Skinpress Demo Rss
Harus lebih haus..

Harus lebih lapar..

Gue butuh ketegangan yang lebih besar daripada sekarang..

Kalau tidak?

Gue sendiri yang akan hancur lebih dulu nantinya..

S-mile.

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on

Posted at : 8:39 AM

Two in the morning.

Hitungannya pagi, tapi langit masih gelap, dengan pertimbangan gue ngga suka pagi tapi begitu cinta sama yang namanya malam, sikap apakah yang harus gue tunjukkan? Benci bilang cinta? Oh no, itu mah lagunya Radja *Dadadamn Dadadamn, Hoi!*. yang manapun deh. Hehe.

Harusnya gue rehat, badan ngga enak, kepala ngawang, mata berair dan.. tangan gemeter. Oh ya, sensasi yang terakhir itu sih gue dapetin dari kopi, yeaa, disaat gue harusnya memeluk bantal gue malah minum kopi, kayanya jantung yang bercokol di tubuh gue harus banyak-banyak bersabar, tuannya serabutan. Dan kalau ditanya kenapa gue begadang, terus gue jawab ‘emang lagi pengen aja’, percaya? Yang percaya justru aneh. Bahkan ketika gue menganggap ‘emang lagi pengen aja’, gue ngga yakin itu alasannya. Semua yang ada di dunia ini bertumpu pada hukum kausalitas, bukan? Ada akibat, maka harus ada sebab. Kenapa Bianca Reina Springfield sakit? Karena kemarin sore dia bermain hujan di danau hitam.

Kepakan sayap kupu-kupu dapat menimbulkan badai di belahan dunia lain. Bisa saja, dan mungkin ada hal yang gue tekan ke alam bawah sadar, dan akhirnya termanifestasikan kedalam bentuk kegiatan yang gue namakan 'begadang'. Expanding possibilities ngga berlaku, karena setelah gue mengeliminasi kesemua yang mungkin, jawaban yang paling masuk akal adalah jawaban yang paling najis dan menye-menye, gue anti (haha). Yah, apapun alasannya, yang penting gue harus menikmati masa-masa melek ekstra gue beberapa jam ke depan, dan mikirin gimana supaya ini kepala kaga lepas dari tempatnya, punyeeng..

**

“Heh, dunia ngga berputar dengan elo sebagai porosnya, tau!?”

Itu pasti kata-kata yang sangat familiar ya di telinga anak IH. Kalimat yang ditujukan kepada mereka yang dianggap egois kelewatan, kepada mereka yang mentitelkan diri sebagai drama queen tingkat lebay, mengemis belas kasihan orang, dan memposisikan diri mereka sendiri ke tingkat tertinggi. Kalimat itu ditujukan kepada orang-orang yang demikian. Kalimat itu sangat sering muncul entah di status YM anak-anak IH, ataupun blog mereka masing-masing. Memprotes secara tidak langsung penyimpangan yang kebablasan, entah dalam birokrasi IH, ataupun dalam RP. Dan memang benar, ada beberapa orang yang memang memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka dengan segala tingkahnya pantas untuk diberikan kalimat tersebut, tapi ada juga yang mungkin ngga memenuhi kriteria, tapi apes kena kalimat itu.

Oh ya, gue pun pernah dikatai demikian. Dan sampai sekarang, alasannya gue sama sekali ngga tau. Konsep gue, bahwa gue—badan tiga dimensi dengan tambahan nyawa didalamnya ini adalah sebutir pasir, yang sama dengan jutaan butiran pasir lainnya. Nah, bagian mananya yang yang bisa disebut egois? Gue cukup sinis self sentris sampai-sampai kalau ada yang salah—gue ngga pernah berani untuk menengok ke orang lain untuk menuduh, tengok ke diri sendiri, dan mungkin itu salah gue. Gue ngga pernah menghalangi jalan orang untuk maju, jika dia satu jalur sama gue, maka gue akan dengan senang hati untuk mundur sebentar, membiarkan orang itu lewat, barulah gue kembali berjalan dengan tenang. Dan seinget gue sih, gue ngga pernah minta dikasihanin, yang ada mah gue minta ditampar biar gue bisa bangun lebih cepet daripada harus bermelankolis-najis ria dulu. Oh, gue selalu terlihat muram? Maaf aja, berada dalam titik nadir itu udah menjadi kebiasaan, paham alone but not lonely yang gue anggap ideal dulu membentuk gue menjadi seperti sekarang, haha, salah langkah.

