui ini masih ada di sekitar kita, walaupun istilah itu sudah tidak digunakan lagi untuk merujuk kelompok tertentu dengan sifat-sifat glamour seperti di atas. Jadi dalam hal ini tidak masalah jika menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada seluruh generasi selanjutnya
Semua terminologi itu - Moratorium ningen, shinjinrui, ataupun Otaku diciptakan dalam rangka mengkategorikan orang-orang yang hidup di dunia postmodern ini. Mereka yang menciptakannya adalah para profesional seperti neuropsikiatris, wartawan dan maupun para penulis—dan artikel ini dibuat berdasarkan refrensi artikel-artikel yang dibuat oleh kaum demikian. Para kaum professional/ilmuan ini menilai generasi muda dengan menggunakan perangkat nilai mereka sendiri, yaitu nilai-nilai seperti 'kedalaman', 'keseriusan' , sejarah, dan atau dengan nilai-nilai dalam bidang keilmuan tertentu, tergantung di bidang mana para ahli tersebut berada. Dari yang ditangkap penulis, para ahli ini merasa kecewa karena para generasi muda dibawah mereka tampaknya tidak ingin meneruskan mengejar mimpi yang dulu pernah mereka kejar. Mereka kecewa karena anak-anak muda ini tampaknya tidak peduli lagi pada kelanjutan 'proyek modernisasi' yang sebelumnya telah mereka jalankan . Mereka ingin memahami generasi muda tersebut, tapi bahkan generasi muda ini menolak untuk mengekspresikan diri mereka di hadapan orang tuanya.
Pada dasarnya, mereka dapat berkomunikasi, tapi hanya dengan otaku yang satu tipe, maksudnya, memiliki obsesi khusus yang sama. Percakapan mereka tidaklah saling berbalasan, tapi hanya untuk memamerkan pengetahuan (informasi) yang mereka punya. Setiap manusia generasi baru ini mengkategorikan orang lain dengan kesukaan/obsesi mereka. Jika kebetulan dua orang dari mereka menemukan kesukaan yang sama, maka mereka akan menjadi dekat. Tapi jika tidak, mereka tidak merasa perlu untuk saling bercakap-cakap. Mereka tidak merasa perlu untuk mempengaruhi orang lain untuk menyukai apa yang mereka sukai. Mudahnya, mereka tidak menunjukan sikap asosial hanya kepada Otaku sesama jenisnya.
Dari sisi Indonesia, kajian tentang fenomena yang banyak melanda generasi muda Jepang ini perlu dikembangkan lebih lanjut. Apa yang dialami oleh masyarakat Jepang sekarang, bisa jadi akan dialami oleh masyarakat Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, mengkaji fenomena sosial-budaya terkini di Jepang adalah seperti mengantisipasi fenomena mendatang di Indonesia. Mengantisipasi dan, kalau bisa, menghindarinya.
Refrensi
Grassmuck, Volker. 1990. Alone But Not Lonely. Makalah yang ada di kamar sayah.. haha..
Jepang, negara yang terkenal akan masyarakatnya yang statis, pekerja keras, dan mempunyai kebudayaan yang unik, maju dalam bidang teknologi dan memiliki kekayaan yang melimpah. Melalui kemajuan teknologi, dan kekayaannya, Jepang diterima dengan baik di mata masyarakat Internasional, bahkan dipuji. Selama puluhan tahun terakhir, masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang makmur, tepat saat perang dunia kedua usai. Namun, proses menuju kemakmuran selalu diiringi dengan perubahan dan gejolak yang radikal di dalam masyarakat. Kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang tersebut, ekonomi dan teknologi, bukanlah fondasi yang baik untuk membentuk suatu identitas bangsa. Ketiadaan fondasi yang kuat untuk membangun identitas diri tersebut kemudian memunculkan perubahan sikap dan mental yang terlihat dengan jelas di kaum muda. Keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya ingin dilakukan kaum muda Jepang itulah yang membuat media dan kalangan akademisi di Jepang hampir setiap tahun memunculkan istilah ‘Generasi Baru’. Dan salah satu istilah yang muncul dari pengamatan para akademisi itu, 'Otaku' muncul. Istilah ‘Otaku’ tidak muncul begitu saja, tapi didahului oleh berbagai istilah lain yang pada intinya mencoba merujuk kepada ‘generasi baru’ yang lain di dalam masyarakat Jepang. Otaku, bisa diartikan juga sebagai sebutan bagi individu yang menarik diri dalam pergaulan dengan orang lain, mengkhususkan diri atau bisa dikatakan ‘jatuh cinta’ dengan hal-hal tertentu (dalam konteks ini, bisa berupa kartun jepang, komik, artis idola, mainan model, dll.). Mereka tidak membutuhkan komunikasi dengan manusia lain, mereka hanya membutuhkan informasi dari apa yang mereka sukai.