Nah? Bagian mananyaa?

Gue cukup paham dengan konsep tersebut, dan gue sama sekali ngga menemukan bahwa gue masuk ke kriteria yang pas untuk dikatai demikian. Bahkan hal yang bisa membuat gue menggaruk-garuk tanah sedemikian ekstrimnya itu adalah soal hubungan dengan orang lain! Memburuk, maka pikiran gue ngga akan lepas dari hal itu untuk beberapa hari kedepan. Rere mungkin bener, badan gue nyusut karena kebanyakan mikir rekanan RW, gimana hubungan dengan mereka, dan gimana caranya untuk menambah kualitas hubungan tersebut. Sama dengan seseorang, gue ngga akan bisa ketawa kalau ada satu orang aja yang muram, ga enak, dan bawaannya pengen menyamakan lantai dengan orang tersebut. Sekali lagi, mananya?

Setengah empat? Harus tidur kayanya..

Oh ya, selamat untuk dia yang jauh disana, udah ketemu yang pas ya? Semoga langgeng dan lancar, gue turut berbahagia dan berdoa selalu, amen.

Ngiri ah..

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Saturday, May 23, 2009

Posted at : 12:35 AM

Hell-a-day.

Oh no, becanda. Liburan sehari tanpa harus ribet mikirin tugas, itu lumayan. Unplanned, dan kebetulan gue males untuk balik lagi ke Jakarta tanpa alasan yang jelas, jadilah gue menetap di Bandung waktu liburan-panjang-tapi-dipotong-satu-Matkul ini. Tidak ada rencana, hanya kebetulan sehari sebelumnya gue nganter Alita ke Kalapa dan melihat plang jalan bernama ‘Lembong’—yang mana adalah tempat tinggal salah satu tante-tante-an gue. Oh, jangan salah sangka, bukan tante girang, dan gue bukan peliharaan tante-tante manapun. Kalau seneng sama tante-tante sih iya *shot*.

Tante Areen, salah satu tetua di forum Indoanime, tempat dulu gue berlabuh dalam hal jejepangan. Udah lama ngga ketemu dia lagi, kalau ngga salah terakhir itu sekitar oktober. So yowis, makanya gue menyempatkan diri nanya-nanya sama si tante, bener ngga dia tinggal di Lembong yang gue liat plangnya kemaren? Dan bener, setelah kontak beberapa saat, akhirnya gue memutuskan buat mampir ke kosannya, sekedar ngobrol-ngobrol menjalin tali silaturahmi (halah, gaya, lebaran aja di kamar melulu).gue pun dateng dengan membawa sedikit buah tangan, abis katanya si tante lagi mengencangkan ikat pinggang, haha, yaudin, sayah bawain makanan aja sekalian.

Ngobrol lumayan banyak, seputar kabar tentang Indoanime yang udah lama banget gue tinggal dan beberapa hal lain, salah satunya tentang komputer. Kan di kamar kosannya ada komputer (yaiyalah, orang kantoran), dan sebenernya spec komputernya pun juga biasa aja, standar komputer pada umumnya, cuman, pas si tante ngejelasin lebih detail tentang spesifikasi komputernya dia, gue jadi ngiler. Ya gimana ngga? Komputer yang ada di kosan gue itu bisa disamain sama kecoa bunting, lamaa..

Ram 248mb
Pentium 4 (tok)
Dan HDD.. 8gb..

*plaak*

Dahsyat banget ga sih? Yang mau ketawa ngeliat space HDD gue, sok atuh, haha. Seperti yang udah gue bilang sebelumnya, ini kompi dibeli dengan tujuan (1) ngerjain tugas kuliah, dan (2) internetan (yang tujuan awalnya pun buat nyari bahan tugas). Dengan gue ngebuka browser + YM + word = itu udah cukup untuk ngebuat gue emosi jiwa. Ram 248 bisa apa sih? Dan lagi, hal lain yang ngebuat gue ngiler dengan komputer si tante itu.. game. Yeah, padahal asalnya gue kan gamer yah? Seseorang yang tahan ngga keluar rumah seminggu penuh untuk mengecap sinar matahari andaikata ada game yang pengen gue tamatin, beneran, tapi sekarang malah santai-santai aja di kosan tanpa konsol satu pun. Si tante, yang doyan dan masternya The Sims menyuguhkan gue berbagai fitur game sejuta umat tersebut—yang dengan gue liat di reviewnya aja udah bikin ngiler sebakul.

Kesimpulan? Gue pengen apgret kompi gue. Gue pengen maen The Sims.. haha

Untuk awalnya, mungkin Ram dulu. Pernah ditawarin di tukang servis yang dulu ngurusin komputer ini, katanya untuk upgrade ram ke 1gb itu butuh dana sekitar 200rb, okelah. Insya Allah bulan depan udah gue upgrade di tempat itu juga. Haha, amieen. Setelah ada dana yang cukup lagi, barulah mungkin gue beli memori, setelah itu VGA and so on and so on.. banyak ambret. Yang bersedia ngucurin dana, tangan saya udah nadah nih..

**

On the other things, gue heran sama sekali heran. Beberapa waktu yang lalu pada jam kuliah, kebetulan gue duduk disebelah perempuan yang.. katakanlah dijadikan rebutan multi-angkatan, dari yang tuwir sampe yang baru masuk ada aja yang suka sama dia. Okelah, untuk fisik, meemang dengan penilaian yang general dia bisa dikatakan cantik. Tapi haloo? Entah ini gue yang bolot, atau otak kiri gue (soal berpikir logis) yang kena rabun ayam. Dia—yang mungkin mumet sama mata kuliah hari itu (yang mana gue juga sih sebenernya, statistik gituh) ngajak gue ngobrol. Dan seperti apa yang gue bilang tadi, apakah otak kiri gue kecelup aer kopi? Gue sama sekali ngga merasa enak dengan apa yang dia obrolin. Kaga penting, sumpah.

Emm, bukan ga penting kali yah? Mungkin juga mood gue bukan dalam mood untuk mengobrol waktu itu, mungkin aja dia hanya ingin ngebuka pembicaraan, menghabiskan waktu panjang yang ngebosenin. Tapii.. sekali lagi, garing. Dengan bayangan dia adalah orang yang dikejar-kejar banyak manusia lain, gue tetep ngga bisa menyamankan diri duduk deket oknum tersebut, tanggapan gue pun hanya sekedar “oh”, “heheh”, “oh ya?” dan tidak terlupa senyum garing gue yang kapanpun siap dipamerkan.

Dan gue semakin bingung? Bagaimana dia bisa menarik di mata orang-orang tersebut? Apakah karena fisiknya aja? Atau mereka juga udah ngobrol dengan dia dan menemukan bahwa dia adalah orang yang menyenangkan? Dunno, mungkin ini hanya soal selera kali ya. Toh memang banyak faktor yang mempengaruhi kenapa seseorang bisa suka dengan orang lainnya. Entah mungkin penampilan fisik, kecerdasan, atau yang mau menunggu lama untuk melihat seperti apakah hatinya. Itu terserah.

Lagian gue pun ngga punya kriteria khusus untuk menentukan ke orang yang seperti apa gue harus suka. Blam, dan tau-tau gue udah suka. Untungnya sih, mereka yang pernah dan sedang gue suka sekarang bukanlah orang yang bisa dikatakan ngga baik (iya kan? kalian baik kan?). Kata Lutfi, mungkin sebenernya gue punya kriteria tertentu yang gue sendiri ngga sadar, dan begitu tau ada orang yang memiliki kriteria tersembunyi itu pun, gue akan tertarik. Entah ya.

Ditunggu

Filed Under (, ) by Pitiful Kuro on Monday, May 18, 2009

Posted at : 10:44 PM

Hi..