Istilah yang muncul lebih dulu sebelum Otaku dan beberapa saat digunakan adalah Moratorium Ningen (orang-orang yang bersifat moratorium). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Okonogi Keigo, profesor dari jurusan neuropsychiatric universitas Keio. Istilah moratorium dipinjam dari buku karya Erik Erickson, psychosocial moratorium, yang mengacu kepada periode dimana para generasi muda sekarang merasa tidak terikat untuk membuat suatu kemajuan, perubahan, tidak merasa bertanggung jawab dan memiliki kewajiban terhadap masyarakat (moratorium berarti kondisi tak bergerak, atau mati). Bagi Okonogi, karakteristik moratorium (lambat, beku, diam) telah menjadi 'karakter sosial' yang dominan dalam masyarakat sekarang, disebabkan karena keadaan dunia yang memang sudah mengarah ke bentuk yang ajeg setelah perang dunia yang dipenuhi masa-masa chaos, yang memang tidak mungkin untuk bersifat diam. Karakteristik dari mentalitas moratorium yang seperti inilah yang dapat dianggap sebagai latar belakang fenomena otaku, atau jenis jenis manusia generasi baru lainnya.
Jepang yang merupakan masyarakat konsumeris yang mempunyai kondisi ekonomi yang makmur, membuat setiap orang menjadi seperti anak-anak. Iklan dan media massa telah membangkitkan rasa kekanak-kanakan yang ada dalam diri setiap orang. Karena cepatnya perkembangan teknologi di Jepang, memaksa setiap orang untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan informasi yang ada agar tidak tertinggal. Mode-mode, kebudayaan dan trend keluar masuk dengan sangat cepat, dan ganas. Ini berakibat masyarakat yang hidup didalam dunia yang demikian harus mengadaptasi suatu gaya hidup dan eksistensi yang bersifat sementara. Dampaknya, setiap individu tidak merasa perlu untuk terjun dalam masyarakat, dan bahkan cenderung menjauhi satu sama lain. Masing-masing orang adalah konsumen yang tidak terikat dengan apa pun, mereka diibaratkan sebagai perusahaan yang tidak memiliki mitra kerja satupun. Dan karena pemikiran yang seperti itulah, moratorium ningen dapat mempertahankan isolasi diri mereka. Kehidupan orang-orang moratorium yang seperti ini menimbulkan 'sindrom kekaburan identitas' dan juga sebuah 'kekosongan diri' yang menjadi suatu hal yang biasa dan umum. Moratorium telah menjadi sebuah tujuan. Kondisi yang mengandung sebuah potensi kekuatan penghancur yang besar.
Bila ditelusuri lebih lanjut, bisa dibilang media massa lah yang dijadikan tersangka utama atas munculnya manusia-manusia jenis baru ini. Media massa telah memproduksi keberadaan yang maya, tidak jelas, dan tidak rasional. Karakteristik media massa yang seperti itulah yang telah diadopsi dan menjadi bagian dari struktur psikologi kaum muda saat ini menjadi sangat kuat, karena mereka telah terasimilasi ke dalam media massa yang memiliki kekuatan untuk menyihir masyarakat.
Kepesimisan budaya, itulah yang dapat ditangkap dari masyarakat Jepang di masa post-modern ini, dan sayangnya, sampai sekarangpun belum menunjukan tanda-tanda berakhirnya masa-masa tersebut, mengingat para ahli yang terus mengeluarkan istilah-istilah penyebutan generasi baru yang sejenis hampir setiap tahunnya. Ini merupakan gambaran yang muram tentang masyarakat yang terisolasi dan diam, dan tentang orang-orang yang tersesat dalam gelombang post-modern. Gelombang yang mengancam akan menenggalamkan 'masyarakat riil' - yaitu masyarakat produksi dan distribusi.
Dari pembahasan singkat Moratorium Ningen diatas kita dapat menangkap kondisi sosial masyarakat Jepang yang berlaku saat itu. Kondisi seperti itu yang kemudian melatar belakangi kemunculan para manusia-manusia jenis baru. Latar belakang yang sarat dengan penutupan diri sendiri dalam dunia hiper-reality. Kemudian setelah itu, istilah Moratoriumu Ningen, digantikan oleh kata Shinjinrui (manusia jenis baru). Namun, dalam istilah ini pun, kita lagi-lagi menemukan hal yang sama, yaitu tentang kekosongan hidup, walaupun kadang-kadang dalam nada yang sedikit lebih cerah.
Kata Shinjinrui, seperti otaku, memiliki variasi makna yang sangat besar. Sebagai kata non ilmiah dan tidak ada arti yang khusus, kata itu kadang bisa dipakai untuk merujuk pada semua generasi baru (apa pun jenisnya, pecinta anime, fashion, idol atau lainnya). Tapi kadang-kadang juga, kata tersebut digunakan untuk merujuk pada satu kelompok anak muda tertentu, mirip dengan penggunaan istilah Hippies—suatu kelompok yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan mempercayai adanya suatu tingkatan metafisik yanng tinggi dalam kehidupan nyata yang bisa dicapai dengan bermeditasi (berasal dari Amerika).