Belakangan mood nulis turun drastis, mood baca juga berbanding lurus dengan mood menulis. Yeah, bahkan ada satu buku yang sedang gue baca belum kelar-kelar dari sebulan yang lalu. Entri blog pun, kalau ngga berbunyi racauan, keluhan, paling banter tulisan yang ngga bisa diurai. Menurun, degradasi? Atau adakah peningkatan di bidang lain? hm? Ada kali ya? Belakangan berasa enak aja ngejalanin kuliah, walaupun keliatannya beler-beler aja di kelas, tapi gue merasa mendapatkan materi (merasa loh). Hal baik lain juga ada, kawan lama nun jauh disana mau menyempatkan diri lagi untuk menyapa gue sekedar memberitahukan satu-dua hal. Katanya sih gue bukan pelariannya kalau ada masalah, nyatanya gimana say? Kidding, gue ngerti kok (insya Allah).

Minggu ini, berselang dua minggu yang lalu, gue pulang lagi ke Jakarta. Boros ya? Emang. Tapi gue selalu suka perjalanan kereta, ngga terlalu buruk lah. Jumat kemaren gue naik kereta Parahyangan yang jam 3 sore, biasanya kan gue naik yang 12.45 atau 17.05. ternyata sepi men! Gile, berasa raja deh, naro pantat di empat kursi, tiduran serasa di hotel berbintang empat, nyaman. Akibatnya yaa, gue jadi ngga ngobrol sama siapa-siapa di perjalanan ke Jakarta kemaren, padahal Stranger’s Talk adalah agenda yang selalu gue tunggu-tunggu dalam tiap perjalanan.

Ups, satu hal lagi tentang kereta, gue berangkat jam 3 sore, berarti, gue akan mengalami perjalanan sore hari kan? Yeaa, setengah perjalanan gue duduk di kursi berbintang tersebut, dan setengahnya lagi, gue nyengser di pintu kereta. Asoy men, sore hari + kereta dengan kecepatan 70-80km/jam + matahari tenggelam = Priceless.

Tujuan kali ini pulang ke Jakarta bukan untuk ngurus KTP yang kerendem di cucian, bukan pula ngurus barang yang ilang, apalagi ngabur dari tukang kredit. World Book Day, acara tahunan entah apa konsepnya yang diadakan di Museum Bank Mandiri, kota tua. IH masuk ke dalam susunan acara tersebut, dan untuk itu, ada permintaan untuk tampil dari mereka ke kelompok MP (Musikalisasi Puisi) kenalannya Tika. Yang kebetulan pula kesemuanya adalah temen SMA gue (bahkan dua diantaranya adalah temen TK gue). Wow, berhubung gue pun belum pernah melihat penampilan mereka secara langsung (selama ini lewat rekaman), dan ada oknum yang mau repot-repot manas-manasin gue untuk dateng, jadilah, gue balik ke Jakarta demi melihat MP mereka.

Jum’at 15 mei 2009

Rencana awal : Langsung ke Saskri, ngga pake mampir dirumah.

Ah sayang, rencana tetap rencana dan untuk mewajibkan suatu rencana pun haram hukumnya *halah*. Rencana batal, gue mendapat persuasi dari seseorang untuk pulang kerumah, baiknya begitu, katanya. Allrite, gue pun menurut. Hei hei, dasarnya gue adalah orang yang penurut kan? Hanya aja, harus ada beberapa faktor yang terpenuhi untuk bisa membuat gue menurut. Siapa orangnya, pantaskah gue turuti? (1), apa bentuk sarannya, andaikata memang bener dan masuk akal, kenapa ngga gue turuti? (2), timing (3). Simpel kan?

Yaudin, gue pulang kerumah, ganti baju, mandi, dan langsung berangkat ke Saskri naik sepeda. Sampe disana, gue yang inginmelihat para pekerja seni itu bekerja merajam gitar, termenung bersama pianika, ataupun berjoget bersama jinbe itu rada kaget, kenapa? Karena aransemennya sama sekali belom jadi, sementara saat itu adalah H-1! Kereen. Ah ya, profesional gue rasa, mengaransemen satu lagu pendek itu cuma kudapan enteng sebelum kopi. Lol. Agak maleman, api mulai dinyalain, rencananya mau bakar Ubi.

Disini (Saskri), gue dibawa ke masa lalu. Maksudnya? Yah, gue berasa kaya masa-masa SMA—liburan sebelum kuliah lagi. Gaya bahasa mereka, becandaan-becandaan yang melampaui taraf sarkasme, dan tawa-tawa yang tidak garing, yang kekuatannya bisa membuat rahang lepas (lebay). Asli, becandaan macem yang mereka bawain itu ngga ada di Bandung, andaikata dikeluarkan becandaan macem itu, pasti langsung pada mendelik sinis karena memang kasar. Tapi, dimanapun, di kelompok yang orangnya berjumlah lebih dari dua, gue selalu memilih untuk pasif, gue pun hanya ketawa-ketawa aja, ngasih tanggepan satu dua kali, diem. Jam setengah 12, gue pulang.

Sabtu 16 mei 2009.

The Day.

Lutfi ngejemput gue jam 11 siang. Ke Saskri dulu untuk latihan puisi yang akan dibawain malemnya.. yeah, latihan bener-benernya, aransemen tambahannya baru dikerjain kurang dari enam jam sebelum pementasan. Katanya sih, kalau tampil di acara semacem itu santai, kalau ikut kompetisi beda lagi tekanannya. Oke, dimaklumi deh. Beberapa jam sebelum berangkat gue habiskan dengan ngobrol bareng mereka lagi, kebanyakan sama Lutfi sih, sedangkan Tika udah pergi duluan ke tempat acara—beda dia mah, sibuk. Mendengarkan mereka latihan itu lumayan seru, salah nada tinggal dibenerin, intonasi ngga pas tinggal diganti, mew, kayanya gampang banget ya? Padahal kalau gue disuruh megang alat musik, yang ada gue kejang spontan.

Jam 4 kesemuanya berangkat, mendatangkan motor tambahan dari temen SMA lain (makasih men). Sampe disana, mampir dulu ke stand IH, ketemu beberapa wajah lama, dan beberapa wajah baru yang gue engga kenali sama sekali (hadah). Maklum aja, pensiunan, udah pikun. Pentasnya malem, dan akhirnya yang MP pun latihan lagi sekali-dua kali, biar pas, karena sebelumnya ngga pernah latihan bareng Tika. Done. Hal lain, Sigi si tante senang ditarik untuk main ‘angin’, well, alatnya ngga punya nama, yang pasti, itu alat untuk menimbulkan efek suara angin mendesau (tsah).

Pentasnya ada beberapa kesalahan, maklum aja, latihan minim, anak-anaknya pun kelewat santai. Tapi keren lah, padahal sebelumnya ada juga sekelompok orang yang ngebawain performance serupa, MP, namun jauh lebih niat, tapi entah kenapa gue lebih memilih kelompok sendiri (haha, primordialis nih gue). Biarpun slow, simpel, dan banyak salahnya, gue tetep suka.

**

Minggunya, sebelum gue balik, gue menyempatkan diri untuk mampir lagi ke WBD untuk bertemu beberapa orang. Err yah, begitulah, lancar gue kira. Setengah satu, gue melepaskan diri dari jepitan-jepitan yang melarang gue untuk pulang cepet, langsung ke stasiun gambir naek busway. Phew, ngepas banget lah, gue sampe di gambir 13.20, sedangkan kereta berangkan 13.30. untungnya sih keburu, tapi ngga lagi dah, thriller rasanya. Soalnya gue ogah untuk nunggu tiga jam untuk naek kereta berikutnya.

Perjalanannya? Biasa aja, duduk di bordes, ngelamun liatin bukit-bukit yang seolah ngga punya ujung, dan melakukan hal-hal yang seharusnya terlarang *ehem*..

On the heavier note.. well? Gue ngga sangka kalau bakalan kaya gini ya? Sepulang dari stasiun Bandung, gue menyempatkan diri untuk mampir kerumah orang, bertanya satu dua hal, menjelaskan tiga-empat hal. Setelah diberikan penjelasan lebih mendalam, gue mengerti bagaimana sulitnya, mengerti, Insya Allah. Memang kamu harus memilih, tapi tolong, jangan dijadikan beban.Dan.. Fakta bahwa gue pesimis memang terbukti, tapi itu hanya jika kamu juga pesimis juga. Apabila kamu optimis, maka akan dengan senang hati, gue pun akan turut optimis. Memang, bukan hal mudah mengingat skala prioritas yang kamu gunakan itu demikian adanya, bahwa membuat kecewa orang lain adalah hal yang tabu, dan gue pun bukan orang yang suka dibuat kecewa.