Para shinjinrui ini biasanya adalah anak muda yang masih kuliah dan atau yang berada di awal umur 20an. Berbeda dengan Otaku, Shinjinrui sangat menekankan pada penampilan luar yang berkilauan, dengan menghabiskan uang mereka. Mereka biasanya ingin mendapatkan pekerjaan sebagai model atau dalam bidang periklanan, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan cukup uang dan cukup waktu sehingga bisa melakukan hobi utama mereka: memamerkan barang-barang dan mobil-mobil mewah. Trend terakhir mereka adalah memiliki kulit kecoklatan di lengan kiri, karena itu adalah tanda bahwa dia mengendarai mobil import dengan setir di sebelah kiri (sehingga lengan kiri merekalah yang terkena dan terbakar oleh sinar matahari). Shinjinrui juga dipanggil dengan sebutan 'anak-anak kristal'. Sebuah dunia kehidupan tersendiri dimana setiap orang di dalamnya hidup dengan sungguh-sungguh mengagungkan keangkuhan dan kepura-puraan.
Shinjinrui, meskipun mempunyai gaya hidup yang cukup berbeda dengan Otaku, yang satu glamour, dan satunya adalah orang yang benar benar menjauhkan diri dari pergaulan, namun, Shinjinrui, seperti halnya para Otaku, mereka juga tipe orang yang terobsesi pada hal-hal kecil dan tidak jarang hal tersebut tidak bisa diterima dengan ideologi-ideologi umum. Seorang shinjinrui harus pergi kemana-mana dan berada dimana-mana sekaligus. Dia juga harus sudah membaca terbitan terakhir majalah-majalah yang berisikan informasi mode. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia bisa mengetahui bahwa merek A sudah terbilang kuno karena digantikan oleh merek B? atau, bagaimana mereka bisa terlibat pembicaraan tentang mode di tempat Shinjinrui-shinjinrui lain berkumpul? Shinjinrui memang adalah orang-orang yang angkuh, namun mereka adalah sekaligus juga orang-orang yang terinformasikan dengan baik sekali, tentang apa yang mereka obsesikan tentunya. Saat ini, orang-orang yang seperti shinjinrui ini masih ada di sekitar kita, walaupun istilah itu sudah tidak digunakan lagi untuk merujuk kelompok tertentu dengan sifat-sifat glamour seperti di atas. Jadi dalam hal ini tidak masalah jika menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada seluruh generasi selanjutnya
Semua terminologi itu - Moratorium ningen, shinjinrui, ataupun Otaku diciptakan dalam rangka mengkategorikan orang-orang yang hidup di dunia postmodern ini. Mereka yang menciptakannya adalah para profesional seperti neuropsikiatris, wartawan dan maupun para penulis—dan artikel ini dibuat berdasarkan refrensi artikel-artikel yang dibuat oleh kaum demikian. Para kaum professional/ilmuan ini menilai generasi muda dengan menggunakan perangkat nilai mereka sendiri, yaitu nilai-nilai seperti 'kedalaman', 'keseriusan' , sejarah, dan atau dengan nilai-nilai dalam bidang keilmuan tertentu, tergantung di bidang mana para ahli tersebut berada. Dari yang ditangkap penulis, para ahli ini merasa kecewa karena para generasi muda dibawah mereka tampaknya tidak ingin meneruskan mengejar mimpi yang dulu pernah mereka kejar. Mereka kecewa karena anak-anak muda ini tampaknya tidak peduli lagi pada kelanjutan 'proyek modernisasi' yang sebelumnya telah mereka jalankan . Mereka ingin memahami generasi muda tersebut, tapi bahkan generasi muda ini menolak untuk mengekspresikan diri mereka di hadapan orang tuanya.
Pada dasarnya, mereka dapat berkomunikasi, tapi hanya dengan otaku yang satu tipe, maksudnya, memiliki obsesi khusus yang sama. Percakapan mereka tidaklah saling berbalasan, tapi hanya untuk memamerkan pengetahuan (informasi) yang mereka punya. Setiap manusia generasi baru ini mengkategorikan orang lain dengan kesukaan/obsesi mereka. Jika kebetulan dua orang dari mereka menemukan kesukaan yang sama, maka mereka akan menjadi dekat. Tapi jika tidak, mereka tidak merasa perlu untuk saling bercakap-cakap. Mereka tidak merasa perlu untuk mempengaruhi orang lain untuk menyukai apa yang mereka sukai. Mudahnya, mereka tidak menunjukan sikap asosial hanya kepada Otaku sesama jenisnya.
Dari sisi Indonesia, kajian tentang fenomena yang banyak melanda generasi muda Jepang ini perlu dikembangkan lebih lanjut. Apa yang dialami oleh masyarakat Jepang sekarang, bisa jadi akan dialami oleh masyarakat Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, mengkaji fenomena sosial-budaya terkini di Jepang adalah seperti mengantisipasi fenomena mendatang di Indonesia. Mengantisipasi dan, kalau bisa, menghindarinya.
Refrensi
Grassmuck, Volker. 1990. Alone But Not Lonely. Makalah yang ada di kamar sayah.. haha..