Tapi, gue pun harus ingat, gue berpijak di bumi ini tidak sendirian, bumi tidak berputar dengan gue sebagai porosnya. Milyaran hal terjadi dan tidak bersangkutan dengan gue pribadi, gue kecil, hanya setitik debu yang sama dengan jutaan debu lainnya di salah satu pesisir pantai. Dan apakah setitik debu pantas meninggikan dirinya terhadap debu lainnya? Bahwa pantaskah menempatkan diri sebagai hal yang utama? Non, sama sekali ngga. Kamu bebas memilih, yang manapun. Susah? Masih banyak waktu untuk berpikir, gunakan dengan baik, tentukan pilihan yang menurut kamu adalah yang terbaik. Gue tidak terkejar oleh waktu, dan memaksakan agar cepat pun mungkin akan menyisakan penyesalan di gue kedepannya.. jadi? Sekali lagi, pikirkan sematang mungkin. Dan saat kamu sudah yakin, kapanpun, gue siap mendengarkan.

Gue menyerah hanya jika kamu menyerah.
Dan akan berjuang jika kamu berjuang.

Tolong tersenyumlah terus, Kamelia.

Sia-sia!

Filed Under () by Pitiful Kuro on Monday, May 11, 2009

Posted at : 4:21 PM

Ha!

Mereduksi persoalan di kepala tanpa katarsis, itu sama seperti menanam bom mini di jantung sendiri, yang waktu meledaknya entah kapan kita sendiri ngga tau. Ngga ada bedanya dengan bunuh diri, eh? Apa gunanya, hm? Prinsip tanpa topeng gue kemana hei, yang mengatakan bahwa apa yang gue rasa, maka itulah gue, ngga susah, ngga munafik, tapi kemanaa? Buat apa gue susah-susah menjilat ludah prinsip yang gue percaya, yang gue pegang dengan taruhan kepala?

Cuma satu, demi relasi. Hasilnya? Nihil. Sekarang gue mengeluarkan ludah yang baru aja gue jilat.

Bom itu? Meledak dengan indahnya.


Najis.

Don! Dan Ultimatum Untuk Kedepannya.

Filed Under () by Pitiful Kuro on Sunday, May 03, 2009

Posted at : 9:23 PM

08.30 Wib, malam.

Gue baru sampe (lagi) di Bandung. Setelah perjalanan 3 jam setengah via kereta (yang katanya) express Parahyangan. Gue duduk manis didepan komputer, dengan sendawa-sendawa beruntun yang berbunyi layaknya guntur, perut merintih perih, maag datang tanpa pamrih. Malam ini, gue harus menghabiskan 2 (dua) liter susu yang gue bawa dari jakarta. Karena susu kemasan macem ini ngga tahan lama, 24 jam udah cukup membuat susu kemasan jadi basi jika disimpan di suhu kamar. Perut kosong, diisi susu, ngga heran kalau besok pagi gue bakal diare, setia menunggui WC sampai tugas tertuntaskan.

Perut dikosongkan secara nekat, memaksa otak berpikir laknat. Oh ya, gue tipe orang yang ngga bisa berpikir jernih disaat kenyang, kenyang cuma bikin otak tumpul, sama halnya dengan rajin menyapu tubuh memakai sabun, akan ada hal yang hilang. Sori, tentunya bukan bermaksud jorok, memang gue paling anti sama sabunan saat mandi, tapi badan tetep gue gosok secara manual. Seperti yang gue bilang tadi, memakai sabun pasti akan ada yang hilang dari tubuh (ehm, maksud gue bukan daki). Konyol memang, tapi gue merasa insting gue jadi tumpul jika sabunan, ataupun memakai wangi-wangian lainnya macem parfum atau colonge.

Gue hanya merasa harus berpikir lebih belakangan ini. Beberapa hal datang beruntun tanpa memandang gue sebagai manusia biasa, karenanya, gue diharuskan berkecenderungan meningkatkan insting dan daya pikir sampai batas maksimum. Gaya? Haha, terserah, gue merasa harus demikian.

Sekarang... semua udah selesai, kepulangan gue ke jakarta karena beberapa hal pun sudah selesai, entah dengan baik, atau penuh coretan merah menunjukkan hasil angka dibawah 5. Tidak merajuk, hanya diam, tidak bersuara, tanpa gerakan bermakna, satu dua tanggapan sekedarnya yang berada di garis netral. Bermakna ganda, bisa setuju, bisa juga tidak. Tapi semua sudah beres, tinggal menerima dengan senyuman renyah berpura ramah. Hati menari salsa, selebrasi bisu tidak berduka, tidak tertawa. Senyum dicap terlarang, durjana itu sama saja malang, ini bukan puisi, hanya deretan kata ambigu bermakna basi.

Seminggu ini gue capek, stamina ditarik ke batas yang telah direduksi asupan gizi. Secara fisik gue mencapai batasan diluar kebiasaan. Secara mental, jiwa sudah dijatuhkan, dibanting, ditenggelamkan, dan dijorokin ke jurang yang lumayan dalam. Untuk fisik, no comment, ngga tertolong. Untuk mental, gue berterimakasih kepada beberapa orang khusus yang kesediaannya gue minta baik secara sadar ataupun engga untuk membantu gue. Ada yang keberadaannya sudah lebih dari cukup untuk mensupplai kekuatan tambahan, yang dengan melihatnya saja gue merasa bisa membuat kuda teji pingsan dalam satu pukulan. Ada yang mau membantu tapi ngga tau caranya (haha, sejujurnya gue sebel sama orang yang ini nih). Dan ada juga yang mau berbaik hati memberikan tamparan terbaiknya tepat kemuka gue yang lagi limbung beberapa waktu lalu, yang cercaannya menembus jantung menjebol otak, yang omelannya bikin yang segan hidup menjadi yakin buat mampus (haha), yang entah bagaimana, dengan niat membunuh yang keluar dari dia malah membuat gue makin bernafsu untuk melewati hal ini dengan sekali loncat (sumpah, gue cinta elo, say, makin CINTA! HAHA).

So? Say g’bye for this familiy shitty thingy. Level up!

**

*Lirik postingan di atas* haha, lagi-lagi bentuknya tulisan geje yang ujungnya tetep sama, tentang gue lagi. A few times ago, my chatbox was visited by an old comrade from my highschool. Please let me introduce you, Ariau Akbar. Dia, yang mencoba konsep blogger ‘berisi’, membuat blog dengan tujuan public jurnalism. Yang isinya diusahakan berupa informasi bermutu yang bisa dicerna oleh semua orang—tidak seperti entri diatas yang mungkin hanya bisa diterjemahkan kedalam persepsi sama dengan penulisnya oleh beberapa orang saja.

Tujuan yang mulia ya? Sementara gue? Tulisan yang ‘berisi’ pun berjumlah hitungan jari, padahal blog ini udah berjalan dari tahun 2007 akhir, setahun setengah lebih sedikit. Yah, itu usulan yang sangat bagus. Gue akan mengusahakan untuk lebih banyak memuat tulisan yang ada isinya—yang tentu dengan bahasa gue sendiri, toh itu inti dari public jurnalism ya? Katanya sih, untuk jenis tulisan macem itu, Wordpress lebih ramah untuk digunakan, hanya aja, gue udah pewe sama tampilan blogspot yang pengaturannya uiser friendly. Jadi? Mungkin perubahannya hanya sebatas memperbanyak tulisan dengan jenis tersebut dan men’tag’nya dengan tag tertentu. Sip.

Pagi

Filed Under ( ) by Pitiful Kuro on Friday, May 01, 2009

Posted at : 7:45 AM

Pagi, lagi.

Pasti, pagi akan datang lagi setiap hari. Sebuah siklus yang engga akan bisa diubah oleh siapapun. Dan yang menjadi pertanyaannya, kenapa? Kenapa pagi harus datang lagi setelah malam yang begitu cantik menyelimuti badan ini dengan pesonanya yang terlalu irrasional? Gue benci pagi. Sangat benci. Satu tambahan untuk mengisi daftar panjang minus hal-hal yang membuat gue harus memalingkan muka ke kasur, dan berharap besar bahwa sang Kuasa mau berbaik hati mengembalikan waktu ini menjadi malam.

Nightmare. Mimpi buruk.

Mimpi yang tidak bagus, mimpi yang tidak menyenangkan. Itu terjadi pada malam hari, tapi sayang, efeknya akan terasa di pagi hari, itu poin tambahan yang bagus untuk mengatakan “Gue sangat benci pada pagi.” Mimpi, mimpi, kenapa gue harus mengalami yang namanya mimpi buruk? Yah, gue engga pernah punya pengalaman yang bagus soal mimpi. Setiap tidur, gue hanya diberi dua pilihan, tidak bermimpi, atau bermimpi buruk. Karena sejauh yang gue ingat—dan memang sulit untuk mengeluarkan kembali informasi tentang mimpi, gue engga pernah mimpi yang bagus. sweet.

Sekarang, disaat gue mengetik tulisan ini, masih terbayang dengan cukup jelas beberapa scene krusial yang hadir di mimpi buruk gue semalam. Tidak bisa diceritakan secara detail karena itu hanya akan menjatuhkan gue sendiri. Unconcious drive kalau kata Freud, mimpi adalah hasil interpretasi dari apa yang kita pikirkan di alam bawah sadar kita, yang kita tidak ketahui, namun kian hari, kian membesar dengan mengerikan. No wonder, alasan utama kenapa gue selalu bermimpi yang serba hitam, jelek, ada kematian, seram dan ngga mutu—kalau dalam alam sadar gue udah berpikiran selalu negatif, takut berlebihan yang tidak eksis, penuh kekhawatiran yang engga perlu.. Nah.. alam bawah sadar gue mau kaya apa?

Bukan salah gue mutlak. Siapa sih yang suka mimpi buruk? Siapa juga sih yang senang hidupnya selalu dipenuhi pikiran-pikiran yang ia buat sendiri, namun malah membuatnya ketakutan setengah mati. Senang? Enak? Sialan.

Banyak yang bilang hidup itu soal pilihan. Silahkan. Tapi gue engga pernah melihat pilihan ganda dalam hidup gue. Ada pilihan, namun jawabannya pasti, tentunya itu bukan pilihan. Engga pernah punya kesempatan untuk memilih, dan lagipula, gue takut untuk memilih, tidak untuk kesekian kalinya gue membuat orang lain pusing dengan pilihan yang gue ambil berdasarkan olah pikiran yang gue sendiri lakukan. Please, tolong, ingat. Gue yang sekarang, dengan embel-embel tulisan negatif yang terstempel mulus rapih di sekujur tubuh gue ini bukan hanya bentukan pribadi dari gue seorang, ada kalian, ada lingkungan yang mempengaruhi itu semua. Sampai vena gue pecahpun andaikan gue ingin melawan, itu percuma—terutama, itu bukan keinginan gue sendiri.

“Sesetan-setannya elo bung, lo masih manusia, itu wajar.”

Terima kasih.

Gue dicap overskeptis. Harusnya gue ngga peduli, harusnya gue meludahi matahari hitam tersebut dan berjalan berbalik badan tanpa menengok kembali ke belakang. Gue menafikkan prinsip yang susah payah gue bangun, cih. Capek.

Oh ya. Bayangan mimpi sialan itu balik lagi.

Kombinasi, paket percampuran antara beberapa hal yang paling gue takutin saat ini di kemas dalam mimpi yang kabur. Tidak jelas, namun membuat gue yang baru bangun tidur ini membelalakkan mata dan menyadari ada air tidak perlu yang terbuang. Gue hanya berharap, membungkuk sedalam-dalamnya, agar mimpi yang gue alami semalam bukanlah gambaran buram tentang masa depan, tapi berakhir di kepala gue, tumbuh di alam bawah sadar, dan tak akan pernah gue izinkan keluar mengecap sinar bulan yang sakral bagi gue.

Masih sama seperti dulu, gue takut untuk terbiasa sendirian.